* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
“Wow, wow, wow.”
Adalah satu kata yang diulang-ulang—yang mana kalimat ini adalah hal pertma yang menyambut Agas dan pacarnya, si cantik Aya Analisa, setelah mereka bergabung di salah satu meja budar berisi Deril, Shara, Andi, Intan, dan Dava, serta Gisel. Yep, jadi kayak double double-dating.
Agas menarik kursi agar Aya bisa duduk. Lalu ia menyusul untuk duduk di kursi sebelahnya. Menatap teman-temannya dengan senyum geli karena pujian tak henti-hentinya dilontarkan.
“Seems like prince and princess, huh?” Gisel memulai.
Dava menatap pacarnya agk terima. “Agas? Prince?”
“Tos dulu, Dap.” ujar Deril kemudian bertos ria, sepakat untuk tidak memberi julukan seperti itu pada Agas,.
Agas cuman mengedikkan bahu gak perduli.
“Tapi serius, Ana,” Gisel berujar kembali, kali ini matanya menatap Aya dengan senyum hangat. “You look amazing. Cantik banget.”
“Setuju.” Shara mengangguk. “Aku aja sampe bengong dulu tadi. Kirain Agas gandeng ceek baru.”
“Ya Allah, Shar. Ril, nih cewek lo kalau ngomong nylekit amat. Dikira gue buaya apa gimana, baru kemarin jadian sekarang udah bawa cewek baru?”
Intan yang sedang menyeruput sirup merahnya segera menelan dengan cepat cairan tersebut. “Loh, emang bukan buaya?”
“Shut up.”
Selanjutnya, mereka berdelapan banyak berbincang yang mana topiknya lebih sering membahas bagaimana Aya Analisa diberi saran oleh para senior perempuannya itu—Gisel, Shara, dan Intan—untuk melepas kaca mata dan mulai belajar make up. Tidak karean Aya terlihat buruk dengan kacamata atau jika wajahnya tak dipakaikan apapun, hanya saja mereka yang ada di meja juga sama-sama sebal dengan omongan anak Delite yang selalu berkata bahwa Aya Analisa tak pantas menjadi kekasih Agas. Ini bisa cara untuk menutup mulut sampah mereka.
Padahal kalau menurut Deril, malahan Aya yang terlalu ‘shining shimmering splendid’ kalau punya pacar yang seperti Agas.
Canda tawa mengisi mereka malam itu. Bahkan Agas sampai hampir lupa menghampiri Nindya—sang pemilik pesta—untuk memberi kado dan mengucap selamat kalau saja Nindya ini tidak berkeliling dari meja ke meja untuk menyapa tamu. What a kind owner of party, right?
Setelah beberapa lama kemudian, kala masing-masing dari mereka tidak menyadari bahwa meja yang diisi delapan orang itu sudah jadi dua kelompok ; kelompok perempuan yang membicarakan Aya dan senior di Delite yang membully gadis manis itu—sebenarnya Shara tahu ini dari Deril, Deril jelas tahu dari mulut Agas—lalu kelompok ke dua adalah para cowok yang udah bahas macem-macem dari mulai hal penting kayak cara nyontek biar gak ketahuan di ujian dua bulan lagi sampai semut lewat dan keinjek telunjuk Dava, dua kelompok itu topiknya udah gak nyatu kayak di awal.
Makanya sekarang Deril mengusulkan sesuatu.
“Eh Gas, lo tadi udah nyamperin anak kelas belum?”
Agas menggeleng. “Mereka duduk dimana aja gak tahu gue.”
“Samperin gak, nih?” Deril menoleh ke yang lain—Andi dan Dava. “Gak enak, coy, dari dateng kita udah ambil meja sendiri. Anak kelas kita soalnya ngambil meja buat barengan—yang cowok-cowok maksud gue.”
“Lah, masa?”
“Iya, Njir. Lo gak lihat tadi anak-anak juga janjian di parkiran biar masuknya barengan?”
Andi kemudian mengangguk-angguk. “Ayo, dah, samperin bentar. Gak enak gue.”
Lalu Agas akhirnya ikut berdiri paling terakhir saat tiga temannya sudah berdiri.
“Ay, gue tinggal, ya?”
Seiring dengan teman-teman cowoknya yang juga pamitan ke cewek masing-masing—astaga Agas baru sadar dia dan tiga sohibnya sama-sama kelihatan bucin kalau udah lagi sama pacarnya—ia juga menjawil lengan Aya.
Aya mengerjap sambil mendongak karena dirinya yang duduk di kursi sedangkan Agas berdiri dengan tubuh yang menjulang tinggi.
“Kemana? Sama—“ Aya melirik senior-seniornya. “Oh sama yang lain?”
Agas mengangguk. “Nyamperin anak kelas. Gak apa-apa? Gak lama, kok.”
“Lama juga gak papa, sih. Kan aku gak sendirian juga ditinggalnya.”
“Oke, deh.”
“Eh, tapi...”
Aya menggantungkan kalimatnya, ia menggigit bibir bawah karena ragu apakah ia bisa mengataknnya atau tidak. Walaupun ini hal sederhana, sih.
“Tapi apa?”
“Jangan...” Aya berdeham. “Jangan minum...”
“Minum air putih gak boleh?” Agas bertanya setengah menggoda.
“Kak, serius.”
Agas terkekeh. “Iya, iya, enggak. Khawatir sama gue segitunya, ya? Ututu.”
“Kalau Kak Agas mabuk, aku gak tahu pulang sama siapa.”
Senyum kegirangan yang tadi terpajang di wajah cowok itu langsung lenyap, digantikan dengan wajah datar sedatar-datarnya.
Aya tak tahan untuk tak tertawa. Ia mengusap pipi Agas tanpa sadar membuat cowok itu terhenyak. “Udah, ah, sana.”
“Ciumnya mana?”
“Ha—“
“Pipi doang.”
Aya mendesis sebal. Agas ini penderita PDA apa gimana? Di tempat sepi aja pacarnya bisa nolak, apa lagi di tempat umum yang mana mereka lagi semeja sama orang lain. Astaga Aya sungguh gak habis pikir!
“Gas ayok!”
Seruan itu datang dari arah belakang Agas. Cowok itu gak sadar kalau yang lain udah jalan menjauh. Jadi sebelum benar-benar ngejauh, dan Agas udah gak tahan karena gemes sama tingkah pacarnya, dia jadi menunduk dan memberi kecupan—tidak di pipi—hanya di puncak kepalanya sebelum benar-benar menyusul yang lain.
“Dasar penganten baru maunya pacaran mulu!” suara Deril terdengar berteriak.
Aya menatap Shara—karena Gisel dan Intan sedang pergi mengambil puding—yang memberinya senyum geli melihat kelakuan Agas.
“Gak papa, Ana.” ujar Shara sambil terkekeh. “Santai aja. Biasanya Dava Gisel malah PDA-nya lebih parah.”
“Ah... hehe.”
“Sabar-sabar, ya, sama Agas. Dia emang anaknya gak bisa tenang. Salah satunya gak bisa tenang sama yang beginian. Jadi asal cup-cup gak peduli tempat.”
Duh Tuhan, Aya malu bukan main!
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Agas dan Aya berpamitan pulang ketika jam baru menunjukkan pukul setengah sembilan.
Jika Agas masih jomblo, atau sudah memiliki kekasih namun bukan Aya orangnya, sudah pasti Agas tak akan pulang di jam segini. Ia akan bergabung dengan yang lainnya hingga benar-benar mabuk di dance floor dan pulang dalam keadaan hang over seklaipun tiga temannya yang lain sudah jelas tidak menyentuh gelas alkohol. Oh, kecuali Dava.
Tapi kini sudah ada Aya yang harus ia utamakan kepentingannya. Aya bilang bahwa ia tak enak jika meninggalkan Agil sendirian di rumah sekalipun sebenarnya hampir setiap hari Agil memang sendirian di rumah, mengingat Aya kerja hingga pulang hampir tengah malam. Terkadang Agas sangat heran mengapa anak sekecil Agil sangat berani di rumah sendirian setiap hari, sampai malam, dengan kondisi rumah seperti itu. Maksud Agas, Agil tak punya hiburan di rumah. Lalu jam-jam bocah itu dihabiskan untuk Apa?
Ah, harusnya Agas tahu bahwa Agil juga akan meniru sang kakak yang suka berkencan dengan buku pelajaran.
Usai Agas masuk ke dalam mobil, ia melirik Aya yang melepas sepatu wedgesnya. Mungkin karena tak biasa, jadi cewek itu mudah kelelahan. Aya meringis pelan seiring tanganya menyentuh tungkai kaki. Agas jadi bersuara. “Capek, ya, pakai sepatu kayak gitu?“
Aya tak mengelak. ia mengangguk.
Oh, izinkan Agas mengaku satu hal yang mungkin belum pernah ia katakan pada kalian. Agas sudah merasa belakangan ini Aya tidak lagi suka nyolot dan kaku seperti biasanya. Gadis itu sudah mulai mengutarakan apa yang ia rasakan tanpa ditutup-tutupi. Aya kali ini lebih perhatian, mau menunjukkan pengertiannya pada Agas. Dan sebagai pacar, Agas tentu merasa senang. Ini memang masih sedikit namun perubahannya jelas mampu membuat hati Agas meleleh.
Oh God, Agas sudah seperti perempuan saja yang dikit-dikit baper.
“Lepas aja, udah. Jangan dipake.” ujar Agas sambil menghidupkan mesin mobilnya.
Aya menurut, ia melepas sepatu itu dan menaruhnya di bawah kaki. Kemudian gadis cantik itu mengistirahatkan punggungnya, menghela nafas mengeluarkan semua letihnya malam ini di sandaran jok mobil. Melihat Aya yang sudah hendak memejamkan mata, Agas lanjut berbicara. “Tidur aja. Nanti kalau udah sampe rumah gue bangunin.”
“Gak apa-apa aku tinggal tidur?”
“Ya gak papalah, Ay. Udah sana merem.”
Mobil pun melaju memecahkan keheningan kota Jakarta malam itu.
Hanya butuh waktu dua puluh menit bagi Agas mengendarai mobil hingga sampai depan g**g rumah Aya. Iya, ia tak bisa memasukkan mobilnya ke g**g sempit tersebut. Membuatnya mau tak mau memberhentikan mobil disana. Agas baru akan membangunkan perempuan cantik di jok sampingnya namun gadis itu terlebih dahulu sudah mengerjapkan mata terbangun.
“Udah sampai?”
“Belum, Ay.” jawab Agas asal. “Masih jauh.”
Aya yang tahu bahwa ia hendak dibohongi Agas jadi mencibir kecil. Gadis itu dengan segera merapikan barang-barangnya. Mulai dari plastik pemberian Agas, tas sekolahnya, seragam sekolahnya, dan oleh-oleh sepulang ia dari pesta ulang tahun kakak kelasnya. Hanya kue kecil yang sebenarnya Aya rencanakan untuk ia berikan pada sang adiknya.
“Itu, kue punyaku bawa juga aja, Ay.”
Aya melirik Agas. “Gak mau.”
“Aku gak suke tart, Aya. Kasih Agil aja, dari pada kebuang.”
”Ih, aneh, masa gak suka kue tart?”
Agas mengacungkan dua jarinya. “Suwer.”
“Hm, ya udah, aku bawa, ya, Kak?”
Agas mengangguk. Ia sudah hendak membuka pintu mobilnya namun suara Aya kembali terdengar. “Gak usah ikut turun, Kak. Udah malem ini, masa iya mau mampur dulu?”
“Tapi masuk gangnya, kan, jauh, Ay? Ikut pokoknya.”
“Enggak usah. Kak Agas, tuh, juga keliatan capek, tahu. Udah, deh, nurut. Langsung pulang aja abis ini.”
Tak mengindahkan kalimat Aya, Agas kembali melontarkan pertanyaan. “Beneran gak papa elo jalan sendirian?”
“Gak papa.”
“Tapi aku juga mau ketemu Agil, loh, Ay.”
Aya menghela nafas sebal. Agas ini memang banyak alasan. “Kalau kakak ngotot ikut turun, berarti besok gak usah jemput aku ke sekolah.”
“Loh, mana bisa?!” protes Agas.
“Bisa. Makanya pilih.”
“Iya, iya, deh. Kalah gue.”
Aya langsung tersenyum puas. Ia menepuk-nepuk lengan Agas. “Gitu, dong.”
Agas mencibir, namun tetap tersenyum kecil karena demi apapun, Aya versi tidak jutek itu sangat lucu dan menggemaskan.
“Eh, Kak, bentar mau nanya.”
“Apa?”
“Ini tadi kerjanya aku bolos, dong, ya, jadinya?”
“Kenapa emangnya?”
“Lain kali jangan ngajakin bolos lagi. Ngerti, gak?”
Agas, untuk yang kedua kalinya, menanyakan kalimat yang sama. “Kenapa emang?”
“Gaji aku kepotong, Kak. Sayang tahu, gak.”
“Oh...” Agas langsung mengangguk paham. “Gampang itu, mah. Nanti gue bilangin nyokap.”
“Mana bisa gitu?!”
“Bisa.” jawab Agas meniru kata Aya tadi. “bisa aja pokoknya. Buat elo, mah, apa yang gak bisa gue lakuin.”
Aya hendak mengeluarkan protes lagi namun Agas langsung membekap bibirnya. “Ssst, udah malem, jangan berisik. Heran, deh, kalau gak cuek atau jutek, ya ngomel mulu.” kata cowok itu sambil mencibir. “Udah, ssstt, jangan ngomong lagi.”
Cowok itu menepuk kepala Aya beberapa klai, mennangkannya seperti pada anak anjing dengan senyum manis di bibir. “Jangan lupa sebelum tidur, sikat gigi dulu, mukanya dibersihin. Pasti berat, kan, pakai make up gitu? Itu di dalem plastik dari Mbak Lena tadi ada botol yang dibuat ngebersihin muka—“
“Kak, yang cewek, tuh, aku apa kakak, sih? Heran kenapa kakak malah ngerti beginian.”
“Astaga, Ay. Ini gue ngerti juga karena tadi nanya dulu ke Mbak Lena.”
Aya tertawa. “Oke, oke.”
“Besok jangan lupa gak usah pake kacamata, tapi pake softlens. Gue jemput jam enam-an, kali, ya?”
Aya mengangguk.
“Langsung tidur, gak usah begadang apa lagi buka buku.”
“Iya, astaga!”
Cowok itu tersenyum puas. Kapan lagi cewek jutek yang sekarang sudah resmi jadi pacarnya ini menurut dan mengangguk terus dari tadi? Saking gemasnya, akhirnya cowok itu mendekat untuk memberikan kecupan singkat di pipi Aya kemudian langsung menjauh.
“Kak!”
Agas malah tersenyum jahil. “Apa?”
“Duh! Tahu, ah.”
Gadis itu langsung membuka pintu mobil, membawa semua barangnya, dan segera keluar. Agas tertawa lepas. Bisa mencium pipi Aya Analisa saja sudah sesenang ini.
Usai memastikan gadis itu sudah berjalan sedikit jauh, Agas langsung ikut turun mobil. Berjalan perlahan di belakang Aya, mengantarkan gadisnya hingga rumah tanpa diketahui Aya. Hei, kalian kira Agas tega-tega saja membiarkan Aya berjalan sendirian di malam hari begini?
Tidak. Agas menyayangi gadis itu dan ia tak mau sesuatu yang buruk terjadi padanya.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Bukan Agas Zidane Althaf namanya kalau tidak suka semena-mena. Hari ini, usai pulang sekolah dan mengantarkan Aya ke rumah untuk berganti baju lalu mengendarai motornya ke toko roti, bukannya Agas ikut turun dan bekerja, laki-laki itu malah pergi lagi. Ia memutusan tidak masuk kerja.
Bukan. Jangan menebak Agas pergi ke suatu tempat untuk nongkrong bersama kawanannya atau bahkan menemui perempuan lain. Tidak. Kalian salah.
Kurang dari sepuluh menit, motor besar Agas sudah berhenti di garasi istananya. Iya, cowok itu pulang ke rumah orang tuanya. Ada sesuatu yang harus ia bicarakan kepada sang ibu dan Agas tak bisa lagi menunda-nunda.
Usai menaruh helmnya secara sembarangan, ia berlari kecil sambil bersiul seiring langkahnya memasuki pekarangan rumah yang luasnya tak biasa itu. Sudah Agas bilang ini bukan rumah, ini istana.
“Eh, Den—“
“Mama ada, Bi?” potong Agas begitu salah satu pembantu di rumahnya keluar dari pintu rumah membawa kantong plastik yang Agas tebak berisi Deril. Sampah, maksudnya.
“Oh, ada, Den. Kayaknya tadi di kamar lagi baca buku.”
Agas mengangguk lalu tersenyum sambil berpamitan untuk masuk rumah. Ia sudah menebak bahwa Papanya belum pulang. Yah, itu mah sudah jelas. Ini masih jam empat. Jika Papanya tidak lembur pun, Agas yakin baru satu atau dua jam lagi Papanya akan pulang.
“Mam!”
Padahal kakinya belum menaiki tangga yang akan membawa langkahnya menuju lantai dua. Tapi Agas memilih berteriak saja. Ia akhirnya tetap naik juga karena sang ibu tidak kunjung membalas jawabannya. Ia mengetuk pintu dua kali sebelum akhirnya memutar kenop dan membukanya.
Yang ia dapati adalah mama yang sibuk mengecat kuku malahan, bukan seang membaca buku seperti yang dikatakan Bibi tadi. Ia mendengus kecil karena— hei, ia tahu mamanya memang masih cantik dan sangat menawan, tapi apakah mama harus setiap hari mengganti warna kukunya? Agas sampai geleng-geleng kepala karena setiap kali ia bertemu dengan sang ibu, warna kukunya selalu berbeda-beda.
“Loh, Nak?” sapa Mamanya melirik ia sekilas sebelum kembali fokus pada cairan berwarna di atas nakas. Agas menghampiri ibunya, membubuhkan kecupan di puncak kepala sang mama, lalu duduk di tepi ranjang.
“Kali ini warna apa, Ma?”
Mamanya tertawa kecil. Sudah hapal benar bahwa putra semata wayangnya itu akan melayangkan protes. Ia sudah terbiasa. Mungkin anaknya benar-benar keki melihat ibunya yang terlalu fashionable sampai rasanya Agas saja kalah muda dengan sang ibu.
“Ini cloud grey.” jawabnya sembari menjetik-jentikan jemari lentiknya di depan wajah sang anak. “Gemes, kan?”
Agas langsung mendengus keras. “Gemes apanya. Yang ada setiap Agas mau cium tangan, hidung Agas kayak kesengat bau cat, tau!”
“Ih, mana ada!”
“Ada! Cium aja coba tangan Mama. Pasti bau cat baru.”
Mamanya tersenyum kodok tak peduli. Ia melanjutkan kegiatannya lalu bergumam lirih. “Kamu ngapain tiba-tiba pulang ke rumah— loh, Gas!”
Mamanya yang tiba-tiba memekik hingga cat kuteknya keluar dari kuku yang seharusnya membuat Agas ikut panik. “Apa? Kenapa teriak?!”
Mamanya memutar kursi, mengahadap sang putra sepenuhnya. Matanya tiba-tiba memicing tajam. “Kamu bolos kerja?!”
“Oh, itu.. anu, Ma, eum...”
“Halah, anu-anu! Kebiasaan, deh, suka ingkar janji! Tahu gini Mama, kan, gak mecat manajer sebelumnya. Kamu, tuh, emang deh Gas suka banget semena-mena. Kamu kira kerjaan disana bisa keurus sendiri kalau kamunya malah keluyuran?! Mama bener-bener pusiiiiing.”
“Ma, ma, oke, stop it. Astaga, kuping aku sampe congek, nih, mama teriak-teriak ngoceh panjang banget!”
“Lagian kamu jadi orang, tuh, harusnya bertang—“
“Ma, makanya, aku ke rumah. Ini juga mau jelasin soal itu. Aduh, mama, nih, marah-marah mulu.” balas Agas sembari menggosok-gosok telinga.
Mamanya beranjak dari kursi, kini sudah menutup botol cat kuteknya lalu mendekat pada Agas. Ia duduk di samping anaknya, sama-sama di tepi ranjang. “Gimana, gimana? Anak mama, nih, mau alasan gimana lagi. Coba sini bilang.” sarkas sang Mama membuat Agas jadi cengengesan sedikit merasa bersalah.
“Jadi gini...”
“Heem, gimana, gimana?”
Agas meringis kecil. “Agas udah pacaran sama Aya.”
Sang ibu mengernyit. “Aya? Aya... siapa?”
Agas berdecak jengkel. “Aya Analisa, Maaa. Yang waktu itu Agas bilang alau Agas suka sama dia, jadi Agas minta Mama masukin Agas ke Althaf Baker—“
“Oh, yang anak part time? Kacamataan?”
“Sekarang udah enggak kacamataan, sih. Tapi, iya, yang itu.”
Mamanya langsung menatap Agas antusias. “Loh? Tapi, kok, dia mau pacaran sama kamu?”
Agas menatap mamanya jengah. “Ma.. please.. Agas ini ganteng.” jawabnya songong. Mama langsung terbahak hingga kepalanya terlempar ke belakang. Ia mengangguk-angguk sambil mengacungkan dua jempol di depan Agas. “Padahal masih berapa minggu, sih, Gas kamu deketin?”
“Apanya berapa minggu?! Dua bulan kali, Ma, udahan!”
Mamanya tertawa lagi. “Udah dua bulan deket baru diterimanya kemarin?”
Agas mengangguk.
“Oke, oke. Terus gimana? Kamu mau ngomong apa lagi?”
“Oke, jadi, karena Aku kan udah pacaran sama Aya, nih Ma...”
“Oke...”
“Jadi...” Agas membaca bismillah dalam hati. “Agas mau mengundurkan diri jadi manajer—“
“TIDAK BISA!”
“Ma, ma, tenang, tenang. Dengerin Agas dulu. Gini, loh, Maaaa. Aku, kan, anak bau kecur, ya kan? Mama sendiri yang pernah bilang gitu ke aku. Jadi, karena Agas juga udah gak punya kepentingan buat harus selalu ke Althaf Bakery kecuali anter jemput Aya, ya, ngapain juga aku harus masih berkutat sama kantor? Iya, kan? Lagian Agas, tuh, suer deh Ma, sebenernya gaktau apa-apa soal ngurusin bisnis.”
Mamanya menghela nafas lelah. Ia memijit pelipisnya. “Dari awal harusnya Mama gak nututin mau kamu, deh, Gas. Suka labil.”
“Hehe. Ya maaf. Manajer yang sebelumnya suruh balik aja, Ma, biar gampang.”
“Enak, ya, kalau ngomong?!”
Agas menciut.
“Jadi kamu kemarin, tuh, minta jadi manajer cuman trik biar bisa mepertin si Ana aja?”
Agas mengangguk. “Apa lagi, coba?”
“Terus sekarang udah dapet Ananya, gak mau lagi bantuin dia kerja?”
“Loh, enggak. Bukan gitu juga, Mam.”
“Terus gimana?”
“Akunya juga masih suka ngintilin dia kemana-mana, kok. Tapi, kan, kalau aku gak jadi manajer, au lebih bebas gitu, loh. Gak harus terpaku sama beban urusan kantor juga. Gitu. Kalau masalah bantuin Aya, aku juga bakal sering kesana nengokin dia.”
Mamanya makin pusing. “Hhh, terserah kamu, deh.”
Agas langsung tersenyum lebar. “udah, ya? Bebas, ya, Agas sekarang?”
“Hm.”
Agas langsung memeluk sang ibu dengan erat. “Makasih, makasih, makasih. Lov yu ful pokoknya, Mam.”
“Tapi, Gas...”
Agas melepaskan pelukannya. Sedikit was-was karena sang ibu berbicara dengan suara sangat lirih. “Kenapa?”
“Ana perempuan baik-baik, loh. Dia sopan, mandiri, pekerja keras, gak pernah aneh-aneh. Karena mama tahu Ana beda sama perempuan kamu yang dulu-dulu, Mama minta jangan dimainin ya perasaan anak orang?”
Oh, astaga. Agas kira ibunya akan mengatakan sesuatu yang berbahaya. Ternyata ini. Ia langsung mengangguk tegas, seratus persen mengerti. “Iya, Ma.”
“Jangan iya-iya, doang.”
“Astaga, beneran! Demi apa, deh! Lagian ini mama ngomong gini kayak Aya yang anak kandung, deh. Dilindungin banget.”
Mamanya tertawa geli. “Ya, bukannya gitu. Mama, tuh, takutnya kamu malah nyakitin dia, entah ngapain, kek, yang bikin dia sakit hati. Kalau itu sampai kejadian, kamu juga yang susah.”
“Hm? Kenapa gitu?”
“Karma masih bakal selalu muter, Nak.”
Agas menghela nafas lirih. “Iya, Ma. Paham. Tapi di hubungan yang Agas jalanin kali ini, sembilan puluh persen kemungkinan besar jadi pihak yang menyakiti itu adalah bukan Agas, tapi Aya sendiri.”
Bukannya kasihan atau ikut berduka cita, Mamanya malah tertawa mengejek. “Kenapa? Chandra anak dapur Althaf masih gencar deketin pacar kamu, ya?”
Agas langsung melotot dan memekik heboh. “Mama, kok, tahu segala soal Chandra?”
Mamanya menatap kuu-kukunya dengan kemayu. “Apa, sih, yang mama gak tahu soal anak Mama? tapi bener, sih, Nak. Kamu emang harus hati-hati. Soalnya Chandra itu laki-laki baik juga, terlihat sangat menyayangi Aya. Awas ketikung.”
Awas ketikung.
Dua kalimat itu langsung tertempel lekat di otak Agas.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
“Halo, Princess.”
Agas tahu-tahu muncul di depan kasir ketika sang kekasih sibuk menunduk menghitung uang di mesin. Aya terkejut, tentu saja. Ia bahkan langsung melotot pada Agas. Bibirnya omat-kamit, mungkin menggerutu kesal, tapi yang ada cowok itu malah terkekeh gemas.
“Hari ini rame, gak?” tanya Agas, masih ta memperdulikan keberadaannya yang seharusnya tida boleh disitu karena beberapa pelanggan akan datang dan menganti di depan meja kasir.
“Rame, kok, Mas. Rame.”
Yang menjawab malah Mbak Lusi. Agas melirik Aya yang terkekeh karena Agas kini merengut sebal dicueki olehnya.
“Kata ibu, Mas Agas ngundurin diri, ya?”
Kali ini Agas yang melotot. Ia tak tahu bahwa Mbak Lusi tahu soal ini. Wah, bisa gawat Aya kalau tahu Agas mengundurkan diri. Pasti cewek itu akan—
“Iya, Kak? Kakak ngundurin diri?”
“Ha? Eung, anu, enggak, kok—“
“Loh, Ana gak tahu?” Mbak Lusi menyela lagi. “Kirain udah tahu. Kan Mas Agas deketnya sama Mbak Ana dari pada sama pegawai yang lain.”
Agas berdecak sebal kini. Tatapannya menghunus pada Mba Lusi tapi yang dipelototi hanya mengedikkan bahu mengejek.
“Iya, Kak?” ulang Aya.
“Oh, itu... iya, Ay, kan soalnya gue udah kelas 12. Jadi gak bisa bantu-bantu lagi. Gue harus sibuk belajar sekarang, mah. Iya, kan? Keputusan gue udah bener, kan?”
Mata Aya memicing mendengar jawaban tak masuk akan yang keluar dari bibir Agas. Mana ada seorang Agas Zidane Althaf mementingkan belajar sekalipun sudah berada di akhir tahun masa putih abu-abu?
“Bener itu alasannya?”
Agas sudah ketar-ketir sendiri.
“Bukan karena males ngurusin?”
Mata Agas sudah bergerak lincah kemana-mana. Lalu sampai salah satu pengunjung toko roti terlihat mendekat ke arah kasir, Agas menggunakan itu sebagai alasan. Ia meraup wajah Aya gemas sambil berlalu. “Iya, ih. Gak percayaan banget sama gue. Udah itu ada yang mau bayar. Kerja yang bener, yang fokus. Jangan mikirin gue mulu.”
Aya mencibir tak percaya namun sudah tak bisa memerotes apapun lagi karena di depan mejanya sudah hadir pelanggan yang membawa satu keranjang penuh berisi roti. Lalu seiring langkah Agas meninggalkan Aya, ia sempat mendengar Mbak Lusi berbisik pada gadis itu.
“An, kamu udah pacaran sama Agas?”
Ada beberapa saat jeda untuk Aya menjawab hingga suara gadis itu kembali terdengar. “Mbak kenapa mikir kayak gitu?”
Mbak Lusi cekikikan. “Soalnya Mas Agas manggil kamu princess, terus cara ngomongnya juga udah beda. Kayak lebih bebas leluasa gitu. Kamunya juga gak secuek kemaren-kemaren.”
“Oh... hehe.”
“Pacaran, ya, An, udahan?”
“Hehe, iya, Mbak.”
Atas jawaban Aya yang ia dengar sama-samar itulah yang membuat Agas langsung melengkungkan bibir senang, Tapi tida ketika ia mendengar lanjutan kalmat sang gads.
“Ehm, Mbak Lusi. Tapi aku minta tolong buat jangan bilang ke karyawan yang lain, ya. Cukup Mbak Lusi aja yang tahu. Yang lain jangan.”
Oh, Agas langsung tersenyum miris. Tiba-tiba potongan lagu yang pernah terkenal pada jamannya itu terngiang di telinga dan kepalanya. Bagaikan potongan musik video, Agas bisa membayangkan ia berada di rooftop, matanya sudah henda menangis, kemudian ia menyanyikan :
Why can’t you hold me in the street?
Why can’t i kiss you on the dance floor?
I wish that i could be like that
Why can’t we be like that?
Cause i’m yours
Why can’t i say that i am in love
I want to shout it from the rooftop
I wish that i could be like that
Why can’t we be like that
Cause i am yours!
Tolong siapapun jangan bilang Agas lebai. Tapi kini apa yang ada di benaknya hanyalah ia yang sibuk menerka-nerka. Mengapa Aya tak mau orang lain tahu? Mengapa Aya harus berusaha menutupi hubungan mereka? Bukankan di sekolah tadi saja gadis itu baik-baik saja dengan orang-orang yang mulai mengetahui hubungan keduanya, bahwa Aya dan Agas sudah resmi berpacaran? Mengapa kali ini tidak?
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *