2. bapak punya pacar

4948 Kata
* * * previous chapter * * * Agas diam merenung meresapi kalimat Dava. Sebenarnya cowok itu bukan tipe laki-laki yang mau berjuang demi seorang perempuan, jujur saja. Karena selama ini ia memang selalu menjadi pusat yang dikejar alih-alih mengejar sekalipun seharusnya kaum adamlah yang ambil peran. Maka dari itu, kini Agas merasa sangat clueless harus apa untuk memulai pendekatan dengan Aya Analisa. “Anjim, bisa mikir, lo?” ledek Dava dengan seringai geli disusul tawa dari yang lain karena Agas melamun. Laki-laki itu jadi menyeringai. “Gue sepokat, sih, sama kata lo yang tadi. I think she deserves to be loved.” “Yok, kak Agas, semangat!” seru Deril mengepalkan tangan seperti sedang berada di medan perang. Dava dan Andi tertawa. “Semangat, cuy!” “SEMANGAT!” * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Ingatkan Agas untuk menandai kalendernya, bisa disebut hari ini adalah hari bersejarah sepanjang hidupnya. Ia akan mulai melakukan pergerakan untuk mendekati Aya Analisa. Agas sudah mengucap permintaan maaf pada Dava dan ketiga temannya yang lain bahwa hari ini ia tak bisa ikut nongkrong di tempat biasa. Ada hal yang lebih penting yang harus dikerjakan Agas saat ini dari pda sekedar ngopi dan mengobrol dengan tiga temannya. Agas bersyukur karena Pak Yud hari ini menyelesaikan pembelajaran lebih cepat jadi Agas bisa mengejar Aya agar tak pulang lebih dulu. Bodohnya, tadi pagi Agas lupa menanyakan kelas Aya. Ia hanya melirik badge  segi tiga di bahu kanan gadis itu yang menandakan bahwa Aya masih siswa baru, sedang berada di abngku kelas sepuluh. Tak heran jika Aya selalu memanggilnya dengan sebutan ‘kakak’ bahkan dari awal mereka bertemu. Tapi apakah ini berarti Aya sudah mengenal Agas dan tahu bahwa ia adalah siswa akhir tahun sehingga memanggil ‘kakak’? Atau karena wajah Agas memang terlihat tua? Laki-laki itu mempercepat langkahnya ke arah gerbang sekolah ketika dari belakang sosok yang ia tunggu sudah memunculkan batang hidung. Agas langsung mengambil ponsel di saku celananya, pura-pura sibuk dengan benda persegi panjang itu walapun matanya sering kali melirik Aya. Lalu ketika Aya benar-benar sudah dekat dengan jarak hanya sekitar tiga atau empat langkah   darinya, Agas langsung menoleh, berpura-pura seolah dia memang tidak sengaja menemukan keberadaan Aya. “Eh, halo?” sapanya pada Aya yang sibuk menunduk menutup resleting tas punggung yang ditaruh di depan dadanya. Aya mengangkat kepala, hanya singkat untuk melihat siapa yang mengajaknya bicara sebelum kemudian ia menunduk lagi. “Aya, kan? Yang tadi pagi balikin payung?” Aya membenarkan tasnya lalu melirik Agas. “Iya. Ada apa, Kak?” Ditanya begitu, Agas langsung panik. Ia memutar otak karena tak mempersiapkan jawaban jika ditanya begitu. Ada apa? Ada apa? Ada apa? Ya, kali, dia bilang kalau dia mau melancarkan aksi untuk pedekate, yang ada Aya langsung lari terbirit menatapnya ngeri. “Eum, lo ma—“ “Kak, sori, aku buru-buru mau pulang. Duluan, ya!” “Hah?” Agas mengerjap mata. “Loh, heh. Aya!” Tapi terlambat. Perempuan itu sudah masuk pada angkutan umum yang lewat di depan mereka, meninggalkan Agas yang masih terkejut karena ini adalah pertama kalinya ada perempuan yang tidak menghargainya. Bukan menghargai, sih, kaku amat bahasanya. Tapi Agas memang tak pernah diperlakukan seperti ini oleh semua gadis yang selama ini ia kenal. Agas berdecak sebal. Ia kembali merogoh ponsel yang padahal baru ia masukkan ke saku celana, mencari nomor salah satu teman satu ekstrakulilkuler dengannya yang dikenal sebagai pusat informasi sekolah. Bahasa kasarnya, mah, biang gosip. Usai suara ‘halo’ dari telepon terdengar, Agas langsung menjawab. “Tolong cariin informasi soal Aya, dong.” Di seberang sana, Gofur mengernyit. “Hah? Aya saha? Aya 12 IPS 4?” “Ck. Bukan. Aya...” Agas mengingat-ingat nama lengkap gadis itu yang padahal tadi pagi sudah ia lihat dari name tag di seragamnya. Tapi bodohnya Agas sekarang sudah lupa. “Aya siapa, ya, njing?!” “Lah, kenapa lo marahnya sama gue?!” balas Gofur jadi kesal. “Mana gue tau, Gas!” “Aya anak kelas 10 pokoknya. Pakai kacamata, putih, cantik, tipe cewek suka baca buku.” “Cupu maksud, lo?” “Suka baca buku!” teriak Agas pada Gofur karena tak terima Aya disebut cupu. Gofur mendengus. “Iye, gue cariin.  Bayarin jajan gue sebulan.” “Y.” * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Agas bukan tipikal manusia yang bisa sabar, semua orang juga tahu itu. Dilihat dari bagaimana Agas selain dikenal jadi tukang lawak, tapi juga emosian, seperti ketika ia baru memarkirkan motor besarnya di parkiran sekolah tapi tahu-tahu ada yang baru parkir di sebelah dan menyenggol spion miliknya, laki-laki itu tak segan melayangkan tinju. Bukan masalah uang, kalau kata Agas. Cuman tempramentalnya buruk banget. Begitu pula yang terjadi saat ini. Agas meminta Gofur menemuinya di salah satu tongkrongan malam yang jadi langganan laki-laki itu bersama Dava, Deril, dan Andi. Tapi kali ini tak ada tiga sohibnya, hanya ada ia dan Gofur. Baru Gofur duduk dan belum sempat mengucap salam pembuka, Agas sudah lebih dulu menyemprotnya. “Udah dapet apa aja?” Gofur menghela nafas. “Pesenin gue makan dulu. Lo kira gak capek ngebut pakai vespa dari rumah kesini cuman buat nemuin lo?” Agas sudah mau membalas Gofur dengan protesnya tapi ia urungkan, ingat bahwa Gofur pasti akan mengancamnya untuk tidak menuruti maunya. Jadi tangannya terangkat ke atas, melambai guna memanggil salah satu pelayan. “Pesen sepuas lo sampai kenyang asal informasi dari lo worth it banget.” Gofur menyeringai senang kemudian buru-buru membuka buku menu dan menyebutkan satu persatu makanannya. Agas menunduk, memilih menunggu Gofur dengan bermain ponsel saja. Iseng-iseng, ia membuka aplikasi i********:, berangkat ke kolom pencarian, kemudian mengetikkan nama Aya disana. Tapi nihil, dari banyaknya akun yang muncul, bukan Aya-nya yang ia temukan. “Gini, bro.” Agas mengangkat kepala. Ia emmajukan badan terlihat langsung menaruh seratus persen perhatian pada Gofur sampai laki-laki itu mendorong dahinya. “Jangan deket-deket juga, kali, Gas. Homo, lo.” Agas mundur lagi. “Cepet, njir.” Diamatinya Gofur yang mengeluarkan kertas dari saku jaket. Kertasnya sangat lusuh dan sudah kusut. Gofur membacanya sekilas sebelum kembali menatap Agas. “Aya Analisa, kan, yang lo maksud?” Agas langsung mengangguk cepat, juga langsung menggumamkan nama lengkap gadis itu beberapa kali agar terrekam dengan baik di kepalanya. “10 IPA 1, pinter, prestasi selangit, kebanggaan guru, punya banyak sertifikat lomba sebagai pemenang juara satu.” “Oke, yang lain. Kalau ngomongin otak dia, gue udah bisa nebak.” Gofur menunduk lagi, membaca catatannya. “Pendiem, tapi diemnya bukan yang culun gitu, loh, Gas. Dia diem tapi judes. Culun tapi gak bisa ditindas.” Agas mengangguk-angguk. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil kala mengingat bahwa Aya memang sejutek itu. “Dia siswa jalur beasiswa bantuan sekolah. Anak yatim piatu, tinggal berdua sama satu adik cowoknya.” Agas meneguk ludah, tak menyangka bahwa Aya dari keluarga tak mampu. “Serius lo?” Gofur mengangguk pasti. “Mana pernah gue kasih informasi palsu, Njing?” “Rumahnya dimana?” “Deket sekolah, tapi gue lupa cari alamat spesifiknya.” Agas mendengus. “Lanjut.” “Mandiri banget. Dia bahkan sekolah sambil kerja paruh waktu.” “Di?” “Di toko roti Althaf Bakery.” “What?!” Agas bahkan sampai menggebrak meja dan berdiri, bibirnya terbuka dengan mata melotot. Terkejut sempurna. Ketika sadar bahwa ia langsung jadi pusat perhatian di kafe tersebut, ia meringis dan meminta maaf tanpa suara pada beberapa orang di meja sekitarnya. Agas kembali duduk lalu memajukan wajahnya mendekat pada Gofur.  “Althaf Bakery, lo bilang?” Gofur menyeringai, sudah menduga dengan reaksi Agas kali ini. “Seneng gak, lo, dia kerja di toko punya nyokap lo sendiri?” Agas mengatupkan mulut,  mengerjapkan mata, tak tahu harus berkomentar bagaimana. Otaknya berputar cepat, memikirkan satu rencana yang tiba-tiba tercetus di kepalanya. Lalu tanpa berkata apapun lagi, dia beranjak dari kursi, menarik jaket yang ia letakkan di kepala kursi lalu menepuk bahu Gofur. “Thanks buat infonya. Gue cabut dulu.” “Loh, udah cukup, nih, segini doang info yang lo perluin?” “Yang lainnya lo Whats App-in aja.” Gofur mengangguk siap. “Btw, tumben selera ranjang lo cewek lugu begini?” “Bukan buat ranjang doang yang ini, buat seumur hidup.” Gofur tertawa. “Tahik.” * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Mamanya menaruh teh hangat dan selembar roti selai di depan Agas sebelum ikut duduk di seberang kursi. “Tumben ke rumah? Belum libur juga, ini.” “Ye, anaknya pulang, kok, malah gak seneng.” Sita tertawa. “Bukan gak seneng. Mama, kan, bingung. Kok tiba-tiba banget, gitu, loh. Biasanya nunggu libur panjang baru pulang.” “Sekalian lewat aja tadi.” “Gak nginep?” Agas menggeleng, masih dengan mengunyah roti. “Besok masih sekolah.” “Halah, biasanya juga telat, kalau gak gitu bolos.” Sang putra cengengesan. “Papa lembur, Ma?” tanyanya mengalihkan perhatian, lagi pula matanya baru menangkap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah delapan malam tapi ibunya di rumah sendirian. “Iya. Tapi kayaknya bentar lagi udah pulang. Jadi, ada apa gerangan sampai dibela-belain pulang ke rumah? Mau ganti mobil lagi?” “Kagak. Su’udzon mulu.” “Jadi?” Ia mengambil gelas teh hangatnya. “Mama kenal karyawan di Althaf Bakery?” Sita mengernyitkan dahi, bingung kenapa anaknya tiba-tiba membahas hal tidak jelas. Tapi wanita cantik yang usianya sudah kepala empat namun masih awet muda itu tetap menjawab.  “Althaf Bakery, kan, gak cuman satu. Kamu ngomongin yang mana?” “Yang di deket sekolahku.” “Oh...” ibunya mengangguk-angguk. “Karyawan disana banyak, kamu ngomongin yang mana?” “Aya Analisa. Karyawan kerja paruh waktu, sekolahnya sama kayak aku, adik kelas.” “Oh, Ana. Kenal, kenal. Dia satu-satunya karyawan kerja paruh waktu di Althaf Bakery.” Mata Agas berbinar. “Serius, tahu?” “Iya, tahu.” Mamanya mencolek pipi Agas. “Kenapa? Suka, ya?” Agas mengangguk tanpa ragu, membuat Mamanya langsung tertawa. “Beneran suka apa cuman mau main-main?” Sebenarnya, bagi Agas, punya ibu yang awet muda dan kekinian tidak hanya memiliki kelebihan, tapi juga kekurangan. Ibunya yang sangat modis dan tak ingat umur ini sangat suka mengkepoi urusannya. Sita selalu tahu apa yang diperbuat Agas di luaran sana, sekalipun hobi Agas keluar masuk kelab dan bermain perempuan. Tapi kelebihannya, Sita bisa mengerti. Ia hanya beberapa kali marah pada Agas atas kenakalan laki-laki itu tapi tidak pernah sampai mengusirnya seperti di sinetron-sinetron televisi. Kenapa tidak dimarahi? Karena ibunya hanya tahu Agas suka gonta-ganti perempuan untuk dipacari, bukan gonta-ganti perempuan untuk ditiduri. Kalau tahu, mungkin Agas langsung dicoret dari Kartu Keluarga dan ahli waris. Ibunya mengangguk-angguk. “Jadi, kamu mau apa? Mau mama jadi mak comblang? Gak bisalah, mama ini sekalipun jiwanya masih muda dan kece—“ “Enggak, Ma, elah.” “Eh? Terus apa, dong?” “Agas mau kerja disana juga.” “HAH?!” Agas mengangguk, meyakinkan mamanya bahwa wanita itu tak salah dengar. “Kerja, Gas? Kamu kesurupan iblis apa gimana? Disuruh ngelipet selimut sendiri aja gak mau malah kerja di toko roti?” “Siapa juga yang mau jadi karyawan?” Mamamnya semakin mengernyit. Kalimat anaknya terlalu banyak basa basi hingga ia gagal paham. “Terus?” Agas menyeringai. “Angkat jadi manager cadangan aja.” * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Sebenarnya banyak cara yang muncul di kepala Agas semenjak ia tahu bahwa Aya kerja di toko roti mamanya. Mulai dari ia ingin pura-pura miskin saja siapa tahu Aya kasihan padanya dan menerima aksi pendekatannya— tapi yang ini ia rasa Aya tak akan percaya. Bisa saja gadis itu tiba-tiba  menanyakan kepada teman sekelasnya lalu mereka malah menjabarkan bahwa Agas suka gonta-ganti mobil ke sekolah? Jadi Agas memutuskan untuk bekerja saja disana. Walaupun tidak ikut jadi karyawan, karena jujur saja ia memang tak siap disuruh-suruh, berkeringat, dan lain sebagainya— iya, Agas memang manja, tidak usah dipertegas— intinya laki-laki itu memilih jadi manager saja, yang untungnya sang ibu mengiyakan walau mereka harus berkali-kali berdebat karena Agas belum pernah punya pengalaman mengurus toko besar walaupun cabang apa lagi sudah ada manager pengurus tetap disana. Hal itu pula yang membawa Agas disini sekarang. Sore pertama usai pulang sekolah, ia bergegas melaju ke apartemennya tanpa sempat berpamitan pada para kawannya bahwa ia harus pulang dulu, kemudian mandi bebek dan mengganti pakaiannya dengan setelan jas rapi.  Baru ia hendak menekan tombol sidik jari di pintu agar terbuka, ponselnya berdering. Agas merogoh celananya tapi benda persegi panjang itu tak ada disana. Ia lalu berbalik bada, baru ingat bahwa ponselnya berada di saku celana sekolahnya. “Halo?” “Kamu udah berangkat atau masih di apart, Nak?” “Baru mau keluar pintu, Ma.” “Okay, kalau gitu. Mama udah bilang ke manajer tetap kalau kamu hari ini mau kesana buat check aja.” Agas mengangguk. “Tapi ruang manajernya bisa aku tempatin juga, kan?” “Asal gak bikin rusuh dan jangan otak-atik berkas.” “Siap, Madam.” * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Setidaknya laki-laki itu sudah mengingat beberapa hal informasi tambahan dari snag ibu mengenai Aya dan pekerjaannya. Agas kira gadis itu ditempatkan di bagian dapur mengingat kata Gofur, Aya memang pandai memasak. Tapi nyatanya, kerja paruh waktu yang dilakukan Aya hanya sebatas bagian pelayan di balik meja kasir.  Aya hanya bekerja dari pukul empat sore hingga pukul sepuluh malam di hari Senin hingga hari Jum’at, sedangkan di penghujung hari, Aya akan masuk mulai pagi pukul delapan tiga sore. Sambil bersiul, ia menyemprotkan parfum ke pergelangan tangan dan lehernya sebelum turun dari mobil. Ia memutar dan memainkan kunci mobil di di tangannya sembari membuka pintu, ia mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan, dari beberapa pengunjung yang asik berpencar di antara rak-rak roti, ia langsung menuju kasir, hanya ada dua karyawan disana; satu perempuan dan satu laki-laki, namun tidak ada Aya disana padahal seharusnya satu meja kasir terisi oleh gadis itu. “Mas Agas, ya?” tanya satu kasir perempuan dengan name tag  bernama Lusiana Sari. Agas tebak usianya sudah angka kepala tiga ke atas. Agas mengangguk membenarkan. “Iya saya Agas. Ibu sudah bilang kalau saya hari ini ke toko, kan?” “Sudah, Mas. Katanya mau checking, ya?” Agas mengangguk lagi. “Pegawai yang namanya Ay— Ana Ayalisa kemana?” “Oh, Ana. Dia belum dateng, Mas. Gak tahu belakangan suka telat dianya.” “Ya sudah, saya izin check gudang dulu, ya, Mbak Lusi.” ujar Agas sopan sembari melangkah mundur menjauh. Tapi langkahnya otomatis terhenti saat kemudian pintu utama terbuka dan sosok Aya sudah muncul. Gadis itu terlihat buru-buru masuk hingga tak menangkap keberadaan Agas. Padahal laki-laki itu sudah deg-degan sendiri. “Mbak Lusi, maaf telat lagi.” ujar Aya panik. “Anaknya Ibu Sita udah dateng, belum? Duh, aku takut di—“ “Ekhm.” Mbak Lusi sengaja berdeham kencang, menghentikan cerocos Aya, menyuruh gadis itu menoleh ke kiri. Aya mengernyit tapi tak urung tetap mengikuti perintah. Agas yang langsung ditatap lekat oleh Aya jadi tersenyum kaku. Tangannya terangkat, telapaknya terbuka. “Hai.” “Hah— Kak Agas?” “I am. Hehe.” jawab Agas cengengesan.  Benar-benar tak ada aura jadi manajer. “Oh, udah kenal?” tanya Mbak Lusi pada Aya. “Mas Agas ini anaknya Bu Sita, An.” * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Dengan seenak jidat, di hari pertama ia menginjak toko roti milik ibunya dengan jabatan sebagai manajer cadangan dan ‘abal-abal’, Agas meminta Ana untuk menemaninya keliling ruang per-ruang. Mulai dari ruang depan, sok mengecek stok roti di rak, masuk dapur, masuk ke gudang, dan lain sebagainya. Agas tahu Aya tidak nyaman berdua bersamanya begini, tapi Aya mana bisa menolak perintah atasan? Jadi dengan berjalan ringan dan berdampingan, Agas mulai memecah keheningan tanpa menoleh. “Aku baru tahu ada pegawai kerja paruh disini.” “Jelas baru tahu. Kakak gak pernah kesini apa lagi ngurusin karyawan.” Ini cewek. Batin Agas berdecak. Paling bisa bikin mati kutu. “Kamu kerja disini sejak kapan?” “Sejak masuk SMA.” “Nyaman kerja disini?” Kalau gak nyaman, gue bilangin nyokap biar kerjaan lo diringanin. Tambah Agas dalam hati. Aya berhenti tiba-tiba, membuat Agas disampingnya jadi ikut berhenti. Gadis itu menatap datar Agas, seperti sudah hafal dengan kelakuan laki-laki banyak basa-basi seperti dirinya. “Kenapa harus tanya-tanya soal aku mulu dari tadi? Bukannya kakak disini buat ngecek toko?” Skak mat. Agas menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia menunduk. Tapi kemudian ia pikir-pikir, tak seharusnya ia menciut hanya karena Aya selalu memojokkannya. Jika begini terus, pendekatan yang dilakukan Agas tak akan maju apa lagi membuahkan hasil. Jadi ia berdeham, perlahan kepalanya terangkat membuatnya terlihat songong. “Emang kenapa? Suka-suka gue, dong, mau nanya apaan? Emang salah kalau gue mau cari informasi soal karyawan gue?” “Aneh.” gumam Aya pelan namun masih bisa ditangkap oleh indera pendengaran Agas. Agas sudah bersiap membalas kalimat pedas gadis itu ketika dari arah dapur, muncul sosok laki-laki jangkung membawa nampan berisi dua buah roti yang sepertinya baru keluar dari pemanggangan. Cowok itu tersenyum sopan pada Agas sebelum mendekat pada Aya. “An, aku tadi iseng cobain resep baru. Rasa duren tapi ada tambahan kismis, gitu. Cobain.” Agas mengernyit mengamati kedua manusia di depannya yang asik bercengkerama. Apa lagi laki-laki tersebut terdengar sangat ramah. Aya juga mau-mau saja, bahkan langsung mengacungkan dua jempolnya dan tersenyum lebar memuji hasil olahan laki-laki itu. Agas berdecak. Alarm tanda bahaya di kepalanya sudah berbunyi. “Ekhm, bukannya gue, ya, yang harusnya ditawarin resep baru terlebih dahulu?” sindirnya pada karyawan laki-laki ber-name tag Chandra Senopati. “Bapak mau?” Agas melotot. “Lo kira gue umur berapa buat lo panggil bapak?” “Dia, kan, cuman mau bersikap sopan.” jelas Aya menengahi sekaligus jengah. Agas makin mendidih. Ini kenapa malah dibelain, sih, sama Aya? “Mas Chandra ada yang perlu dibantuin? Mumpung di depan lagi sepi aku bisa ke dapur dulu sekarang.” Chandra tersenyum. “Oke, ayo ikut ke dalem.” Aya menoleh pada Agas, mengulas senyum. “Aku kerja dulu, Kak.” Lalu Agas ditinggal dalam keadaan melongo tak percaya. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *  Di ruang kerjanya, Agas jalan mondar-mandir, menggigit bibir, otaknya berputar memikirkan cara apa lagi yang harus ia gunakan. Bahkan ini masih hari pertama, Agas tidak bisa menyerah begitu saja. Ia tahu quotes di i********: yang pernah ia baca, bahwa perempuan yang jutek dan hard to get memang lebih menantang. Aya Analisa adalah bukti nyata. Gadis itu sangat sulit diraih. Jangankan meraih, Agas hanya maju selangkah mendekat saja sudah dihempas jauh-jauh. Katakanlah Agas licik, tapi Agas tak peduli. Ia harus menggunakan kelemahan Aya agar gadis itu bisa melunak untuknya. Jadi dengan bur-buru, Agas meraih ponsel yang ia letakkan di atas sofa empuk. Jemarinya bergerak mencari nomor kontak, lalu menekan tombol hijau. “Ma?” “Halo, Gas?” “Iya, halo. Ada apa? Ada masalah di toko? Atau kamu udah balik ke apartemen?” “Agas mau ngurusin toko setiap hari.” Ibunya diam, tak menimbulkan suara sedikitpun sampai Agas menjauhkan ponsel dari telinga guna melihat layar, memastikan apakah sambungan telepon masih terhubung atau tidak. “Ma?” “Pak Fajar gimana kalau kamu ambil alih tanggung jawab dia?” Agas berdecak. Ini tidak semudah yang ia bayangkan. Benaknya sempat memerotes mengapa Agas harus berupaya segiat dan senekat ini hanya untuk meluluhkan perempuan seperti Aya sedangkan banyak perempuan lain yang mau membuka kedua kaki untuknya. Ck. Tapi Agas tidak mencari hal ‘itu’ pada diri Aya! “Pindahin ke cabang yang lain, kek. Atau gimana.” “Gak bisa, dong, Gas—“ “Ma...” rengek Agas, tahu bahwa ibunya tak akan menuruti permintaannya. Di seberang sana, Sita menghela nafas lelah. Jemarinya memijit pelipis, merasa pusing tiba-tiba karena putra semata wayangnya. “Mama tahu kamu sampai mau begini karena Ana. Tapi kamu masih muda, masih terlalu labil. Perasaan bisa berubah kapan aja. Masa’ mama mau ngorbanin masa depan toko cuman demi kamu yang tertantang ngedapetin cewek, doang? Lagi pula Ana perempuan baik-baik, bukan seperti mantan-mantan kamu sebelumnya. Mama gak mau dia sampai—“ “Nah. Mama tahu kalau Ana perempuan baik-baik, kan? Masa’ mama gak mau anaknya dapet calon istri perempuan baik?” “Calon istri— astaga, kamu ini mikirnya kejauhan!” Agas ingin menangis saja rasanya sembari bergulun-gulung di karpet. “Jadi mama tetep rela anaknya patah hati cuman karena kalah sebelum berperang demi satu cabang toko roti?” Sita rasa ia migrain. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * “Mbak Lusi.” Agas menghampiri wanita itu dengan sedikit berlari kecil. Mengingat ini sudah pukul setengah sembilan dan sebentar lagi sudah tutup, maka dari itu banyak pegawai yang sudah mulai membersihkan dapur dan merapikan rak. “Iya, Mas Agas?” “Tolong infoin ke semua pegawai, jam setengah sepuluh semuanya harus berkumpul di ruangan saya. Ada yang mau saya omongin.” Lusiana mengangguk. “Oke, Mas.” Agas tersenyum. Ia mengedarkan pandangan, mencari sosok cantik yang sekarang berhasil mengambil sembilan puluh persen isi kepala Agas. Tapi mengingat toko roti milik ibunya bukan toko kecil, yang mana artinya ruangan sangat besar, jadi Agas menghela nafas, memilih menyerah mencari Aya dan kembali ke ruangannya. Agas tidak pernah merasakan waktu berjalan sangat lambat selain malam ini. Ia mengetuk meja dengan bulpoin tak sabaran. Menunggu pukul setengah sepuluh rasanya menunggu setahun. Ia tak sabar bertemu dengan Aya. Astaga, seseorang perlu memukul kepala Agas saat ini juga agar sadar bahwa semenjak jatuh cinta pada Aya, laki-laki itu berubah jadi seribu kali lebih lebai dari biasanya. Ia mengambil ponselnya, mengecek benda persegi panjang yang sedari sore tak ia pedulikan padahal sudah jelas banyak pesan masuk. Tapi ia tebak tidak ada pesan yang penting. Dan benar. Ada banyak sekali notifikasi hadir di ponselnya usai ia menghidupkan jaringan Wi-Fi. Beberapa di antaranya datang dari para wanitanya, beberapa yang lain dari grup kelas, grup ekstrakulikuler, grup ini dan itu, tapi jemarinya berhenti untuk membuka pesan dari grupnya berempat bersama teman-temannya. Agas and The Monkeys   Dava Garda E gue sama Andi lagi di Mak Ijah Deril A. Zain ngaps Dava Garda E nongki aje sini dah Deril A. Zain gue lagi kelon sama Shara Dava Garda E setan lo Agas mana kagak biasanya gak muncul begini Deril A. Zain mungkin sedang kelon juga? Agas Zidane A kelan kelon kelan kelon ada apa babang tamvan mencari saya? apakah rindu mulai tumbuh? Dava Garda E ke Mak Ijah gas yakali gue kayak dinner candle light sama Andi doang mati lampu disini Agas Zidane A mmf kk ak gbs lg krj Deril A. Zain halah kerja paan mendaki gunung melewati lembah? Agas Zidane A aku benci pikiranku :( Andi Pramana astaghfirullah Agas Zidane A HAHAHAHAH   Tok tok tok! Suara ketukan pintu yang terdengar beberapa kali dengan suara sopan Lusiana membuat Agas dengan cepat mematikan ponselnya, menaruh di laci, lalu merapikan kerah dan rambut. “Masuk.” Senyum Agas mengembang lebar ketika di belakang Lusiana ada pujaan hatinya. Aya Analisa masih terlihat sangat cantik dengan peluh keringat di pelipis, dengan raut lelah namun juteknya tak ketinggalan, juga kacamata yang membingkai indera penglihatannya. Beberapa karyawan yang lain juga masuk, hingga ada tiga shaf membentuk barisan, membuat Agas sedikit merasa tak enak karena merasa bossy sedangkan yang lainnya menunduk, mungkin takut untuk menatapnya atau apa, ia tak tahu. Hal yang ia syukuri adalah Aya memilih berdiri di barisan depan, membuat Agas leluasa mengamati gadis itu. Tapi hal yang ia tak syukuri adalah keberadaan Chandra Senopati di samping gadisnya, membuat Aya terapit di tengah di antara Chandra dan Lusiana. “Selamat malam semuanya.” sapa Agas sebagai pembuka yang dibalas serempak oleh para karyawan. Tentu saja Aya pengecualian. Gadis itu menunduk dengan kaki yang bergerak-gerak random. Agas menunduk guna menyembunyikan kekehan kecilnya. Lama kelamaan Agas bisa ambil kesimpulan bahwa dibanding menyebut Aya Analisa seorang cupu dan pendiam, gadis itu lebih pantas disebut judes dan antagonis walaupun berkacamata. Hei, memangnya manusia berkacamata tak bisa memasang wajah bak Adriana di Anak Jalanan? Aya bisa. “Saya gak akan ngomong banyak apa lagi menyita banyak waktu kalian, mengingat ini juga udah malem banget.  Saya hanya menginfokan bahwa mulai hari ini, saya akan menggantikan Pak Fajar sebagai pemegang dan penanggung jawab atas cabang Althaf Bakery. Jadi, saya memohon kerja samanya kepada para karyawan disini, agar tetap menaati peraturan yang ada dan tetap sportif, jujur, serta bertanggung jawab. Ada pertanyaan?” Ada empat karyawan yang mengangkat tangan. Tiga di antaranya adalah pegawai perempuan dan satu laki-laki. Agas mengangguk mempersilahkan. Laki-laki tersebut menurunkan tangan. “Kalau boleh tahu, mengapa sangat mendadak, Pak? Karena biasanya setiap ada pergantian pegawai di Althaf Bakery maka satu minggu sebelumnya akan diumumkan.” Agas ingin sekali menjawab ‘suka-suka gue’ atau ‘gue mau deketin Aya’ secara spontan, tapi emngingat mamanya sudah mewanti-wanti agar Agas bersikap santun dan profesional, akhirnya Agas memilih jawaban lain. “Saya juga tidak tahu. Kalian bisa menanyakan pada Ibu Sita sendiri jika bertemu.” Tepat. Agas memang pandai mencari jawaban. Batinnya bangga. “Pertanyaan yang lain?” “Apakah ada pergantian jadwal, Pak?” tanya salah satu pegawai perempuan yang lain. Agas menggeleng. “Enggak, atau mungkin belum. Kalau memang akan ada pergantian atau perubahan jadwal dan peraturan, saya pasti akan menginfokan kepada Mbak Lusi atau langsung seperti ini.” jawabnya lugas. “Yang lain?” Agas mengedikkan dagu menunjuk salah satu perempuan yang tadi ia ingat sempat mengacungkan tangan. “Ya?” “Pak Agas sudah menikah?” What the hell. Agas tahu ia tampan dan ia tebak gadis ini menyukainya— lagi pula siapa perempuan yang tak menyukainya? Oke, Aya pengecualian lagi. Tapi apakah Agas terlalu tua sampai-sampai dianggap sudah menikah? Agas menggeleng cepat. “Belum. Saya belum menikah. Pertanyaan lain?” “Bapak punya pacar?” Anjrit betul. Ia melirik Aya sekilas, yang dilirik malah mengangkat satu alisnya. Mungkin bertanya lewat tatapan, “ngapain lo ngeliatin gue?” gitu kali, ya. Agas hanya tersenyum kalem, tak berniat menjawab. “Oke, saya rasa semuanya sudah jel—“ “Mau bareng aku aja pulangnya? Aku mau ke rumah Bude, jadi searah.” Samar-samar, Agas bisa mendengar percakapan dua manusia di depannya. Siapa lagi kalau bukan Chandra dan Aya? “Oke, boleh, deh.” * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN