* * * previous chapter * * *
"Biar gue aja."
Agas tahu-tahu sudah berada di samping Aya yang hendak mengunci pintu toko. Aya memilih menurut. Ia mundur selangkah membiarkan Agas mengambil alih tugasnya.
Semua karyawan sudah pulang terlebih dahulu. Jadi kini hanya ada Agas dan Aya di tempat parkir. Bahkan hanya ada motor besar Agas saja disana, tidak ada kendaraan lain.
Agas memainkan kunci sepeda motornya selagi mereka berdua berjalan menjauh dari toko. Kemudian laki-laki itu tak sengaja melirik ke arah jalan raya. Ia menemukan tenda biru warung lalapan disana.
“Ay, lo belum makan malem, kan?"
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Aya mengernyit. Namun kemudian ia menggeleng. “Kenapa?”
“Makan dulu, yuk. Disana, tuh.” ujar Agas sambil mengangkat jemarinya menunjuk warung di seberang jalan. “Gue bayarin.”
"Gak bisa. Aku harus pulang sekarang." tolak Aya sembari menggelengkan kepala.
Agas sudah menduga gadis itu akan menolak.
"Makan doang gak bakal sampai pagi, kali, Ay."
"Adikku sendirian di rumah."
Agas jadi diam karena baru ingat tentang yang satu itu. Benar juga. Aya harus segera kembali ke rumah karena adiknya sendirian.
Laki-laki itu mencari cara lain.
"Ya udah, kita bungkus aja terus makan bareng-bareng di rumah lo."
"Kak—"
Agas tak menerima penolakan. Ia meraih tangan Aya dan menuntunnya ke jalan raya. Beruntung jalanan sedang sepi jadi ia langsung mengajak Aya menyebrangi jalan. Ketika keduanya sampai di depan gerobak, Agas meminta kepada penjual agar mendahulukan pesanannya dengan memberi uang lebih namun Aya segera menghalangi niat Agas.
“Jangan gitu. Kasian yang udah ngantri dari tadi.”
Agas terhenyak. Demi apapun kenapa sekarang ia mudah tersentuh atas perilaku-perilaku kecil gadis di sampingnya ini?
Laki-laki itu mengnagguk, menuruti mau Aya dan meminta Aya mengambil duduk terlebih dahulu. “Jadi dibungkus, kan?” tanyanya pada gadis itu.
Aya mengangguk singkat. Agas menyusul gadis itu kemudian, usai menyebutkan pesanan mereka berdua pada abang penjual lalapan.
"Eh, gue terlanjur pesen bebek goreng semua. Gak apa-apa, kan?"
Aya mengangguk lagi.
“Adik lo cowok apa cewek?” tanya Agas pura-pura tidak tahu. Padahal niat lelaki itu hanya ingin memecahkan keheningan.
“Cowok.”
Agas menganggul-angguk. “Udah sekolah?”
“Baru kelas satu SD.”
Keduanya tak banyak berbincang setelah itu karena pesanan mereka sudah siap.
"Aku gak mau dibayarin." kata Aya sembari buru-buru mengeluarkan dompet dari tasnya ketika melihat Agas mengeluarkan beberapa lembar biru dari saku. Tapi tentu Agas bergerak lebih cepat. Cowok itu membayar pesanannya dengan segera kemudian mengajak Aya untuk naik ke motor.
“Aku gak mau dibayarin.” ulang Aya ketika keduanya sudah bersiap melaju.
“Gak apa-apa. Sekali-kali.”
“Berarti lain kali kita harus makan bareng biar aku bisa gantian bayarin.”
Sifat Aya yang tidak enakan itu malah mempermudah niat Agas untuk mendekatinya. Agas mengangguk dan tersenyum lebar sebelum memakai helmnya. “Iya, lo harus bayarin gue makan next time pas kita makan bareng.”
Akibat jarak antara toko dan rumah Aya memang tidak jauh, tahu-tahu motor Agas sudah berheti di persimpangan jalan.
"Ini belok kiri, kan?"
“Iya. Eh, tapi cukup, gak, motornya masuk g**g kecil gini?”
Agas tertawa. “Ya, cukuplah. Kecuali kalau ini tadi gue bawa mobil. Aneh-aneh aja, lo.” ujarnya. “g**g yang ini, kan? Masuk?”
“Iya.”
Terakhir Agas mengantar Aya pulang, gadis itu memang meminta Agas berhenti di g**g depan rumah. Jadi kali ini Aya harus mendikte Agas memasuki g**g yang ternyata masih ramai dengan para laki-laki mulai dari anakkecil hingga pria lanjut usia alias akik-akik di pos ronda.
"Gila.” Agas berdecak. “Lo tiap hari pulang malem jalan kaki ngelewatin mas-mas muka m***m dan kriminal kayak tadi?"
Agas langsung bertanya ketika motornya sudah berhenti di halaman rumah Aya. Karena sedari tadi, ia memang ngeri membayangkan gadis yang ada di boncengannya ini berjalan kaki, seorang diri, malam hari pula.
Aya hanya berdeham menanggapi pertanyaan Agas. Mau bagaimana lagi? Kemudian gadis itu mempersilahkan Agas untuk masuk.
“Maaf, ya, rumahnya kecil. Gak senyaman rumah Kakak, pastinya.”
Agas berdecak. "Apaan sih rumah gue juga biasa aja."
Rumah Aya memang terbilang sederhana. Tidak emmiliki pagar, dinding langsung berdempetan dnegan rumah tetangga di sebelah, apa lagi rumah Aya ini dekat dengan makam di belakangnya. Tapi sejauh ini, Agas tak punya masalah berarti dengan tempat tinggal gadis itu. Aya terampil merawat huniannya dengan meletakkan beberapa tanaman hijau dan bunga canitk di halaman, membuat rumahnya jadi lebih segar dipandang.
"Eh, kemana adik lo?" tanya cowok itu usai duduk di kursi kayu ruang tamu Aya.
Baru Aya akan menjawab, sosok laki-laki gembul keluar dari kamar dengan tangan sibuk mengucek mata. Bentuk alis dan hidungnya hampir mirip dengan Aya, namun wajah adik gadis itu lebih galak dari pada sang kaka. Alisnya berkerut mennjadi satu.
Aya tersenyum, tangannya melambai meminta adiknya mendekat. "Sini."
Bocah itu menurut, berjalan ke arah sang kakak dengan mata tak lepas meneliti Agas. Melihat adik Aya terlihat curiga dengannya, Agas menahan bibirnya agar tak tertawa.
"Kenalin. Ini temen kakak."
Walaupun terlihat canggung, bocah itu mengulurkan tangan. "Aku Agil."
Agas melebarkan senyumnya, menahan diri agar tak mencubit pipi berisi bocah itu. "Aku Agas. Eh, nama kita bertiga inisialnya sama-sama A, ya?" ujar cowok itu sok dekat.
"Inisial itu apa?"
"Eum, Inisial itu huruf depan."
Agil mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti, ia berjalan menjauhi Agas dan mendudukkan pantatnya di paha Aya. Meminta pangku.
"Teman baruku di sekolah juga huruf depannya A. Dia cantik."
Agas tertawa, kali ini terbahak. Dasar, ya, anak kecil. SD aja udah suka-sukaan.
"Oh ya? Namanya siapa?"
"Alisa."
"Satu kelas sama Agil?"
Agil mengangguk.
"Agil kelas berapa, sih?"
"Kelas satu."
"A—"
"Oke, stop. Sekarang waktunya makan dan kak Agas juga harus segera pulang."
Aya memotong pembicaraan keduanya. Agas melirik, Aya tak mau tahu. Gadis itu menurunkan Agil dari pangkuannya, menata nasi dan lauk ke piring ketiganya. Melihat betapa keibuan perempuan itu, Agas jadi mengulum senyum manis. Sepertinya kali ini Agas tak salah memilih perempuan. Aya adalah perempuan yang tepat.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Agas bergerak gelisah di karpet, menonton Deril dan Dava yang sedang tanding PS di ruang tengah miliknya. Ada yang sedang mengganjal di hati laki-laki itu membuatnya tak tahan untuk tak bersuara. Ia menoleh ke belakang, pada Andi yang asik berbincang sendiri dengan telepon di telinga, mungkin sedang mengobrol dengan Intan.
"Guys." panggil Agas membuat Dava hampir menyemburkan tawa. "Pffft."
"Apaan, anjing, manggil guys kayak cewek aje, lo." ujar Deril tanpa menoleh.
"Woi, serius dulu, coba. Darurat, nih." katanya mencoba mengambil alih perhatian ketiga teman disana. Tapi lagi-lagi gagal. Yang ada sekarang Dava dan Deril balapan mengumpat karena ingin menjatuhkan lawan masing-masing.
"WOI, PLIS, GUE MAU CERITA!" teriak Agas mengejutkan yang lain. Andi sampai menendang punggung Agas yang duduk di karpet dengan mudah karena ia sedang duduk di sofa.
"Kaget, g****k!"
"Ya Allah, kuping gue!"
"a*u KALAH!" teriak Deril lalu membanting stik. "Gara-gara elo, nih, saek."
Agas memandang Deril datar. Lalu laki-laki itu menggerakkan tangannya, menyuruh ketiga temannya mendekat dan membentuk lingkaran. Entah kerasukan setan babu dari mana, Dava dan yang lain malah menurut saja.
"Jangan deket-deket, juga. Dasar homo lo!" cerca Agas mendorong kepala Deril menjauh.
"Idih??? Kalau gue homo, gue juga pilih-pilih, kali!" balas Deril mengernyit jijik dengan raut wajah super jelek.
"Jadi cerita gak, nih?!" semprot Andi membuat Agas langsung menjentikkan jari, baru ingat akan niatnya mengumpulkan para monyet tersebut. "Oh iya, lupa kalau mau cerita. Jadi gini, guys."
Dava, Deril, dan Andi langsung diam, menunggu Agas melanjutkan kalimatnya. Tapi bahkan sampai hitungan ke lima versi slow motion, Agas malah menyeringai mengejek. "Nungguin, ya?" ledeknya.
Andi menahan diri untuk tak mengumpat.
"ANJ— anjayani!"
"Dasar, lo, kutu kupret!"
Agas terbahak sampai menepuk-nepuk karpet. Persis orang gila. Tapi kemudian laki-laki itu duduk tegak, berdeham, sebelum kembali bersuara. "Oke, oke, sori. Sekarang serius. Menurut lo-lo pada, gimana cara ampuh dan seuper duper cepat biar bisa bikin luluh cewek cuek binti jutek?"
"Lo lagi ngomongin siapa?"
Agas berdecak. "Siapa lagi kalau bukan Aya?"
"Ooh." jawab ketiganya kompak.
"Kalian belum ada kemajuan emangnya?" tanya Andi.
Agas menggeleng. "Doi masih banyak diem dan cuek banget, anjim. Bingung gue."
"Berarti dia belum lo apa-apain?"
"YA KALI?!" sewot Agas pada Deril. "Gue bukan lo!"
"Halah, taik!" balas Deril kemudian. "Yang biasanya gonta-ganti cewek di kasur siapa?!"
"Ya, gue. Tapi kalau Aya beda cerita, dong."
Keempatnya kemudian diam beberapa saat. Entah apa yang dipikirkan. Tapi kemudian Andi lagi yang memecahkan keheningan. "Kalau menurut gue.."
"Sstt, sstt!" desis Agas menyuruh yang lain diam. "Biasanya kalau yang ngomong Andi suka bener. Gak kayak lo pada."
Semuanya mengumpat, balapan menjitak kepala Agas dari depan, samping, dan belakang.
"Woi, woi! Plis, fokus elah!"
"Pokoknya, bodo amat aja sama perasaan dia. Maksud gue, sekalipun dia gak keliatan suka sama lo, gas aja. Deketin, pepet terus, lama-lama juga baper. Soal hasil, mah, pikirin belakangan."
Agas mengusap dagunya sok berpikir. "Hm, bener juga."
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Bukan Aya Analisa namanya kalau mau membalas pesan yang dikirim oleh Agas. Maka dari itu, karena Agas juga bukan tipe laki-laki yang bisa banyak bersabar, ia akhirnya menaiki motornya di atas kecepatan rata-rata.
Enggak, sih. Itu hiperbola. Karena Agas nyetir santai banget, kayak-kayak jalanan di Jakarta punya dia.
Motornya meliuk-liuk berlebihan ketika belok di pertigaan jalan kawasan rumah Aya, berhenti tepat di depan rumah minimalis gadis itu, dan Agas turun tanpa sempat melepas kunci motor. Ia mengetuk pintu dibarengi ucapan salam yang keluar dari bibirnya.
Tok tok tok!
“Assalamualaikum!”
"Kak Agas?" tanya si kecil Agil ketika tubuh laki-laki itu berdiri menjulang berada di depan pintu.
Agas berjongkok, menyunggingkan senyum manis, menepuk kepala adik Aya beberapa kali. "Halo, Agil. Kak Aya mana?"
"Masih mandi."
Jam sepuluh siang baru mandi? Agas menggeleng-gelengkan kepala. Ck, ck, ck. Dasar Aya pemalas. Kalau Agas, sih, sekalian aja mandi sore, gak usah mandi pagi.
"Boleh masuk gak, nih?"
Agil mengangguk-angguk, mempersilahkan lelaki itu agar langsung duduk manis di salah satu kursi ruang tamu.
Omong-omong, sebelum Agas kesana, ia sudah lebih dulu menelpon ibunya, bertanya apakah pendapatnya sudah direalisasikan sang ibu untuk menutup toko setiap tanggal merah. Ibunya bilang sudah menuruti permintaan sang putra. Dan itu berarti hari ini Aya libur karena di setiap hari minggu karena hari minggu tanggal merah.
Aya keluar dari arah kamar mandi yang bersebelahan dengan letak dapur dengan kaos besar dan celana rumahan panjang. Rambutnya basah dan handuknya tersampir pada leher. Agas merekahkan senyumnya lagi. Ia mengangkat satu tangan, menyapa Aya.
"Hai."
Aya malah mengangkat alis tinggi-tinggi. "Kak Agas?"
Respon gadis itu persis respon sang adik tadi. Agas jadi berdecak, kenapa dua orang di depannya ini mengeluarkan ekspresi yang sama-- seolah-olah melihat hantu ketika menyambut keberadaan Agas.
"Iya, gue Agas." jawabnya cuek dan kesal sendiri.
"Ngapain disini?" Aya melirik jam dinding. "Jam segini?"
"Emang kenapa kalau jam segini? Lo gak menetapkan jadwal jam besuk dari tamu, kan?"
"Jawab yang bener."
Judes, as usually. Beruntung Agas sudah kebal dan tahan banting setiap bersama Aya.
"Mau... ngajak keluar?" jawab Agas dengan nada ragu. Karena sebenarnya ia juga bingung, memangnya untuk apa Agas ke rumah Aya? Biasanya hari Sabtu begini ia gunakan untuk berleha-leha di kasur empuknya lalu malamnya pergi ke kelab malam dan kembali berleha-leha di kasur wanita lain.
Tapi lihat rutinitasnya sekarang yang sudah ia rombak total Ia malah terjebak dalam perasaan suka pada perempuan jutek dan cuek yang membuat kepala Agas hampir mengepulkan asap karena mencari cara untuk meluluhkan hatinya setiap detik.
"Gak bisa." jawab Aya begitu saja. Ia duduk di samping sang adik yang asik memainkan game watch pemberian Aya saat ia menerima gaji bulan lalu. "Agil udah minum s**u?" tanyanya pada sang adik, tak memperdulikan keberadaan Agas, juga tak berbaik hati untuk sekedar menawarkan minuman.
Agil mengangguk.
"Habis apa enggak?”
Kali ini bocah itu menggeleng. "Sisa sedikit, kok." kilahnya dengan jempol dan telunjuk yang mengapit seolah menunjukkan seberapa banyak sisa minumannya.
"Oke, nanti jam dua belas tidur siang, ya?"
"Agil masih mau main."
Gadis itu mengusap lembut punggung adiknya. "Iya. Kan, kakak bilangnya jam dua belas."
"Agil mau mainan yang lebih seru, gak?" seloroh Agas begitu saja, membuat Agil dan Aya sama-sama menolehkan kepala ke arahnya. Agas tersenyum. "Di mall banyak mainan bagus, tahu. Kesana, yuk?"
"Kak!" tegur Aya tak suka.
Tapi Agas mana peduli. "Mau gak, Gil? Ada mobil-mobilan gede, ada robot, ada ikan, ada semuanya!”
Agil mengangguk bersemangat. "Mau, mau!” tapi sedetik kemudian bocah itu menunduk lesu. “Tapi... eum, main disana.... pasti bayar, kan?"
Agas menggeleng cepat, meyakinkan. "Gratis, dong! Mau berangkat sekarang, gak?”
“Mauuuu!”
"Kak Agas!" Aya menghadang langkah Agas yang tahu-tahu sudah menggendong Agil di depan tubuhnya dan bersiap melangkah ke arah pintu. Laki-laki itu membalikkan tubuhnya, mundur satu langkah ketika jaraknya dengan Aya terlalu dekat.
"Apa, Aya?" tanya Agas dengan suara melembut. "Kenapa?"
Bukan Aya langsung terbawa suasana. Tapi melihat situasi di hadapannya saat ini, dimana Agil terlihat bersemangat membicarakan mainan di gendongan Agas, lalu kakak kelasnya yang juga terlihat tak peduli dengan raut wajah murka Aya, gadis itu tahu bahwa ia sudah kalah.
Aya menghela nafas lirih. "Tungguin. Aku ganti baju dulu.'
Dengan itu, senyum Agas merekah sangat lebar, sampai rasanya bibirnya sudah mau sobek.
"Oke, bos!"
Ini akan jadi kencan pertama mereka berdua, sekalipun harus ada bayi yang diurus. Batin Agas senang.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Seumur hidupnya, gadis bernama Aya Analisa ini tak pernah membayangkan akan berada di posisi seperti sekarang. Berboncengan bertiga dengan kakak kelas laki-laki yang sudah populer dan namanya tenar dimana-mana bersama sang adik semata wayangnya, Agil, menaiki motor besar, mengundang tatapan penasaran dari orang banyak ketika mereka memasuki basement mall.
Aya turun dari motor besar Agas, tangannya bergerak menurunkan Agil yang sedari mengoceh senang karena ini kali pertama bocah itu memasuki bangunan besar mall.
"Bisa, gak?" tanya Agas ketika ia mengamati Ana tak kunjung selesai membuka pengait helm. Aya menggeleng polos membuat Agas langsung maju mendekat, tangannya dengan cekatan melepaskan benda tersebut dari kepala Aya.
"Makasih." ucap Aya ketika Agas menaruh helm cokelat polos di spionnya.
Agas berjongkok, tiba-tiba menggendong Agil lagi.
"Kak, kak.” Aya menghalangi gerakan Agas. “Jangan digendong terus. Nanti Agil kebiasaan manja gak mau jalan sendiri."
Dibanding menjawab peringatan dari gadis yang berjalan disampingnya, Agas memilih menanggapi kalimat Aya dengan asal. "Jangan cemburu gitu, dong. Kapan-kapan lo, deh, yang gue gendong. Sekarang Agil dulu, ya."
Aya melengos keras-keras. "Jangan ngeluh kalau nanti Agil gak mau diturunin!"
Agas tertawa dan mengangguk. Sementara tangan kanannya menahan berat badan bocah cilik tersebut, tangan kiri Agas meraih jemari Aya untuk digenggamnya, sebelum semakin mengerat dan mengajak Aya memasuki pintu utama.
Tangan Aya tak bisa diam. Beberapa kali ia mencoba menggerak-gerakkan tangan agar Agas maumelepas genggaman mereka. Aya tak nyaman begini. Ia tak suka cara orang menatap mereka bertiga seolah-olah mereka adalah sepasang suami istri dengan satu anak.
Agil berseru heboh saat langkah Agas dan Aya sudah dekat dengan time zone. "Kak Agas, mau naik itu!"
Agas melepaskan tangan Aya, membenarkan bocah di gendongannya, lalu mengikuti arah pandang Agil. "Naik mobil-mobilan?"
Agil mengangguk, bokongnya bergerak-gerak minta diturunkan dan Agas dengan senang hati menuruti. Ia mengikuti langkah kecil Agil yang berlari ke tempat yang dimaunya.
Usai menggesek kartu disana, mobil mulai bergerak berputar di tempat dan Agil senang bukan main. Bocah itu tertawa antusias pada Aya. Seakan-akan tatapannya bisa berbicara,"nih, Kak, sekarang aku bisa nyetir mobil bagus!"
Aya ikut tertawa, senyum adiknya sungguh menular.
Sebenarnya ia bisa saja membawa sang adik bermain disana setiap usai menerima gaji, tapi mengingat kebutuhan mereka berdua masih banyak, Aya harus mengurungkan niatnya. Maka dari itu, melihat kini adiknya berteriak, "lagi, Kak Agas, lagi!" ketika mobil berhenti bergerak tanda bahwa Agil kecanduan, Aya merasa hatinya menghangat.
Sebuah usapan lembut hadir di puncak kepalanya. Aya jadi menoleh, menemukan Agas sedang mengulas senyum tulus. Hati Aya makin terenyuh.
Bagaimanapun, Aya memang berhutang budi atas kebaikan kakak kelasnya hari ini. Jadi alih-alih Aya menepis tangan Agas seperti penolakan yang biasa ia berikan, kali ini ia hanya membalas senyumnya. Menghantarkan rasa terimakasih lewat satu lengkung senyum di bibir.
Agas mempersilahkan Agil untuk mencoba segala macam permainan yang diinginkannya. Membiarkan bocah cilik itu memilih barang yang ingin dibelinya. Agas benar-benar tak keberatan. Ia malah sebal karena Aya yang sedari tadi tak berhenti melarangnya untuk ini dan itu. Jangan ini dan jangan itu.
‘Kalau lo pengin beli-beli, gak papa, ambil aja. Gue yang beliin.”
“Gak.”
Agas mengedikkan bahu. “Ya udah, jangan ngamuk kalau Agil minta mainan ke gue.”
Sekitar satu jam kemudian, Agas mengajak Aya untuk ke food court karena Agil merengek mengeluh lapar. Karena kali ini Agas sedang ingin makan burger McD, ia akhirnya melangkahkan kaki kesana. Aya langsung menarik kaos Agas agar berhenti membuat laki-laki itu menoleh, alisnya terangkat satu. "Apa?"
"Jangan McD. Agil aku biasain makan makanan sehat, Kak." iabnya karena hari ini Agil terlalu keluar dari peraturan yang seharusnya’. Mulai dari boros uang dengan beli banyak mainan, melewatkan jam tidur siang, berlari dan meloncat kesana kemari, merepotka Agas, apa harus menambah lagi dengan makan makanan tidak sehat?
Agas melepas tangan Aya yang meremas ujung kaosnya, memilih kembali menyelipkan jemari di antara milik Aya. "Gak apa-apa, sekali-kali biar dia gak bosen makan bayam terus."
Aya diam.
Lagi-lagi Aya kalah. Ia tak akan bisa menolak permintaan Agas ketika alasan yang diutarakan laki-laki itu tak sepenuhnya salah. Selama ini, ia memaksa Agil untuk makan makanan hijau, yang mana sebenarnya Agil malah tidak suka sayur. Jadi ia memberi kelonggaran ekali lagi untuk hari ini. Membiarkan Agas memesankan paket lengkap untuk mereka bertiga.
Ketika Agil sedang sibuk menjilati es krimnya, Agas diam mengamati Aya yang tak henti bertanya pada adiknya apakah Agil senang hari ini atau tidak, apakah Agil merasa kelelahan, apakah Agil sudah ingin pulang, dan lain sebagainya. Senyum Agas terbit lagi. Ia tak pernah menduga bahwa akan ada waktu dimana ia bisa menghabiskan siang hari di mall dan bukan kelab, dimana ia bisa membawa anak kecil serta gadis polos dibanding menuntun wanita nakal dan mengantongi k****m-- hanya karena ingin menjadi pemilik hati adik kelas yang dikenalnya belakangan tersebut.
"Ay."
Yang dipanggil mengangkat kepala dan menoleh.
Posisi duduk Aya yang berhadapan dengan Agas sedangkan Agil berada di samping kursi gadis tersebut, memudahkan Agas untuk menangkap netra indah milik Aya di balik kacamtanya.
Ia berdeham, membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering. "Kalau..."
Aya mengangkat alisnya karena kalimat Agas tak segera dilanjutkan, seperti ia sengaja digantungkan. "Kalau?"
"Kalau gue bilang, gue beneran suka sama lo, lo percaya, gak?"
Tubuh Aya langsung menegang. Ia sudah tahu hal ini dari awal ia mengenal lelaki itu apa lagi Agas pernah menguatarakannya langsung. Namun yang membuat Aya terkejut adalah, ia tak menyangka bahwa Agas kembali membahasnya hari ini. Siang ini. Ketika da Agil di antara keduanya. Matanya berkedip dua kali sebelum bahunya kembali rileks pada detik berikutnya.
"Percaya."
"Hah?!"
Gantian Agas yang terkejut. Tak menyangka bahwa Aya akan sesantai ini menjawab pertanyaannya alih-alih bertanya mengapa dan bagaimana, atau ‘apakah benar suka atau hanya manin-main saja’ seperti lagu Marion Jola yang berjudul Jangan .
Aya mengangguk lagi, meyakinkan Agas bahwa laki-laki tersebut tak salah dengar. "Iya, percaya. Emangnya kalau bukan beneran suka, alasan apa yang bikin seorang Agas Zidane Althaf sampai melakukan banyak hal yang bukan ‘kakak banget’? Bahkan hari ini ngeluangin waktu buat nyenengin Agil. Bener, kan?"
Agas manggut-manggut sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Rasa canggung semakin merayap. "Terus... kalau gue minta lo... jadi... pacar gue... mau?"
Tak seperti pertanyaan sebelumnya yang membutuhkan beberapa detik untuk Aya merespon, kali ini gadis itu langsung menjawab usai Agas menyelesaikan kalimatnya. "Kalau misalnya aku nerima, terus kita pacaran, terus apa?"
Dahi Agas mengernyit tak paham.
"Kakak dapet apa dari temen-temen kakak kalau berhasil pacarin aku?"
Agas langsung melotot, tak percaya bahwa kalimat itu yang akan keluar dari bibir merah muda Aya. Ia menggeleng cepat. "Demi Tuhan, gue gak lagi taruhan sama siapapun. Ini bukan cerita novel, Aya. Gue beneran suka sama lo. Gue gak lagi jadiin lo sebagai bahan buat dapetin sesuatu. Ay, please, emangnya gue semurahan itu di mata lo?"
"Terus apa, dong, yang jadi alasan seorang Agas Zidane Althaf suka sama cewek cupu, doyan buku, dan miskin, kalau bukan karena dare?"
Nada suara yang digunakan Aya terdengar santai. Tapi Agas jelas tahu bahwa perempuan itu sedang bicara serius. Agas tahu Aya benar-benar meragukan perasaannya. Lagi pula siapa yang tak ragu jika seorang buaya darat tiba-tiba bilang 'benar-benar suka' pada seorang perempuan seperti Aya Analisa?
"Ay, enggak ada gitu-gitu." Agas mengecilkan suaranya ketika sadar bahwa mungkin orang di meja belakangnya bisa mendengar dialog mereka. "Ini bukan tentang siapa dan siapa. Gue ngomong jujur soal apa yang gue rasain ke lo. Ini... jujur, ini ganggu banget. Gue gak ngerti kenapa tiba-tiba gue seneng kalau ngeliat lo, tiba-tiba ngerasa nyaman setiap bisa ngobrol sama lo. Gue..." Agas menghela nafas berat. Jika ini bukan sedang di tempat umum, mungkin Agas tak akan sungkan untuk meraih tangan Aya untuk dikecupnya, meyakinkan gadis itu bahwa ia sedang serius. "Gue jatuh cinta sama lo, Ay. Gue pengin lo jadi pacar gue.”
Keduanya bertukar pandang selama beberapa detik sebelum Aya menunduk gusar. Bergerak gelisah.
"Terima aja, Kak."
Celetukan tanpa aba-aba itu keluar dari bibir bocah kecil yang ternyata diam-diam menguping. Agas dan Aya langsung menoleh kompak. Gadis itu melototi adiknya. "Apa? Kamu ngomong apa?"
Agil mengerjap polos. Menelan kentang gorengnya dengan tenang lalu menjawab pertanyaan sang kakak. "Diterima aja Kak Agas. Kan, kata Kak Ana kalau ada orang baik minta sesuatu, diiyain aja."
"Siapa yang kamu maksud orang baik?" tanya Aya dengan tatapan tak percaya.
"Kak Agas."
Agas tersenyum lebar, menyeringai pada Aya yang kini diam membatu. Gadis itu menepuk jidatnya. Tak paham dengan situasi macam apa yang kini sedang ia hadapi.
"Udah, kamu makan aja. Jangan ikutan ngobrol sama orang besar." tutur Aya membuat Agil mengangguk lalu diam, memilih melanjutkan makannya.
Agas menusuk pipi Aya dengan telunjuknya kala perempuan itu baru akan menyendok nasi. "Ay."
"Apa?!" sewot Aya sambil menoleh.
Agas merengut mendengar bentakan gadis itu. "Jadi gimana? Iya?"
"Enggak."
"Jangan cepet-cepet jawabnya. Dipikirin aja dulu. Gak harus sekarang, oke?"
Jujur saja Agas memang langsung panik karena Aya menolaknya. Tanpa meminta maaf, tanpa merasa tak enak, gadis itu langsung menjawab tanpa berpikir. Sebenarnya laki-laki itu memang sudah menyiapkan jawaban terburuk yang akan keluar dari bibir Aya. Tapi, entahlah. Agas kini merasa hatinya patah.
"Gak harus hari ini. Bisa besok, bisa kapan-kapan. Ya, Ay?" ulang Agas memegang lengan Aya, memaksa gadis itu membalas tatapannya.
Aya menghela nafas. "Iya."
"Iya apa? Iya diterima?"
"Iya besok-besok aja jawabnya, Kak!"
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Ketiganya kembali ke rumah Aya dengan Agil yang tertidur di gendongan Agas. Terik matahari siang benar-benar menyengat di kulit hari ini, membuat Aya memutuskan untuk menolak ajakan Agas untuk menemani Agil bermain di taman. Apa lagi mereka juga sudah terlalu lama membiarkan Agil ebrmain tanpa menikmati tidur siang seperti seharusnya.
Bocah laki-laki itu terlelap di d**a sang kakak ketika masih berada di tengah perjalanan. Untung saja Aya dengan sigap menumpu badannya. Hingga motor besar Agas berhenti di depan rumah, barulah laki-laki itu mengambil alih tubuh Agil untuk digendong selagi Aya membuka pintu rumah.
Usai menidurkan Agil di ranjang tua milik Aya, keduanya beranjak dari kamar, memilih untuk duduk di ruang tamu. Aya sebenarnya sudah gatal ingin mengusir kakak kelasnya. Tapi kini Agas malah bersandar pada kursi dan menatap langit-langit atap.
"Kak?"
"Hm?"
Demi rasa hormat sebagai pemilik rumah, apa lagi Agas sudah baik hati siang ini pada adiknya, Aya mau membalasnya dengan sedikit tawaran selayaknya tuan rumah pada tamu.
"Mau dibikinin minum?"
Agas menggeleng, tapi sedetik kemudian mengangguk. "Boleh, deh. Mau es teh ada?"
"Gak ada. Gak punya es batu."
"Ya udah, air putih aja."
"Oke."
Selanjutnya Aya berbalik badan, melangkah ke dapur, dan mengambilkan satu gelas air putih untuk Agas. Usai ia meletakkan gelas di depan Agas, ia mendudukkan diri di kursi sebelah cowok itu, mengamati Agas yang meneguk air dan menyisakan setengahnya.
"Kak."
"Hm?"
Aya memainkan kuku-kuku pendeknya, enggan menatap Agas. "Makasih buat hari ini, udah mau ngajakin Agil main. Dia seneng banget."
Agas tersenyum seraya mengangguk. Bagaimanapun ia ikut merasa senang karena ini pertama kalinya setelah sekian lama dengan Aya, gadis itu mau berbicara dengan tulus pada Agas.
"Kamunya seneng juga, gak?"
Aya mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. Masih dengan menunduk. Tiba-tiba pikirannya melayang mengingat kejadian di restoran tadi. Agas yang menyatakan cintanya dan meminta jawaban cukup membuat Aya jadi bingung harus bagaimana di depan Agas saat ini.
"Soal yang tadi aku bilang..." Agas sengaja menggantungkan kalimatnya. Menunggu Aya mengangkat wajah untuk menghadap ke arahnya. Dan benar, karena Agas tak kunjung melanjutkan kalimat, Aya jadi menoleh pada Agas, mengangkat satu alisnya.
"Soal yang tadi aku bilang, jangan terlalu dipikirin. Santai aja, oke? Aku gak mau kamu jadi canggung gara-gara tadi.”
Aya mengangguk-angguk lagi.
"Tapi aku bakal nagih jawabannya setiap hari. Kalau besok udah ada jawaban tapi jawabannya enggak, aku bakal nagih besoknya lagi. Sampai jawabannya iya."
Aya jadi ingin tertawa mendengar suara santai yang keluar dari bibir Agas, berbeda dengan ekspresi seriusnya. "Maksa, itu mah, namanya.”
Agas tertawa kecil. "Iya. Gak papa, ya?"
Namun Aya hanya diam. Pandangannya lurus pada lelaki itu. Dahi Agas jadi mengerut. “Kenapa, Ay?”
“Aku boleh tanya sesuatu?”
Agas mengangguk. Masih dengan pandangan bertanya-tanya karena Aya memang tiba-tiba diam.
“Apa yang bikin Kak Agas suka sama aku, seperti yang kakak bilang tadi di mall?”
“Emang naruh perasaan ke seseorang harus ada alasannya? Bahkan aku sendiri gak tahu, Ay, kenapa tiba-tiba bisa suka sama kam—“
“Gak mungkin, Kak.” sela Aya. “Gak mungkin Kak Agas tiba-tiba suka sama cewek kampungan kayak aku sedangkan di sekitar kakak, aku yakin banyak cewek yang siap sedia jadi pacar kakak. Kenapa harus aku?”
Agas semakin mengernyit tak paham. Gadis itu tiba-tiba bebrbicara sebegini seriusnya dengan raut wajah tak enak.
“Jujur aja, Kak. Apa yang sebenarnya kakak mau dari aku?”
“Ay—“
“Apa tubuh aku?”
Pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari bibir gadis polos di depannya. Membuat Agas terkejut bukan main.
“Karena Kak Agas mungkin udah bosen sama cewek mainan kakak di luar sana yang udah hebat dan sekarang pengin tahu rasanya kalau sama cewek kutu buku kayak aku? Apa Kak Agas mau nidu—“
“Berhenti.” potong Agas.
Raut wajah lelaki itu mengeras. Aya bahkan sampai meneguk ludah karena ia tak pernah melihat Agas sepert ini. Tatapan laki-laki itu menajam, giginya bergemeletuk pelan.
“Semurah apa gue di mata lo, Ay? Sebajingan apa gue di mata lo?”
Aya diam.
“Lo boleh nolak gue. Lo boleh bilang lo gak bisa nerima pernyataan cinta dari gue. Tapi gak dengan menuduh gue tanpa bukti. Atas dasar apa lo bilang kalau gue cuman pingin tidur sama lo?”
bersambung.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *