* * * previous chapter * * *
“Jujur aja, Kak. Apa yang sebenarnya kakak mau dari aku?”
“Ay—“
“Apa tubuh aku?”
Pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari bibir gadis polos di depannya. Membuat Agas terkejut bukan main.
“Karena Kak Agas mungkin udah bosen sama cewek mainan kakak di luar sana yang udah hebat dan sekarang pengin tahu rasanya kalau sama cewek kutu buku kayak aku? Apa Kak Agas mau nidu—“
“Berhenti.” potong Agas.
Raut wajah lelaki itu mengeras. Aya bahkan sampai meneguk ludah karena ia tak pernah melihat Agas sepert ini. Tatapan laki-laki itu menajam, giginya bergemeletuk pelan.
“Semurah apa gue di mata lo, Ay? Sebajingan apa gue di mata lo?”
Aya diam.
“Lo boleh nolak gue. Lo boleh bilang lo gak bisa nerima pernyataan cinta dari gue. Tapi gak dengan menuduh gue tanpa bukti. Atas dasar apa lo bilang kalau gue cuman pingin tidur sama lo?”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Laki-laki itu merapatkan bibir. “Kalau gue mau, dari awal gue bisa lakuin itu, Ay. Bisa aja gue tiba-tiba culik dan perkosa lo, ga perlu gue sampai mohon-mohon ke nyokap buat angkat gue jadi manajer dan gusur Pak Fajar dari jabatannya. Kalau gue beneran gak serius suka sama lo, gue gak bakal mau capek-capek ke toko buat bantuin lo sedangkan banyak cewek yang mau gue tidurin kapan aja.”
Cowok itu memejamkan mata. Berusaha menenngkan emosinya. Hati Agas sakit mendengar Aya memandangnya begitu sampah. Agas merasakan patah hati luar biasa karena ia tidak dipercaya oleh gadis itu. Bahkan dengan tiba-tiba, Aya menuduhnya hanya menginginkan tubuh gadis itu alih-aih Agas bisa mendapatkan yang lain tanpa berusaha.
“Terserah.” ujar Agas sebelum beanjak dari kursi. “Terserah kalau lo mau nganggep gue kayak gimana. Kadang bodohnya gue lupa, lo mutiara, sedangkan gue cuman batu kali. Lo terlalu suci buat cowok b******k kayak gue. Iya, kan?”
Dan dengan begitu, Agas langsung keluar dari rumah Aya tanpa mengucap sepatah kata lagi. Meninggalkan Aya dengan rasa bersalahnya yang membuncah. Aya menunduk, kedua tangannya saling meremas menahan diri agar tidak terus-terusan menyalahkan diri sendiri.
Tapi berkali-kali Aya mencoba menenangkan hatinya, yang ada bayangan Agas kembali muncul di benaknya.
Tatapan terluka milik Agas atas kalimat tuduhannya adalah nyata.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Mulai dari pukul dua siang tadi hingga kini malam sudah menunjukkan pukul tujuh, Aya benar-benar tak tenang. Ia dilanda rasa bersalah. Hatinya gusar dan ia tak bisa diam. Pikirannya bercabang kemana-mana karena kejadian tadi siang.
Tak ada cara lain untuknya mengatasi rasa gundah gulana selain pada akhirnya, ia nekat menghubungi nomor telepon Agas yang sebenarnya tidak pernah ia simpan. Tapi naas, teleponnya tak di angkat. Bahkan lima menit kemudian, Agas malah mematikan ponselnya membuat telepon dari Aya tak tersambung.
Aya menggigit bibir bawahnya, kakinya tak berhenti mondar-mandir. Ia segera meminta tolong kepada beberapa teman kelasnya yang ia tahu mengenal teman dekat Agas. Lalu tak lama kemudian, yang ia dapatkan adalah nomor telepon milik Deril.
“Eum, halo, Kak?”
“Ya, halo? Siapa, ya?”
“Aku... Ana.”
“Ana?”
“Aya Analisa.”
Disana, Deril malah semakin bingung. “Siapa, sih?”
“Eum, temennya Kak Agas.”
“Hah? Oh, Aya-nya Agas?!”
Aya meringis, tak ada waktu untuk meladeni itu. “Aku boleh minta alamat rumahnya Kak Agas?”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Tangan Aya bahkan sampai berkeringat saking groginya gadis itu. Aya sudah sampai di depan pintu apartemen Agas. ini meamng pertama kali gadis itu menginjak hunian mewah, namun Aya jelas tahu bagaimana cara menekan bel. Tapi Aya masih belum siap. Demi Tuhan gadis itu belum siap.
Kakinya bergerak gelisah. Ia sudah goyah dan ingin kembali ke rumahnya saja ketika tiba-tiba pintu di depannya terbuka lebar dan menampilkan pemuda yang sedari tadi mengambil alih tiga perempat isi kepala Aya.
Aya dan Agas sama-sama terkejut dan membeku beberapa saat.
“Ay?”
Aya berdeham. “Kak—“
“Lo ngapain disini?”
Ada sesuatu yang patah di dalamd iri Aya, tentu tiu hatinya. Ia bisa merasakan tiba-tiba dadanya sesak dan nyeri mendengar kalimat dingin dan tatapan datar pemuda di hadapannya. Gadis itu bahkan ingin menangis sekarang.
“Masuk dulu.” ujar Agas akhirnya.
Aya mengangguk dan mengikuti langkah cowok itu ke arah ruang tamu. Gadis itu baru sadar bahwa sepertinya cowok itu tadi sudah berniat pergi jika saja tak ada Aya di depan pintu.
“Duduk disana.” ujar Agas menunjuk salah satu sofanya. “Gue bikinin teh anget dulu.”
“Gak usah.”
Aya menolaknya. Ia mendongak menatap Agas yang masih berdiri menjulang tinggi di hadapannya apa lagi kini Aya sedang duduk. “Aku cuman bentar disini. Gak usah dibikinin minuman.”
Agas diam tak menjawab. Laki-laki tiu juga tak ada keinginan untuk duduk bergabung dengan Aya. Ia membiarkan gadis itu mendongak menatapnya.
“Aku.. aku mau minta maaf. Aku tahu, kalimatku tadi emang bener-bener jahat banget. Gak seharusnya aku menghakimi orang lain kayak tadi. Aku minta maaf.”
Agas masih diam. Aya jadi ketakutan.
“Ada lagi yang mau dibicarain?”
Keduanya kembali hening. Tidak ada satu pun dari mereka berdua yang berniat untuk membuka pembicaraan. Keduanya saling memandang. Agas menunduk dan Aya mendongak. Tatapan Agas masih sama dingin dan tajam. Akhirnya Aya yang memutuskan pandangan mereka. Gadis itu menunduk dalam-dalam. Tangannya saling meremas.
Dengan suara lirih, gadis itu kembali bersuara. “Aku mau jadi pacar kakak.”
Butuh tiga detik untuk Agas mencerna kalimat gadis itu sebelum cowok itu merespon. “Apa? Gue gak denger lo ngomong apa.”
Aya diam.
“Ay, kalau lagi ngomong, liat lawan bicaranya.”
Tapi gadis itu tak kunjung bergerak. Aya hanya menunduk, enggan menatap cowok itu. Agas mengalah, laki-laki itu berlutut di depan Aya. Tangannya bergerak mengangkat dagu Aya agar gadis itu mau menatapnya.
“Tadi ngomong apa?”
Aya menggeleng. Matanya berkaca-kaca.
“Ulang, Ay. Gue mau denger lagi.”
Tapi yang ada gadis itu malah mengizinkan air matanya terjatuh. “Aku minta maaf, Kak. A-aku juga suka sama kakak, maaf kalau aku malah bikin kakak sakit hati tadi siang dan semuanya malah rumit.”
Agas bersumpah ia tak pernah merasakan hatinya menghangat seperti detik ini, Ia merasakan beban hidupnya terangkat tanpa satupun ada yang tertinggal. Lelaki itu bahagia. Dengan posisi masih setia berlutus, Agas menarik Aya ke dalam pelukannya.
“Ssstt, udah, jangan nangis. Gue gak apa-apa.”
Aya memang tidak membalas pelukannya. Tapi perempuan itu jelas tak menolak untuk dipeluk. Itu sudah cukup. Agas mengusap lembut punggung Aya. “Makasih, Ay. Makasih karena udah jawab iya.”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Ada yang berbeda dengan Agas Zidane Althaf hari ini. Deril, Dava, dan Andi bahkan sampai ngeri sendiri melihat cowok itu dari pagi terlalu banyak tersenyum. Agas masihlah Agas yang pagi tadi berangkat terlambat, masih Agas yang dimarahi guru karena tak memasukkan seragamnya ke dalam celana, masih tertidur di kelas saat mata pelajaran dimulai. Tapi bahkan, dengan semua mata pelajaran yang dibenci Agas hari ini, senyum yang terulas di bibir Agas tak luntur sedetikpun.
“Kenapa, sih, temen lo?” bisik Deril pada Dava ketika Agas menopang dagunya dengan pikiran melayang entah kemana dan senyum masih mengembang disana.
“Abis menang lotre, kali.”
“Ya kali???” Deril yang tak puas dengan jawaban Dava jadi menyenggol siku Andi. “Menurut lo si Agas kenapa?”
Andi menoleh ke belakang, ke bangku Agas. Dilihatnya sohibnya itu selama beberapa detik sebelum kembali menghadap depan. “Jadian sama Aya, kali?”
Mata Deril langsung berbinar. Cowok itu kemudian tiba-tiba memutar tubuh. “Lo udah jadian sama Ana?!”
Agas yang terkejut otomatis memukul kepala Deril. “Kaget, t***l!”
“Lo udah jadian?” tanya Deril sekali lagi.
Agas tersenyum lebar pada Deril, Dava, dan Andi yang sama-sama menoleh padanya dan menatap lekat, menunggunya memberi jawaban. Kemudian Agas mengangguk. “Udah.”
Deril langsung berdiri dari kursinya. Ia menggoyang-goyangkan tubuh merayakan kabar abik dari sahabatnya itu. “Asik! Setelah sekian purnama lo lewati, akhirnya worth it juga perjuangan lo!”
Agas tertawa.
“Jadi, lo harus open table di Cocola, dong malem ini?” ujar Dava sambil mengunyak permen karetnya.
Agas pura-pura berpikir. “Nanti, deh, gue kabarin. Kalau Aya gak ngebolehin gue clubbing, gue gak jadi berangkat.”
“t*i! Gayaan lo!”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Tadi pagi, Aya menolak untuk berangkat bersama Agas dengan alasan tak ingin menggemparkan masyarakat di sekolah. Agas sudah memaksa, mengatakan tak apa, bahwa pendapat orang lain tak perlu didengar, tapi Aya juga tak kalah keras kepala. Gadis itu tetap tak mau, membuat Agas mau tak mau jadi mengalah dan kalah.
Tapi ketika bel pulang sekolah berdering, Agas jelas langsung terbang ke kelas Aya, memaksa cewek itu agar mau pulang bersamanya. Mau tak mau, Aya tak punya pilihan selain mengangguk mengiyakan.
Karena keduanya sama-sama harus ke toko roti satu setengah jam dari sekarang, Agas dan Aya setuju untuk istirahat di rumah Aya saja sebelum ke toko. sebenarnya Aya mau-mau saja sitirahat di tempat Agas yng lebih nyaman, tapi Aya masih memikirkan adiknya yang sendirian di rumah.
Usai membuatkan minuman untuk Agas, Aya mengambil duduk di kursi seberang cowok itu. “Kak Agas cerita-cerita, ya, ke temen-temen kakak kalau kita sekarang pacaran?”
Agas mengangguk tanpa rasa bersalah. “Kok tahu?”
“Tadi pas di parkiran mereka godain terus. Ngecie-ciein.”
Agas tertawa. Tangannya hendak mengusap rambut cewek itu namun ia urungkan karena jarak yang terlalu jauh. Agas jadi menepuk-nepuk kursi kosong di sampingnya. “Duduk di sini. Jauh banget kayak lagi musuhan.”
Aya tertawa. “Apaan, sih?”
“Sini.”
Aya akhirnya menurut. Ia duduk di samping cowok itu. Agas tak tahan untuk tak tersenyum. Demi apapun, cowok itu merasa senang bukan main setiap kali teringat bahwa ia dan Aya sudah memiliki ikatan yang jelas sekarang. Jantungnya masih saja suka berdegup kencang setiap kali ingat bahwa gadis di sampingnya ini sudah jadi miliknya.
“Cantik banget, sih, Ay?”
“Idih.” respon Aya sambil mengernyit geli.
Agas berdecak. Tangannya terangkat mencubit pipi gadis itu. “Kalau dipuji itu harusnya bilang makasih, tahu.”
“Bilang makasih itu kalau pujiannya tulus, tahu.” balas Aya tak mau kalah.
“Orang gue mujinya tulus.”
Aya mengangguk-angguk, masih dengan senyum yang terulas disana. "Terserah, deh."
Aya hendak mengambil tisu di meja ketika Agas juga akan mengambil gelas air putihnya membuat lulut keduanya bertemu, agak kencang membuat Agas langsung panik melihat Aya, takut perempuan itu merasa sakit. Tepat ketika ia mengangkat kepala, Agas terkejut bukan main karena wajahnya dan Aya hanya berjarak dua jengkal. Agas terpaku menatap bola mata indah gadis itu. Membuatnya tak bergerak apa lagi mejauhkan jarak mereka.
Aya juga diam, tubuhnya menegang memandangi Agas dari jarak dekat. Ia baru tahu bahwa Agas terlihat lebih tampan dari dekat begini. Membuatnya semakin terheran-heran mengapa seorang Agas bisa-bisanya mengaku menyukai perempuan seperti dirinya. Bukankah Agas tinggal memilih perempuan bak model gitar spanyol di luaran sana? Mengapa harus Aya?
"Ay."
Agas mengalihkan matanya dari bibir gadis itu ke matanya. Ia mengerjap, lalu berdeham. "Lo punya mantan?"
"Kita bisa gak ngomongnya gak deket-deketan gini?" tanya Aya karena merasa tak nyaman dengan posisinya. Agas malah menggeleng. "Enggak. Jangan ngejauh. Gue suka gini," jawabnya cepat. "Jadi gimana, punya mantan?"
"Menurut kakak, dengan mukaku yang kayak gini, apa aku punya mantan?" tanya Aya skeptis.
Dahi Agas mengerut. "Banyak?"
Aya langsung mendengus. "Aku gak ada waktu buat ngurusin love life, Kak. Lagian gak ada yang pernah deketin aku."
Senyum Agas langsung mengembang. Tanpa sadar bahunya langsung melemas, merasa puas. Matanya tak bisa fokus ketika wajah Aya berada sangat dekat dengan miliknya sedangkan bibir ranum gadis itu mencuri perhatiannya. "Jadi, belum pernah ciuman?"
Aya melotot. Ia sedikit mundur menjauh, tapi Agas dengan sigap langsung menarik lengan Aya, membuat gadis itu jadi maju lagi, dan kali ini lebih dekat.
"Kalau... gue minta izin.. buat jadi yang pertama, boleh?"
Siapapun harus mengetuk kepala Agas dengan palu. Laki-laki itu butuh disadarkan bahwa ini terlalu cepat untuk membicarakan hal intens seperti ini. Tapi apa Agas salah jika mengutarakan apabyang ia rasakan? Salahkan saja Aya yang selalu membuat Agas jatuh makin dalam setiap harinya dan kali ini memakai pelembap bibir membuat Agas salah fokus.
"Kak—"
"Boleh?" desak Agas, dengan suara lirih, hampir tak terdengar.
Aya panik. Tapi tak menjauh. Ia hanya menatap lekat mata Agas yang tampak serius menunggu jawaban. Tangan laki-laki itu menggenggam lengannya, jari jempolnya mengepus lembut kulitnya. Aya meremang. Tak pernah berada di posisi seperti ini sebelumnya.
"Lo diem aku anggep boleh, berarti." putus Agas sebelum bergerak mendekat seraya memiringkan wajah. Aya menutup matanya rapat, tak siap dengan apa yang akan terjadi. Detik berikutnya, yang terjadi adalah...
Buk!
Suara keras tersebut disusul dengan tangisan Agil, membuat Aya langsung terkejut dan mendorong d**a Agas menyuruh menjauh.
Agil jatuh dari ranjang.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Ada yang berubah di antara mereka berdua : Aya dan Agas semenjak kejadian kemarin. Padahal mereka berdua sudah resmi punya ikatan lebih dari teman, tapi bisa-bisanya karena tragedi kemarin, dua anak manusia itu malah canggung.
Pagi ini, Agas memang sudah sepakat dengan Aya untuk selalu menjemput dan mengantarnya kemanapun Aya akan pergi. Bukan maksud hati Agas ingin posesif padahal baru jadian— walaupun sebenarnya dia memang ingin, tapi Agas hanya ingin Aya selalu berada dalam radar dekatnya.
Lagi pula lewat pesan singkat yang saling mereka kirim kemarin malam, Aya mengiyakan keinginan cowok itu. Dengan syarat Agas harus berangkat dari apartemen lebih pagi karena Aya tak suka berangkat ke sekolah mepet dengan jam masuknya. Tentu Agas mengiyakan pula. Lagian ia yakin, menjabat status sebagai kekasih Aya sudah pasti akan membantunya merubah sikap buruk yang selama ini ia pelihara, pelan namun pasti, ia yakin.
Seperti contohnya hari ini. Karena sudah berjanji untuk menjemput Aya, Agas memasang alarm semalam, agar ia bisa bangun pukul lima pagi. benar-benar bukan seperti Agas sehari-hari biasanya.
Rasa berbunga masih senantiasa bersemayam di hatinya setiap kali ia ingat bahwa seorang Agas Zidane Althaf sekarang sudah bisa meluluhkan hati seorang Aya Analisa. Dengan cekatan, Agas memakai jaket abu-abu andalannya, lalu menutup pintu apartemen dan memasuki lift.
Kali ini Agas sengaja membawa motor besarnya ke sekolah. Tidak ada alasan khusus, sih, hanya sedang ingin saja. Alasan keduanya mungkin karena ia lupa isi bensin di tangki mobil dan Agas takut jika di tengah jalan nanti malah mogok. Jadi dari pada berresiko terlambat menjemput kesayangannya, ia memilih mengendarai motor saja.
Butuh waktu sepuluh menit saja mengingat ini masih sangat pagi untuk motor Agas akhirnya sampai di depan rumah Aya. Tanpa melepas helm dan kunci motor, cowok itu mengetuk pintu Aya yang tertutup.
Ia juga sempat mengamati lingkungan kanan kiri rumah Aya yang— walaupun ini masih pagi, sudah banyak orang yang berkeliaran. Mulai dari ibu-ibu yang menggosip sambil menjemur pakaian, atau ibu-ibu yang pulang dari pasar, bapak-bapak yang asik dengan ayam jago masing-masing, bahkan hewan ternak yang sibuk bersuara mungkin sedang meminta makan pada sang majikan. Jelas suasana ini sangat berbeda dengan lingkungannya. Tak peduli sedang pagi, siang, sore, atau malam, ia tak punya tetangga yang bisa disapa, tak punya tetangga menyebalkan juga. Masing-masing dari mereka sama-sama bersifat individualis.
“Pagi!” sapa Agas ceria ketika Aya membua pintu. Gadis dengan kacamata bulat, seragam kebesaran, dan sepatu hitam, dan rambut dikuncir rapi itu tersenyum singkat tanpa menjawab sapaannya.
Apa yang berbeda dari Aya antara sebelum dan sesudah jadi pacar Agas?
Jawabannya tidak ada. Aya masihlah Aya yang cuek. Tak bisa diajak bermanis-manis ria. Tak ada sapaan selamat pagi dan selamat malam sebagai pembuka dan penutup jumpa. Untung Agas sayang.
“Agil udah siap berangkat?” tanya Agas sembari berlutut di lntai, menanyakan bocah kecil menggemaskan itu apa lagi tubuhnya terbalut seragam merah putih.
Agil mengangguk malas.
“Yuk.”
Ketiganya naik ke motor Agas. Lkai-laki itu langsung memutar kunci motor dan mengehidupkan mesin. Bunyi motor besarnya yang memang khas itu langsung terdengar. Sembari melewati rumah para tetangga, Aya tersenyum menyapa.
Beginilah aktivitas pagi yang akan terjadi mulai hari ini. Dengan keberadaan Agil yang alih-alih mengganggu, bocah itu malah pelengkap Agas dan Aya. Mereka bertiga terlihat seperti keluarga harmonis yang menikah muda apa lagi Agas dan Aya masih memakai seragam putih abu-abu.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Banyak yang berubah pada hidup Agas sekalipun hari ini baru hari kedua ia melepas status jomblonya. Meskipun kehidupan Aya jelas berbeda, karena ada atau tidak adanya kehadiran Agas tidak terlalu berpengaruh padanya, tentu itu tidak berlaku pada seorang Agas.
Usai ia memarkirkan motor besarnya, Agas melepas helm. Mempersilahkan Aya turun lebih dulu disusul oleh dirinya. Jika hari sebelum ini ia akan memasnag wajah keren dan melambaikan Tangan serta tersenyum setiap kali ada adik kelas yang menyapa, maka pagi ini tidak ada Agas yang begitu.
“Halo Kak Agas.”
Adalah sapaan pertama yang ia dapatkan pagi ini dari salah satu juniornya. Agas mengangguk dan tersenyum canggung. Padahal jika dipikir-pikir, kenapa pula Agas harus canggung? Ia yakin seratus persen bahwa kekasihnya tak akan marah apa lagi cemburu.
“Pagi, Kak Agas.”
Adalah sapaan kedua dari junior kelas sebelas, yang jujur saja, junior tersebut adalah mantan gebetan Agas yang berakhir tragis karena tiba-tiba Agas menghilang dan tak mau tahu.
“Halo.” ujar Agas lirih.
Sapaan terus-menerus berdatangan. Agas mencoba melirik Aya yang berjalan di sampingnya dengan tenang. Lalu mungkin karena Aya merasa ada yang memeperhatikan, gadis itu jadi menoleh. Dahinya berkerut. “Apa?”
Agas menggeleng cepat. Tak berniat membahasnya. Alasannya sudah jelas, ia takut.
“Udah resiko, kali, Kak, jadi cowok ganteng dan terkenal. Gak kaget kalau banyak yang nyapa pagi-pagi begini.” ucap Aya seakan membaca pikiran Agas.
Cowok itu langsung diam, mulutnya terkatup rapat. Namun seiring dnegan otaknya mencerna kalimat Aya, cowok itu tiba-tiba melebarkan senyum. Bibirnya menyeringai kecil, lengannya menyikut siku Aya membuat gadis itu jadi terdorong ke samping.
“Kak?!” protesnya pada Agas. “Ngapain, sih, jalannya serong-serong?!”
Tak memperdulikan protes gadis itu, Agas mengutarakan kalimat lain. “Tadi lo bilang apa?”
“Apa?”
“Yang barusan.”
Aya makin bengong bingung. “Hah?” ia menggaruk hidungnya, tak paham dengan pertanyaan Agas. “Kenapa Kak Agas jalannya serong-serong?”
“Bukan!” Agas jadi gemas. Katanya pinter, siswa olimpiade, kenapa disuruh inget-inget aja susah! Batin Agas menggerutu.
“Lo tadi bilang kalau gue terkenal dan ganteng.”
“Ooh.. Terus?”
“Aya, lo ngakuin kalau gue ganteng?” tanya Agas dengan binar senang di matanya.
Aya makin bingung. Apa Agas selama ini tak tahu kalau dirinya ganteng? “... emang enggak?”
Agas tersenyum makin riang. “Cie ngakuin kalau gue ganteng.”
“...apa, sih, Kak?”
Agas tak peduli dengan sorot bingung gadis itu. Agas hanya merasa sennag. Ini jelas bukan pertama kalinya cowok itu dapat pujian tampan, keren, ganetng, dan smacamnya dari orang sekitar. Tapi jika hal tersebut keluar dari bibir Aya, jelas sensaninya berbeda. Agas mencubit pipi Aya gemas. “Makasih, ya.”
“Gak jelas.”
“Bodo.” balas Agas sambil memeletkan lidahnya. “Dah sana, pergi ke kelas. Atau mau ikut gue aja?”
“Ngapain banget.” balas Aya sinis lalu kakinya melangkah belok ke kanan.
“Bye, Aya! Jangan lupa nanti pulang sama gue!”
Tapi Aya tetap melajukan kakinya tanpa berniat menjawab kalimat si gila Agas.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Begini ceritanya.
Aya tahu benar bahwa kekasihnya, alias si Agas Zidane Althaf adalah senior yang terkenal bukan main. Tidak hanya seantero sekolahnya saja, namun hingga sekolah depan, sampai sekolah samping dan sekolah lainnya, nama Agas bukan lagi nama yang asing.
Di sekolah merea sendiri, di SMA Delite, Agas terkenal karena ketampanannya. Kalau kata teman sekelas Aya, Agas itu tipe idaman. Selain tampan, Agas juga kaya, dan b****k gemesin. Gitu katanya. Aya tak terlalu peduli dengan reputasi cowok itu sekalipun Aya sekarang sudah resmi menjadi pacar Agas, Toh, ia menerima Agas bukan karena ketampanannya, bukan karena uangnya, atau malah b****k tapi gemes seperti yang disebutkan oleh teman-teman sekelasnya. ia suka Agas karena hatinya. Dibalik Agas yang nakal dan tak tahu diri, Agas mampu meluluhkan Aya karena sifat tolong menolong cowok itu. Bagaimana Agas juga sellau memberi pengertian dan perhatian untuknya, untuk adiknya, adalah faktor utama mengapa Aya akhirnya luluh lantak.
Aya tahu Agas memang setenar itu. Tapi yang ia tak tahu, berstatus menjadi pacar Agas akan membahayakan diri sendiri. Aya tentu bukan tipe gadis yang mau mengurusi omongan orang apa lagi cercaan. Ia tipe perempuan yang cuek— yang kata orang lain cenderung diam seperti si cupu kutu buku. Mungkin karena itu pula, akhirnya banyak yang bisa semena-mena pada Aya.
Seperti pagi ini.
Aya adalah siswa pertama yang masuk kelas mengingat ia dan Agas memang berangkat terlalu pagi. Usai melakukan tugasnya untuk piket membersihkan kelas, Aya duduk di bangkunya dan membuka buku.Baru membaca satu halaman, langkah seseorang memasuki kelas membuat Aya mengangkat kepala, mengalihkan perhatian. Teman sekelasnya yang bernama Dewi, di dewi kelasnya, disusul dengan lima teman yang lainnya asik tertawa entah membicarakan apa.
Sebagai siswa yang anti sosial, apa lagi ini masih tahun pertama ia menginjak bangku SMA, tentu Aya tak terlalu dekat dengan Dewi beserta seluruh isi gengnya. Jadi Aya kembali menunduk dan membalik halaman lainnya,. Tapi baru ia membaca kalimat pertama, ia mendengar Dewi berbicara sengaja dikeraskan.
“Padahal Kak Agas ganteng banget, sumpah! Kenapa, ya, kok seleranya jomplang gitu?”
“Lebih cocok sama Dewi gak, sih?”
“Iyalah, anjir! Dewi cantik, tenar, sama dong kayak Kak Agas?!”
“Kalau gue, sih, lebih suka Kak Dava, ya, dari pada Kak Agas.”
“Tapi dia, kan, udah punya doi!”
“Nah, makanya. Gue relain, deh. Kak Gisel cocok sama Kak Dava.”
“Kak Shara juga cocok, tuh, sama Kak Deril.”
“Setuju banget! Kak Deril pinter, njir, cari cewek. Mereka berdua so sweet parah!”
“Makanya gue bingung kenapa Kak Agas malah cari cewek di luar ekspetasi, coba?”
“Lagi nyobain sensasi macarin cupu kali, ya?”
Suasana hati Aya langsung memburuk detik itu juga. Iya sudah tak punya keinginan melanjutkan bacaannya, melainkan menutup buku dan pura-pura akan menghapus papan tulis. Ketika melewati bangku Dewi, ia mendengar kalimat tidak mengenakkan lagi.
“Eh, Kak Agas banyak duit, kan, ya? Pantes, sih, ceweknya langsung mau.”
Dengan itu, Aya langsung memutar badan, menghampiri Dewi, lalu menatapnya datar. “Kok gak ngomong langsung aja, sih, Wi, di depan aku? Kenapa harus nyindir-nyindir?”
Dewi dan keenam teman yang melingkar di satu meja itu mengangkat kepala. Dewi sempat menoleh pada teman-temannya, seperti tertawa mencemooh sebelum kembali menatap Aya. “Loh? Nyindir apa, ya, An? Nyindir siapa?”
“Kalian ngomongin pacarnya Kak Agas.”
Dewi mengangguk tanpa merasa bersalah. “Emang lo pacarnya?”
Aya tahu ini tak akan ada habisnya jika ia terus-terusan meladeni perkataan. Jadi ia menyerah, bukan berarti ia kalah, ia hanya malas berdebat akan sesuatu yang tida penting. Gadis berkacamata itu kembali duduk tenang di kursinya. Berusaha menutup telinga sekalipun Dewi dan enam teman yang lainnya semakin menyindirnya habis-habisan.
Hal serupa terjadi ketika Aya pergi ke perpustakaan saat istirahat pertama berbunyi. Ketika ia baru menginjak lantai perpustakaan dan mengisi buku pengunjung, suara berisik di ujung lorong membuatnya menoleh. Kali ini bukan lagi teman satu kelasnya, bukan juga teman seangatan. Ini senior. Badge berwarna merah di lengan atas seragam perempuan cantik itu menunjukan bahwa gerombolan mereka adalah senior kelas 12.
Usai membubuhkan tanda tangan di buku, Aya memasuki perpustakaan, yang mana membuat perkacapan— atau pergosipan para senior semakin terdengar. Kali ini bukan disengaja seperti Dewi tadi. Para senior cantik itu tida tahu bahwa yang jadi bahan gunjingannya sedang ebrada di satu ruang dengan mereka.
Aya memilih buku di rak, seklaipun telinganya semakin bisa menangkap isi obrolan mereka.
“Gila, sumpah. Gue gak percaya, anjir, si Agas beloknya jauh banget!”
“Gue udah tanya Dava, tapi kata dia emang si Agas suka, sih.”
“Didukunin, kali.”
“Iya kali, ya? Lagian siapa, sih, yang gak mau sama Agas?”
Mereka tertawa sesaat sebelum melanjutkan. “Sekalipun itu cowok agak sinting, gue juga maulah sama Agas. Ganteng dan tajir. Idaman banget gak, tuh?”
Aya masih menimang-nimang dlaam diamnya. Apakah ia harus menghampiri kakak kelasnya itu dan menegur mereka, atau ia harus berdiam diri saja pura-pura tidak tahu. Awalnya Aya sudah memutuskan ikut pilihan kedua dengan pertimbangan agar hidupnya damai tanpa musuh, ia tak ingin punya masalah dengan sapapun apa lagi kakak kelas. Sejudes-judesnya Aya, dia juga masih bisa ketar-ketir kalau berhadapan dengan senior beralis ulat bulu seperti mereka. Tapi kemudian ia ingat lagi, bahwa jika ia terus diam, sedangkan sudah pasti gosip sampah seperti ini tidak hanya ebrlaku untuk hari ini namun juga besok dan besoknya lagi, apa Aya harus masih mematung pura-pura tak tahu? Dalam dua hari, bisa-bisanya namanya terkenal sebagai Aya si Pelanggan Dukun akibat mulut orang-orang jahat di luar sana yang selalu bilang bahwa Agas adalah korban jampi-jampinya.
Padahal boro-boro mau ke dukun, duit untuk kesana lebih berharga untuk dibelikan batagor saja.
Gadis itu memutuskan melangkahkan kaki, mendekat pada lorong perpustakaan di tengah. Salah satu gadis disana langsung meyadari kehadirannya. Tpai bukan merasa bersalah karena ke-gap Aya alias si bahan perbincangan, perempuan itu malah menyeringai pada teman-temannya. Seakan mereka memang sudah menunggu ada waktu untuk bisa berhadapan dengan Aya langsung.
Aya benar-benar baru saja membuka mulut, tapi segera ia urungkan saat tiba-tiba tangan kanannya di tarik oleh seseorang dari arah belakang. Aya cepat menoleh. Hal yang ia temukan tentu saja adalah si Agas Zidane Althaf.
Jika biasanya Agas akan memasang wajah seperti badut ketika menemui Aya, kali ini tidak. Tatapannya datar namun mampu mengintimidasi. Cowok tu menarik Aya agar berdiri di belakangnya seiring Agas yang maju ke depan.
“Ngomongin siapa lo?” ujar Agas dengan nada tak bersahabat.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *