3. sengaja bikin kesal

4871 Kata
* * * previous chapter * * * “Bapak punya pacar?” Anjrit betul. Ia melirik Aya sekilas, yang dilirik malah mengangkat satu alisnya. Mungkin bertanya lewat tatapan, “ngapain lo ngeliatin gue?” gitu kali, ya. Agas hanya tersenyum kalem, tak berniat menjawab. “Oke, saya rasa semuanya sudah jel—“ “Mau bareng aku aja pulangnya? Aku mau ke rumah Bude, jadi searah.” Samar-samar, Agas bisa mendengar percakapan dua manusia di depannya. Siapa lagi kalau bukan Chandra dan Aya? “Oke, boleh, deh.” Agas berdeham agak kencang sambil mengalihkan pandangan ke arah kerumunan yang lain. Pura-pura tak mendengar apapun. “Kalian boleh pulang sekarang. Kecuali Aya Analisa.” Semuanya kompak mengangkat kepala, mungkin heran, bingung, dan bertanya-tanya. “Eung— ada yang mau sama bicarakan mengenai mesin kasir milik kamu.” lanjutnya sambil menatap Aya yang terlihat tak percaya. Dalam hati berdoa semoga tak ada karyawan yang curiga. “Tapi Ana—“ “Kamu bisa pulang duluan.” jawab Agas memotong kalimat Chandra. “Tunggu apa lagi?” tanyanya skeptis ketika tak ada satupun orang yang bergerak dari sana. “Selain Aya Analisa, yang lain sudah bisa meninggalkan ruangan.” Aya menghela nafas kasar. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * “Aku bisa pulang sendiri, Kak.” Adalah jawaban Aya Analisa untuk kesekian kalinya pada pertanyaan dan permintaan Agas yang kesekian kalinya pula. “Ya, emang kenapa, sih, kalau ngeiyain ajakan gue? Lo takut gue culik?” Aya menggeleng kemudian mengangguk. “Gimanapun Kak Agas orang asing. Aku gak kenal-kenal amat.” “Maka dari itu, ayo kenal lebih deket.” jawab Agas nyeleneh. “Gue baik, kok, orangnya.” Aya menahan diri agar tak memutar bola matanya menunjukkan kejengahan. “Lagi pula elo masa’ mau pulang sendirian, sih, malem-malem gini? Mending sama gue, lah.” “Aku pulang sendiri juga karena Kakak nyuruh Mas Chandra duluan.” Iya, sih. Tapi, kan, gue emang sengaja. Batin Agas tak berani menyuarakan. “Udah balik sama gue aja. Lo bisa pegang KTP gue kalau emang takut gue apa-apain.” Aya mengangkat lengan tangannya, menatap jam biru laut miliknya. Sudah larut. “Fine.” Yes! Agas buru-buru membukakan pintu mobil sebelah kiri untuk Aya yang lnagsung didahului gadis itu. “Aku bisa sendiri.” ujar Aya tegas kemudian masuk mobil membuat Agas merengut. “Oke.” Ternyata rumah Aya memang dekat, gadis itu tak berbohong ketika menolaknya tadi dengan alasan bahwa ia bisa jalan kaki saja. Jarak antara toko roti dan sekolahnya dengan rumah Aya hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit menggunakan mobil. Agas berdecak. Niatnya untuk banyak mengobrol dalam rangka aksi pendekatannya jadi gagal karena tak punya waktu banyak. “Belok kanan.” titah Aya yang diangguki Agas dengan patuh. “Besok sekolah, kan?” Aya mengangguk. “Kecuali kalau besok tanggal merah.” jawabnya sarkas. Agas meringis. Ya Tuhan, mengapa gadis ini jutek sekali? Agas hilang akal. Tapi suara Dava tiba-tiba muncul di kepalanya. Saran sohibnya itu selalu jadi patokan Agas dalam bertindak. “Gas aja, Gas. Jangan mau kalah atau menciut cuman karena dia nolak at the first place. Cewek emang selalu jual mahal, maunya dikejar. Jadi lo yang harus jadi pembeli yang mau nawar harga di atas rata-rata biar dia bilang iya.” Kalimat Dava ada benarnya, tak ada alasan bagi Agas untuk tak menurutinya. Ia mau Aya dan ia tak mau kalah apa lagi menciut karena itu sangat bukan Agas. “Besok gue jemput mau?” Aya menoleh cepat, menatap cowok itu horor membuat yang ditatap jadi merinding. “Berhenti.” kata Aya tiba-tiba. Agas langsung menginjak rem panik. “Hah? Kenapa?!” “Rumahku masuk g**g ini.” Oh. Astaga. Agas kira Aya minta turun hanya karena Agas menawarkan jemputan untuk besok ke sekolah. Laki-laki itu merutuki perjalanan mereka berdua yang terlalu singkat. Hei, Agas butuh banyak mengobrol! Gadis itu melepas sabuk pengamannya. “Besok mau gue jemput, gak?” tanya Agas mengulang. Aya menggeleng sopan. “Enggak usah. Makasih buat tumpangannya malam ini.” seiring dengan gadis itu membuka pintu mobil, ia menatap lekat Agas. “Dan buat apapun yang direncanain Kakak, maaf banget, aku gak minat. Mending Kak Agas berhenti mulai sekarang.” * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Bayangkan bagaimana rasanya jadi Agas. Laki-laki itu tak pernah mengejar perempuan, baru kali ini. Dan di hari pertama percobaannya berusaha mengambil hati gadis yang ia sukai, gadis itu sudah menyuruhnya mundur. Ia kalah sebelum berperang. Jangan tanya bagaimana hati Agas sekarang. Bukan patah hati seperti ketika Deril putus dengan Shara dulu, tapi ada yang nyeri dalam hatinya. Ia bukan marah, ia hanya... sedih. Itu juga faktor penyebab yang membawa Agas, di malam pukul setengah sebelas, memutuskan untuk pergi seorang diri ke Cocola Club, kelab malam yang memang jadi langganannya sejak satu setengah tahun yang lalu. Sebenarnya ia bisa saja mengajak Dava mabuk malam ini, tapi entahlah, Agas hanya butuh waktu sendiri. Ia juga ehran kenapa ia bisa sampai begini padahal bukan rasa sayang yang ia berikan pada Aya, belum sejauh itu. Tapi hatinya mendung kini. “Whisky? Tequila?” tawar cowok di balik meja bar, teman Agas setiap kali ia mampir ke kelab disana. Agas menggeleng. “Wine aja.”  “So what’s bring you here tonight?” Harris mengangguk. Tangannya bergerak lincah menuangkan botol ke gelas, menyerahkannya pada Agas yang menyambut dengan malas-malasan. “Emang gue biasanya kesini kalau ada apa-apa doang?” Harris tertawa. “Iya juga, sih. Tapi kayaknya malem ini beda. Muka lo pait banget?” Agas mengusap wajahnya kasar, tangannya bergerak melakukan yang sama pada belakang kepalanya. “Keliatan emangnya?” “Iya. Kenapa lo? Tumben parah. Biasanya lo ke kelab cuman mau ngangetin burung.” “Anjing.” Agas tertawa. “Masalah cewek.” “Lah? Demi? Seorang Agas? Mikirin cewek sampai ke kelab?” Harris berdecak sambil menggelengkan kepala tak percaya. “Super, dong, ceweknya?” Agas mengangguk membenarkan. “Super.” “Kenapa, kenapa? Sini, dah, cerita.” “Anjir, kayak cewek aja lo nyuruh-nyuruh cerita.” Agas meneguk minumannya. “Gue lagi suka sama cewek. Anjritlah, lo ngerti, kan, Ris, gue kagak pernah suka cewek pake hati?” Harris mengangguk. “Ini beda. Gue beneran suka sama dia. Hari ini gue muli PDKT-in dia. Dan barusan gue abis nganter dia balik, dia udah ngomong kalau dia gak minat sama apapun yang gue rencanain.” “... Lo belum apa-apa udah ditolak?” “Jangan diperjelas.” “Gokil,” Harris terbahak. “Secantik apa dia sampai berani nolak elo?” “Ck. Cantik luar dalem kalau yang ini, mah.” “Lah? Udah pernah lo coba?” “Mata lo.” umpat Agas. “Dalem hatinya, g****k, maksud gue. Hatinya. Karakternya.” “Halah, tahik, bahasa lo.” “Serius.” Harris diam, tangannya mengetuk-ketuk meja bar sebelum berujar. “Kalau menurut gue......” Kemudian yang keluar dari bibir laki-laki itu adalah hal yang sama persis dengan yang keluar dari mulut teman-temannya; Deril, Andi, dan Dava. Bahwa apapun yang terjadi, Agas tak boleh meyerah. Sudahnya kodratnya laki-laki harus berjuang dan menunggu hingga perempuan melunak dan mau membuka hatinya. Agas menghela nafas serya memejamkan mata. Ay, semua temen gue dukung, ini artinya gue gak boleh nyerah gitu aja, kan? * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Saking bodohnya Agas dalam hal percintaan, semalaman ia tak bisa tidur padahal ia sudah berada di bawah pengaruh alkohol. Jangankan tidur, usai ia pulang dari Cocola Club dan menyetir ke apartemen, lalu merebahkan punggung di apartemen, Agas kira juga bisa tertidur, namun yang ada otaknya malah kembali mencari cara menaklukkan sosok Aya Analisa. Tak peduli bahwa jam sudah menunjukkan pukul satu malam dan ia harus segera tidur karena esoknya harus berangkat ke sekolah, Agas memilih untuk membuka ponsel, menekan fitur Google disana dan untuk pertama kalinya dalam tujuh belas tahun ia hidup di dunia, ia membaca artikel berjudul 11 Cara Ampuh Menaklukkan Hati Wanita yang Cuek dan Jutek. Gila. Agas memang sudah gila. Matanya mengerjap-erjap membaca poin pertama yang bertuliskan: jangan agresif, lakukan PDKT secara pelan-pelan. Memorinya seketika kembali terputar bagai memori rusak. Apakah selama ini ia salah langkah? Apakah ini yang membuat Aya menjauh bahkan menolaknya secara langsung padahal ia belum melakukan pergerakan berarti? Karena Agas terlalu agresif? Berbekal pengetahuan di poin pertama tesebut, Agas memaksa membuka matanya padahal keinginanya untuk membolos sekolah hari ini sangat besar. Ia sampai di sekolah pukul enam pagi. Sengaja. Niatnya ingin menunggu Aya hingga gadis itu muncul. Karena seorang Aya Analisa tak mungkin berangkat siang apa lagi terlambat, kan? Tebakannya seratus persen benar ketika Agas masih asik nongkrong di pos satpam bersama Pak Bud selaku satpam sekolah. Sebenarnya, mereka berdua adalah musuh bebuyutan mengingat Pak Bud selalu ekki dengan kelakuan Agas yang suka berangkat sekolah seenaknya. Masuk jam enam lebih empat lima maksimal pukul tujuh, Agas seenaknya datang ja,m tujuh lebih, jam delapan, atau bahkan jam dua belas siang ketika istirahat panjang. Tapi jika sudah nongkrong berdua dengan kopi hitam dan rokok, tentu percakapan hangat dan seru mengalir di antara mereka berdua seperti saat ini. Agas langsung menekan ujung rokoknya ke asbak sbeelum beranjak. “Saya duluan, ya, Pak.” “Lah? Mau kemana? Kopinya belum juga abis.” “Cewek saya udah dateng.” Pak Bud mengangguk-anggukkan kepala saja. Tangannya mengibas menyuruh Agas pergi. “Ya udah, sana. Makasih banyak, loh, udah beliin rokok sama kopi.” Agas tertawa. “Gak gratis, Pak. Kalau besok saya telat jangan dibilangin Kepala Sekolah.” “Dasar gendeng.” Agas berlari kecil menghampiri Aya yang berjalan tenang sambil menunduk. Laki-laki itu melambatkan tempo langkahnya ketika sudah berada di belakang punggung Aya. Sengaja agar Aya tak sadar akan kedatangannya. Salah. Nyatanya Aya sudah menoleh ke belakang dan menatap Agas nyalang. Agas mundu satu langkah. Setakut itu memang laki-lai dengan notaben buaya darat ketika di hadapan Aya. “Ngapain, Kak?” Suaranya datar, matanya menghunus tajam pada Agas. Laki-laki itu berdeham, membenarkan tas punggungnya lalu menyengir. “Hei! Selamat pagi!” Idiot. Agas memang i***t. Aya menghela nafas lalu kembali melanjutkan langkah tanpa memperdulikan Agas yang kini jadi jalan cepat dan mengejar Aya. “Gue tebak hari ini lo ada jadwal piket.” ujar Agas tiba-tiba dan sok kenal. Tak tertebak, Aya mau menanggapi kalimat Agas. “Kok tahu?” Agas menyeringai dalam hati. Bagaimana ia tak tahu jika Gofur selalu memberinya informasi tentang Aya Analisa sekalipun hal sekecil ini. “Eum, nebak aja, sih.” jawabnya bohong. Aya diam lagi. Ketika keduanya sudah berada di lobi, yang seharusnya Aya belok kanan dan Agas belok kiri, laki-laki itu tidak melakukannya. Aya jadi berhenti dan Agas dibelakangnya juga ikut berhenti. Beruntung sekolah masih sangat sepi, jadi Aya tak perlu sungkan untuk berlaku jahat pada kakak kelasnya ini. Mereka berdua bahkan hanya menemui dua siswa saja selama perjalanan dari pos satpam ke dalam sekolah. “Ruang kelas dua belas ada disana, Kak, kalau kakak lupa.” ujar Aya dengan emnunjkkan lorong belok kiri. Agas mengangguk. “Inget, kok.” “Jadi?” “Eum...” mata Agas berputar kesana kemari mencari alasan. “Jma segini kelas gue masih sepi. Jadi, gue mau ikut ke kelas lo aja. Boleh, kan?” Persetan dengan poin-poin yang ia baca semalam dan melarangnya bertindak agresif. Agas Zidane Althaf tak bisa begitu. “Gak bo—“ “Gue bantuin piket, deh!” potong Agas cepat, tak ingin mendengar penolakan Aya untuk yang kesekian kalinya. Bodo amat dengan kemampuannya membersihkan ruangan yang terhitung nol persen. Memegang sapu saja hanya beberapa kali dalam tujuh belas tahunnya. Jadwal piketnya sendiri di kelas saja tak pernah ia kerjakan, hanya menyumbang uang ke koordinator kelas sebagai ganti. Eh, sekarang malah menawakan bantuan piket pada orang lain. Yang benar saja, Gas! “Kak. Kemarin malem aku udah bilang—“ “Gue gak mau.” sela Agas kedua kalinya. Ia benar-benar tidak suka gadis itu mengingatkannya pada malam kemarin dimana ia tertolak menyakitkan padahal pertarungan belum dimulai. “...” “Gue gak mau berhenti seperti yang lo bilang kemarin.” Agas tahu, ini terlalu pagi dan udara terlalu sangat disayangkan jika meeka berdua harus berdebat dan melakukan obrolan berat seperti ini. Tapi Agas rasa Aya harus tahu bahwa ia tak main-main. “Gue... gak bisa, dan gue gak mau.” ulangnya. “Bahkan gue belum memulai apapun, Aya. Kenapa lo nyuruh gue mundur?” “Kakak mau apa? Apa yang kakak harapin dari aku?” “Lo tahu jawabannya.” “Dan aku menolak masuk ke dalam rencana kakak. Cari perempuan lain yang tertarik sama permainan Kak Agas.” Aya kembali bersiap meninggalkan Agas lagi, ia sudah hendak memutar badan ketika Agas langsung menarik lengan Aya dengan cekaatn. Mata dibalik kacamata Aya terlihat benci situasi ini. Seperti risih dan tak nyaman. Tapi Agas bersumpah ia tak akan mundur. Ia tak mau kalah hanya karena gertakan gadis itu. “Lo tahu apa soal rencana gue? Lo tahu apa soal perasaan gue?” tindas Agas, emosinya hampir meledak karena gadis itu seolah meremehkan perasaannya. Memangnya, Aya pikir Agas mau harus tiba-tiba menyukai perempuan yang tidak menyukai dirinya? Jika Agas bisa memilih dan mengatur perasaan, ia tak akan menjatuhkan hati pada perempuan asing yang juteknya setengah mampus. “Lo gak bisa maksa gue mundur padahal gue gerak maju selangkah aja belum. Lo bahkan belum cukup kenal gue siapa, tapi dengan semena-menanya, lo nge-judge gue seolah gue terlalu sampah buat deketin cewek kayak lo.” Aya membuka mulutnya sedikit, terperangah tak percaya bahwa Agas bisa mengeluarkan kalimat sekasar itu pada perempuan. Ia tertawa kecil, jenis tawa sinis yang mampu membuat Agas sadar bahwa yang abru saja keluar dari bibirnya memang bisa menyakiti hati gadis itu. Agas bodoh. “Siapa yang gak tahu Kak Agas? Semua siswa SMA Delite juga tahu siapa Agas Zidane Althaf!” balas Aya jadi menaikkan intonasinya, “Aku, Aya Analisa, sama sekali gak tertarik menjalin suatu kedekatan apapun sama kakak.” “Ay...” “Aku gak mau, Kak. Aku gak ada waktu buat ngurusin beginian.” “Lo bahkan belum kasih gue kesempatan, Ay. Gimana lo bisa meragukan apapun yang akan terjadi di depan kita?” “Apa yang kakak harapin? Ini gak bakal jalan kemana-mana.” “A—“ “Stop.” Aya berseru. Gadis itu marah. Ia tak suka orang lain melewati batas dindingnya pada kehidupan Aya apa lag sampai berai mengatur. “Jangan. Ikutin. Aku. Lagi.” “Ay— Aya!” Tapi lagi-lagi, Agas gagal. Gadis itu benar-benar menutup akses untuk Agas. Aya Analisa benar-benar tak mengizinkan Agas mendekat. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * “Goblok.” “Sumpah tolol.” “Lo cuman pinter di ranjang, kelakuan lo ke cewek bener-bener nol besar!” Satu persatu u*****n dilayangkan oleh Andi, Deril, dan Dava kepada Agas. Mereka berempat tengah berada di kantin saat ini usai menyelesaikan setengah jam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Tadi pagi, Deril dan Dava yang datang lebih dulu dari Andi apa lagi keduanya datang bersamaan karena Dava nebeng Deril, terkejut setengah mati karena Agas sudah terduduk anteng di bangkunya pada pukul setengah tujuh. Agas sejarang itu datang pagi. Apa lagi jika biasanya Agas akan ramai sendiri dan biang bikin heboh di kelas itu tiba-tiba diam dan murung, Deril dan Dava jadi ngeri sendiri. Maka dari itu, sebelum bel istirahat pertama dibunyikan, keduanya sudah mobal keluar dari kelas. Dava, Deril, dan Andi tentu tidak mau jadi teman yang diam saja ketika tahu ada yang berbeda dari salah satu sohib mereka. Akahirnya, mengalirlah semua keluh kesah Agas pagi ini. Bagaimana semalam ia sudah tertolak oleh Aya, lalu pergi ke kelab sendirian, berakhir tadi pagi ia kelepasan menyakiti Aya dengan kata-katanya dan kini Agas menyesal setengah mati. “Parah, sih, Gas.’ tambah Andi. “Lo ngomong kasar aja cewek bisa ilfeel, malah pake acara bentak-bentak.” Agas masih diam. Tangannya bergerak mengusak rambutnya membuat makin ebrantakan. “Iya, terus gue gimana, anjeeeeng?” “Minta maaf, t***l!” “Caranya?” Deril melongo. “Lo amnesia sampai kagak ngerti cara minta maap?” “Maksud gue, nih, gue harus gimana minta maafnya, tahik! Dia aja marah sama gue. Dia gak mau gue muncul lagi di depan mukanya.” Keempatnya diam. Mungkin kehilangan kata-kata. Bagaimanapun, perempuan adalah makhluk paling tak bisa ditebak dengan mudah. Laki-laki harus pandai mencari celah kelemahan perempuan agar hubungan mereka membaik usai diterjal badai. Halah, hubungan apaan? Temenan aja kagak. Batin Agas mencemooh diri sendiri. Dava asik memasukkan batagor ke dalam mulutnya, sesekali matanya beredar mencari keberadaan sosok kekasih yang tak kunjung terlihat di kantin. “Dapa, nih, biasanya yang ada ide.” ujar Andi ketika Agas menatapnya dengan iba meminta saran. Dava menoleh sambil mengunyah. “Lah, kok gue? Gue sama Gisel, mah, jarang berantem. Rumah tangga gue jauh dari segala batu, kerikil, hujan, dan badai.” Agas dan Deril memutar bola mata jengah. Antara setuju dan tak setuju. Pasalnya, di antara hubungan teman-temannya yang lain, Gisel dan Dava memang jarang bertengkar. Dava tidak pernah mempermasalahkan kesalahan apa lagi memperbesarkan masalah dan Gisel juga tipe yang cuek tapi dewasa. “Tapi gimanapun, setelah Andi, yang bisa diandelin beginian emang elo, Dap,” ujar Agas. “Masa gue minta tolong sama Deril yang tololnya sebelas dua belas sama gue?” Deril keselek. “Apaan nyama-nyamain sama gue? Gue mah, lebih-lebih, dari elo. Lebih cakep, nilai gue masih lebih tinggi dari lo, geu lebih rajin, dan sekalipun lo kata gue b**o soal cinta-cintaan, faktanya gue bisa bikin Cala balik ke gue. Lah elo? Baru pertama gerak aja udah ketolak.” “Bacoooot.” “Gini, dah, gini.” Dava m******t saos di telunjuknya membuat Andi berjengit geli. Agas merengsek maju siap mendengarkan. “Lo bilang dia kerja di toko roti nyokap lo, kan?” Agas mengangguk tiga kali. “Dari kemarin juga lo udah infoin kalau lo bakal ambil alih kantor?” Agas mengangguk lagi. “Lo harus banyak turun tangan, Gas. Jangan cuamn manajer yang kerjaannya mantau doang. Turun tangan. Banyak bantuin dia, pakai inisiatif lo sendiri, lah. Cewek kayak Aya—“ “Ana.” ralat Agas. Dava melirik sinis. “Iya, cewek kayak Ana bakal luluh sama sesuatu yang bikin dia terharu. Dia bakal liat cowok dari sisi tulus atau enggaknya. Bukan gresif-agresif doang tapi kelakuan kayak setan.” Deril menjetikkan jemarinya tanda setuju. “Bener banget, sih. Gue setuju. Tulusnya elo yang bakal bikin Aya luluh.” Agas Zidane Althaf dan sebuah ketulusan harus bisa jadi teman baik mulai detik ini. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Agas tak menemukan keberadaan Aya ketika pulang sekolah. Padahal laki-laki itu sudah menunggui gerbang sekolah, memastikan Aya tak akan lolos dari pandangannya, namun nihil. Ia gagal lagi. Jadi seperti kemarin, ia harus terburu-buru ke apartemen, mandi bebek lagi, dan mengganti pakaiannya menjadi lebih rapi lalu berangkat ke Althaf bakery. Ingatkan Agas agar nanti malam menaruh beberapa pakian di mobil saja agar ia tak perlu pulang ke apartemen hanya untuk ambil baju. Agas membuka pintu utama dan menemukan Aya yang sedang menaruh beberapa stok roti ke dalam rak. Perempuan itu sempat menoleh ke arahnya sebelum kembali tak memperdulikan keberadaan Agas. Laki-laki itu menghela nafas, membaca doa dalam hati, lalu melangkah mendekat usai membalas sapaan beberapa karyawan. “Gue bantuin.” ujar Agas setelah berdiri tepat di samping Aya. “Gak usah.” Tapi Agas tak peduli. Ia akan pura-pura tuli setiap kali Aya melakukan penolakan. Laki-laki itu merebut kardus di tangan Aya. Lalu memindahkan satu persatu roti ke dalam rak. Aya diam. Kali ini tak mengelak atau membantah. Agas tebak gadis itu hanya sedang menahan jengkelnya saja karena Aya tak mungkin akan marah-marah di tengah para pengunjung begini. Mereka berdua melakukan pekerjaan dalam diam. Sampai roti di dalam kardus habis, Aya akhirnya meninggalkan Agas seorang diri. Dan Agas masih tetap Agas yang mengikuti Aya dari belakang. Ternyata gadis itu menemui Chandra. “An.” panggil cowok dari arah berlawanan. Cowok itu benar-benar bau roti. Harum roti panggung tercium jelas dari kausnya. “Bisa minta tolong ambilin kardus mentega di gudang?” Aya mengangguk. “Oh, oke, Mas.” “Sama selai nanas, ya!” Aya mengangguk lalu pergi. Chandra yang baru menyadari keberadaan si bos langsung tersenyum menyapa. “Sore, Pak.” Agas mengangguk. “Sore. Lain kali, kalau mau ngambil barang berat, jangan nyuruh pegawai cewek.” Belum sempat Chandra menjawab apapun, Agas sudah beranjak dari sana. Ia melangkah ke arah gudang dan menemukan gadis itu sedang berjinjit mencoba meraih sesuatu di rak paling atas. Agas berdeham. “Butuh bantuan?” Aya menoleh lalu menggeleng. Agas pikir gadis itu akan berubah pikiran mengingat tubuh Aya memang tidak akan mampu meraih barang dia atas tapi Agas lupa kalau Aya adalah perempuan cerdas. Kini gadis itu mengambil kursi di samping rak, memindahkannya, dan naik kesana lalu meraih satu kardus berukuran sedang. Hal sekecil ini saja membuat Agas berdecak kagum. Aya dan sikap mandirinya. Ketika Aya hendak melangkah melewati Agas, laki-laki itu langsung menyentuh pundaknya. Membuat Aya mengurungkan niat untuk pergi. “A-aku minta maaf.” Catat, Agas bahkan sampai merubah nama panggilan mereka berdua. “Aku tahu, tadi pagi itu... aku kasar banget. Gak seharusnya aku bentak-bentak dan...” “Bukan masalah. Bukannya dalam situasi panas, kita malah bisa nilai seseorang biar keluar karakter aslinya?” Oke, Aya sarkas lagi. “Ay, gak gitu. Tadi pagi, jujur, aku kesinggung. Kamu ngomong seakan-akan aku gak bakalan bisa beneran pake hati sama perempuan padahal..” Agas menghela nafas frustasi. “Aku... aku... aku beneran gak ada niat mainin hati kamu.” Ini belum waktunya ia mengutarakan perasaannya yang sebenarnya. “Aku minta maaf, Ay. Buat beberapa hari ini kalau kamu ngerasa aku menyebalkan banget, kamu risih sama keberadaan aku atau lain sebagainya, aku minta maaf. Tapi yang harus kamu tahu, aku juga gak mau mundur.” “Kak, pl—“ “Ayo kita berteman.” ujar Agas akhirnya. “Aku gak mau kamu risih. Mungkin emang aku terlalu agresif dan itu bikin kamu gak nyaman, tapi kamu gak bisa nolak ajakan orang untuk berteman, kan? Buat gimana nantinya, bairin mengalir aja,  Aku mau kita temenan dulu. Hapus semua prediksi negatif kamu soal aku, ayo saling mengenal lewat persepsi masing-masing. Jangan berdasarkan kata orang.” Kalimat super panjang dari Agas— jujur saja— sedikit banyak memang menampar Aya. Perempuan itu membenci Agas dari pertama Agas menanyai siapa namanya. Aya bukan social butterfly, tapi Aya jelas tahu julukan orang-orang di sekolah kepada sosok Agas Zidane Althaf. Seorang buaya darat, penakluk wanita, raja alkohol, biang onar, dan lain sebagainya. Akibat kalimat dari orang-orang yang men-judge Agas, gadis tiu jadi terkontaminasi. Agas dimatanya hanyalah cowok berperilaku baik yang sudah seharusnya dihindari. Padahal dengan begitu, Aya malah jadi sosok yang jahat karena ikut mencela Agas tanpa mengenal seperti apa sosoknya yang asli, tanpa kalimat ‘kata orang’ di dalamnya. Gadis itu menatap mata Agas. Tatapan laki-laki itu terlihat tulus. Matanya mengiba. Apakah Aya bisa berteman dengan Agas? Sekalipun mereka berdua sangat kontras seperti langit dan bumi dari segi apapun? Tapi apa salahnya mencoba. Benar, kan? Aya mengulas senyumnya. Tulus. Untuk yang pertama kali. Gadis itu mengangguk. Mnecoba menghilangkan pikiran negatifnya atas Agas. Ia harus mengenal Agas lewat persepsinya sendiri. “Kita teman.” * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Agas cukup senang, minimal hatinya lebih meringan karena Aya tak menjauh dan mengelak lagi seperti sebelum-belumnya. Walaupun ini masih Aya Analisa yang cuek dan jutek, setidaknya gadis itu tak lagi memberi penolakan setiap Agas menawarkan sesuatu. Seperti kali ini. Jika kemarin Agas selalu berpikir bahwa melakukan pekerjaan yang dilakukan pegawainya akan terasa berat, ternyata asumsinya salah. Ia bahkan tak merasa kelelahan ketika sedari tadi ia membantu Aya membersihan rak, menata roti, mengambil roti dari dapur, membawanya ke depan, pergi ke gudang, mengambil kardus, dan lain sebagainya. Atau mungin, karena cinta tidak hanya buta namun juga mati rasa? Maka dari itu Agas tak merasa kelelahan. Apapaun demi gadis yang disukainya. “Tumben banget, Mas, mau ikut bantuin karyawan?” tanya Mbak Lusi sambil terkekeh geli. Agas yang sedang bersandar di kursi, di belakang kasir, mengelap peluh di hidungnya. “Sekali-kali, lah, Mbak. Mau nyobain gimana capeknya.” “Capek, kan?” “Lumayan.” Laki-laki itu mengamati Aya dari belakang yang sedang melayani pembeli, menghitung jumlah belanjaan, menyebutkan nominal, menerima uang, dan memasukkan roti ke dalam kantung, begitu terus berulang-ulang. Lalgi-lagi ia jadi bertanya-tanya, kenapa Aya bisa sebegitu kuat dengan menghabiskan dua puluh empat jamnya setiap hari dengan sekolah dan bekerja? Belum lagi jika ada tugas rumah dari sekolah, atau kerja kelompok, atau jika gadis itu mengiuti lomba dan harus latihan di sekolah sampai sore? Kalau sudah begini, yang ada Agas makin kagum. Hanya satu dari seratus jumlah perempuan yang ia temui yang bisa seperti Aya. “Ay.” Gadis itu menoleh sekilas sebelum tangannya kembali sibuk di laci kasir. “Hm.” “Ambilin air mineral, dong.” Gadis itu berdecak sebal, mau tak mau harus meletakkan kembali uang yang baru sja aia akan hitung kemudian berjongkok. Mengambil kemasan air mineral di kardus lalu memberikannya pada Agas. Laki-laki itu tersenyum. “Makasih. Kalau capek mending istirahat bentar, deh.” “Belum jam istirahat,” Gadis itu kembali berkutat dengan mesin kasir. “Udah, deh, diem. Jangan ganggu.” Agas mendengus. Ia memilih menyamankan duduknya lalu merogoh saku celana. Ia membuka ponsel dan memilih fitur permainan online. Ketika jemarinya asik bergerak lincah di atas layar, Mbak Lusi yang sepertinya sudah kelelahan itu duduk di samping Agas. Wanita tersebut membuka percakapan. “Mas Agas memang sudah dekat sama Ana, ya?” Agas mengalihkan perhatiannya dari ponsel. “Dekat?” Lusiana mengangguk. “Cuman Ana yang berani ngomong gak sopan ke Mas Agas.” Laki-laki itu jadi tertawa. “Dia adik kelas saya di sekolah, Mbak. Sebelum saya ambil alih toko ini, saya emang udah kenal dia.” “Ana sebenarnya anak baik, kok, Mas. Ramah, penolong. Kalau cueknya emang dari luar, apa lagi kalau belum betul kenal, emang dianya cuek. Dulu awal kerja disini dia juga gitu, pendiam dan cuek banget.” Agas mengangguk setuju. “Cuman judesnya ke Mas Agas itu kayak gak ketulungan,” tambah Lusi sambil cekikikan. “Mas Agas sering bikin Ana kesel kali, ya?” “Sengaja, Mbak.” jawab Agas kalem. “Hah? Sengaja apa? Sengaja bikin kesel?” Agas mengangguk, kali ini duduknya merapat ke Lusiana, laki-laki itu berbisik. “Saya suka sama dia.” “Waduh????” Agas tertawa mendengar respon Lusiana yang berlebihan. Kepalanya menjauh dari Agas, melotot, dan melongo. “Saingan sama Chandra, dong?” “Chandra?” Agas lupa kalau di depannya masih ada Aya. Suaranya naik satu oktaf. “Chandra suka sama Aya?!” * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN