✉ 19 || Titania Raya

1016 Kata
Aku berteriak agak girang saat menemukan memory card kamera tergeletak begitu saja di rerumputan bagian luar lapangan tenis. Wow, apa isinya? Aku tidak sabar untuk mengecek benda ini. Riga dan Vienna yang semula mencari-cari di bagian dalam lapangan, kini mendekatiku dan Langit. Mereka antusias dengan sesuatu yang kutemukan ini. "Memory card. Wow, ini sengaja ditinggal atau enggak ya?" Riga penasaran. "Mending langsung kita cek aja isinya. Yuk ke markas," ajak Kak Langit. Kami berempat langsung menuju ke markas. Sesampainya di markas, Kak Langit langsung menyambar laptopnya dan menancapkan memory card kamera itu. Aku terdiam saat mengamati foto-foto yang muncul di layar. Sepertinya itu foto-foto kegiatan yang dilakukan siswa-siswi SMA ini. Tapi entah kegiatan apa saja. Vienna bicara lirih, "Kayanya nggak sengaja dijatuhin deh. Isinya lengkap gitu dan kayanya foto-foto penting." Aku setuju dengannya. Aku juga menambahkan dugaanku, "Kalau gitu mungkinkah memory card ini dilepas dari kamera dan memory card baru dipasang di kamera itu untuk merekam video-video pencemaran nama baik ini?" "Mungkin benar begitu," timpal Kak Langit. "Tapi foto-foto di memory card ini random banget," gumam Riga. Itu masalahnya. Tidak ada petunjuk spesifik foto-foto itu menunjukkan siapa pemiliknya. "Hmm, Kak," sela Vienna meminta perhatian. Aku mendongak dengan alis terangkat sebelah. Vienna meminta izin. "Kak, aku harus pulang sekarang." Aku menyanggupi permintaan Vienna. "Oke, kita selesai sampai di sini. Besok kita lanjut." Masing-masing dari kami berkemas dan segera pergi dari markas. Riga seperti biasa akan mengantarkan Vienna pulang. Sementara Kak Langit menawariku tumpangan. Aku menyetujui tawaran Kak Langit. Meski aku agak was-was kalau tiba-tiba Kak Langit membahas topik-topik aneh lagi. Keluar dari halaman belakang sekolah, aku justru kepikiran soal ruang penyimpanan bola. Masa sih tidak ada jejak pelaku yang tertinggal di sana? Bagaimana pun, pelaku ini kelihatan tidak teliti. Dia selalu meninggalkan barang-barangnya di TKP. Bahkan tak hanya barang-barang, dia juga meninggalkan jejak sepatu yang berusaha ditutupi dengan tumpukan sampah karena jejak itu tidak bisa dihapus. "Kak," ujarku membuat Kak Langit yang berjalan di depan jadi melambatkan langkahnya. Sekarang kami berjalan bersisihan. Aku bisa melihat Kak Langit menaikkan sebelah alisnya. Segera saja aku mengutarakan niatku. "Kak, gue pengen ngecek sekali lagi ke ruang penyimpanan bola. Lo mau nemenin atau nunggu di mobil aja?" Kak Langit mengusap dagunya. Ia lalu memberi jawaban, "Gue ikut aja." Kami berdua pun berjalan ke arah ruang penyimpanan bola yang ngomong-ngomong letaknya agak jauh dari tempat kami berdiri sekarang. Butuh waktu sepuluh menit hingga kami tiba di sana. Ruang penyimpanan bola itu gelap gulita. Tapi aku dan Kak Langit juga tidak berani menyalakan lampu. Meski kalau ketahuan oleh petugas patroli sekolah pun, kami bisa membuat alasan. Masalahnya bukan hanya itu saja yang kami pertimbangkan. Kami mungkin tidak hanya akan berurusan dengan petugas patroli sekolah, tetapi juga pelaku yang mungkin hobi mengecek-ngecek kondisi terbaru TKP. "Gue senterin, lo yang cari," ujar Kak Langit sembari menyalakan senter ponselnya dan menyorot senter itu ke sekeliling ruang penyimpanan bola ini. Jujur saja, pencarian malam ini lebih sulit ketimbang tadi sore. Minimnya cahaya membuatku menyipitkan mata untuk bisa mengamati dengan teliti. Setelah berputar-putar di sana, aku dan Kak Langit masih belum menemukan apa-apa. Aku berpikir sejenak sembari memejamkan mataku yang sudah pegal. "Coba deh cek lagi ke situ, tempat si pelaku ini ngerekam videonya." Kak Langit memberi saran. Aku berjalan kembali ke bagian itu. Meski tadi aku juga sudah mengecek dan memang tidak ada secuil jejak pun di sana. "Itu ada sobekan kain yang nyangkut di rak besi," ujar Kak Langit yang berdiri tepat di belakangku. Kak Langit mengarahkan senter ponselnya ke bagian di mana ia menemukan sobekan kain. Dari yang kulihat, itu adalah sobekan kain seragam bawahan, entah rok atau celana. Mungkinkah itu milik pelaku? "Berarti kita cari orang yang seragamnya sobek," gumam Kak Langit. Aku menahan tawa. Jujur saja, mana mungkin ada siswa atau siswi yang masih akan menggunakan seragam yang sobek. Pasti dia telah menggantinya dengan seragam yang baru. Tidak mungkin kan dia mempertahankan untuk tetap menggunakan seragam itu dan memperlihatkan pada orang-orang soal bagian yang sobek itu. Tapi aku tetap bergerak mengambil sobekan kain itu dan menyimpannya. Barangkali memang ada orang yang menggunakan seragam sobek. "Yuk, cabut sekarang," ajakku sembari memutar badan menuju ke pintu. Tapi Kak Langit justru menahan tanganku. Ia mematikan senter ponselnya dan menarikku merapat pada dinding. Jujur saja, pikiranku sudah menggila. Apa yang akan Kak Langit lakukan? Kenapa dia mematikan senter dan menghimpitku di dinding begini? Bahkan sekarang Kak Langit mendekatkan wajahnya. "Ada petugas patroli di depan," gumamnya dengan berbisik di telingaku. Ah, s**l, ternyata itu masalahnya! Aku sudah terlanjur berpikiran terlalu jauh. Aku yang sedari tadi memilih menahan napas akhirnya bisa bernapas dengan lega. Kak Langit mundur perlahan setelah beberapa saat lalu kami terdiam di posisi seperti itu. Ia berjingkat mendekati pintu. Kak Langit mengecek keberadaan petugas patroli. "Udah aman," ujarnya memberi tahuku. Aku berjalan mengikuti Kak Langit keluar dari ruang penyimpanan bola itu. Kami lalu menuju ke parkiran. Kak Langit mengambil mobilnya. Sementara aku menunggu di bagian luar parkiran. Kak Langit muncul dengan mobilnya tak lama kemudian. Pintu penumpang di samping pengemudi terbuka. Kak Langit berteriak kecil untuk menyuruhku naik. Aku naik ke mobilnya dan langsung menyibukkan diri dengan bermain ponsel. Tujuannya tentu saja agar aku tidak terlibat pembicaraan dengan Kak Langit. Selama di jalan, Kak Langit juga tidak mengajakku berbicara. Ia hanya sibuk menyetir dan fokus ke jalan. Bagus lah, aku tidak sanggup kalau tiba-tiba harus mendengar permintaan konyolnya seperti tadi siang. Rumahku yang memang tidak terlalu jauh dari sekolah membuat kami cepat sampai. Aku tidak membuang-buang waktu lagi untuk turun dari mobil Kak Langit. Tapi tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul di benakku. Perasaan aku tidak pernah membeberkan alamat rumahku pada Kak Langit. Bahkan selama di jalan tadi, Kak Langit tidak memintaku menunjukkan arah. Lalu dari mana dia tau letak rumahku? Aku kembali melongok ke dalam mobil dan menatap Kak Langit dengan alis naik sebelah. Aku melempar pertanyaan, "Lo tau rumah gue dari mana?" "Gue pernah antar Rita ke sini," balasnya. Aku ber-oh-ria sambil menutup pintu mobil Kak Langit. Tapi benarkah ia pernah mengantar Carita ke sini? Atau dia hanya mengada-ada? Entah lah, aku jadi bergidik ngeri. Jangan-jangan Kak Langit sebenarnya menaruh hati padaku hingga ia menguntitku. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN