* * * previous chapter * * *
Gadis itu memutuskan melangkahkan kaki, mendekat pada lorong perpustakaan di tengah. Salah satu gadis disana langsung meyadari kehadirannya. Tpai bukan merasa bersalah karena ke-gap Aya alias si bahan perbincangan, perempuan itu malah menyeringai pada teman-temannya. Seakan mereka memang sudah menunggu ada waktu untuk bisa berhadapan dengan Aya langsung.
Aya benar-benar baru saja membuka mulut, tapi segera ia urungkan saat tiba-tiba tangan kanannya di tarik oleh seseorang dari arah belakang. Aya cepat menoleh. Hal yang ia temukan tentu saja adalah si Agas Zidane Althaf.
Jika biasanya Agas akan memasang wajah seperti badut ketika menemui Aya, kali ini tidak. Tatapannya datar namun mampu mengintimidasi. Cowok tu menarik Aya agar berdiri di belakangnya seiring Agas yang maju ke depan.
“Ngomongin siapa lo?” ujar Agas dengan nada tak bersahabat.
Tiga perempuan yang sekarang sudah Aya ketahui namanya usai ia berhasil membaca name tag di seragamnya— Dinda, Farah, dan Liana— mereka mengatupkan bibir rapat-rapat. Bahkan Farah langsung menunduk tak berani berhadapan langsung dengan Agas. Yang Aya lihat kini bukan lagi tiga perempuan dengan tatapan sinis dan songong, melainkan menciut seperti anak kucing— atau anak anjing saja.
“Ngomongin siapa, gue tanya?!”
Dari sebelah Agas, Aya bisa melihat otot di leher cowok itu mulai bermunculkan. Agas seperti benar-benar marah. Agas memukul rak di belakang kepala Dinda, Aya bisa memastikan sudah banyak siswa di perpustakaan yang langsung menoleh karena ini. Aya bingung mengapa penjaga perpustakaan tidak segera menegur. Apa sedang keluar? tanya Aya dalam hati, sempat-sempatnya.
“Anu, G-gas.. K-kita...”
“Gas, s-sor—“
Agas mendecih sinis. “Bukan berarti lo-lo pada sering nongkrong sama gue dan anak-anak yang lain, jadi sekarang bisa sok deket sama gue sampe-sampe bisa ngatur cewek mana yang cocok sama gue dan mana yang enggak.”
“Tapi, Gas, yang dibilang Dnda, tuh, bener tau! Biasanya lo macarin—“
“Gue gak pernah macarin siapapun.” potong Agas meralatnya.
“Tapi Sonia—“
“Sonia gak pernah jadi pacar gue.” potongnya lagi. Agas menatap Dinda tajam. “Lo yang paling tahu, Din. Gue sama sekali gak pernah macarin cewek siapapun. Mereka cuman ngaku-ngaku, itupun cuman karena gue sempet baperin. Setelahnya udah pasti gue tinggal.”
Agas menatap satu persatu teman Dinda. “Dan lo berdua, gak tahu apapun. Jangan asal ngomong, jangan ngejudge orang lain, apa lagi cewek gue.”
“Gue bilangin sama kalian sekali lagi, sekalian rekam nih muka gue, sebarin ke sosial media biar semua orang tahu.” Agas mundur selangkah, tangannya menarik Aya agar berdiri tepat di sampingnya. “Aya Analisa udah resmi jadi cewek gue. Siapapun yang berani ngomongin dia, berhadapan langsung sama gue. Ngerti lo pada?”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Bukannya jadi membaca buku ke perpustakaan, istirahat dua puluh menit itu malah digunakan Aya untuk ke UKS. Kata cowok itu, Agas butuh gomong berdua, sedangkan di perpustakaan haru sunyi senyap, pengunjung tak boleh bersuara.
“Terus tadi apaan? Kakak malah teriak-teriak.” protes Aya mengngat kelakuan Agas saat menegur Dinda dan dua temannya yang lain.
Tapi sekalipun awalnya Aya menolak, Agas juga punya seribu cara untuk memaksa. Jadi disinilah mereka berdua sekarang. Di salah satu ranjang UKS berduaan— oh, ralat, bertiga dengan penjaga UKS yang ternyata kali ini yang bertugas adalah siswa ekskul PMR kelas 10. Aman, batin Agas.
“Kalau ada yang kayak tadi ke elo, harusnya langsung ngechat gue, kek, atau nelpon, kek.”
Aya mendengus pelan mendengar itu. “Terus apa? Kak Agas dateng sok pahlawan sok ngebelain aku terus yang ada mereka malah makin suka caci maki aku yang ada.”
“Enggak— gue pastiin gak bakal ada yang ayak gitu lagi ke elo.”
Sebenarnya dalam hati, Aya hendak memerotes lagi. Ia tak yakin dengan kalimat Agas yang meyakinkannya bahwa kejadian hari ini adalah yang terakhir. Hal yang paling penting dan utama bagi Aya saat ini adalah bagaimana mengembalikan suasana hatinya yang buruk sejak pagi.
Melihat Aya yang diam sembari menggoyang-goyangkan kaki, wajahnya menghadap e arah berlainan dengan Agas, membuat cowok itu was-was.
“Ay?”
Aya hanya menggumam tanpa mau menatap sang pemanggil.
“Lo marah?”
“Buat apa?”
“Enggak tahu juga, sih. Tapi kayaknya lo lagi... bete?”
Dengan itu Aya menoleh, menatap Agas yang ternyata wajahnya sedang menatap Aya takut-takut. Gadis itu menyamankan posisi duduknya, ia emmutar badan agar menghadap penuh ke arah Agas.
“Kalau Kak Agas tanya apa aku marah karena Kak Dinda, atau karena Kak Agas yang sok ngebelain, jawabannya enggak. Aku enggak marah. Aku gak mau dalam sehari marah sama sembilan cewek karena mereka ngomongin aku di—“
“Sembilan?” potong Agas cepat. “Siapa? Kok elo gak ngomong apa-apa sama gue? Anak sini? Ay—“
Aya mengangkat satu tangannya, menyuruh Agas diam. “Tapi aku males kak,” lanjutnya. “Aku males dimana-mana jadi bahan omongan orang. Semuanya bilang aku yang ngejar-ngejar kakaklah, aku ngedukunin kakak, aku gak cocok sama kakak, aku—“
“Ay, tapi, kan, elo gak gitu. Poinnya adalah mereka salah.”
Sejujurnya, Agas mulai was-was dengan kalimat panjang yang diekluarkan Aya. Agas senang, sih, ini pertama kalinya Aya ngomong panjang kali lebar sama dia, tapi kalau bau-baunya konflik begini, Agas malah takut sendiri.
“Tapi mereka tahunya gitu, Kak...”
“Terus lo mau gue gimana? Gue bisa datengin mereka satu persatu, sini sebutin anak kelas mana. Atau lo mau gue nempelin pengumuman di mading kalau lo pacar gue dan gak ada yang boleh ngomongin lo? Gue mau, Ay. Gue mau ngelakuin apapun yang lo mau asal lo ngomongnya gak bikin jantung gue mau copot begini.”
Aya membenarkan letak kacamatanya sembari menunduk sesaat sebelum kembali mengangkat kepala. “Kayaknya kita gak cocok banget, kan, Kak?”
“Aya, apa, sih? Gue—“
“Kita gak cocok, kan?” tanya Aya sekali lagi. “Kakak terlalu segala-galanya buat aku yang gak ada apa-apanya.”
“Ay, diem gak? Gue gak mau denger apa-apa dari lo.”
Aya menggeleng pelan, sambil tersenyum miris. “Kita gak akan berhasil, Kak. Aku udah pernah bilang sama kakak kalau kita gak bakal bisa. Tapi kakak ngotot mau status ini. Dan lihat hasilnya? Aku gak mau gini, Kak. Aku gak bisa denger orang bicara jelek soal aku, ini, itu, yang seratus persen salah tapi bodohnya aku gak bisa bungkam mulut mereka satu persatu.”
Gadis itu menggenggam satu tangan Agas yang terkulai lemas. “Kita masih bisa berteman. Kakak masih bisa—“
“Enggak, gue gak mau.” sela Agas cepat. Matanya kali ini terdapat amarah disana. Sorotnya tajam. Ia menepis tangan Aya di atas punggung tangannya. “Jangan ngomong aneh-aneh, Ay. Gue gak mau.”
Agas langsung berdiri dari ranjang UKS, langkah kakinya sudah hendak mengayun ketika suara Aya kembali terdengar di gendang telinganya.
“Terserah. Aku gak butuh pendapat kakak. Aku mau putus—“
Dan kalimat itu tak terselesaikan dengan sempurna karena Agas langsung berbalik badan dan membungkuk membungkam bibir Aya. Kedua tangannya berada di sisi leher gadis itu, bibirnya melumat Aya, lembut, pelan, tapi tersimpan kalimat pedih di dalamnya. Agas tak mau mereka berpisah. Bukan karena reputasinya sebagai buaya darat yang akan hancur jika orang mendengar ia dibuang oleh perempuan, buka pula tentang omongan orang yang akan menjelekkannya karena hanya berhasil memacari gadis itu tiga hari saja. Tapi ini tentang hati Agas. Ia menyayangi Aya, dan itu bukan kebohongan. Ini fakta. Murni dari hatinya. Agas menyayangi Aya.
Seiring dengan Aya yang merasa detak jantungnya terasa empat kali lipat lebih cepat, Aya perlahan mulai melepaskan tangannya yang tadi mendorong d**a Agas menjauh. Kali ini cewek itu memegangi lengan Agas yang masih memegang sisi lehernya, ia usap perlahan sebelum ia ikut memejamkan mata menikmati, dan mulai membalas.
Aya bisa merasakan cowok yang menciumnya ini sempat tersenyum kecil. Mungkin karena Aya membalas ciumannya? Atau karena Aya akhirnya ikut nakal karena berani berciuman di sekolah? Entahlah., sudah Aya bilang Agas selalu membawa dampak buruk bagi dirinya.
Sampai akhirnya Agas menjauh ektika dirasa Aya mulai kehabisan nafas, tangannya memegangi kedua pipi Aya, tak megizinkan cewek itu emnunduk menyembunyikan gurat merah malu di pipinya.
Agas tersenyum manis seiring jari ejmpolnya mengusap bibir basah Aya. “Gue sayang lo, Ay. Jangan minta putus.”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Ini bukan hari libur ekrja, juga bukan tanggal merah, Aya tahu. Salahkan laki-laki tampan di sampingnya yang menculik Aya.
Aya kira Agas membawa motornya untuk pulang ke rumah mengingat satu jam lagi mereka harus ke toko roti. Tapi yang ada, Agas malah mengajak Aya ke salon. Aya jelas tahu maksud Agas. Ini sudah pasti ada hubungannya dengan kejadian hari ini. Tapi Aya tak mau. ia ebnar-benar tak mau.
“Kak.” panggil Aya sekali lag, untuk yang ke sekian kalinya sembari menarik jaket Agas.
Agas menoleh. Aya menggeleng, menampilkan wajah memelasnya. “Ayo pulang.”
Cowok itu malah merangkul bahu Aya untuk makin merapat dengannya. Ini masih di tempat parkir demi Tuhan, batin Aya sebal.
“Iya, pulang kalau udah selesai dari salon.”
“Kak, serius...”
“Gue selalu serius sama lo, Ay. Lo tahu itu.”
“Kak, gue gak suka ke salon. Dan gak pernah.”
“Iya, makanya biar pernah.”
“Kakak kayak gini malah orang percaya aku pacaran sama kakak cuman buat morotin uang kakak doang.” protes Aya sebal sembari melepaskan diri dari rengkuhan cowok itu.
“Ay, belajar jangan peduliin omongan orang. Ini demi kelanggengan hubungan kita.”
Usai mengatakan itu, Agas langsung menarik tangan Aya memasuki pintu utama salon besar di pusat kota. Demi Tuhan Aya gemetar. Ini pertama kalinya ia memasuki salon. Apalagi ini bukan slaon biasa, mewah, dan pengunjung disanapun terlihat cantik dan elegan. Lihatlah Aya sekarang. Dengan seragam kebesaran serta jaket tipis berwarna cokelat kusam, bisa-bisanya akan bergabung di salah satu meja untuk didandani.
Aya tak mendengarkan dnegan jelas apa yang dibicarakan Agas dengan salah satu pegawai salon, tahu-tahu Agas mendorong bahunya pelan untuk ikut dengan pegawai tersebut. Aya panik sendiri. Ia menggeleng cepat pada Agas, meminta pertolongan. Rasanya Agas ingin terbahak dengan kelakuan gadisnya ini. Aya hanya akan didandani, bukan akan disuntik mati.
“Nurut, oke?”
Aya menghela nafas. Seratus persen kalah apa lagi ia sudah didudukkan di salah satu kursi yang nyaman sekali. Ia sudah berhadapan dengan cermin dan lampu di atasnya. Ia menoleh ke belakang sekali lagi, menemukan Agas sudah hendak berjalan menjauh. “Kak.”
“Hm?”
“Jangan ditinggal.”
Agas terkekeh kecil. Aya makin menunduk malu ketika mbak-mbak pegawai yang akan mendandani Aya ikut terkekeh geli.
Agas mengangguk mantap. “Gue nunggu disana.” tunjuknya ke sofa besar di depan. “Di ruang tunggu. Nanti kalau udah selesai langsung kesana aja. Gue ada disitu.”
Aya mengangguk kecil. Perhatiannya kembali teralih kepada pegawai yang memutar bahu Aya agar menghadap cermin. “Sudah siap?”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Aya benar-benar merinding setengah mati ketika rambut panjangnya mulai menyentuh gunting tajam. Mbak Lena— alias pegawai yang sedang menanganinya sekarang— terlihat sangat santai dan berpengalaman dalam menggunting rambut.
Aya sempat memejamkan mata ketika potongan pertama rambutnya terllau banyak. Gila, apakah ia akan dipotong dora? Batin Aya ngeri.
Satu persatu tahapan pada rambutnya diselesaikan dengan baik. Mulai dari keramas sampai tahap terakhir yakni— entahlah, Aya tak tahu namanya. Hasilnya cukup memuaskan. Rambut Aya tidak terlalu panjang seperti dulu, juga tidak terlalu pendek seperti yang ia bayangkan tadi. Benar-benar pas dan indah. Aya tersenyum senang ketika tangannya menyentuh rambut, ia merasakan rambutnya luar biasa halus. Astaga, kekasihnya pasti mengeluarkan uang banyak untuk ini.
Gadis itu sudah hendak beranjak berdiri ketika Mbak Lena melepas waterproof hair dresser di bahunya. Tapi Mbak Lena langsung panik. “Loh, loh, mau kemana?” tanyanya sambil mendorong pundak Aya agar kembali duduk.
“Belum selesai.” lanjut Mbak Lena membuat Aya semakin ternganga.
“Loh, Mbak, mau ngapain lagi?”
Mbak Lena mendorong meja berjalan untuk mendekat ke arahnya. Ia mengeluarkan satu kotak besar berisi peralatan make up yang smaa sekali Aya tak mengerti. “Kan belum di make up?”
“Loh?!” Aya panik. “Mbak, aku mau kerja ngapain di make up? Nanti juga gabung di dapur, banyak minyak, percuma, Mbak. Mending gak usah.”
Sembari tangannya bergerak melepas kacamata yang bertengger di hidung Aya, Mbak Lena mengernyit. “Mau kerja?”
“Iya.”
“Bukan. Agas bilang kalian ada acara. Makanya aku disuruh dandanin kamu.”
“Hah?”
Aya bingung. Acara apa? Acara melayani pengunjung toko roti? Astaga, ia benar-benar tak paham dengan kelakuan Agas.
Berikutnya, Aya otomatis memejamkan mata saat sebuah alat menyentuh kulit wajahnya. Ynag pasti rasanya dingin tapi Aya tidak tahu itu krim apa. Mungkin sedang memebersihkan wajahnya.
Sembari memejamkan mata, ia berpikir berapa lagi waktu yang ia butuhkan hingga semua ini selesai. Bahkan hanya memotong rambut saja, tadi membutuhkan waktu hampir satu jam setengah. Apa lagi merias wajah.
Samar-samar, karena Aya sempat akan ketiduran ketika memejamkan mata, ia mendengar suara Agas di belakang punggungnya.
“Mbak Len, ini dressnya, ya. Gue taruh sini.”
“Oke, sip.”
Hanya begitu sebelum suara langkah Agas kembali menjauh.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *