8. make up

3313 Kata
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Agas jelas menaruh kepercayaan penu pada Mbak Lena. Mengingat selama ini ibunya selalu langganan ke salon ini dan tidak mau ditangani oleh pegawai salon kalau bukan Mbak Lena. Jadi, usai membiarkan Aya yang malu-malu dan takut-takut pergi ke dalam menguikuti Mbak Lena, Agas kemudian duduk di sofa yang tadi ia tunjukkan kepada pacarnya. “Rileks, ya. Aku gak gigit, kok.” ujar Mbak Lena sambil menggerakkan kepala Aya agar lurus ke cermin di depannya. Rambut Aya sudah selesai dipotong rapi walaupun belum diapa-apakan as curly, catok, atau yang lain. Kini tugas Mbak Lena adalah memberikan sentuhan magic pada wajah pelanggannya itu. “Kulit kamu bagus gini,” puji Mbak Lena sambil tersenyum tulus. “Kamu sering perawatan? Atau skin care aja cukup?” “Hm?” Aya mengerjapkan matanya. Lalu menggeleng pelan. “Gak dua-duanya, Mbak.” Lena terlihat tak percaya. “Bohong?” “Beneran, Mbak. Saya gak tahu gitu-gituan. Jadi gak pernah beli juga.” “Tapi ini kulit kamu bagus banget, loh. Halus dan bersih.” Aya tersenyum canggung. “Makasih...” “Pantes, ya, kali ini kelihatan banget itu Agas bucin. Baru kali ini, loh, dia bawa cewek kesini. Bentar, aku lupa. Nama kamu tadi siapa? Aya?” “Ana.” ralat Aya. “Eum, sebenernya panggilanku emang Ana, Mbak. Aya itu dari Kak Agas.” “Oalah...” Mbak Lena tertawa. “Panggilan khusus, ya? Apa, tuh, namanya? Eung... panggilan kesayangan?” Aya hanya tersenyum kecil. Padahal sebenarnya malu sendiri mau mengakui. Setelah itu, tak banyak obrolan di antara mereka. Hanya Mbak Lena yang sesekali menyuruh mendongak, atau menutup mata, atau membuka mata, atau menghadap lurus ke depan cermin, hanya seperti itu. Ana yang masih tak paham kenapa ia harus dirias begini hanya diam saja. Toh Agas memang suka tiba-tiba. Apa-apa selalu tiba-tiba. Setelah melakukan pembersihan wajah, Mbak Lena memberikan foundation padat satu tingkat dari warna kulit Aya, lalu meratakan dengan menggunakan spons. Setelah itu, ia mengaplikasikan foundation cair pada wajah dengan kuas agar wajah Aya terlihat lebih halus. Karena pipi Aya ini termasuk pipi yang tembem, Aya merasakan sapuan shading sepanjang bawah tulang pipinya yang kata Mbak Lena digunakan untuk membuat pipi terkesan tirus. Lalu shading pada bagian kanan dan kiri hidung untuk memberikan kesan hidung lebih mancung. Mendengar penjelasan Mbak Lena, Aya jadi sedikit meringis. Yang pertama karena ia merasa bodoh dan clueless sekali atas peralatan make up padahal harusnya perempuan mengerti ini, kan? Yang kedua karena ia jadi merasa insecure tiba-tiba. Pipinya tembam, hidungnya tidak terlalu mancung. Banyak yang kurang dari dirinya memmbuat Mbak Lena jadi banyak menambal ini dan itu. Padahal kalau Agas tahu Aya overthinking tentang ini, pasti Agas akan berdecak kesal karena bagi cowok itu, Aya adalah cantiknya Indonesia. Cantik yang paripurna, manis, dan tidak membosankan. Kenapa perempuan itu malah insecure coba?   Setelah shading-shading tadi, Mbak Lena menggunakan concealer  di bawah area mata untuk menutupi bayangan gelap pada area mata. Concealer dapat menyamarkan kantung mata. “Nah, sekarang aku mau pakai teknik hidden blush, ya?” Mbak Lena membuka suara lagi. Aya hanya diam saja karena gak tahu maksudnya. “Ini, tuh, kayak pengaplikasian blush on setelah foundation, jadi ada blush on ada dalam lapisan bedak.” “Ooh...” Ana sedikit mengangguk. “Itu biar apa, Mbak?” Dalam batin Aya, dia sekalian ajalah belajar make up dikit-dikit. Dari pada Agas membawanya ke salon mahal begini tapi Aya gak dapet ilmu. Benar, kan? Ya... walaupun dia juga gak punya alat buat praktiknya, sih. “Ini biar bikin warna blush on jadi lebih natural dan ringan. Nah, ini Mbak pakein warna blush on-nya warna pink segar. Warna ini bisa buat wajah meronanya sempurna.” Selanjutnya, mereka mulai banyak mengobrol lagi. Yang mana Mbak Lena menjelaskan tentang tahap-tahap yang sedang ia lakukan, lalu Aya yang bertanya untuk apa dan bagaimana. Beruntung Mbak Lena ini sungguh baik, membuat Aya jadi nyaman mengobrol dengannya—padahal biasanya dia tidak bisa beradaptasi apa lagi banyak bicara dengan orang baru.   Step selanjutnya adalah : mengaplikasikan bedak tabur satu tingkat lebih terang daripada warna kulit wajah dengan spons (dengan cara ditepuk-tepuk). Loose powder berfungsi menyerap sebum minyak terutama di bagian T-zone (hidung dan daerah dahi bagian atas alis). Memberikan bedak padat dengan spons. Bedak padat dipilih yang senada dengan warna kulit wajah. Bedak padat dapat menghaluskan dan menutupi noda pada wajah. Untuk membentuk eyeshadow, hal yang paling penting adalah pembauran warna. Mbak Lena menggunakan warna cokelat muda lalu highlight warna vanilla dan baurkan agar warnanya menyatu. Mengaplikasikan eyeliner warna hitam pada kelopak mata, lalu membuat garis di kelopak mata mulai dari ujung dalam hingga batas bulu mata. Dengan kuas eyeshadow, Mbak Lena menyapukan warna gelap di atas garis eyeliner yang telah dibuat, mengoleskan eyeliner hitam di kelopak mata dan mengusahakan garis baru ini menempel dengan bulu mata. Setelah itu, ia kembali menyapukan lagi eyeshadow berwarna gelap. Secara perlahan membaurkan eyeshadow naik hingga ke batas lipatan kelopak mata. Lalu pada bagian bawah, ia memberikan eyeliner hitam dengan eyeshadow warna cokelat tua.   Selanjutnya, ia merapikan alis dan bentuk dengan pensil alis warna cokelat. Setelah itu menambahkan eyeshadow warna cokelat agar alis tidak terlihat kaku dan terlihat natural. Mbak Lena mulai menjpit bulu mata dengan penjepit bulu mata. Untuk mendapatkan hasil yang lebih bagus, ia menahan penjepit bulu mata lebih lama selama kurang lebih 30 detik. Setelah itu, ia gunakan maskara berwarna hitam. Maskara berfungsi menebalkan dan melentikkan bulu mata. Maskara dengan sikat berbentuk melengkung dapat membuat bulu mata terlihat lebih lentik. Yang berbentuk bundar membuat bulu mata terlihat lebih tebal. Dan yang lurus membuat bulu mata terlihat lebih panjang. Tapi kali ini wanita itu menggunakan tiga-tiganya bergantian agar hasilnya maksimal. Hampir berada di step terakhir, ia menyapukan blush on warna pink pada area tulang pipi dengan kuas dengan cara memutar agar hasilnya terlihat lebih natural. Ia memberikan lipstik warna clear pada bibir dan menambahkan lipgloss agar memberikan kesan segar dan seksi. Dan yang paling terakhir dari yang terakhir, ia mulai mengotak-atik rambut Aya yang tadi sudah ia potong dan rapikan. Kini ia menyisir rambut halus dan lebat itu, menatanya dengan curlying iron. Setelah itu, Mbak Lena memberikan sedikit hairspray, memberi jepit rambut sebelah kanan, dan membiarkannya jatuh tergerai di sebelah kiri. “Selesai.” gumam Mbak Lena dengan nada puas, kemudian senyumnya melebar kala Aya mengerjapkan mata tak percaya menghadap cermin. For your information, sebenarnya mulai pemakaian loose powder, Ayah sudah mengantuk dan tak tahan untuk memejamkan mata  walau ia tidak benar-benar terlelap. Gadis itu jelas tak biasa duduk lama-lama hanya untuk dipakaikan make up. Maka dari itu hal ini membuatnya bosan karena tak kunjung selesai. Ia berdecak lagi dalam hati. Ini sebenernya dia mau dibawa kemana, sih?! Batinnya kesal. “Yok, ke depan. Pasti Agas melotot nih abis ini ngeliat kamu bisa jadi kayak bidadari.” Aya menggeleng pelan sambil terkekeh. “Astaga, Mbak. Gak bidadari juga, kali.” “Hahaha, yuk.”   * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *   Yang jelas Aya Analisa menghabiskan waktu tidak hanya setengah jam saja. Kalau Agas gak salah hitung, kayaknya buat make up doang aja di salon profesional ini membutuhkan waktu satu jam lebih beberapa menit. Agas gak masalah, sih. Toh dia tadi sempat ke smoking area biar gak gabut-gabut banget di ruang tunggu. Bahkan saat ia kembali ke sana, ia masih harus duduk lagi di sofa tadi, menunggu beberapa menit lagi, sampai akhirnya perempuan cantik alias kekasihnya itu keluar dengan Mbak Lena—MUA yang hari ini bertugas menangani Aya. Dengan sentuhan smokey eye pada mata mampu membuat Aya Analisa terlihat lebih elegan dan tajam. Bibirnya hanya dipoles lipstik warna nude—atau pastel, jujur Agas gak tahu—agar membuat Aya terlihat cantik karena natural. Bukan seperti jalang-jalang yang biasanya Agas sewa saat ia pergi ke barr. Hell, jelaslah beda. Ini Aya Analisa. Mana mungkin bisa disamakan dengan yang lain? Apa lagi wanita malam begitu. “Wow.” Adalah satu kata yang keluar dari Agas untuk pertama kalinya setelah sang kekasih keluar dari ruangan. Agas yang tadinya duduk di sofa besar dengan punggung bersandar dan mata terpejam itu sampai berdiri kini. Menatap Aya dengan pandangan tak percaya, juga mata dan mulut membulat. “Tuh, kan, Mbak bilang juga apa,” bisik Mbak Lena di samping telinga Aya. “Dia pasti melongo.” Agas bersiul genit membuat Mbak Lena langsung terbahak. “Udah, ya, tugasku selesai. Aku bisa balik ke dalem sekarang?” Agas dan Aya sama-sama menoleh ke arah Mbak Lena, lalu mengangguk kompak. “Makasih banyak, ya, Mbak.” “Makasih banyak, loh, Mbak.” Mbak Lena kembali tertawa karena suara pasangan di depannya ini yang muncul bebarengan. Ia mengucapkan sama-sama lalu meninggalkan pelanggannya. Jangan lagi ditanyai apa yang ada di benak Agas sekarang. Aya dengan dress floral yang membuatnya tampak manis, rambut dengan style baru, wajah yang di touch up sedemikian rupa, astaga... Agas rasa jantungnya sudah hendak truun ke perut. “Kak!” tegur Aya—antara bete sama malu sendiri karena Agas dari tadi ngamatin dia gak pakai kedip barang sedetik. Agas terkekeh. Ia melambaikan tangannya menyuruh pacarnya mendekat yang dituruti Aya detik itu juga. “Cantik banget. Pacar gue beneran, kan, ini? Apa ketuker sama bidadari turun dari surga?” “Dih, norak banget gombalnya.” “Ya ilah malah dibilang norak.” Agas mengamati Aya lagi. Gak bosan-bosan memandang wajah cantik itu. “Tulus nih gue mujinya. Lo cantik banget, Ay. Asli.” Perlahan pipi gadis itu menghangat. Beruntung pipinya memang sudah ada merah-merah dari blush on. Jadi kemungkinan Agas tahu kalau cewek itu sedang blushing hanya sedikit. “Iya, iya, makasih, ya?” “Mm-hm. Sama-sama, Cantik. Udah siap berangkat sekarang?’” “Wait!” Aya langsung menghindar dari Agas kala cowok itu hendak memegang tangannya. “Ini—jujur dulu, deh, kita mau kemana? Kok kamu—“ “Uh, kamu?” ledek Agas akan panggilan yang disebutkan. Aya memutar bola matanya jengah. “Serius, Kak Agas pakai jas, akunya dandan sampai begini. Gak mungkin kita ke toko roti, kan?” “Emang enggak.” “Terus?” Agas gak menjawab melainkan langsung menarik tangan Aya, membawanya keluar dari salon untuk dibawa ke tempat parkir, menuju ke mobil milik cowok itu. “Kemana dulu, gak?’ “Cerewer banget pacar gue. Nanti juga tahu sendiri, kan, Ay?” “Maunya sekarang.” Aya merengut. Membuat Agas langsung gemas. Kalau gak ingat ini lagi di tempat parkir dan Aya belum mau masuk ke dalam mobil padahal dia udah bukain pintu, pasti Agas gak segan langsung nyosor. “Sabar. Tahu sabar, kan? Udah ayo masuk, ah. Keburu telat. Udah jam berapa juga.” Aya mencibir. Lalu mau tak mau ia akhirnya masuk ke dalam mobil usai merasakan dorongan lembut di bahunya karena tangan Agas. Usai Agas menyusul masuk ke dalam mobil, segera mengaitkan sabuk pengaman, lalu mulai menghidupkan mesin dan melajukan mobil, Aya banyak diam. Bukan diam karena ngambek atau apa, sih, cuman karena emang gak ada obrolan aja. Yang ada di otak gadis cantik itu hanya satu, dia kepingin tahu mau dibawa kemana. Soalnya seumur hidupnya, dia baru sekarang ini dandan pakai dress cantik dan mahal, lalu masuk salon dengan uang banyak pula—padahal dulu dia wisuda SD dan SMP aja dia cuman minta tolong saudara ibunya buat dandanin dia biar gak pakai keluar uang. Pun dengan kebayanya, ia hanya butuh meminjam di teman dekat. Tapi sekarang? Tentu berbeda seratus persen. Balik lagi, ini sebenernya dia mau diajakin kemana sama Agas? “Ay.” Aya auto menoleh ke sumber suara karena kaget, lamunannya soal terkaan kemana mobil ini akan berhenti buyar seketika. “Apa?” “Coba ambilin tas gue di belakang. Waist bag.  Di kursi belakang.” “Oke.” Lalu perempuan itu menghadapkan badannya ke belakang, tangannya terulur ke jok tersebut lalu pandangannya jatuh pada plastik merah muda dan beberapa kotak cantik yang dibungkus rapi. Dia mengernyit bingung karena semua benda disana—kecuali tas Agas—adalah berwarna feminim sekali, tapi karena gak mau terlalu kepo, dia memilih fikus meraih waist bag yang jadi tujuan awalnya. “Nih.” Agas menerima sambil berucap terimakasih. “Itu yang dibelakang coba lo liat.” “Apanya?” “Semua.” “Hah?” “Kantong plastin pink itu, loh, Ay.” Aya menurut lagi. “Udah, nih. Terus?” “Liat isinya. By the way itu buat lo.” “Hah?” “Hah heh hah heh mulu kayak tukang keong.” “Ih, serius! Ini apa?” “Makanya buka.” Dengan gerakan pelan seolah Aya takut isinya adalah bom, dia mengintip sedikit ke arah kantong plastik pertama. Isinya adalah peralatan yang ia tak tahu namanya tapi yang pasti itu adalah barang-barang perempuan. “Ini...” “Buat lo.” ujar Agas lagi. “Semuanya. Itu kotak pink di belakang isinya kosong. Cuman kalau lo mau ya ambil aja juga gak apa-apa, sih.” ujarnya sambil diakhiri dengan kekehan. Aya merapikan isi kantong plastik besar yang udah dia keluarin beberapa barangnya. Lalu menaruhnya kembali di jok belakang. “Kak Agas beli ini?” “Mm-hm.” “Buat aku?’ “Iya.” “Kenapa?” Seiring dengan dirinya yang menginjak rem mobil karena di depan rambu lalu lintasnya yang berubah warna dari hijau jadi merah, dia menoleh ke samping, menatap kekasihnya. “Karena gue pengen?” “A—“ “Wait. Tolong, please, jangan ngomel lagi, dan terima aja. Gue ini ikhlas banget, loh. Gue emang pengen lo punya ini semua. Jadi gue beliin.” “Gak. Aku gak bisa nerima ini.” “Ay...” “Enggak, Kak. Udah, deh. Aku udah pernah bilang belum, sih, kalau aku gak suka Kak Agas ngeluarin uang buat aku? Udah cukup, ya, hari ini Kakak bayarin aku ke salon plus beli dressnya. Terus ini apa lagi, hah?” “Itu sepaket, tahu!” Agas membela diri. “Orang gue beli di Mbak Lena.” “Tetep aja beli, kan? Pakai uang, kan?” “Ya iya, Ay. Kalau bisa pakai daun, mah, gue pakai daun.” “Kak!” “Ih, marah-marah mulu perasaan dari tadi.” “Lagian aku ngomong serius malah Kak Agas bercanda mulu.” “Iya, iya.” “Iya apa?” “Iya gak bercanda.” “Iya gak beliin aku apa-apa lagi!” Agas menghela nafas. Ia tersenyum dengan paksa. “Iya, Aya. Tapi yang ini diterima, kan?” “Eung... dibalikin ke Mbak Lena boleh, gak?” “Gak boleh, lah! Duitnya gak bakal balik.” “,,,ya udah.” “Ya udah apa?” “Ya udah aku terima—wait! Tapi ini bener-bener terakhir, ya! Aku gak mau ada yang begini-begini lagi.” “Gak janji.” “Kak, astaga—“ Aya menggeram. “Tahu, ah. Capek emang ngomong sama orang rese.” Agas tertawa gemas. Ia mengusap rambut lembut Aya dengan tangan kirinya. Lalu terkekeh mengejek. “Gini-gini juga elo suka, kan?” “Dih.” * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Aya memberhentikan langkahnya kala Agas tahu-tahu memberi kartu pelarnya ke dua orang penjaga lobi hotel. Dengan beberapa orang yang juga mengantri di belakang mereka—yang jelas sama-sama senior Aya di SMA Delite, Aya mulai bisa memahami acara apa yang kini ia hendak ikuti dengan sang pacar. “Kak, gak mau.” Aya memegang erat lengan Agas, menyuruhnya berhenti untuk tidak masuk lebih jauh ke dalam hotel. “Aku pulang aja, ya?” “Hah, kok pulang?!” “Ini acara apa lagian?! Gak, deh, udah aku mau pulang aja.” “Eh, eh, eittt,” Agas segera menarik pergelangan tangan kekasihnya tanpa menyakiti. “Kalau lo pulang gue sama siapa?! Dan kita—especially elo—udah dandan secakep ini. Gimana mungkin belum masuk udah balik?!” “Halo, Agas.” “Hai, Gaaas.” Beberapa rombongan perempuan menyapa laki-laki itu membuat Agas merangkul bahu Aya utnuk minggir karena mereka berdua tadi memang berada di tengah jalan dan mengganggu. Ia tersenyum tipis, tak menanggapi banyak. “Ini acara ulang tahunnya temen gue, Ay. Dia ngerayain disini.” “Berarti isinya anak-anak kelas 12, kan? Aku ngapain disini coba?” “Nemenin gue, dong?” “Kan ada Kak Deril, Kak siapa lagi temen kamu, tuh—Kak Andi, Kak—“ “Mereka bawa pacar masing-masing, Ay. Terus lo mau biarin gue gak ada pasangan sendiri, Hm? Tega emang? Sejahat itu lo?” Aya menarik nafas dalam. Matanya berkeliaran ke mana-mana, melihat betapa ramainya kini orang-orang dari Delite yang mulai masuk ke ruangan. “Ay, mau kan?” Agas menatapnya dengan puppy eyes. “Please...” Akhirnya, cewek itu pun juga mengalah. Ia menangguk, mengundang Agas langsung tersenyum lebar dan senang karena anggukan itu. Cowok tersebut langsung mengaitkan jemarinya pada jemari Aya, menuntunnya masuk ke dalam. Ke dalam riuhnya ruangan yang didekorasi seperti wedding event dimana ada panggung kecil di depan dan kue tart besar, lalu banyaknya meja dan kursi bundar yang ditata, manusia-manusia yang sedang bertukar suara utnuk bergosip ria—gak peduli cowok ataupun cewek—dan yang paling penting adalah bagaimana Aya Analisa yang baru melewati pintu masuk langsung berhasil mencuri perhatian semua orang. Layaknya adegan di film-film, Aya Analisa dengan gaun cantik penuh bunga, rambut diurai dengan jepit yang menambah manisnya, Agas bak pangeran dari negeri seberang yang menggandeng Aya masuk ke dalam, irama piano yang jadi back song, heels cantik di kaki jenjang gadis itu, semuanya terasa sempurna. Agas dan Aya seolah masuk negeri dongeng karena langkah mereka diiringi pandangan penuh takjub, kagum, atau ada juga  para perempuan yang melirik sinis, juga beberapa dari mereka ada yang menatap dengan penuh penasaran siapakah gerangan yang masuk dengan wajah cantiknya itu. Agas tersenyum puas dalam hati. Tak sia-sia itu membawa Aya ke salon untuk menjungkir-balikkan omongan orang-orang di Delite yang suka membicarakan keburukan Ana. Iya, memang dari awal inilah tujuan kenapa ia meminta Mbak Lena turun tangan langsung. Bahkan pemeran utama alias Nindya pemilik pesta, sampai seolah jadi patung--mungkin karena merasa Aya Analisa memiliki kecantikan yang mampu menyainginya? Entahlah, Agas tak peduli juga. Cinderella A dream is a wish your heart make sWhen you're fast asleepIn dreams you lose your heartaches Whatever you wish for, you keep Have faith in your dreams and someday Your rainbow will come smiling thru No matter how your heart is grieving If you keep on believingthe dream that you wish will come true * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN