bc

Contrast

book_age12+
632
IKUTI
4.3K
BACA
playboy
badboy
goodgirl
sweet
bxg
nerd
highschool
first love
shy
like
intro-logo
Uraian

Layaknya hitam dan putih, langit dan bumi, panas dan dingin, atau apapun di dunia ini yang sifatnya berbanding terbalik, adalah kontras.

Perumpaan sebuah kontras lainnya adalah Agas Zidane Althaf dan Aya Analisa.

Agas adalah salah satu cowok keren diantara ke-empat teman perkumpulannya. Kalau ada seseorang yang menanyakan bagaimana karakter seorang Agas, kira-kira jawabannya begini.

"Agas tuh yang paling berisik dari yang lain, paling usil, auranya bikin orang pingin emosi, gak pernah waras, gak pernah mau dijuluki pecinta wanita padahal mantannya dimana-mana."

Tapi layaknya manusia tak tahu diri, Agas yang penuh kekurangan itu menyukai Aya Analisa ; adik kelasnya di SMA Delite yang cantik, lugu, pintar, memiliki senyum manis dengan tatapan teduh. Seakan kurang kontras, sosok Aya yang harus kalian ketahui adalah siswa berkacamata, rambut sangat jarang digerai karena ia lebih suka dikuncir kuda, hobi membaca segala jenis buku, pecinta kucing, perpustakaan, dan ketenangan. Iya, benar, Aya adalah nerdy girl.

Terlalu banyak perbedaan yang membuat Aya menolak untuk terjun ke lingkaran dunia Agas. Tapi bukankah Agas selalu punya tiga ribu cara membuat Aya bersedia?

chap-preview
Pratinjau gratis
1. kala ku pandang
“Kala ku pandang kerlip bintang nan jauh disana!” Suara berisik Agas terdengar dari ujung ke ujung di seluruh penjuru kantin, menyanyikan lagu yang sedang heboh-hebohnya di salah satu aplikasi ternama alias Tik Tok sembari menepuk-nepuk meja berdendang sesuka hati. Dari ketiga teman dekatnya, memang tidak ada yang sememalukan Agas. Laki-laki tengik itu seperti terlahir tanpa urat malu. Siang ini adalah jam istirahat kedua, yang mana berarti ada tiga puluh menit waktu untuk beristirahat bagi para siswa SMA Delite. Jika yang lain akan bergegas ke masjid sekolah untuk melaksanakan sholat Dhuhur, maka lain lagi dengan Agas, Dava, Deril, dan Andi. Mereka memilih menghabiskan waktu di kantin yang tak terlalu ramai, dengan banyak botol mineral di atas meja, suara besar Agas yang menghidupkan suasana, dan bermacam gorengan yang dibeli. Siapa yang tak kenal mereka berempat? Pasti masih ada, kok, yang tidak kenal. Mereka tidak seterkenal Nathan atau Dilan, tapi mereka memang punya aura selebriti yang memancar di aura masing-masing dari cowok-cowok itu. Sayangnya, dari mereka berempat, yang masih bisa jadi bahan gencaran para perempuan hanya Agas. Deril, Dava, dan Andi sudah punya kekasih masing-masing. Sama-sama  berada di sekolah yang sama, hanya berbeda kelas. Tapi ketiga perempuan beruntung itu berada di satu kelas jurusan IPA. Jika Deril punya Shara sebagai mantan ‘mantan-pacar’ alias pernah putus tapi balikan lagi, Dava punya Gisel yang senantiasa jadi cinta sejatinya dari awal mereka bertemu, beda dengan Andi yang masih tidak memiliki status dengan Intan padahal sudah jelas semua orang bisa melihat keduanya saling menyimpan rasa. Tapi seburuk-buruknya nasib Andi, masih buruk lagi nasib seorang Agas Zidane Althaf yang malah jomblo sejak lahir. Bukan karena Agas tidak laku, homo, atau tidak berminat menjalin kekasih, bukan karena itu. Melainkan karena ia sudah memiliki banyak perempuan di sekitarnya yang senantiasa dengan senang hati melempar tubuh untuknya tanpa ia harus bercapek-capek ria mengejar-kejar. Agas tidak pernah keberatan dengan status single-nya. Ia mencintai dirinya sendiri lebih dari apapun. Apa itu kekasih? Ia tak pernah butuh kekasih disampingnya. Agas tinggal menunjuk satu perempuan tanpa unsur paksaan maka dengan sendirinya mereka mau menghangatkan ranjang Agas. Bukannya ini sudah lebih dari cukup? Katakanlah Agas b******k, ia tak akan mengelak karena itu memang benar. Fakta yang seratus persen konkret karena hati Agas tak berfungsi untuk mengurusi hati gadis-gadis. Seperti saat ini. Ketika akhirnya terlihat tiga perempuan cantik bak bidadari dengan paras ayu dan kepribadian berbeda muncul dari lorong kantin, Agas, Dava, Deril, dan Andi kompak menoleh. Ketiga teman Agas langsung melempar senyum menyambut kekasih masing-masing, melambaikan tangan menyuruh bergabung, dan Agas hanya bisa mencebik kesal kalau sudah begini. Walaupun ia sudah lebih dari sembilan puluh sembilan kali menjadi kambing congek yang hanya bsia melongo ketika teman-temannya asik pacaran, Agas selalu berakhir menunduk, menatap ponsel, mencari salah satu teman tidurnya, lalu menghilang tiba-tiba. “Punya siapa ini?” tanya Intan menunjuk lima permen yupi yang tergeletak di atas meja, matanya mengerjap polos. Omong-omong soal gebetan Andi ini, gadis itu adalah yang paling polos di antara Shara dan Intan. Karakternya lugu, seperti anak kecil masih berusia lima tahun, masih suka histeris jika berpapasan laki-laki tampan di mall sekalipun sedang bersama Andi, apapun yang berhubungan dengan Intan selalu bisa membuat tertawa. Selucu itu. Tak ehran juga kenapa detik ini Intan bertanya pemilik pemen yupi. “Makan aja.” ujar Andi. Intan langsung tersenyum sumringah. Mengambil satu bungkus permen yupi, ujung jemarinya hendak menyobek namun Agas dengan jahanamnya langsung merebut. “Enak aja! Punya gue, ini.” Dorongan kepala dari samping membuat Agas menoleh pada Andi. Satu detik kemudian ia menyengir dan menciut, mengembalikan permen yupi pada Intan ketika Andi melotot dengan kalimat, ‘lo mau gue ceburin ke kolam ikan?’ tanpa suara. Shara dan Gisel tertawa, menertawakan Agas yang memang suka usil dan jahil kepada Intan. Laki-laki itu berdecak. “Gue mau cabut, ye.” “Demi apa lo pundung cuman gara-gara yupi?” komentar Deril ketika Agas sudah berdiri dan bersiap pergi. “Enggak, anjir. Gue mau ngapelin Sandra dulu biar nanti malem dapet jatah.” “Ye, congor lo.” Agas menyeringai geli mendengar u*****n Dava. “Jangan iri. Kan, ada nyonya Gisel yang senantiasa ada untuk menghangatkan malam anda.” Itu memang benar. Jika ada piala penghargaan untuk laki-laki b******k di antara mereka berempat, juara kedua setelah Agas adalah Dava. Bedanya, kalau Agas bermain dengan banyak perempuan, Dava hanya akan menghabiskan k****m bersama sang kekasih seorang. Hanya Gisel. Sedangkan juara terakhir sudah pasti milik Andi. Laki-laki itu sebenarnya memang sangat tidak cocok bergabung dengan tiga orang yang lainnya. Selain karena kepribadian yang sangat berbeda, dimana Dava, Deril, dan Agas cenderung b****k dan sinting, Andi adalah sosok kalem, berwibawa, tegas, dan tenang— begitu pula dengan pergaulan mereka. “Eh, iya. Mau ngasih tahu juga.” ucap Agas berbalik badan lagi menghadap kawanannya. “Nanti sore gue gak jadi main futsal, yo.” “Lah, udah booking, babik?!” seru Dava tak terima. “Gue ada janji mau karaoke sama Sandra.” “Heleh, gaya lo! Suara kayak bebek aja sok nyanyi di karaoke!” “Jangan iri dong, beb.” kata Agas sembari melemparkan kecup jauh pada Deril membuat semuanya mengernyit jijik. “Good bye, sayang!” “Agas sinting!” ** Agas paling tidak suka dengan orang yang ingkar janji. Itu berlaku pada siapa saja sekalipun hanya Sandra, partnernya dalam hubungan friend with benefit itu. Bayangkan saja jadi Agas. Cowok itu sudah berbaik hati mau menemani Sandra yang bilang sedang ingin ke karaoke sore ini membuat Agas harus bangun dari ranjang di apartemennya usai tidur siang dan melajukan mobil ke tempat ia dan Sandra sepakat bertemu. Baru kakki Agas sampai di depan meja resepsionis— dengan info tambahan bahwa wanita di balik meja tersebut sempat menggoda Agas— ponselnya berdering singkat. Agas langsung mendengus kesal usai membaca pesan dari Sandra. Sandra Devi : Gas, sorry. Kayaknya gue gak jadi minta temenin. Gue lagi nemenin nyokap ke salon. Next time, ya, beb. Tanpa bersusah payah membalas pesan, Agas balik badan dan hendak berjalan menuju mobilnya jika saja tidak ada air ynag tiba-tiba mengguyur bumi. Agas mengernyit mendapati hujan tiba-tiba deras dan langit yang makin gelap. Ia melirik arloji di lengan tangannya. Masih pukul lima sore tapi terasa seperti sudah pukul setengah enam senja. Agas mendengus lagi. Jika tahu begini, ia akan bertahan di apartemennya saja bergelung dalam selimut dan berdansa e****s dengan Kendall Jenner dalam mimpi. Sandra s****n. Langkahnya kembali terayun pelan ke depan pintu tempat karaoke, ia menatap lurus jalanan yang basah dan Agas sangat malas jika harus membasahi kaosnya jika memaksa lari ke tempat parkir. Laki-lai itu menoleh ke kanan dan ke kiri, dan pandangan asalnya tersebut menuntun Agas menemukan perempuan cantik yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Agas memicing, mengamati rok almamater gadis tersebut yang sama seperti seragam almamater dari sekolahnya. Hanya saja bagian tas gadis tersbeut terbalut jaket tipis hitam membuatnya tak tahu jelas apa memang ia siswa dari SMA Delite juga atau bukan. Agas tak paham kenapa memandangi gadis itu membuatnya nyaman dan terlena sampai-sampai bermenit-menit ia habiskan untuk itu. Agas tebak gadis tanpa nama itu sedang menunggu hujan reda, terlihat jelas sekali ketika wajahnya menunjukkan raut cemas seperti sedang dikejar waktu. Rambutnya terikat rapi menjadi satu, hitam legam dan terlihat lembut. Ia masih terlihat cantik sekalipun gadis itu terlihat lelah menjalani hari. Demi film Fast Furious yang tak pernah bosan ia tonton semenjak berada di bangku Sekolah Dasar, Agas tak pernah merasa hatinya tergerak kasihan kepada orang asing. Sampai sore ini tiba-tiba ia tak tega karena gadis tanpa nama berdiri gelisah menunggu hujan. Jadi tanpa berpikir panjang, ia kembali masuk ke tempat karaoke, emnemui wanita resepnionis dan mengucap niatnya. “Punya payung., gak, Mbak?” Wanita tersebut masih sempat menggigit bibir menggoda Agas membuat cowok itu ingin memutar bola mata. Ia tahu ia sangat tampan tapi ini bukan waktu yang tepat untuk mencari wanita penghangat malamnya. “Mbak?” panggilnya sekali lagi. “Eh, iya. Iya, punya, Mas. Mau pinjem?” tawar wnaita tersebut sembari menunduk, mengambil payung yang sepertinya tersimpan di bawah meja. Agas menggeleng. “Saya beli aja.” “Loh—“ Agas mengeluarkan dua lembar merah dan memaksa wanita itu menerimanya. “Cukup? Atau kurang?” “Cukup, Mas, cukup. Nih, ambil aja.” jawabnya sembari mengangsurkan payung berwarna biru cerah. Agas tersenyum. ”Thank you.” “Malem ini saya kosong. Kalau masnya mau, saya gak apa-apa sekalipun gak dibayar.” Agas hendak mendengus keras-keras sambil tertawa mengejek. Sekalipun Agaas suka melakukan hubungan badan, bukan berarti ia mau-mau saja dengan semua wanita. Apa lagi wanita yang sudah sering menjadi giliran lelaki hidung belang ditambah usianya jauh lebih tua dari pada Agas. Mohon maaf, Agas tak berminat. Agas memasang wajah palsunya, ia tersenyum memaksa. “If i have a spare time, i will call you later.” ucapnya kemudian bergegas pergi dari sana. “Mas, artinya apa, Mas?!” ** Tak ada niat lebih apapun dibenak Agas bahkan ketika ia sudah berdiri di depan gadis itu dengan ayung di tangan kanannya. Agas sadar gadis itu terkejut, bahkan sampai mundur selangkah guna menjaga jara darinya. Agas tersenyum, menyerahkan payung kepada gadis tak bernama. Tapi gadis iu tak merespon. Ia hanya melirik sekilas pada tangan kanannya lalu mengernyit. Dengan senyum kaku, gadis itu bertanya. ‘Kenapa, ya, Kak?” “Lo lagi buru-buru, kan? Gue tadi ngeliatin lo kayaknya lo. Jadi, ini. Pakai aja payung gue.” “Oh, enggak usah, Kak. Gak apa-apa, aku nungguin reda aja.” Agas mengangkat satu alisnya tinggi, bertanya lewat ekspresi, apakah yakin gadis tersebut benar menolak tawarannya. Tapi ketika gadis itu mengintip jam dinding di toko belakang mereka, Agas tahu gadis itu akan berubah pikiran. “Ehm, Kakak.. pulangnya gimana?” “Gue bawa mobil.” “Jadi gak apa-apa aku pake payungnya?” Agas mengangguk pasti. Gadis di hadapannya tersenyum senang. “Makasih banyak.” Agas yakin ia memiliki masalah jantung ketika tiba-tiba saja detaknya melaju cepat. Tatapannya mendadak terpaku ketika senyum indah terulas di bibir gadis itu. Agas bersumpah ia tak pernah melihat senyum semanis ini. Mata Agas menikmati setiap detik ia bertukar pandang dengan gadis tanpa nama. Tanpa sadar ia tenggelam pada mata teduhnya, bagaimana ia mulai menghafal bentuk retina dan bola mata gadis itu, rambut hitam legamnya, kulit halusnya, wajah cantik tanpa polesan, kacamata bundar yang mengelilingi matanya, semuanya. Agas tahu detik itu, diiringi hujan yang turun kian deras dengan bau petrichor semakin tajam di indra penciumannya, Agas jatuh cinta untuk pertama kalinya. Agas jatuh cinta pada pandangan pertama. ** Dava, Deril, dan Andi saling melirik satu sama lain. Setengah jam yang lalu, Agas mengirimi pesan di grup Whats App mereka yang isinya mengatakan bahwa Agas meminta mereka ke apartemennya. Omong-omong soal apartemen, laki-laki itu memang sudah tinggal sendiri semenjak masuk putih abu-abu. Ia tentu tidak keberatan, malah kesenangan. Ia melakukannya dengan suka rela. Apartemen mewah di pusat kota ini diberikan papanya ketika kelulusan SMP, katanya hadiah karena Agas lulus SMP tepat waktu. Agas iya-iya saja. Ia masih sering ekmbali ke rumah, minimal satu kali dalam sebulan hanya sekedar menjenguk orang tuanya yang super sibuk, sekedar mengingatkan mereka bahwa mereka tak perlu terlalu menegjar harta duniawi. Memangnya masih kurang penghasilan dari perusahaan dengan banyak cabang di luar negeri milik papanya dan butik-butik serta restoran milik mamanya? Agas sangat heran karena orang tuanya terus-terusan bekerja seakan-akan tak punya uang. “Jadi fungsinya lo manggil kita, nih, apaan, yak?” celetuk Deril ketika mereka berempat malah sibuk sendiri-sendiri. “Gue mau cerita.” Masih dengan senyum yang terbingkai di bibirnya, membuat tiga kawannya kebingungan. Deril menggaruk rambutnya, “...oke.” “Gue lagi seneng.” “Karena?” “Gue ketemu cewek, cantik banget, anjir. Gak boong.” “Partner Friend wih Benefit lo masih kurang?” “Bukan, anjim. Yang ini bukan cewek kayak gitu. Dia... lugu, polos, imut gitu, ngerti gak, sih, lo?” “Kayak Intan?” tanya Andi karena sifat dan kriteria yang disebut Agas memang hampir mirip. “Agak. Kalau Intan, kan, toa masjid. Dia lebih pendiam.” Semuanya menagngguk-angguk, masih senantia menjadi pendengar yang baik. “Namanya saha?” “Nah, itu dia! Itu yang b**o! Gue lupa tadi mau nanya namanya!” “Yah, goblok.” komentar Dava yang diangguki Deril dan Andi. Sebenarnya, jauh dari dalam lubuk hati Dava, Andi, dan Deril, mereka hanya berbasa-basi mengangguk-angguk dari tadi. Mereka tahu benar Agas hanya sekedar “dia cantik” tanpa berniat serius atau apalah itu. Ini sudah sering terjadi. Maka dari itu, mereka sama sekali tak kaget. “Tapi kayaknya doi anak sekolah kita, sih.” Nah, beda lagi kalau Agas sudah membicarakan sampai sebegini jauhnya. Andi mengernyit dalam diam, sampai beberapa saat kemudian mengajukan pertanyaan yang sebenarnya juga ingin ditanyakan Deril dan Dava. “Lo beneran suka, Gas?” Senyum Agas luntur di sepersekian detik, digantikan dengan ekspresi bingung sebelum akhirnya mengedikkan bahu. “Gak tahu.” “Lah?!” “Alah, paling cuman sepik kayak yang kemarin-kemarin, anjir.” Tangan Agas langsung menyilang, tidak menyetujui ujaran dari Dava tersebut. “Kagak, Dap, sumpah beda. Yang kemarin-kemarin kalau gue bilang cantik, tandanya gue emang suka bodi mereka—“ “Dan akhirnya cuman jadi one night stand.” sela Andi. Agas mengangguk setuju kali ini. “Iya, ujungnya cuman begitu. Yang tadi enggak. Lo—gimana, ya, jelasinnya. Ngeliatin dia aja perut gue langsung mules.” “Lo diare?” Agas memejamkan matanya, menahan kesal setengah mati karena semua yang ia ajak bicara tak mudah paham dengan maksudnya. “Kagak, bangsaaat.” “Lo beneran suka?” ulang Andi. “Suka yang... beneran suka?” “Emang yang lo maksud beneran suka itu yang kayak gimana?” tanya Agas. Andi diam, matanya melirik ke atas apartemen Agas, mungkin sedang membayangkan Intan karena tiba-tiba ada senyum kecil terbit di ujung bibirnya. “Lo ngerasa seneng deket dia. Ngerasa kayak, detak jantung lo tiba-tiba gak karuan?” Mata Agas berbinar hanya beberapa saat setelah mendengar pernyataan Andi, tapi kemudian ia langsung terdiam. Mulutnya tertutup rapat-rapat. “Iya, Gas? Gitu?” desak Deril jadi penasaran juga. Dava ikut merapat, mengerjapkan matanya. Agas mengumpat dalam hening. Ia menatap horor ke teman-temannya. “Anjir, masa iya gue jatuh cinta?” ** Agas benci hari Selasa bukan tanpa alasan. Ia harus selalu berangkat lebih awal di hari tersebut karena Agas harus menyalin jawaban Andi karena setiap hari Selasa, selalu ada tugas rumah dari Bu Indah yang tidak ada indah-indahnya itu. Belum sampai disana, paginya dimulai dengan mata pelajaran Matematika, ahrus mendengar Bu Indah berpidato di depan kelas, menggeprak-geprakkan penggaris kayu di papan tulis, belum lagi kalau sedang sensitif, Bu Indah pasti akan menyebut namanya agar mengerjakan soal di papan tulis. Selesai dengan Matematika, ada pelajaran Ekonomi. Masih banyak alasan Agas membenci hari Selasa. Matematika dan Ekonomi hanya salah dua dari seribu contoh lainnya. “Woi, Gas.” “Gas, anjir, bangun!” “Gue tinggal, nih!” “Udah tinggal aja.” Lalu kemudian kaki kursinya ditendang keras membuat Agas kaget dan langsung membelalakkan mata. Ia menemukan Dava, Deril, dan Andi sudah berdiri mengelilinya yang tertidur kala mata pelajaran Ekonomi. “Kaget, bodoh!” umpat Agas pada siapapun yang menendang kursinya. “Lo ikut ke kantin, kagak?!” Agas berdecak sambil mengucek matanya. “Iya, iya.” Ia berdiri dari duduknya, berjalan di paling belakang dari tean-temannya. Ia emnundu sambil membenarkan dasinya yang tak rapi. Padahal percuma saja dibenarkan. Jika dasinya rapi, lihat penampilannya yang lain. Bajunya tak dimasukkan, poninya jatuh di depan dahi, sepatunya tak hitam sepenuhnya. Kalau Papa dan Mama Agas bukan penyumbang donasi terbesar, mungkin poin Agas di ruang tata tertib tak terbendung lagi. Agas menyeringai memikirkan itu. Uang dan segala pengaruhnya. "Kak Agas, kan?" Lelaki yang namanya dipanggil itu lansgung mengangkat kepala. Langkahnya terhenti begitu saja menemukan gadis yang semalaman ia sesali karena tak sempat bertanya siapa namanya. Agas melirik Dava, Andi, dan Deril yang sudah berjalan lebih dulu. Cih, tak ingat satu temannya tertinggal. Cowok itu berdeham, tiba-tiba grogi sendiri ketika ditatap lekat oleh Si Gadis Tanpa Nama. Tapi bukan Agas kalau gengsinya tak setinggi langit. Ia mengangkat satu alisnya tinggi-tinggi kemudian bertanya. "Cari gue?" Aya mengangguk. “Aku mau balikin payung.” Terlalu lekat menatap gadis tersebut, Agas sampai tak sadar bahwa ada payung di tangan kanan gadis itu. Agas menerimanya. “Oh, oke.” “Sekali lagi makasih, Kak.” Belum sempat Agas menjawab ucapan itu atau sekedar mengangguk, gadis itu sudah pamit undur diri dan berbalik badan. Agas otomatis gelagapan tak percaya. Panik karena takut lagi-lagi tak bisa menemukan nama gadis itu padahal ia yakin ini saat yang tepat. "Eh, eh, bentar,” ujarnya menahan Aya agar kembali menoleh. "Nama lo siapa?" Gadis dengan penampilan persis seperti kemarin; rambut diikat jadi satu dan dikuncir tinggi, wajah cantik natural tanpa riasan, dan mata polos itu mengernyitkan dahi. Agas tebak mungkin ia sedang bingung karena Agas mendadak menanyakan namanya. "Aya Analisa. Panggil Ana aja.” Agas diam. Matanya menyelami sepasang bola mata indah yang ia tatap dalam-dalam di balik kacamata gadis itu. "Ana?" tanyanya ulang  memastikan. "But, Aya sounds better, is it? Gue panggil Aya. Bukan masalah, kan?" Dalam batin gadis itu, Aya benar-benar risih. Ini bukan pertama kalinya ada lelaki yang melancarkan aksi modus seperti ini. Jika Aya tak ingat bahwa Agaslah yang kemarin membantunya agar tak terlambat berangkat bekerja, mungkinAya sudah akan melontarkan kalimat sinisnya. Tapi kali ini Aya memilih memasnag senyum terpaksa, sangat kaku sampai Agas ingin tertawa. “Terserah.” ‘Terserah?” “Toh, aku gak bakal ketemu kakak lagi, kan?” Dalam kalimat itu, Agas menemukan nada sinis yang seakan tak tahan ingin keluar. Agas mengangguk mengerti. Apa lagi ketika Aya langsung melanjutkan jalannya dan meninggalkan Agas yang masih terpaku di tempat. Agas terkekeh geli. Sepertinya gadis itu tak semudah yang ia bayangkan. ** Masih dengan senyum riang, Agas Zidane Althaf menghampiri meja paling ujung di kantin tempat teman-temannya berkumpul. Davalah yang pertama kali sadar akan kedatangannya. Cowok dengan lesung pipi itu menggeser pantatnya agar Agas bisa duduk di samping. “Dari mana lo?” Satu pertanyaan belum terjawab, Deril sudah membubuhkan satu pertanyaan lain. “Lo tadi dicegat siapa, sih, di depan kelas?” “Jawaban dari pertanyaan lo-lo pada saling berkaitan. Gue abis berbincang-bincang asik bersama perempuan yang kemarin gue ceritain.” jelas Agas berlebihan. “Pffft.” Deril menahan tawanya. “Anjing, serius? Cewek yang tadi itu yang lo sukain?” Agas mengangguk dua kali. “Sumpah?!” tanya Dava ulang. “Tanya sekali lagi, gue cobekin mulut lo.” Deril tertawa lepas. “Yang bener? Kaget, anjrit.” “Hah?” Agas mengeryitkan dahi. “Apa, sih? Apa yang lucu?” “Gue baru tahu selera lo cewek kayak dia.” Agas mengernyit tak suka mendengar kalimat Agas. “Cewek kayak dia yang lo maksud kayak apa emang?” “Cupu bukan, sih? Pakai kacamata, kuncir satu, mukanya polos banget, gila. Bakalan beda banget sama cewek-cewek lo selama ini.” “So what?” tanya Agas keki sendiri. “Terus kenapa kalau dia cupu dan beda sama cewek-cewek gue selama ini? Bukannya karena itu gue bilang kalau dia emang istimewa. Dia beda dan dia bisa bikin gue jadi beda juga, kan?” Tahu bahwa tiba-tiba Agas sangat sensitif, Andi berdeham berusaha melerai sedangkan Dava hanya menjadi penonton santai. Andi menyikut siku Deril menyuruhnya diam. “Gak ada yang tahu juga, kali, perasaan kita bakal jatuhnya kemana. Kalau manusia bisa ngatur perasaan sendiri, mungkin dulu gue sukanya ke Farah, bukan Gisel.” ujar Dava mencoba menenangkan situasi. Ia menyebutkan contoh kecil dari kisah asmaranya dimana dulu ia sempat dekat dnegan perempuan baik bernama Farah. Menjali hubungan sebagai ‘teman dekat’ dengan gadis itu, Dava malah tiba-tiba jatuh cinra pada gadis seperti Gisel yang bar-bar. Deril mengusak rambut belakangnya. “Sori, sori. Gue gak maksud ngeledek apa gimana, anjir, sensitif amat lo kayak cewek. Gue cuman syok aja. Kontras banget, Sob.” “I know right.” “Jadi sekarang lo mau gimana?” Deril mengambil bakwan milik Dava. “Lo mau maju? Keliatannya, sih, agak susah kalau deket cewek pendiem, gitu.” “Iya. Judes banget lagi.” tambah Agas menggebu-gebu. “Tapi, no prob, lah. Baru kali ini juga ada cewek yang bikin gue deg deg ser.” “Gas aja, udah.” ujar Dava mengompori. “Lo tau? Kalau lo berhasil ngeluluhin cewek pendiem, pasti lo bakal ngerasa bangga sendiri di akhir. Soalnya kayak, apa yang lo perjuangin selama ini hasilnya worth it.” Agas diam merenung meresapi kalimat Dava. Sebenarnya cowok itu bukan tipe laki-laki yang mau berjuang demi seorang perempuan, jujur saja. Karena selama ini ia memang selalu menjadi pusat yang dikejar alih-alih mengejar sekalipun seharusnya kaum adamlah yang ambil peran. Maka dari itu, kini Agas merasa sangat clueless harus apa untuk memulai pendekatan dengan Aya Analisa. “Anjim, bisa mikir, lo?” ledek Dava dengan seringai geli disusul tawa dari yang lain karena Agas melamun. Laki-laki itu jadi menyeringai. “Gue sepokat, sih, sama kata lo yang tadi. I think she deserves to be loved.” “Yok, kak Agas, semangat!” seru Deril mengepalkan tangan seperti sedang berada di medan perang. Dava dan Andi tertawa. “Semangat, cuy!” “SEMANGAT!” **

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Rewind Our Time

read
168.6K
bc

Jodoh Terbaik

read
183.1K
bc

Symphony

read
184.7K
bc

The Perfect You

read
297.7K
bc

Maaf, Aku Memilih Dia!

read
230.5K
bc

My Sweet Enemy

read
49.1K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
39.9K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook