✉ 9 || Titania Raya

1013 Kata
Aku berlatih renang seperti biasa. Berenang dari ujung ke ujung dan bolak-balik tanpa jeda. Sebenarnya ini kali pertama aku kembali berenang setelah libur panjang kemarin aku memfokuskan diri untuk mempersiapkan pemilihan Raja dan Ratu Sekolah. Ah, aku baru ingat kalau tadi aku belum pemanasan. Pantas lah kalau sekarang kakiku mulai terasa tidak nyaman dan sulit digerakkan. Aku merutuk saat menyadari bahwa tepi kolam masih cukup jauh. Aku berusaha tidak panik dan lanjut berenang menepi sebisaku. Tapi kurasa posisiku tidak berubah. Bahkan lama kelamaan aku tidak bisa mengontrol kepanikanku. Aku merasakan tubuhku makin tenggelam karena gerakanku yang tidak beraturan. Harusnya aku tetap tenang dan menggunakan metode survival float dengan mengambang dan tidak menggerakkan kaki. Tapi aku tidak bisa menerapkan materi dalam praktik nyata. Beberapa kali aku bahkan menenggak air kolam karena buka mulut di dalam air. Padahal maksud hati ingin minta tolong. Oh s**l, apa sudah tidak ada orang di sekitar kolam ini? Tak lama setelah merutuk, aku bisa merasakan pergerakan air yang menandakan ada orang tengah berenang mendekat. Orang itu meraihku pinggangku dan membawaku ke tepian. Setelah lumayan tidak gelagapan, aku bisa mengenali siapa orang itu. Ia tak lain adalah Kak Agas. Sekarang Kak Agas membantuku naik ke tepian kolam. Aku duduk di tepian kolam sembari meluruskan kaki. Aku mengamati Kak Agas yang juga turut naik ke tepian. Ia duduk di hadapanku dengan wajah jengkel. Jadi dia akan memarahiku? "Berapa kali harus gue bilang, jangan masuk ke kolam sebelum pemanasan." Kak Agas mulai bicara sembari membantuku melemaskan otot-otot kakiku. Kak Agas memutar pergelangan kakiku dengan lembut. Ia kembali buka suara, "Gue sadar kalau lo nggak pemanasan. Makanya gue tungguin. Eh, ternyata beneran kram kan kaki lo." Aku masih terdiam sambil memperhatikan pergelangan kakiku. Aku tidak berani membantah apa-apa karena memang aku salah. Mungkin kalau dengan orang lain, aku akan nyolot. Tapi kalau dengan Kak Agas, mana berani aku bertindak seperti itu. Kak Agas mendongak menatapku serius. Tangannya sudah berhenti mengurusi pergelangan kakiku. "Tadi minum air kolam?" tanya sambil menatap lurus ke mataku. Aku mengangguk, "Iya, nggak sengaja pas buka mulut mau minta tolong." "Banyak?" tanyanya lagi. Aku menggeleng ragu. Banyak dan sedikit itu relatif, kan? Kak Agas mendekat dan aku tercekat. Kak Agas mengikis jarak antara wajahnya dengan wajahku. Ia lalu mengecup bibirku singkat. Ia menjauhkan wajahnya dan kembali memperhatikan wajahku. Ia lalu mengulangi mengecup bibirku dengan lebih lama dan lebih dalam. Jujur saja aku kaget. Bahkan tubuhku mendadak menegang dan tidak bisa bereaksi apa-apa. Hanya bola mataku yang bergerak panik. Bagaimana ini, aku justru teringat ucapan Riga dan Vienna. Ah s**l, aku berusaha mendorong Kak Agas menjauh agar ciuman kami segera berakhir. Kak Agas mundur barang beberapa senti. Dahinya berkerut samar. Sepertinya ia menuntut penjelasan. Tapi aku segera bangkit berdiri dan dengan tertatih berjalan ke ruang ganti. Aku juga tidak tahu harus bilang apa. Jadi melarikan diri mungkin bisa jadi sebuah solusi. Sebelum masuk ke ruang ganti, sekilas aku melihat Vienna berlarian di samping indoor. Lalu Riga mengikuti di belakangnya. Siapa yang mereka kejar? oOo Aku sudah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian. Tapi aku masih ragu keluar dari sini. Bagaimana kalau Kak Agas menghadangku? Ah sudah lah, aku tidak mungkin berdiam diri di sini lebih lama lagi. Bagaimana kalau satpam sudah bergerak mengunci indoor karena tidak tahu kalau masih ada aku di dalam sini? Aku berjalan keluar dari ruang ganti sembari tengok kanan kiri. Aman, sejauh ini aku tidak melihat sosok Kak Agas. Aku berjalan santai keluar dari indoor dan menuju ke gerbang sekolah. Tapi baru setengah jalan, sebuah mobil menepi tak jauh dariku. Itu adalah mobil Kak Agas. Pintu bagian penumpang yang berada di samping bagian pengemudi terbuka. Mau tak mau, aku harus masuk ke sana. Aku tidak mungkin melipir pergi begitu saja. Dia pasti akan lebih bertanya-tanya dan jatuhnya dia akan merasa curiga. Aku duduk di samping Kak Agas dan menutup pintu. Kak Agas kembali melajukan mobilnya. Di jalan, kami tidak saling bicara. Kak Agas sibuk memperhatikan jalan dan aku sibuk membuang muka ke jalan. Aku menatapi apa saja yang terlewati oleh mobil. "Tadi kenapa menghindar?" Suara berat Kak Agas membuatku sedikit terlonjak kaget. Aku segera berusaha menguasai diri dan menjawab pertanyaan Kak Agas dengan jawaban normal, "Nggak enak aja kalau kebetulan ada yang lihat." Dari sudut mataku, aku bisa melihat Kak Agas mengangguk-anggukkan kepala. Ia kelihatan bisa menerima alasanku. "Mau mampir makan dulu?" tawarnya. Tapi aku cepat-cepat menolak. Aku tahu betul bagaimana kejamnya papa Kak Agas. Oh mungkin bukan kejam, tapi tegas dan disiplin. Sekali waktu saat Kak Agas pulang terlambat, papanya akan memukuli dan menghajarnya. Aku pernah secara tidak sengaja melihat hal itu. Saat itu kami mampir jalan-jalan ke sepulang sekolah. Setelah menghabiskan cukup banyak waktu denganku, Kak Agas mengatakan kalau ia harus segera pulang. Kak Agas mengantarku dan segera pergi. Lalu aku teringat kalau ponsel Kak Agas ada di dalam tasku, makanya aku buru-buru menyusul ke rumah Kak Agas untuk mengembalikan ponselnya. Alhasil, aku melihat kemarahan papanya yang luar biasa menyeramkan. Sejak saat itu, aku tidak pernah mau menghabiskan waktu sepulang sekolah bersama Kak Agas. Aku tidak mau dia pulang terlambat dan dihajar papanya. "Ray?" Suara Kak Agas memecah lamunanku. Aku menoleh bingung, "Kenapa Kak?" Kak Agas mengulas senyum yang hangat dan menenangkan. Tangan kirinya meraih jemariku dan menggenggamnya. "Sorry ya kalau gue jarang ngajak lo jalan," gumamnya penuh sesal. Aku balas tersenyum, "Nggak papa kali, Kak. Kan kita selalu ketemu waktu latihan." Kak Agas mengangguk-angguk. Ia masih tersenyum tapi sudah tidak menoleh ke arahku. Aku sebenarnya lumayan bersyukur karena Kak Agas jarang mengajakku jalan. Bagaimana pun, aku selalu punya misi yang harus segera diselesaikan. Kalau aku sibuk pacaran, aku yakin misiku akan mangkrak dan tidak terselesaikan. Kini Kak Agas membelokkan mobilnya memasuki kawasan perumahanku. Ia menghentikan mobilnya di depan gerbang rumahku. Seperti biasa, Kak Agas akan bergegas turun dan berjalan memutar ke sisi pintu mobil bagianku. Ia membukakan pintu dan mempersilakan aku turun. "Ray, thanks ya. Lo selalu ngertiin posisi gue," ujar Kak Agas sembari menutup pintu mobil di belakangku. Aku mengangguk santai. Toh aku merasa tidak dirugikan sama sekali. "Gue masuk dulu ya, Kak. Sampai ketemu besok," balasku dan beranjak masuk ke rumahku. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN