✉ 18 || Vienna Esterina Elara

1019 Kata
Aku menatap heran ke arah Kak Langit dan Kak Raya. Mereka terdiam setelah mengamati salah satu loker yang terbuka. Sepertinya bukan cuma aku yang penasaran. Riga pun demikian. Malahan dia berani bertanya. "Kalian ngeliatin apa sih?" tanya Riga dengan tampang kepo. Kak Langit menoleh dan membalas ucapan Riga, "Loker ini penuh sampah." "Padahal kata Melodi, sebelum liburan dia sama Iko beresin ruang ganti ini," tambah Kak Raya. "Berarti ada yang nggak beres," ujarku menyimpulkan. "Kalau gitu, coba cari sapu," perintah Kak Raya. Aku mengangguk dan keluar dari ruang ganti. Aku berjalan di ruangan yang dipenuhi matras dan mencari-cari benda bernama sapu. Aku tidak mendapati sapu di sana. Jadi kuputuskan untuk mencari di luar. Akhirnya dapat! Aku membawa sapu beserta serok sampah yang kebetulan juga ada di sana. Aku menyerahkan kedua benda itu pada Kak Raya. Tapi Kak Raya mengernyit dan menolak pemberianku. Ia malah berjalan mundur sembari melimpahkan tugas padaku, "Lo aja. Gue males kotor-kotoran." Aku mengangguk pasrah. Sebenarnya jabatanku ini Ratu. Tapi kenapa lebih mirip babu? Ah sudah lah, aku mempercepat gerakan tanganku menyingkirkan sampah-sampah itu. Begitu sampah-sampah itu berpindah tempat, barulah terlihat apa yang coba ditutup-tutupi oleh seseorang. Kak Raya menggeser tubuhku. Ia kembali maju mendekati loker. "Nah kan, ada jejak sepatu di sini." "Mana-mana?" tanya Riga heboh sembari merangsek maju. Ia mengernyit dan menyimpulkan, "Modelnya kaya sepatu cewek, kan?" Raya menjejakkan kakinya di atas noda sepatu itu. Ia lalu mengangguk dan menyetujui kesimpulan Riga, "Kayanya sih gitu. Satu ukuran lebih kecil dari sepatu gue." "Kalau gitu pelakunya nggak lain adalah siswi sini, gitu?" Kak Langit turut bicara. Kak Raya kembali mengangguk dengan yakin. Tapi Riga menginterupsi. Ia berkata, "Terus lens cap yang gue sama Kak Langit temuin di ruang ganti putra di indoor apaan? Bukan petunjuk?" Semua terdiam. Aku mencoba menerka-nerka. Aku buka suara, "Mungkin pelakunya nggak cuma satu orang. Mereka bekerja sama." Ketiga lawan bicaraku mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju dengan tebakanku. Kak Raya mengeluarkan ponselnya. Ia kelihatan mengarahkan kamera ke jejak sepatu di loker itu. Kak Raya sepertinya tengah mengamankan bukti. "Sampahnya masukin lagi ke loker," ucap Kak Raya sembari keluar dari ruang ganti. *** Aku, Riga, Kak Raya, dan Kak Langit berjalan ke arah latar tempat pengambilan video kedua. Tempat yang kami maksud adalah lapangan tenis. Sore-sore begini, lapangan tenis masih dipadati siswa. Mungkin mereka adalah anggota club tenis atau siswa-siswi yang sekadar menghabiskan waktu sore mereka. "Gimana, nih? Kayanya kita nggak mungkin ngecek-ngecek lapangan itu sekarang." Kak Langit berbicara sambil mengusap dagunya. Ia sesekali menatap ke lapangan, sesekali menatap lawan bicaranya. "Skip dulu aja," putus Kak Raya. Cewek itu langsung melenggang pergi tanpa mendengarkan persetujuan atau penolakan kami. Benar-benar ya Kak Raya ini. Akhirnya aku, Riga, dan Kak Langit mengikuti ke mana perginya Kak Raya. Ternyata Kak Raya berjalan ke ruang penyimpanan bola. Artinya itu latar video ketiga. Tempat Kak Anka dan Kak Daris berciuman. "Coba dong puter lagi videonya," perintah Kak Raya. Riga yang sudah mempersiapkan ponselnya untuk memutar video itu segera mengangsurkan ponselnya. Kak Raya menyambar ponsel Riga dengan cepat. Kak Raya memperhatikan video itu lekat-lekat. Kak Langit juga turut mendekat. Riga yang tidak mau ketinggalan akhirnya turut menilik ke layar ponselnya. Sementara aku memilih diam saja. Saat teman-temanku masih sibuk memperhatikan video itu. Aku menyibukkan diri mengamati sekitar. Barangkali ada kejanggalan yang bisa kutemukan. Seingatku, video itu diambil dari sisi yang berseberangan dengan pintu. Pasti di sela-sela rak bola itu. Aku merangsek ke sana. Sayangnya tidak ada apa-apa di sana. Lantai di sela-sela rak bola itu kelihatan bersih. Tidak ada jejak sepatu seperti di loker ruang taekwondo tadi. "Gimana Vien, nemu sesuatu?" tanya Riga yang berhasil mengejutkanku. Sepertinya aku terlalu fokus mengamati bagian itu sampai-sampai tidak menyadari kalau Riga berjalan mendekat. Aku menggeleng untuk menjawab pertanyaan Riga. Memang tidak ada petunjuk yang kutemukan. "Coba cari di sekeliling tempat ini," pinta Kak Langit. Aku dan Riga mengangguk. Kami lalu meneliti rak-rak berisi berbagai bola namun mayoritas adalah bola sepak. "Nggak ada apa-apa," celetuk Riga setelah lelah mencari dan tidak mendapatkan hasil. Raya berdecak, "Yuk pindah tempat. Mungkin dia emang berhasil membersihkan jejaknya di sini." Seperti tadi, Raya langsung pergi begitu saja tanpa mendengarkan tanggapan teman-temannya. Ia langsung keluar dari ruangan ini setelah selesai mengucapkan dua baris kalimat itu. Aku menoleh sekali lagi. Masih ragu kalau di ruangan ini tidak ada jejak pelaku yang tertinggal. Tapi Riga lalu menarik tanganku, membuatku mau tak mau mengikuti langkahnya. Sekarang aku, Riga, Kak Raya, dan Kak Langit sedang menuju kembali ke lapangan tenis. Lapangan itu masih ramai, tapi tidak seramai tadi. Sudah banyak siswa yang pulang karena ini memang sudah sore. Bahkan sebentar lagi petang. "Tunggu lapangan kosong. Kita tungguin sampai mereka pergi," gumam Kak Raya. Ia menyilangkan tangannya di depan d**a dan bersandar pada pagar pembatas yang mengelilingi lapangan. Butuh waktu hingga lima belas menit untuk mendapati kondisi lapangan seperti yang Kak Raya inginkan. Beberapa kali aku harus mendapatkan gigitan nyamuk selama menunggu di sini. Alhasil sekarang kulitku yang putih pucat agak merah-merah gatal dan iritasi. Kak Raya tidak mengindahkan penderitaanku. Ia justru melangkah gegas menuju lapangan itu. Kak Raya meneliti lapangan itu dengan mata yang menyorot tajam. "Dia nggak mungkin ambil video itu dari dekat karena itu akan menimbulkan kecurigaan. Iya nggak sih?" tanya Kak Raya sembari memutar badannya menghadap kami. Ah, benar juga apa yang diucapkan Kak Raya itu. Tapi aku justru kepikiran kalau, "Kak, menurutku pelakunya memang ada di sini. Tapi ya nggak ada yang curiga sama dia karena mungkin dia juga tergabung di club tenis ini. Atau setidaknya dia emang sering mampir ke sini. Jadi tanggapan orang yang lihat ya biasa aja gitu." "Wah, itu juga mungkin sih," gumam Riga bingung. Kak Langit turut menimbrung dalam pembicaraan, "Jadi kita mau ambil pemikiran Raya atau Vienna?" "Dua-duanya. Kita kan nggak tau mana yang bener," balas Kak Raya. Ia lalu mulai membagi kelompok. Aku dan Riga mencari bukti yang mendukung pendapatku. Sedangkan Kak Raya mencari bukti yang bisa memperkuat dugaannya. Kami berpisah. Kak Raya dan Kak Langit mengecek bagian di luar lapangan. Sedangkan aku meneliti sudut yang sepertinya cocok dengan sudut pengambilan video itu. "Gue nemuin ini," teriak Kak Raya agak keras dan membuat aku serta Riga menoleh pada sumber suara. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN