* * previous * *
"Cuman judesnya ke Mas Agas itu kayak gak ketulungan,” tambah Lusi sambil cekikikan. “Mas Agas sering bikin Ana kesel kali, ya?”
“Sengaja, Mbak.” jawab Agas kalem.
“Hah? Sengaja apa? Sengaja bikin kesel?”
Agas mengangguk, kali ini duduknya merapat ke Lusiana, laki-laki itu berbisik. “Saya suka sama dia.”
“Waduh????”
Agas tertawa mendengar respon Lusiana yang berlebihan. Kepalanya menjauh dari Agas, melotot, dan melongo. “Saingan sama Chandra, dong?”
“Chandra?” Agas lupa kalau di depannya masih ada Aya. Suaranya naik satu oktaf. “Chandra suka sama Aya?!”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Karena Agas memang tipe orang yang gegabah dan mudah panik, keesokan harinya, ketika mata pelajaran pertama baru dimulai dan Bu Nisa baru saja menjelaskan materi tabel ekonomi yang sama sekali tidak dimengerti Agas, laki-laki itu menendang kursi Dava di depannya. Dava yang sedang tertidur jadi kaget dan langsung mengumpati Agas.
“Apa, sih, anjing?!” semprotnya sambil berbisik, tak mau Bu Nisa menyadari keributan di barisan bangku belakang.
Memang seharusnya, Agas, tuh, duduk sama Dava, karena dua cowok itu sangat minus dalam pelajaran, di kelas kerjanya hanya tidur dan ngegosip, sedangkan Deril yang otaknya agak bener seharusnya duduk sama Andi yang otaknya yang perlu diraguin lagi.Sebenarnya, Deril juga bisa-bisa aja diajak ngobrol pas pelajaran begini, tapi cowok itu cenderung moody. Dan kali ini Deril sedang ada di titik lagi semangat belajar, kayakya, maka dari itu Agas gak berani ganggu.
”Lo tahu gak kal—“
“Gak.”
Agas mendorong kepala Dava dari belakang. Kencang. “Bentar, g****k, belum selesai ngomong.”
“Di toko, ada satu pegawai cowok suka sama Ana, anjir.”
“Oh.” Dava menguap. “Terus?”
“Ya berarti gue punya saingan!”
“Oke, selamat.”
“Daaaaav.” Agas merengek.
“Itu yang belakang, kenapa rame sendiri?!”
Agas langsung membenarkan duduknya, Dava langsung menghadap depan. Keduanya kompak berseru menjawab Bu Nisa. “Deril sama Andi, Bu!”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
“Hai.”
Jam istirahat kedua kali ini digunakan Agas untuk membaca buku di perpustakaan.
Oke, itu bohong.
Maksud Agas, dia pergi ke perpustakaan untuk menghampiri Aya Analisa. Tentu saja Aya tak tahu, laki-laki itu sengaja.
“Lagi ngapain?” tanya Agas, tak peduli sapaannya barusan juga belum mendapat jawaban. Tapi tentu itu pertanyaan bodoh. Sudah tahu gadis itu sedang tenang membaca buku.
“Menurut kakak aja?”
Agas meringis. Laki-laki itu membuka majalah yang tadi ia ambil asal, membukanya dengan tenang. “Lo selalu di kelas tiap istirahat pertama, dan sering ke perpustakaan di jam istirahat kedua. Bener, kan, gue?”
Sepertinya Agas memang tak biasa memakai aku-kamu dalam berbicara, sekalipun dengan Aya. Maka dari itu, tanpa laki-laki itu sadari, ia kembali menggunakan lo dan gue dalam berbahasa.
Dibanding menjawab, Aya lebih ingin menghujat. Gadis itu membalikkan halaman bukunya sambil menggerutu. “Penguntit.”
“Mana ada?” balas Agas mengelak. “Gue cuman beberapa kali ngeliat lo ke perpus jam dua belas.”
Perempuan itu kembali tak menggubris kalimat Agas membuat cowok itu yakin bahwa hobi Aya selain membaca buku adalah mencueki Agas.
“Ay.”
Tidak dijawab. Agas mendengus, mencoba menyabarkan diri sendiri. “Aya.”
Aya melirik sekilas.
“Aya Analisa.”
‘Apa, sih?!”
Agas menarik buku Aya agar menjauh dari perempuan itu, Aya melotot, ia mencoba merebut kembali tapi Agas tak membiarannya. “Bentar, gue mau ngomong serius. Dengerin dulu.”
“Iya, aku dengerin, tapi balikin dulu!”
“Dengerin dulu abru gue balikin.”
Aya mendengus kasar. “Fine. Cepet.”
Agas menyeringai, ia menduduki buku novel Milik Aya di bawah pantatnya lalu mengedikkan bahu ketika Aya melotot makin lebar seakan-akan berkata, ‘apa-apaan maksud lo, hah?!’
Tapi Agas tak peduli.
“Gue bukan tipe orang yang bisa nunggu, bukan tipe cowok sabar, apa lagi munafik. Jadi gue mau jelasin sesuatu biar semuanya clear.”
Aya mengernyit tak paham. Agas menarik kursinya agar semakin maju dan mendekat pada meja yang menghalangi jaraknya dengan Aya.
“Izinin gue buat deket sama lo. Oke, kemarin gue emang baru ngomong kalau kita bisa berteman. Tapi lo pasti tahu, dibalik kata teman yang gue bilang, ada sesuatu yang menyeruak mau lebih dari itu—“
“Kak—“
“Biarin gue selesaiin omongan gue dulu. Gue gak mau denger penolakan appaun dari lo.”
Aya jadi diam, gadis itu menunduk. Lagi-lagi terjebak di suasana canggung dan kaku seperti ini bersama Agas. Aya sangat tak nyaman.
“Biarin gue kasih perhatian lebih, bisa anter jemput lo kalau gue mau, ngajakin lo keluar kalau gue dan lo pas ada waktu, itu masih tahap ‘teman’, kan? Lo cuman perlu bilang iya dan gak nolak. Lo bisa nganggep apapun yang gue lakuin ke elo sebagai perlakuan seorang teman, dan gue bebas mengartikan itu sebagai hal lain, misalnya ‘pendekatan’ atau peralihan dari status teman ke status yang lain, mungkin,” Agas mengambil udara. “Gue cukup tahu perilaku mana yang jadi batas risih buat lo, dan gue akan menghindari itu. Gue cuman minta ijin persetujuan dari lo.”
Aya mengangkat kepala, menatap Agas. “Aku... oke, terserah. Selama itu gak ngelewatin batas dan gak bikin aku risih.”
“Terserah?”
Agas bahkan hampir tersedak ludah sendiri karena terkejut. Apa benar gadis itu menyetujuinya semudah ini?
“Is it mean yes?”
Aya mengangkat alisnya sebelas. “I said, terserah.”
‘Okay, you said so.”
Agas senang bukan main.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Berhari-hai sibuk mengurusi kegiatannya ‘pendekatan’ dengan Aya, baru hari ini Agas didatangi oleh Sandra setelah terakhil kali mereka berjumpa adalah beberapa hari yang lalu.
“Iya, nanti dianterin."
Agas akhirnya merespon kalimat Sandra yang terus-menerus meminta lelaki itu mengantarnya pulang. Sebenarnya Agas sudah jengah, mengingat Sandra belakangan ini terlalu banyak memaksa Agas dan meminta ini serta itu. Sandra kira Agas tak tahu bahwa selama ini gadis— ralat, Sandra bukan gadis lagi-- hanya menginginkan isi dompetnya saja?
"Yeay. Makasih." Sandra bergerak maju ingin mengecup pipi Agas, yang tentu pemilik pipi langsung menjauh, bahkan tak segan-segan mendorong wajah penuh polesan itu untuk mundur. "San, please. Ini kantin."
Sandra menggerutu, tapi Agas tak peduli. Ia terang-terangan mengacuhkan keberadaan Sandra dan kembali mengobrol dengan kawanannya ; Deril, Dava, dan Andi. Lalu tak lama, Agas melirik Sandra yang kini berdecak sebelum akhirnya berpamitan pada Agas, lalu pergi entah kemana. Sekali lagi, Agas tak peduli. Sandra hanya salah satu kekasihnya selain Sonia dan Killa— yang omong-omong, Agas bahkan sampai lupa dengan keberadaan dua gadis lainnya tersebut.
Wait, Agas memang belum sepenuhnya taubat. Soal rasa sukanya pada Aya, tentu itu bukan main-main. Berulang kali Agas menyadari rasa yang ia punya untuk Aya memang berbda. Tapi bagaimanapun, Agas ingin dimanja. Maka pilihan yang menurutnya tepat adalah dengan mencari perempuan lain yang bertugas sebagai ‘pemuas’ saja.
"Ya, ya, bagos, pergi sono." kata Agas ketika Sandra benar-benar sudah menghilang. Ketiga temannya tertawa mencemooh.
Andi terkekeh geli. "Lagian, udah tau gak cocok masih aja dipacarin."
"Bapak jangan salah. Gue gak pacaran sama dia." elak Agas.
"Tapi masih friends with benefit, kan?" tebak Dava yang langsung dibalas cengiran oleh Agas.
Kali ini Deril yang menatap jengah pada Agas. "Cepet tobat dah lu. Suka banget mainan cewek."
"Dari pada gue mainan cowok?"
"Serah."
Baru Agas akan mengambil ponsel di saku celana abu-abunya, ia menangkap sosok gadis cantik yang sudah beberapa minggu ia coba dekati. Aya Analisa berjalan kikuk di tengah kerumunan kantin, tangan kanannya memegang buku paket, rambutnya dikuncir kuda, seperti biasanya. Deril menoleh ke arah belakang punggungnya karena Agas tiba-tiba diam dengan tatapan memuja.
"Ya elah, babi. Masih aja gak mau nyerah sama yang ini."
Agas mengerjapkan matanya, menoleh pada Deril, lalu mendengus.
"Padahal udah jelas-jelas ceweknya risih. Masih aja dipepet."
"Mau sampai Nabi Isa turun ke bumi, kagak bakal si Ana mau pacaran sama slengean kayak lo."
Agas melengos. Ketiga temannya ini memang suka sekali ngomong gak pakai mikir. Memilih menanggapi Dava, ia menjawab. "Gue gak mau macarin Aya, kok. Maunya gue halalin."
"Halah, tahik!" seru Deril heboh.
Agas tertawa. Padahal ia serius. Kenapa tidak ada yang percaya?
Pemuda itu beranjak dari kursi panjang yang ia duduki. "Dahlah, gue mau cabut."
"Kemane?"
"Nemenin calon makmum makan siang, dong."
Diiringi seringai, Agas berjalan meninggalkan ketiga sahabatnya yang mengumpat tak jelas. Tak butuh waktu lama hingga Agas sampai di belakang punggung Aya yang sedang mengantri membeli yoghurt anggur, kebiasaan yang sudah mulai Agas hafal setiap kali istirahat jam pertama.
"Halo, adik Aya." sapa cowok itu usil.
Aya memegangi dadanya akibat terkejut. Baru balik badan, sudah menemukan laki-laki itu, yang belakangan sering sekali menemui Aya. Entah sekedar menyapa, menggoda, atau menemaninya ke perpustakaan.
"Ana." ralat gadis itu.
"Halah telat kalau mau ngeralat sekarang. Dari kemarin-kemarin juga manggilnya gini, kenapa baru sekarang diprotes? Gue maunya Aya."
Aya membenarkan kacamatanya, mengedikkan bahu tak peduli. Ia melenggang pergi dari hadapan Agas. Cowok jangkung itu mengedikkan bahu meniru gerakan Aya, lalu mengikutinya dari belakang. "Mau ke perpustakaan, kan?"
Aya tak menjawab. Gadis dengan badge berwarna hijau yang bertuliskan angka 10 romawi itu memilih mengigiti plastik yoghurt. Menghabiskan dengan cepat karena ketika langkah kakinya memasuki pintu perpustakaan, pasti Bu Dewi akan memintanya menghabiskan makanan di luar, baru boleh masuk.
Usai membuang plastik, Aya mengisi buku pengunjung, masih tetap diikuti Agas dari belakang. Bahkan ketika ia sudah duduk dengan nyaman di meja paling ujung, Aya bisa melihat Agas mengambil sembarang buku—atau tepatnya majalah-- lalu menyusulnya duduk disana.
Selalu seperti ini.
Agas selalu mengikutinya kemana-mana jika Aya sudah memunculkan diri dihadapan lelaki itu. Memang seharusnya Aya tak keluar kelas. Tapi Aya, kan, ingin yoghurt!
Batas kesabaran Aya adalah ketika ia merasa konsentrasinya tak bisa mengarah pada buku yang ia baca, karena Agas terang-terangan menatapnya dalam diam. Dengan wajah yang ditumpu pada lengan tangan.
Aya menghela nafas. "Mau apa sih, Kak?"
Agas menegakkan tubuhnya. "Mau baca buku?" jawabnya dengan kalimat ragu.
"Aku minta maaf kalau ini terdengar gak sopan, lahi, untuk kesekian kalinya. Tapi bisa, gak, stop ngikutin aku kayak gini. Gak di kerjaan, gak di sekolah."
Agas mengangguk-angguk. "Permintaan maaf gak diterima. Lo gak sopan." Ia membuka buku yang ia bawa tadi, membalik halaman demi halaman secara asal-asalan. Tanpa menatap lawan bicaranya, Agas kembali bicara. "Berani, ya, ngusir kakak kelas?"
Aya mati kutu. Bibirnya mengatup rapat tak bisa melawan. Duh, ia hanya ingin menghabiskan bab novelnya dengan tenang. Tak bisakah Agas menyingkir dari hadapannya dan membiarkan Aya menikmati kesendiriannya?
Tapi tentu Aya tak bisa bersuara. Apalagi menyuruh kakak kelasnya itu untuk pergi. Sama saja cari mati. Aya mana berani— ralat, dia berani, sih, tapi ini masih di perpustakaan. Aya lebih tak rela jika diusir oleh penjaga perpustakaan hanya karena seorang Agas.
Ia melepas kacamatanya yang berembun entah embun dari mana. Baru kepalanya menunduk dan mengusap kaca, Agas berceletuk lagi.
"Lo lebih cantik kalau gak pakai kacamata."
"Makasih." Jawab Aya seadanya.
"Jangan jutek-jutek."
"Bukannya dari awal aku emang gini?"
"Dibiasain yang ramah sama oran,." Agas menopang dagunya lagi. "Eh, salah. Sama gue aja ramahnya."
Kalimatnya tak digubris oleh Aya. Jadi Agas mencoba mencari topik lain. Dilihatnya lekat-lewat wajah polos tanpa riasan didepannya, hingga matanya turun menatap pipi gadis itu dan menemukan bulu mata disana.
"Ay, bulu mata lo jatoh."
Aya dengan tanggap menyentuh pipi, jemarinya mencari letak tempatnya. Dengan tak sabaran kemudian malah mengusap kasar pipinya, berusaha menghilangkan bulu mata disana.
Agas terkekeh geli. "Bukan disitu, Ay."
Agas maju, tangannya terulur memegang pipi Aya. Yang mana dalam hati pemuda itu, ia malah sempat-sempatnya memuja betapa halus pipi gadis didepannya. Agas yakin tangannya betah disana kalau saja Aya tak segera menegurnya dengan deheman menyindir.
Hingga tak lama, suara cempreng terdengar di sepasang telinga mereka berdua. "AGAS KOK GAK KE KELAS SIH DARI TADI DITUNGGUIN?!?!"
Agas mengumpat dalam hati. f**k, ia bahkan hampir lupa pernah mendekati gadis bernama Sonia.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
"Labas, kuy."
Dava berdiri dari kursi reyot yang berada di samping kamar mandi laki-laki. Tanpa menunggu jawaban teman-temannya, Deril, Agas, dan Andi langsung mengikuti dari belakang.
Memang, biasanya mereka berempat akan bermain bola di lapangan basket untuk mengisi waktu. Apalagi keempatnya memutuskan membolos mata pelajaran Agama yang akan dimulai setengah jam lagi.
Di pertigaan kelas 10, Agas yang jalan di samping Dava langsung menghentikan langkah, yang otomatis langkah teman-temannya juga ikut berhenti.
"Ngapa dah ngerem tiba-tiba?" Deril menggerutu tak terima.
Agas menoleh ke lorong sebelah kiri. "Kuy lewat sini aja."
"Malah jauh lah, b**o. Jadi setrika jalan."
"Ya elah sekali-kali."
Deril mengernyit. Matanya memicing, lalu melirik ke arah kayu kecil yang dipaku diatas pintu kelas. Baru paham bahwa Agas ada maksud tertentu.
"Bilang aja lo mau ngapelin Ana."
Agas meringis. "Peka banget kamu, mas. Jadi sayang."
Teman-temannya melengos, namun tak ayal tetap berbelok ke arah kiri menemani Agas yang ingin cari perhatian dan tebar pesona. Pintu kelas 10 IPA 1 terbuka lebar, samar-samar terdengar suara guru yang sedang mengajar. Tapi Agas tak peduli. Ia melongokkan sedikit kepalanya agar dapat melihat seisi kelas.
Mudah bagi Agas menemukan tempat duduk Aya, karena gadis itu duduk tepat didepan meja guru. Dengan rambut lembut yang dikuncir tinggi, Aya terlihat lucu dengan raut wajah serius mendengarkan guru dan sesekali menulis di buku. Agas tiba-tiba tersenyum geli menyadari sikapnya sampai seperti ini. Aduh, mana Agas sang penakluk wanita yang tak hanya 1 atau 2 perempuan pernah mampir diranjangnya? Kini Agas hanya bisa mendadak senang kalau bisa bertemu Aya.
Pemuda itu baru menarik diri untuk melanjutkan langkah karena niatnya dari awal memang hanya ingin melihat wajah Aya, tapi teman-temannya malah berkoar memalukan. Berteriak. Kencang. Tak sadar diri. Tak sadar tempat.
"Yang namanya Aya Analisa dicari Agas, neeeeh!" teriak Deril membuat seisi kelas, bahkan sang guru, menoleh kompak ke pintu. Tapi bukannya malu, Agas malah dengan semangat menampilkan senyum lebar. Tangannya melambai pada Aya lalu mengepalkan tangan menyemangati. Sedangkan si perempuannya malah meringis malu. Lalu memilih kembali menatap meja pura-pura tak lihat.
"Ini kenapa rame-rame disini?! Kamu, kamu, kamu, dan kamu!" sang guru tersebut menunjuk Deril, Agas, Dava, dan Andi bergantian di depan muka. "Kalian anak IPS, kan? Ngapain disini?!"
Tiba-tiba saja guru bertubuh gemuk itu sudah dihadapan Agas dan yang lain.
"Gas, jawab, Gas." Deril menyenggol siku Agas. Sedangkan Andi dan Dava hanya diam dibelakang. Tak mau ikut campur. Malah Dava pura-pura tak kenal, berisiul seolah-olah lai-laki itu bukan bagian dari golongan Agas.
"Ini, Bu. Saya titip pesan. Nanti pulang sekolah, Aya Analisa suruh nunggu di lobi."
Guru itu mengernyit, seakan mulai curiga bahwa ia hanya dikerjai. Tapi tak ingin memperrumit keadaan, Bu Ratna hanya mengangguk. "Iya, saya sampaikan. Sekarang kalian pergi. Jangan berisik disini!"
"Beneran, loh, Bu, kasih tahu ke Aya Analisa!" ujar Agas sembari berteriak karena ia berjalan mundur menjauh dari Bu Ratna.
Saat langkah Agas terayun berlari kecil menyusul ketiga temannya yang sudah jalan lebih dulu, samar-samar telinga laki-laki itu mendengar seisi kelas menggoda Aya.
"CIEEEE ANAAAAAA!!"
Dan Agas tak bisa menahan senyumnya untuk tak kian melebar.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Kaki Agas bergerak gelisah ketika ia menatap jam tangan yang seharga 2 sepeda motor itu menunjukkan pukul tiga. Artinya lima belas menit lagi bel akan berbunyi tapi Agas malah terjebak di UKS menemani Sandra yang merengek memintanya menunggui gadis centil itu diberi obat.
Dari balik tirai UKS, Agas bisa mendengar Sandra menceramahi petugas PMR karena terlalu lelet. Agas memijat pelipisnya, lama-lama muak melihat kelakuan Sandra. Sepertinya ia harus segera memutuskan hubungan dengan perempuan itu.
Agas yang sedang menunduk tiba-tiba melihat bayangan seseorang datang dari pintu, membuatnya otomatis mengangkat kepala. Disana, ada gadis berkacamata yang sedang melepas sepatu, lalu tak lama masuk ke UKS. Agas baru saja akan melemparkan senyum menyapa, tapi Aya malah pura-pura tak tahu ada Agas disana.
Jadi pemuda itu berdiri dari kursi, mengikuti Aya yang melangkahkan kaki ke arah dinding kotak obat.
"Sakit?" Agas pindah ke samping Aya. Melihat gadis itu sibuk dengan beberapa lembar obat ditangannya.
Tanpa menoleh, Aya menjawab. "Gak."
Apa Agas pernah bilang bahwa semenjak kenal Aya, lelaki itu lebih banyak bersabar? Ya, contohnya dalam menghadapi jutek dan cueknya Aya.
"Terus, kenapa disini?"
"PMR, Kak." jawab Aya kali ini lebih lembut.
Aga melebarkan senyumnya. "Jadwal lo jaga UKS tiap hari apa?"
"Kenapa?"
"Hari apa?" ulang Agas melemparkan pertanyaannya. Tak peduli dengan Aya yng mulai mencurigainya.
"Rabu."
"Noted."
Kening Aya mengerut, tapi selanjutnya ia kembali tak peduli. Tak mau penasaran kenapa Agas selalu bersikap aneh. Eh, tapi Agas kan memang aneh?
"Kakak ngapain disini?"
Duh, perut Agas bergemuruh hanya karena ditanya lebih dahulu dengan gadis itu.
"Nothing to do, sih, sebenarnya."
"Gaaas, sini coba."
Mendengar suara perempuan dari balik tirai, Aya terkekeh sinis. "Terus itu siapa, dong?"
Agas menggaruk hidungnya yang mirip perosotan. Menatap ke arah lain, tak ingin Aya mengetahui kebohongannya. "Biasalah. Fans."
"Eh, lo selesai PMR jam berapa? Pulang sama gue, kan?" Agas mengalihkan pembicaraan, lagipula dia memang harus memastikan Aya benar-benar mau diantar pulang.
Aya menggeleng. "Aku pulang jalan kaki, Kak. Rumahku deket."
"Enak aja. Udah, pokoknya pulang sama gue.”
"Gaaaaas, siniiiiii."
Agas melengos mendengar suara cempreng Sandra. Ia menoleh sekali lagi pada Aya, mengisyaratkan bahwa ia harus menemui perempuan dibalik tirai itu lebih dulu. Aya mengangguk.
"Apa sih, San?!"
"Nanti ke parkirannya gendong, ya? Perut gue sakit banget, gak kuat berdiri."
"Gue gak bisa nganterin lo. Ada urusan."
"Urusan apa?"
"Eits. No ikut campur urusan pribadi."
Kini gantian Sandra yang mendengus.
Satu hal yang Agas syukuri dari watak Sandra. Perempuan itu benar-benar tak pernah mengusik kehidupan pribadinya. Jika Sonia dan Killa selalu mengancam Agas agar tak berhubungan dengan perempuan lain, Sandra tidak begitu. Hubungan keduanya benar-benar sebatas urusan ranjang.
"Pesenin grab car, berarti?"
"Iye-iye."
Setelah berunding, Agas kembali ke Aya. Melihat gadis berkuncir kuda itu sudah merapikan perlengkapan UKS, Agas bertanya. "Udah selesai, Ay?"
"Udah. Aku duluan ya, Kak." Ujar Aya sopan yang mana membuat Agas malah panik. "Loh-loh, balik sama gue!"
Tanpa memperdulikan Aya yang protes, Agas mengambil tangan kanan gadis itu. Mengenggamnya erat, menyelipkan jemari pada sela-sela jari Aya, dan menariknya keluar UKS.
Agas merasakan hatinya berbunga-bunga. Tapi setengah hatinya berteriak tak terima. Apa-apaan ini? Bagaimana bisa gadis culun membuat Agas senang bukan main hanya karena berhasil menggenggam tangan dan mengantarnya pulang?
Tapi Agas tak masalah. Agas bahagia.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Walaupun masih dalam hitungan satu bulan Agas memuja— oke, kata ‘memuja’ agaknya terlalu berlebihan— Agas menyukai Aya, bisa dikatakan lelaki itu sudah hafal dengan semua hal tentang gadis tersebut. Makanan kesukaan, hobinya, hewan peliharaannya— oke, ini informasi palsu karena Aya gak punya hewan peliharaan, teman dekatnya— yang sayang sekali ternyata Aya tak memiliki satupun, genre film favorit, atau apapun itu, Agas tahu.
Jangan tanya mengapa bisa, karena.. memang apa, sih, yang tak bisa Agas lakukan? Kepribadiannya yang ramah atau bisa lebih dibilang sok kenal, membuat lelaki itu memiliki teman dimana-mana. Mencari informasi tentang Aya adalah hal yang mudah. Dan Gofur adalah asisten pribadinya yang selalu dapat diandalkan dalam dua puluh empat jam. Agas sangat erterimakasih pada temannya yang satu itu karena apapun yang Agas ingin tahu, Gofur selalu berusaha membantu sebisa mungkin.
Sore tadi, Agas tidak bisa ke toko roti seperti sore-sore sebelumnya. Hal ini terjadi bukan tanpa alasan, melainkan Dava, Deril, Andi sudah merengek meminta Agas bergabung kumpul dengan yang lainnya karena Agas belakangan ini memang sibuk sendiri sampai-sampai hampir tak pernah menghabiskan waktu bersama para sohibnya. Maka dari itu, karena Agas pun juga merasa tidak enak, ia akhirnya menyetujui.
Agas mengirimi pesan pada Lusiana dan dan mamanya bahwa hari ini ia mungkin akan terlambat ke toko.
Malam pukul setengah sembilan, Agas baru bisa meninggalkan teman-temannya. Hal pertama yang ia lihat ketika membuka pintu toko adalah Aya yang tertidur di salah satu meja. Gadis itu menelungkupkan kepala di antara tangannya yang terlipat. Wajahnya menghadap jendela, rambutnya terlihat berantakan.
Agas memelankan langkahnya.
Beruntung malam ini toko roti tidak terlalu ramai seperti biasanya. Bahkan hampir tidak ada pengunjung— oh, mungkin tidak, hanya ada sepasang suami istri yang sedang memilih variasi roti di rak utama. Ketika salah satu pegawai perempuan keluar dari dapur dan hendak menghampiri Aya— mungkin ingin meminta bantuan akan sesuatu— Agas buru-buru menghentikan.
“Sstt!” pinta Agas agar pegawai tersebut tidak bersuara. “Jangan bangunin Ay— Ana.”
“Tapi, Pak, Ana harus ambil microwave baru di—“
“Biar saya aja.” sela Agas cepat.
“Beneran, Pak?”
“Iya.”
Agas lalu beranjak dari sana. Ia menyempatkan diri menghampiri Lusiana yang sibuk mengelap etalase kaca. “Mbak Lusi, siapapun tolong kasih tahu, biar gak bangunin Aya, ya, Mbak.”
Lusi tersenyum penuh arti. “Siap, deh, Mas.”
“Jangan sampai dia kebangun.”
“Baik, Mas.”
Agas mengangguk dan mengucapkan terimakasih kemudian segera pergi ke gudang mengambil alih pekerjaan Aya.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Tepat pukul sembilan lebih lima belas menit, Agas meminta para karyawan untuk menutup toko dan mulai bersih-bersih. Usai memberi tahu, Agas kembali ke ruang depan, menghampiri Aya yang masih tertidur pulas.
Laki-laki itu menarik kursi di samping Aya sepelan mungkin, berusaha membuat pergerakannya tak membangunkan Aya sekalipun sebenarnya sedikit percuma karena pegawai yang lain sangai rami dan bunyi peralatan dapur terdengar sampai tempat ia duduk.
Peluh keringat di pelipis gadis itu, juga kerut samar di dahinya tiap kali bunyi di dapur terdengar rusuh, raut wajah kelelahan Aya, membuat Agas menghela nafas samar. Ia tersenyum lemah. Tiba-tiba hatinya terasa berat. Terbayang di bnaknya bagaimana selama ini Agas tumbuh di keluarga serba kecukupan. Ia tak pernah susah payah melakukan sesuatu hanya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Agas selalu berfoya-foya. Ia tak pernah merasakan betapa lelahnya bekerja demi selembar uang.
Tapi tentu hidupnya memang kontras dengan hdiup gadis yang kini ia amati lekat-lekat ini.
Aya tumbuh di keluarga serba terbatas padahal orang taunya kala itu masih lengkap. Lalu ketik gadis itu sudah kehilangan dua orang tuanya, Aya harus menanggung hidup adik semata wayangnya. Menghabis dua puluh empat jam dalam setiap harinya untuk belajar dan bekerja.
Ada sesuatu yang membuat hati Agas sakit. Nyeri. Bagaimana memorinya teringat ketika Aya dengan telaten dan ramah melayani pelanggan padahal jelas gadis itu sedang kelelahan.Ya Tuhan, Agas tak tahu Aya setangguh itu. Gadis itu tak pernah terlihat seperti gadis yang patut dikasihani. Tapi jika sudah begini, Agas mana bisa tak tersentuh?
Bunyi yang otomatis terdengar ketika seorang pengunjung melewati pintu membuat Aya bangun terkejut. Gadis itu langsun berdiri dengan mata memerah, mengantuk. Agas langsung menggenggam tangan Aya lembut, menyuruhnya kembali duduk karena ia tahu, bangun dengan tiba-tiba hanya kaan membuat kepalanya pening.
“Duduk aja.” ujar Agas lembut. “Biar Mbak Lusi yang handle.”
Aya menurut. Gadis itu duduk sambil memegangi kepalanya yang benar— langsung pusing.
Agas beranjak dari duduknya.
“Mau kemana?” tanya Aya.
Agas jadi tersenyum kecil. “Ambilin minum buat lo. Bentar, jangan kemana-mana.”
Aya mengangguk.
Tak sampai menunggu lama hingga Agas kembali ke meja dengan membuat satu botol air mineral dan mengambil asal dua bungkus roti di rak. Laki-laki itu meletakkan semuanya di hadapan Aya.
“Buat aku?”
Agas mengangguk.
“Aku gak suka kacang.” ujar Aya sembari mengembalikan satu bungkus roti, namun tetap mempertahankan satu bungkus lainnya.
Agas menerima kembali bungkus roti isi kacang. “Oke, noted.”
“Loh, loh? Mau kemana?” tanya Agas karena Aya tiba-tiba hendak berdiri jika saja Agas tak segera menarik lengan gadis itu agar tetap duduk.
“Mau ke dapur. Ini...” gadis itu menatap jam dinding di belakangnya. “Ini udah mau tutup. Aku harus beres-beres.”
Agas berdecak. “Gak udah. Lo disini aja. Temenin gue.”
“Mana bisa—“
“Bisa.” potong Agas tak mau dibantah. “Ini manajer sendiri, loh, yang minta.”
Aya memberi lirikan sinis pada Agas.
“Lagian gue tahu lo capek, jadi udah, duduk aja.”
“Namanya kerja juga pasti capek. Lagian semua pegawai juga capek, bukan cuman aku doang.”
Agas menghela nafas kasar. Kesal sendiri karena Aya selalu saja mendebatnya.
“Ay, please.”
“Oke, oke. Fine.”
Agas tersenyum, mempersilahkan Aya udh kembali duduk dan menyantap rotinya dengan lahap. Ah, sepertinya gadis itu sedang kelaparan. Agas menempatkan tatapannya melekat pada Aya, dagunya ia topang pada tangan.
“Hari ini rame?” tanya Agas ketika Aya sudah menelan rotinya hingga tandas.
Aya mengangguk.
“Keliatan, sih, lo-nya kayak capek banget, gitu.”
Aya mengusap hidungnya yang sedikit basah akan keringat. “Masa’ sih?”
“Iya.” Agas menoleh pada para pegawai yang kini melewatinya untuk menyapu lantai. “Kerja disini berat gak, Ay?”
“Tergantung jumlah pengunjunglah, Kak.”
“Berarti kalau rame, ya, capek?”
“Iya.”
“Kalu lo mau, gue bisa kurangin jam kerja lo tapi gajinya tetep seperti biasanya.”
Aya menghentikan minumnya. “Hah? Ngapain?”
“Biar lo gak capek-capek banget.”
Ana mendengus. “Bukannya ini udah resiko jadi pegawai? Kalau gak mau capek, ya, aku gak bakal kerja.”
“At least gue bisa bantu lo cari cara ngurangin capek. Atau lo mau gue pijitin?” usul Agas membuat Ana hampir tersedak. “Enggak mau! Apaan, sih, Kak?”
Agas terbahak mendengar reaksi panik dari gadis di depannya itu. Kemudian keduanya tenggelam dalam hening. Agas asik mengamati Aya yang sibuk melihat ke luar jendela.
"Ana dari keluarga gak mampu. Dia dapet beasiswa dan kalau gak salah terima info, dia juga kerja pas malem. Tapi gak tahu, ya, bener apa kagak yang dia kerja part-time itu."
"Dia punya adik cowok. Bokap-nyokapnya udah gak ada."
"Dia sabar banget, man. Jarang banget marah. Gue gak tahu kenapa ada cewek sebaik dia. Coba aja gak culun, udah gue pacarin."
Kilas balik itu menampar Agas.
Agas tak tahu mengapa tiba-tiba matanya panas. Terakhir kali Agas ingat, ia hanya menyukai gadis itu. Hanya itu. Jadi, aneh, kan, kalau tiba-tiba ia ingin menangis hanya karena perasaan tak tega yang terlalu kuat? Perasaan macam apa ini sebenarnya?
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
"Biar gue aja."
Agas tahu-tahu sudah berada di samping Aya yang hendak mengunci pintu toko. Aya memilih menurut. Ia mundur selangkah membiarkan Agas mengambil alih tugasnya.
Semua karyawan sudah pulang terlebih dahulu. Jadi kini hanya ada Agas dan Aya di tempat parkir. Bahkan hanya ada motor besar Agas saja disana, tidak ada kendaraan lain.
Agas memainkan kunci sepeda motornya selagi mereka berdua berjalan menjauh dari toko. Kemudian laki-laki itu tak sengaja melirik ke arah jalan raya. Ia menemukan tenda biru warung lalapan disana.
“Ay, lo belum makan malem, kan?"
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *