Hati Ari terasa lega ketika mendapati pesan yang ditunggunya sejak siang dan malam. Kamila dan keluarganya ternyata sedang bermalam Minggu di rumah keluarga besarnya di Kota Cilegon saat tsunami terjadi. Meski hubungan mereka hanya sebatas bertanya kabar lewat sambungan telepon atau mengirim hadiah waktu lebaran, mengetahui kawasan tempat tinggal Kamila mungkin terdampak tsunami turut meresahkan batinnya. Bagaimanapun juga, dia termasuk salah satu teman karib semasa kuliah Ari yang masih tersisa.
Memang benar bahwa pernikahan bagi sebagian perempuan menjadi salah satu gunting tajam yang memotong sebuah ikatan persahabatan.
Ari masih melayan lamunannya. Sekarang setelah Kamila jelas kabarnya, tinggal mencari adik ipar Kamila yang belum dapat dihubungi. Entah di mana mereka mengungsi. Semoga saja istri dan anak Iwan, adik Kamila, segera ditemukan jejaknya karena menurut Kamila, Iwan saat ini sedang berada di Jayapura.
Hujan rinai yang mencurah sedari siang kini bertambah deras. Ari menghela napas, memainkan jarinya pada kaca mobil yang berembun.
Ingatan akan kenangannya di waktu lalu tiba-tiba menyelinap saat hampir melintasi Kota Baja. Kota yang akan dia lalui memang menyimpan cerita usang tatkala dia dan Kamila masih berstatus sebagai mahasiswi magang. Biarpun motivasi Kamila sedikit ngawur, temannya itulah yang menjadi perantara Ari dan pengalamannya di anak perusahaan baja terbesar di negeri ini.
“Ri, kalau sudah di tahun terakhir, target selanjutnya membidik calon imam. Nah, ya di sana, di grup-grup perusahaan baja itu yang para pegawainya sangat bisa diperhitungkan sebagai calon imam.”
“Imam? Maksudnya?” Ari menatap temannya dengan kebingungan pada waktu itu. “Imam S Arifin? Tumben dangdut banget?”
Kamila menjelaskan sambil menepuk bahu Ari, “Ih, kantongnya itu sedikit luber!”
Seketika Ari tertawa. “Kirain apa! Matlamatmu itu, lho. Cari bojo. Harus gitu yang plat merah?”
Kala itu, dia bahkan tidak punya angan-angan untuk menikah muda, apalagi mengacaukan hidup seseorang selama proses magang. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
[Ari, lo terkenal banget ya. Untung bisa lulus padahal sudah bikin seseorang di level manajer terjengkang dari kursi empuknya. Ada rasa malu sekaligus bangga, haaa ....]
Pesan yang membuat Ari ternganga. Pertama, dia bahkan tidak mengenali nomer yang nyasar ke ponselnya. Kedua, jelas tidak tahu ke arah mana dan apa maksud pesan tersebut. Manajer terjengkang karena dia?
Sampai ada pesan berikutnya.
[Iue Bobby, rencang kuliah lo. Gua gawe di perusahaan tempat lo magang. Salam ti bapak-bapak. Pak Imam utamana …] 1
Masih lekat dalam ingatan Ari ketika Bobby, salah satu teman kuliahnya, mengirim pesan tersebut padanya. Manajer terjengkang karena dia? Manajer yang punya hobi melarang ini-itu. Si bawel yang selalu berdalih lokasi di lapangan tidak ramah dan berbahaya bagi perempuan lajang, resign karena dirinya? Bagaimana bisa?
Meski teman kuliahnya itu bahkan tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Namun, selentingan itu dulu sempat terendus pihak kampus. Bobby bekerja di perusahaan itu. Tempat di mana Ari pernah menjalankan program magang. Tempat yang akan selalu ada dalam lipatan memorinya.
Beragam tanya mengemuka. Sayangnya, Ari tidak ada waktu untuk mencari tahu sebab ada hati yang harus ia jaga. Laki-laki yang membuatnya membiru ketika hampir sebulan setelah pesan itu diterimanya memutuskan untuk pisah ranjang. Opick begitu marah mendapati pesan asing itu. Bahkan ketika Ari menceritakan sejelas-jelasnya siapa Pak Manajer yang konon terjengkang dari posisinya itu. Opick semakin marah.
"Kamu naksir manajer itu, ya, Neng?" tanya Opick kala itu dengan wajah merah padam.
"Naksir? Aku sama pria yang bahkan lebih tua dari kakak sulungku?" Ari tentu saja berkilah.
"Ya. Kamu naksir dia, Neng."
"Demi Allah, Kang. Akang itu mengikat Ari di sini dengan begitu kuat," ujar Ari menepuk dadanya.
Nostalgia Ari berhamburan saat sebuah suara menusuk rungunya.
“Mbak Ari, nanti kita dapat di daerah Labuhan atau kalau enggak Anyer, ya?”
Ari menoleh. Di sebelahnya ada Indah, sedangkan di kursi depan ada Pambudi, dua orang yang beberapa bulan lalu juga menjadi konconya saat di NTB dan Palu.
“Cinangka kita nanti,” sahut Indah sambil menguap, menahan kantuk. Hawa dingin karena AC dan gerimis membuatnya kian merapatkan jaket.
Budi menimpali, “Mbak melamun saja dari tadi. Enggak biasanya. Ya, ‘kan, Jeng Indah?”
“Embuh.” Indah masa bodoh. Dia tahu betul lelaki yang lebih muda lima tahun darinya itu memang antusias bila menyangkut Ari. Bahkan saat tahu mereka akan satu tim, langsung saja binar bahagianya terpancar hingga menembus galaksi Bimasakti.
“Iya, aku tahu kok, Bud. Tadi kan sudah taklimat di kantor,” jawab Ari seperlunya.
Seandainya bersikap cuek itu lazim, akan dia lakukan. Akan tetapi, ini Budi, sosok yang sangat bisa diandalkan saat berhadapan dengan para penyintas bencana karena sikapnya yang ramah dan kadar humor di atas rata-rata. Parasnya yang lumayan juga dapat mempermudah kegiatan Ari di kawasan bencana nanti.
“Mbak, bawa obat jerawat?” Budi lagi-lagi bersuara di tengah suasana muram karena hujan yang tak kunjung reda.
Ari tergerak menanggapi. “Buat apaan, Bud? Panadol sama obat diare banyak, nih.”
“Itu pipi kirinya Mbak ada jerawatnya.“
“Enggak ada, ah. Dempulku ini mahal, ya! Mana mungkin ada jerawatnya.” Ari segera menaikkan masker. Namun, bukan Budi namanya jika berhenti membuat riuh suasana. Laki-laki itu kembali memanggil sampai Ari harus menyelanya. “Apaan sih, Bud? Kamu itu ganggu. Tuh, Mbak Indah mau tidur.”
“Itu, lho … ada bulu mata jatuh di pipi kanan. Konon katanya, kalau ada bulu mata jatuh di pipi itu tandanya ada orang yang rindu.”
Budi dan selera humornya. Tangan Ari mengibas. “Halah, ada-ada saja. Em ... aku memang mau jumpa teman kuliahku dulu.”
“Teman atau cinta terpendam?” Budi menaikan alis, beralih menggodanya. “Teman Mbak itu laki-laki atau perempuan?”
“Mau tahu saja kamu.”
Lelaki itu mengulas cengiran. Ari, Indah, dan sopir mobil relawan yang masih fokus dengan jalanan hanya geleng-geleng melihat kelakuan konyol Budi. Iring-iringan mobil yang melepasi pintu tol timur Kota Baja sore itu menghala ke jalur lingkar selatan. Suasana muram mulai terasa dan segera membiaskan candaan yang tercipta.
“Ini sebentar lagi lewat titik nol.” Ujaran sopir sontak merebut atensi ketiganya. Pandangan mereka kompak mengikuti arah yang ditunjuk sopir. “Tuh, gerbang menuju Mertjusuar Anjer 1885 sudah kelihatan.”
Ari-lah yang pertama kali mengemukakan pertanyaan. “Yang sekitar menara itu kena dampak juga, Pak?”
Sang sopir mengangguk. “Kena, tapi enggak begitu ngaruh. Naiknya sekitar sebetis itu ke daratan. Tapi Anyer mah aman soalnya ombaknya pecah di Pulau Sangiang. Kalau Pasauran, Cinangka ke sana, itu yang parah.”
Ari mengangguk-angguk, memahami. Peristiwa tsunami Banten memang bersamaan dengan fenomena laut pasang bulan purnama sehingga dampaknya cukup serius di sejumlah titik.
Laju mobil memelan di daerah Pasir Putih. Indah yang khawatir akan aksi tidak terpuji dari beberapa pengungsi yang memaksa mereka menurunkan perbekalan seperti saat di Palu dulu, langsung menengok ke kiri dan kanan.
“Kok berhenti, Mang?”
“Itu, Neng, ada yang minta tolong di depan.”
Ari, Indah, dan Budi langsung memanjangkan leher. Seorang laki-laki dengan penampilan yang jauh dari kata rapi tampak berusaha menghentikan iring-iringan. Lelaki itu memakai kaus lengan panjang yang sudah disingsingkan sampai lengan. Celana panjangnya juga tergulung di atas mata kaki, hampir setengah betis. Payungnya terangkat oleh tamparan angin malam.
Ketika mobil benar-benar berhenti, Budi turun untuk menyapa laki-laki tersebut. Dari gesturnya mungkin kehabisan bahan bakar karena mereka melihat ke arah tangki.
“Bapak ini mau numpang. Beliau mau mencari anaknya di Tanjung Lesung,” jelas Budi beberapa saat kemudian.
Ari meliriknya. “Tujuan kita mau ke Cinangka, tapi ya nanti bisa diatur. Mungkin relawan di sana atau aparat bisa membantu. Kalau ke Tanjung Lesung, tadi dari Tangerang seharusnya langsung ke Pandeglang.” Ia meminta pendapat sopir. “Iya, ‘kan, Mang?”
Laki-laki itu meremas rambutnya, terlihat gusar. Ari menduga barangkali dia melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa.
“Itu enggak apa-apa mobil bagus ditinggal, Pak?” Budi menjuihkan bibir ke arah mobil off road yang terparkir di tepi jalan. Mobil dengan plat B, kehabisan bahan bakar, dan mungkin disesatkan oleh GPS. “Mending parkir di depan hotel saja yang aman,” saran Budi yang ditujukan pada sopirnya.
“Enggak pa-pa, sebentar lagi ada yang mengurus. Masalahnya di mesin.” Laki-laki itu tampak pasrah. “Sebenarnya infonya simpang siur. Ada kabar kalau keluarga saya di Anyer, lalu Carita. Ada yang bilang, Tanjung Lesung.”
“Ya sudah, masuk saja, Pak.”
Budi membukakan pintu tengah. Ari yang biasanya banyak bersuara hanya mengangguk, menguatkan keputusan Budi. Dia seperti teringat sesuatu. Beberapa kali matanya melirik spion tengah mobil.
Ketika pandangannya bertembung dengan mata yang berbingkai itu, ingatannya mulai menemukan satu simpul.
“Bapak ini ... Pak Adi, ‘kan?” Ari memutar badan. “Pak Eko Rahmadi?” ujarnya bersamaan dengan jari kurusnya yang menurunkan masker.
Mereka saling berpandangan. Kerutan di dahi laki-laki itu semakin dalam seakan berusaha keras mengingat siapa perempuan muda di hadapannya ini. Nihil.
“Siapa, ya?”
Ari tersenyum hambar. Laki-laki ini mungkin tidak ingat padanya.
_________
1. Ini Bobby teman kuliah kamu. Saya kerja di perusahan tempat kamu magang. Salam dari bapak-bapak. Pak Imam utamanya