* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Ada yang salah dengan Agas Zidane Althaf. Iya, Aya menyadari hal itu tapi ia tak tahu alasannya. Juga tak berhasil menerka-nerka. Atau mungkin ia hanya salah mengambil asumsi padahal sebenarnya Agas biasa saja?
Tapi mana mungkin biasa saja sedangkan sejak tadi ia didiamkan oleh cowok itu. Padahal biasanya Agas, kan, tidak pernah diam.
Tadi, setelah Agas ke toko roti hanya untuk melihat Ana dan karyawan yang lain, cowok itu berpamitan bahwa ia ingin ke rumah Dava untuk suatu hal yang Aya tak tanya apa. Ia cuman mengangguk singkat setelah diberi tahu Mbak Lusi—iya, ia tahunya aja dari Mbak Lusi karena Agas tidak berpamitan kepadanya.
Lalu selanjutnya, Aya kira Agas tidak akan kembali ke toko roti karena... ya buat apa? Toh katanya Agas udah gak kerja di Althaf Bakery. Namun ternyata tebakannya salah karena tepat ketika ia dan Mbak Lusi juga dua karyawan laki-laki lainnya yang kebagian piket malam sedang membersihkan toko dan merapikan kursi, lampu mobil yang menyala terang ke arah Aya yang sedang menyapu jadi menutup matanya.
Ternyata mobil Agas yang baru terparkir di depan. Aya tidak lagi menutupi matanya ketika lampu mobil sudah mati. Yang kini ia dapati adalah Agas menghampiri toko—atau menghampiri dirinya—dengan wajah datar. Benar-benar bukan Agas sekali.
“Ayo pulang.”
Tahu-tahu, cowok itu bilang begitu membuat Mbak Lusi dan Aya jadi bengong. Bingung.
Aya berdeham kemudian, tahu bahwa artinya cowok itu menghampiri toko untuk menjemput dan mengantar pulang. “Bentar. Tinggal nyapu doang.”
“Udah bersih ini lantainya. Ngapain di sapu?”
Mbak Lusi yang merasakan aura tak beres di wajah pemuda tampan itu akhirya segera menengahi. “An, kamu pulang aja gak apa-apa. Biar Mbak yang lanjutin.”
“Gak usah, Mbak. Kan aku yang bagian nyapu. Mbak Lusi udah bagian ngepel.”
“Udah gak papa. Kamu udah dijemput gitu sama Agas.”
“Gak—“
“An...” Mbak Lusi melirik Agas yang bersandar di pintu masuk dengan kedua tangan ada di kantung celana. Menatap Aya dengan tatapan datar.
Sebenarnya kalau boleh jujur, Aya sama sekali gak terintimidasi. Dia memang merasa aneh dan sedikit bingung, tapi dia sama sekali gak takut. Toh dirinya juga gak merasa ada salah sampai-sampai Agas bersikap dingin begini.
Aya akhirnya menghela nafas dalam lalu mengangsurkan sapu kepada Mbak Lusi. “Ya udah, aku tinggal gak apa-apa, ya, Mbak? Besok pas piketnya Mbak Lusi aku, deh, yang gantiin.”
“Alah gampang itu, mah. Gak digantiin juga gak apa.”
Ana menggeleng tak enak. Bagaimanapun dia, kan, juga karyawan disini. Bagaimana bisa dia lepas tanggung jawab dan memberikan tugasnya pada karyawan lain tapi tidak diganti?
“Jangan, Mbak.”
Agas kemudian putar balik badan setelah matanya memandang Aya dengan tatapan buat nyuruh ngikutin dia keluar toko.
“Mbak, aku pulang duluan, ya?”
Mbak Lusi meringis lalu mengangguk. “Hati-hati, ya, An!”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
“Kak,”
“Hm.”
Ini sudah ketiga kalinya Aya memanggil nama Agas yang disambut dengan dua huruf saja ‘hm’, lalu percakapan berhenti disana karena Aya juga malas membuka obrolan.
Aya—yang baru pertama kali ini—terlibat sebuah ikatan dengan laki-laki tentu saja gak punya pengalaman banyak untuk hal-hal seperti ini. Walaupun ia beberapa kali membaca novel teenfiction atau bahkan adult—bukan yang v****r, ya—tentu saja dia tetap tidak mahir dengan ‘cara mengetahui apa isi hati pacar’ atau ‘apa yang harus diperbuat saat pacar tiba-tiba dingin dan datar’. Ya, kan?
Bahkan jika sebelum hari ini setiap kali pulang kerja Agas akan banyak bercerita tentang banyak hal—sesuai karakter asli cowok itu yang emang cerewet dan berisik—malam ini mana ada. Biasanya juga Agas akan bertanya Aya sedang ingin makan malam dimana dan menu apa biar Agas bisa mengantar gadisnya ke tempat yang dimaksud, memesan makanan yang dibungkus, lalu dibawa pulang ke rumah Aya dan mereka plus Agil akan makan malam disana.
Kali ini? Tidak.
Agas hanya tiba-tiba berhenti di depan warung nasi padang, lalu turun sendiri tanpa ngomong apa-apa, dan Aya juga tidak berniat tanya-tanya. Toh, misalnya laki-laki itu mau membelikan diri sendiri dan Aya tidak dibelikan, Aya bisa masak di rumah nanti dengan Agil. Omong-omong, Aya jadi menyesal karena tadi tak sempat meng-charge ponselnya sehingga kini saat ia gabut, dia tidak bisa main game ular di ponselnya—setidaknya dia tidak seperti orang bodoh begini.
Tapi cowok dengan jaket jeans warna hitam pekat yang baru turun dari mobil lalu terlihat memesan makanan pada karyawan warung nasi padang, Agas kembali lagi ke mobil. Cowok tersebut mengetuk kaca mobil di pintu pengemudi, membuat Aya langsung memanjangkan tangan untuk memencet tombol yang digunakan sebagai aklat menurun atau menaikkan kaca.
“Lo makan apa?”
Aya mengernyit. Dia ditawari juga ternyata? Tapi kemudian Aya menggeleng. “Gak usah.”
“Cepet. Keburu ditungguin Masnya.”
“Gak usah, Kak.” jawab Aya tak kalah datar.
“Gue pesenin semau gue.” ujar Agas lalu tanpa kata apa-apa lagi, cowok itu kembali ke warung.
Aya hanya menghela nafas. Dia diam di dalam mobil dengan mata yang menatap setiap pergerakan Agas disana. Setelah cowok itu terlihat selesai memberi tahu menu yang ia beli dan menunggunya dibungkus, Agas juga terlihat gabut gak tahu mau ngapain. Jadi dia cuman nonton televisi yang tersedia di dalam warung itu. Juga sesekali Agas menoleh ke arah belakang, ke dalam mobil, melihat Aya—atau mengeceknya, yang mana membuat tatapan mereka bertubrukan hanya untuk sesaat karena selanjutnya Agas langsung ngalihin pandangan.
Aya tertawa geli dalam hati. Salah siapa nyuekin Aya? Kan kalau aja dia gak tiba-tiba random nyuekin begini, Agas pasti ke sana sendirian dan Aya bisa ngajakin ngobrol.
Tak membutuhkan waktu sampai sepuluh menit untuk Agas akhirnya kembali masuk ke dalam mobil. Cowok itu menaruh plastik makanan di jok belakang—masih dengan tidak membuka suara—lalu memasang seat belt, dan kembali melajukan mobil.
Aya menggaruk keningnya bingung. Lama-lama dia juga jadi penasaran, lah, ini sebenernya Agas kenapa. Tiba-tiba Aya menebak bahwa sebenarnya Agas sedang tidak mood bicara bukan karena Aya yang salah, tapi karena ada masalah di luar sana. Entah dengan temannya, atau jangan-jangan keluarganya.
Aya melebarkan matanya sendiri, terkejut dengan pemikirannya. Jangan-jangan memang begitu? Cowok di sampingnya ini sedang sedih karena suatu hal makanya dari tadi diam saja dan Aya yang dijadikan pelampiasan?
Tak tahan, akhirnya cewek itu berdeham, membuat Agas yang dari tadi telunjuk dan jari tengahnya mengetuk-ketuk stir mobil jadi berhenti. Walau cowok itu tidak memberi respon berupa pertanyaan apa atau kenapa, juga tidak sekalipun menoleh, Aya tahu Agas tahu bahwa ia akan membicarakan sesuatu.
“Kakak sariawan?”
Dari sekian puluh ribu pertanyaan yang bisa diberikan Aya Analisa, Agas di dalam hatinya mendengus sebal kenapa yang ditanya malah sariawan.
“Gak.”
“Terus? Kenapa dari tadi diam aja?”
Sebenernya, Agas juga sedikit tersentuh sih karena Aya mau menanyainya duluan juga karena gadis itu peka terhadap perubahan sikapnya. Karena mengingat Aya selama ini tidak pernah melakukan first move, apa lagi memberi perhatian kepada Agas. Jadi hal sekecil ini membuat hati Agas agak menghangat. Syukurlah kalau Aya peka. Itu artinya dia dari tadi merhatiin gue, kan? Batin Agas.
“Gak kenapa-kenapa. Pengen diem aja.”
Udah, percakapan berhenti disana karena selanjutnya Aya diam. Tidak terdengar hendak menanggapi apapun lagi.
Agas baru hendak protes karena itu—berpikir kalau Aya ini sangat careless sekali padahal ke pacar sendiri—tapi ternyata Aya mengeluarkan suara kembali.
“Aneh,” gumam Aya lirih yang masih bisa didengar oleh kedua telinga Agas. “Kayak cewek aja kalau ditanya gak papa gak papa.”
Agas mendengkus.
“Kenapa, sih? Jangan dikira aku dari tadi diem aja berarti aku bisa nahan sabar terus-terusan, ya, ngadepin kakak yang gak jelas gini?”
Agas tertawa dalam hati. Astaga, padahal dia tadi benar-benar marah. Tapi mendengar Aya mengomel membuat dia sedikit... senang? Hehe, benar juga kata Aya. Agas Zidane Althaf ini emang aneh dan gak jelas.
“Kak? Am i talking to a stone now?’
“Gak bisa bahasa enggres.”
Aya langsung melotot. Tapi karena Agas matanya fokus ke depan, jelas dia gak tahu kalau Aya lagi masang wajah galak.
“Terserah.” ujar Aya kemudian. Lelah merayu Agas yang gak mau cerita. Jadi cewek itu memilih buat menolehkan kepala ke arah jendela mobil di sampingnya. Mengamati jalanan yang sepi malam ini.
Agas melirik Aya diam-diam. Lalu mendapati bahwa cewek itu malah balas ngambek—eh, ini ngambek bukan, ya?—dan mendiamkannya, Agas jadi was-was. Dia pura-pura batuk seiring tangannya memutar stir mobil, membelokkannya ke arah kanan.
“Nanti abis makan aja bahasnya.”
Lalu keduanya menghabiskan waktu di dalam ruangan mobil dengan saling diam sampai Agas memberhentikan kendaraannya di g**g rumah sang pacar.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Aya Analisa tak perlu mengetuk pintu rumah untuk dibukakan oleh adiknya dari dalam karena dia membawa kunci serep sendiri. Ia membuka pintu dengan pelan, takut mengganggu adiknya yang di jam sembilan begini biasanya sudah tidur—atau at least pura-pura tidur karena takut dimarahi oleh Aya jika tidur terlalu larut malam.
Agas mengikuti langkah sang kekasih dari belakang dengan tangan kanan membawa kantung plastik makanan yang tadi ia beli, sedangkan tangan kirinya memasukkan kunci mobil ke dalam saku jaket.
“Assalamualaikum,” ujar Aya lirih hingga lebih mirip bergumam untuk diri sendiri.
Agas di belakangnya menjawab salam tak kalah lirik, hanya formalitas untuk menjawab salam karena kalau gak dijawab, kan, dosa.
“Waalaikum salaaaam.”
Aya menoleh ke arah pintu kamar yang mana adiknya dengan cengiran lebar muncul dari sana. Agil dengan kaos dalam saja sedangkan bawahannya celana pendek berwarna minion itu tampak lucu dengan mata yang agak memerah seperti mengantuk.
“Loh, belum tidur?” Aya bertanya sambil menjongkokkan badan, lalu menggendong adiknya.
“Udah. Terus kebangun soalnya nyium bau wangi. Kakak bawa makanan?”
Agas di belakangnya tersenyum lebar—yah, walaupun dia lagi dongkol sama si Aya, tapi sama adiknya, kan, jelas beda cerita. Cowok itu mengangkat plastik makanan yang ia bawa tinggi-tinggi. Tepat di depan wajah Agil yang ada di pundak Aya, sedangkan cewek itu memunggunginya.
“Bawa. Kamu belum makan malem? Kan tadi kakak masak?”
“Udah. Tapi laper lagi.”
Aya terkekeh. “Ya udah kamu duduk, ya. Kakak ke dapur dulu ambil piring.”
Tepat ketika cewek itu selesai menurunkan Agil di kursi kayu ruang tamu dengan Agas yang duduk di salah satu kursi lainnya, Agas kemudian berdiri. “Gue aja yang ambil piring. Lo bisa ganti baju.”
Aya mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Mungkin dalam hati bertanya, tumben Agas mau ngomong sedangkan dari tadi dia didiemin?
Tapi gak mau memperpanjang, Aya cuman mengangguk lalu pergi ke kamar sederhananya dan mengunci pintu dari dalam.
Tak butuh waktu lama bagi Agas hingga ia kembali ke ruang tamu usai dari dapur dengan membawa tiga tumpuk piring, tiga sendok, dan mangkuk kecil tempat sambal. Apa kah Agas sudah pernah bilang bahwa semenjak jadi pacar Aya, cowok itu jadi sedikit banyak tahu soal dapur—bukan buat masak, tapi sesederhana mencuci piring—juga menyapu karena kadang dia membantu Aya menyapu—entah di rumah cewek itu atau di tempat kerja. Kalau kata mamanya, Agas berubah banyak in a good way.
“Tebak dulu, dong, Kak Agas beliin makanan apa?” ujar Agas yang kini duduk di samping Agil—di kursi kayu panjang yang dapat ditempati oleh tiga orang itu.
Agil mengetuk-ketuk dagunya dengan telunju, serta matanya yang menjuling ke atas seolah sedang berpikir keras membuat Agas tertawa. “Eum... kataknya, sih, ikan goreng?”
“Loh, kok bisa tahu?!”
Agas sampai benar-benar tercengang karena tebakan bocah cilik itu seratus persen tepat sasaran. Karena tadi Aya tidak memberinya jawaban pasti tentang menu makanan yang ingin dimakan, jadilah Agas memilih asal tadi. Ia membeli tiga ikan goreng, sambal hijau, dan sayur rebus yang—jujur—Agas tak tahu namanya apa.
Agil langsung membusungkan dadanya menyombong. “Iya, dong! Hidung Agas, kan, emang peka kalau soal makanan!”
Agas tertawa.
Kemudian Aya hadir di antara percakapan mereka berdua membuat dua cowok disana jadi mengangkat kepala, mengamati gadis cantik yang rambutnya dikuncir satu tinggi, raut wajah lelah masih ada disana karena baru pulang kerja, juga piyama bertema minion—seperti milik Agil.
“Udah ambil air putih, Kak?” tanya Aya sambil mengamati isi meja yang sudah ditata pacarnya.
Agas menggeleng. “Lupa.”
“Oke, aku ambilin dulu.”
Setelah air putih di teko dan tiga gelas sudah ditaruh Aya di meja berdempetan dengan piring lauk dan nasi, Aya hendak mendudukkan pantatnya di kursi kayu single tapi Agas segera membuka suara.
“Sini aja.” ujarnya sambil menepuk kursi di sampingnya, Agas juga bergeser lebih dekat dengan Agil. Menyisakan ruang kosong yang terlalu banyak untuk Aya.
Aya menatap mata Agas, sebenarnya sedikit geli sendiri karena Agas yang gak konsisten dengan keputusannya. Tadi cowok itu mendiamkannya, sekarang udah balik lagi. Dasar.
Sedangkan di dalam hati Agas, dia memang sedang merutuki diri sendiri yang gak bisa ngambek lama-lama kepada Aya. Pacarnya ini begitu polos dan menggemaskan, membuat Agas tak bisa tahan untuk mengajak berbicara. Lagipula mengenai hal yang membuat Agas kesal, ia bisa membahasnya nanti saat selesai makan. Sekarang ia memilih untuk menggunakan waktu dengan makan malam bersama keluarga kecilnya.
Hihi. Agas terkikik geli dalam hati dengan pemilihan kata itu.
“Gak jadi ngediemin aku?” tanya Aya sedikit menggoda, walaupun wajahnya menunjukkan ekspresi datar dan tampak careless seiring ia duduk di tempat yang dimau Agas.
Cowok itu berdecak. “Abis makan gue mau bahas. Ingetin.”
Aya tak memilih menjawab. Ia lalu menoleh ke arah adiknya yang sudah mencuil daging ikan di piring kecil dan memasukkan ke dalam mulut. “Agil disuapin kakak aja atau makan sendiri?”
“Sendiri.”
“Ya udah siniin dulu ikannya. Takut ada duri.”
Agil mengangguk sambil mengulurkan piring kaca itu, membuat Agas dengan tanggap segera mengangsurkan piring dari Agil ke Aya karena ngeri piringnya keburu pecah dipegang bocah cilik itu.
Aya mengambil duri besar di tengah tubuh ikan presto tersebut, lalu memberikan piring Agil kepada sang empu.
“Udah baca doa sebelum makan belum, Gil?”
Agil mengangguk-anggukkan kepala.
“Ya udah, makan gih. Nanti abis makan langsung tidur, ya?”
“Gak cuci tangan dulu, Kak?”
Agas tertawa mendengar pertanyaan polos itu. “Maksud Kakak kamu, abis kamu makan, minum air putih, terus cuci tangan, terus tidur.”
“Ooooh... iya, iya, iya.”
Seiring dengan Agil yang sudah berkutat dengan ikan dan nasi yang ia makan---bocah kecil itu tampak sangat senang karena lama tidak makan ikan padahal ikan adalah makanan favoritnya—Agas menyendok sambel lalu melirik pacarnya.
“Ay.”
Yang dipanggil menoleh.
“Kamu gak pengin nyuapin aku?”
Aya hanya memutar bola matanya malas. “Makan sendirilah! Agil aja gak mau disuapin.”
Agas merengut.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Aya menutup pintu kamar Agas dari luar usai menidurkan adik semata wayangnya tersebut. Dia kembali duduk di tempat semula—oh, tidak, kini cewek itu memilih mengambil kursi kayu single.
“Gak papa, gak usah. Nanti biar aku yang rapiin.” ujar Aya ketika melihat Agas membereskan bungkus plastik juga piring kotor menjadi satu di atas meja.
Agas pura-pura tuli.
“Biarin, Kak. Katanya mau ngomong sesuatu?”
“Bentar. Kan ini gue juga cuman numpukin begini. Yang cuci piring juga elo. Bantuin dikit gak papa, kan?”
Aya hanya menarik nafas dan menghembuskannya pelan. Tidak lagi memprotes dan membiarkan pacarnya berlaku sesuka hati, semaunya.
Tak butuh waktu lama hingga meja kemudian sudah bersih karena Agas menaruh piring kotor di dapur juga membuang sampah di tempatnya.
“Jadi?” Aya menuntut jawaban usai sedari tadi memang menahan rasa penasaran.
“Gue gak sengaja denger pembicaraan lo sama Mbak Lusi sore tadi.”
“Hm? Yang mana?”
“Soal...” Agas menatap Aya lurus. Ada perasaan kecewa yang kembali menghantui benaknya kala cowok itu ingat bahwa... “Lo mau Mbak Lusi tutup mulut soal hubungan kita ke orang Althaf Bakery.”
Aya diam. Agas diam.
Agas diam jelas untuk menunggu jawaban. Kalau Aya sendiri, dia diam karena dia bingung. Satu, dia bingung karena dia lupa apa iya dia mengatakan itu tadi. Kedua, setelah ia ingat bahwa ia memang benar bilang begitu, dia bertanya-tanya kenapa Agas bisa mendengar pembicaraan tersebut padahal seingatnya tadi dia dan Mbak Lusi ngomongnya bisik-bisikan. Ketiga, dia gak paham kenapa Agas mendiamkannya hanya karena itu.
Oke, Aya mencoba memahami posisi Agas. Manusia mana yang gak sakit hati kalau pacarnya minta back street? Mungkin Agas menganggap bahwa—
“Lo malu pacaran sama gue?”
Tuh, kan. Udah Aya tebak Agas pasti menebak seperti ini.
“Atau karena ada seseorang di Althaf Bakery yang bikin lo gak mau dia tahu soal kita?”
“Enggak gitu, Kak.”
Agas memicingkan mata gak percaya.
“Serius, enggak.” jawab Aya mengulang agar mampu meyakinkan lawan bicaranya. “Lagian, ya. Yang pertama, kenapa aku harus malu? Kalau aku malu, harusnya dari awal aku gak usah nerima Kakak, lah. Iya, kan?”
Agas membatin dalam hati. Iya juga.
“Yang kedua, seseorang siapa di Althaf yang harus aku jaga perasaannya?”
“Ya perasaan—“
Agas tidak jadi melanjutkan ucapannya ketika dia menyadari sesuatu. Oh, sepertinya Aya tidak tahu kalau Chandra menyukai cewek itu? Oke, Agas tak akan membahas perihal karyawannya yang satu itu kalau begitu. Itu bisa diurus nanti jika yang ini sudah selesai.
“Siapa?”
“Ya siapa, kek, gitu.”
Aya mendengkus. “Gak ada yang begitu-begitu.”
“Oke, terus apa?!”
“Bentar, deh, Kak. Ada yang mau aku tanyain.”
Agas mengangkat alisnya.
“Kakak tadi ngediemin aku, sampai aku ngajak omong mukanya gak ngenakin, pasang muka datar bahkan pas ngomong sama Mbak Lusi, itu gara-gara ini doang?”
‘”Doang kata lo?!” Agas memrotes tak terima dengan mata melotot. “Ini bukan doang, ya, Ay.”
“Oke, ini emang bukan ‘itu doang’. Tapi, Kak, at least ya, kalau ada sesuatu yang janggal, tuh, diomongin dulu. Baru ngambek-ngambek kalau emang udah tahu alasan sebenernya. Ngerasa gak kalau yang tadi kakak lakuin itu gak make sense? Kakak aja gak tahu alasan aku minta ke Mbak Lusi buat tutup mulut. Terus kenapa tiba-tiba marah?”
“Ya gimana gak marah, sih, Ay—“
Aya mengangkat telapak tangannya di depan wajah Agas, menyuruh cowok itu diam karena dia belum selesai bicara.
“Alasan aku ngomong kayak gitu adalah, karena aku gak mau orang-orang di toko ngira aku manfaatin kakak doang. Karena aku pekerja disana. Dan mamanya kak Agas yang punya toko. Aku sempet denger orang dapur pernah ada yang ngegosipin aku. Katanya belakangan ini mereka ngira aku nge-PDKT-in Kak Agas biar aku bisa diperringan tugasnya di toko.”
“Mana ada, sih, yang kayak gitu?!”
“Iya, makanya, Kak...” Aya menghela nafas lelah. “Aku gak mau yang kayak gini-gini, omongan buruk begitu, ganggu kerjaan aku. Jadi aku milih bilangin Mbak Lusi gitu.”
“Gak harus minta back street, kan, Ay? Lo bisa minta gue ngumpulin semua karyawan buat ngasih tahu kalau lo gak kayak gitu. Apanya yang nge-PDKT-in gue? Kebalik, kali.”
Aya terkekeh kala mendapati wajah Agas merah karena marah dan suaranya yang menggebu-gebu.
“Gak usah dibikin rame. Udah emang yang paling bener begini aja, Kak. Kalau kakak malah ngadain Konferensi Pers begitu, yang ada mereka mikirnya aku yang nyuruh Kakak.”
“Kok gue baru tahu, sih, karyawannya mama pada julid-julid semua?!”
“Gak semua, kok. Cuman beberapa aja.”
“Tetep. Gue harus bilangin—“
“Kak...” Aya memelas. “I’m okay. Udah, deh, gak usah digede-gedein.”
“Gue gak suka back street, Aya. Alasan lo emang masuk akal tapi ada solusi yang lebih baik dari pada back street. Jadi nurut gue aja, oke?”
“Aku bukan minta back street, Kak. Astaga. Aku cuman minta kita profesional aja di toko biar gak ada yang ngira kita macem-macem.”
“Tapi gue boleh bilang ke mereka kalau—“
Aya menghela nafas lagi kali ini. Lebih keras. “Kak? Kita harus debat semalem ini?”
“Oke, oke, gue kalah.”
Agas akhirnya mengalah.
Toh dipikir-pikir ini juga bukan kerugian besar buat ‘berlaku profesional’ selama dia dan Aya ada di toko. Agas juga gak kerja lagi di Althaf Bakery, jadi ia pikir ini tak akan jadi masalah. Cowok itu akhirnya mengangguk-anggukkan kepala. Mneyetujui begitu saja keputusan pacarnya.
“Udah? Itu aja yang bikin Kakak gondok dari tadi?’
Agas mengangguk.
“Berarti ini udah kelar masalahnya?”
Agas mengangguk untuk yang kedua kalinya.
“Kalau gitu sekarang Kakak pulang.”
Kali ini cowok itu langsung merengut. “Kok pulang?”
“Demi apapun, Kak, ini udah malem banget. Tuh liat jamnya. Besok sekolah. Aku capek juga, baru pulang kerja. Butuh istirahat.”
Agas yang diberi poin-poin apa saja alasan yang harus membuatnya pulang sekarang jadi mengalah lagi. Benar juga, sih. Ia memang harus kembali ke apartemennya sekarang sebelum semakin larut.
“Ya udah gue pulang. Besok gue jemput, kan?”
Aya mengangguk sambil ikut berdiri. Mengantar cowok yang berjalan ke luar rumah sambil memakai jaketnya kembali.
“Jangan tidur kemaleman. Jangan bangun kesiangan. Nanti telat.” ujar Aya mewanti-wanti. Karena bagaimanapun cowok itu punya kewajiban mengantarkan Aya sampai di sekolah tepat waktu.
Tapi gertakan Aya tentang itu malah membuat Agas senyum-senyum sendiri. Malah merasa senang.
“Perhatian banget, sih. Gue, kan, jadi gemes.”
Aya memutar bola matanya. Tak menjawab apapun. Tapi matanya mengamati Agas yang belum selesai memasukkan satu tangannya ke dalam lengan jaket. Dengan inisiatifnya sendiri, cewek itu akhirnya maju selangkah lebih dekat, lalu ia mengaitkan resleting jaket kekasihnya dan menariknya ke atas sampai benar-benar tertutup.
Agas tercengang. Lagi.
Ayolah, siapa yang gak tercengang, sih, kalau punya pacar yang jutek dan dingin bukan main sejak hari pertama kenal bahkan sampai pacaran tapi belakangan perempuan ini terasa hangat dan perhatian? Ya itu yang dirasain Agas sekarang.
“Aku gak nganterin sampai g**g, ya?”
Suara itu membuat Agas mengerjapkan mata, berusaha untuk tidak melihat Aya terlalu lama sampai tidak berkedip.
“A—oh, iya. Gak usah.”
Ya elah, Gas. Diginiin doang masa baper, sih, lo. Katanya buaya darat.
“Gue balik.”
Aya terseyum. “Hati-hati. Gak usah ngebut.”
Agas mengangguk. Ia berbalik badan hendak berjalan menjauh dari halaman rumah kekasihnya.
“Kalau udah sampai kabarin, ya?”
Dan cowok itu mengurungkan niatnya. Agas memutar balik langkahnya hanya untuk memeluk erat tubuh Aya. Membuat perempuan itu terkejut karena mendapat serangan tiba-tiba.
“Kak, jangan peluk-peluk ini di luar! Astaga nanti ada orang lihat!”
Agas melepas pelukannya karena cewek itu mendorongnya dengan sekuat tenaga. Cwook itu memberikan senyum lebarnya. “Seneng banget tau, Ay, kalau lo mau care ke gue kayak gitu. Ya oke mungkin bagi lo itu hal simple. Tapi menurut gue enggak. Gue... seneng.”
Hati Aya menghangat. Dia membalas senyum Agas dengan senyum sama tulusnya.
“Boleh minta good night kiss?”
Dasar Agas.
“Gak! Cepet pulang!”
Dasar Aya.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *