Bab 1-Panggilan Jiwa
Kalijambe, Desember 2018
Korban tsunami yang terjadi di Selat Sunda, khususnya Anyer, Serang dan Kabupaten Pandeglang, serta Lampung Selatan terus bertambah. Berdasarkan data sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hari Minggu 23/12 pukul 07.00 WIB, korban meninggal 43 orang, 2 hilang dan 584 lainnya luka-luka.
Ari menghentikan gerakan memarut kelapa. Seketika nyeri pada ruas jarinya menyengat ubun-ubun. Namun, fokusnya tersedot pada layar LCD 42 inci yang menyajikan berita memilukan itu. Bencana lagi-lagi meluluh lantakkan negeri. Kali ini Banten dan sebagian Lampung.
Dia menggumamkan kalimat toyib berulang kali. Manusia tidak pernah dapat menduga peristiwa yang akan terjadi nanti, hatta satu detik ke depan. Apalagi mati. Di mana dan bagaimana ajal akan datang. Pikirannya langsung melayang pada Kamila. Simpang siur antara rob, tsunami, dan sampai sekarang sahabatnya itu tak kunjung memberi kabar.
“Fer, ambilkan ponselku! Di tas kecil itu, tuh!” tunjuk Ari pada tas selempang yang tergeletak di kursi panjang dekat dengan pintu penghubung ruang tamu. Dirinya berada di rumah salah satu budenya yang sedang menyelenggarakan akikah.
“Setahuku ada grup musik ibukota yang ikut jadi korban. Beberapa personilnya berstatus hilang, masih dalam pencarian.” Feri antusias mewartakan berita sambil menggaruk rambutnya. Setiap bocah itu menggaruk, maka beterbangan lah anai-anai putih dari kepalanya. “Mbak Ari, pasti mau ke Banten?”
“Belum pasti,” sergan Ari sambil berusaha menghubungi beberapa orang, salah satunya Kamila. Hasilnya nihil. Mungkin banyak infrastruktur terimbas, hingga sarana listrik dan telekomunikasi terkendala. “Mau, ikut?”
“Nggak berani, ah.”
“Kamu pasti membayangkan kalau relawan itu disuruh ngangkut mayat?” Ari tersenyum. “Ada banyak sub bidangnya, Fer. Pemberdayaan relawan itu banyak. Seperti Total Disaster Management atau Penanganan Bencana Terpadu meliputi mitigasi, emergency hingga recovery. Kita ambil salah satu, bukan semua. Karena itu terkait skill juga”
“Kalau Mbak Ari, bagian apa?”
“Pengelolaan program kemanusiaan dan pendampingan masyarakat. Jadi, tidak selalu ke daerah bencana sebenarnya, sih.” Ari beranjak berdiri, membereskan pekerjaannya. “Saat di Petobo kemarin, Mbak berjumpa relawan. Masih bocah. Tau umur berapa dia?”
Feri menggeleng. Rambut ikalnya yang mencuat bergerak-gerak, karena sekali lagi dia menggaruknya keras.
“Tujuh belas tahun jalan delapan belas. Baru lulus SMK.”
Feri melongo. Tujuh belas tahun, terbang ke Sulawesi di tempat terjadinya gempa, tsunami dan likuifaksi untuk jadi relawan. Meskipun takjub, Ari tahu, keponakannya itu masih ragu untuk ikut terjun di dunia kerelawanan seperti dirinya.
***
“Berangkat juga, Nduk?”
Ari mengangguk sekilas. Fokus pada tas yang akan memuat apa yang mesti dia bawa. Kepalanya sedikit miring, di mana ponsel tersepit, menempel pada daun telinganya. “Sebentar, njih, Buk.”
Mbenam ke mana Dimas ini? Dari tadi asik ngantung panggilan, dumelnya. Sambil terus mencoba menelpon.
“D’Jinggo Agrotourism. Ada yang bisa saya bantu?” sapa seseorang.
“Rin, Dimas mana, ya? Saya mau bicara.”
“Pak Dimas ada. Ini, dengan siapa, ya?” Ari menggigit bibirnya, seketika ingin dzikiran.
“Ibu Nareswari. Kamu lupa dengan suara saya, heh?”
Seseorang yang berada di talian itu seketika tergagap, mendengungkan maaf. Ari hanya merespons dengan deham. Mengambil waktu lima belas menit untuk sekedar memberi arahan pada Dimas. Lalu fokusnya kembali pada sosok tua yang setia menanti dengan pandangan penuh kerisauan.
“Sebenarnya, Ibuk itu sedikit, gimana gitu. Isin!”
“Malu kenapa, Buk?”
Ari meletakan ponsel di atas bantal, menghentikan kesibukannya, menatap mata tua itu. Sembab dengan kantong mata yang menggantung nyata. Dirinya sadar sudah tidak muda lagi, apalagi perempuan yang melahirkannya, semakin renta.
“Isin! Sudah pisah, tapi kamu masih saja berkeliaran di sekitar mereka. Diajak pisah, kamu tanpa usaha memperbaiki keadaan, iya … iya saja.”
Ibuk memang tidak tahu masygul pada hatinya. Ide pisah itu, karena Ari yang tak dapat lagi tunduk patuh pada suaminya. Suami yang khianat. Akan tetapi, Opick malahan bersikap lebih b******k, mengiyakan keinginanya. Untunglah, Ari mampu menyelamatkan hatinya, tanpa melibatkan orang rumah.
Ari tak pernah mengadu, kegundahan hatinya yang dibentur-bentur di luar sana. Sudah lama dia juga mematikan semua notifikasi berita. Notif yang sempat membuatnya sedih, malu dan gila hampir bersamaan. Yah, dirinya pernah menjadi korban perundungan bersamaan dengan kasus yang menimpa Opick.
“Buk, sudah, tho!”
“Sudah gimana? Wong kamu asik nempel sama keluarganya Opick.”
“Ari kerja amal, Buk. Ini panggilan jiwa. Kehendak dari dalam.”
“Sama saja. Ketemu juga sama mertuamu. Kalau ndak beliau ke sini, kamu yang ngider ke sana.”
“Enggak mesti juga bakalan ketemu. Banten itu luas. Lagipula, ini buka Amanah Mulia.” Ari menyebutkan yayasan milik keluarga Opick. “Ari ikut Madani Indonesia, Buk.”
“Iya, tahu. Banten memang luas. Sulawesi lebih luas saja, kamu bisa ketemu juga!”
“Ari nggak bisa menghindar. Keluarga Kang Opik itu memang baik, Buk. Setiap Ari absen nelpon barang seminggu, mereka langsung berkecil hati. Katanya, ada mantan suami istri, tetapi tidak ada namanya mantan menantu. Ari, abailah, tegalah,” helah Ari panjang lebar.
“Bisa! Tergantung niatmu!” ketus sang ibu.
“Banyak orang bilang, Ari menang banyak. Ibuk paham, tho? Ari tetep bocah ndeso, yang katanya ketiban ndaru 1, serba enggak enak juga.”
Perempuan tua itu mengangguk, akhirnya terduduk. Bukan kali ini saja Ari pergi ke lokasi bencana, dibayangi keluarga mantan suaminya.
Sang Ibu meraih jemari tangannya, menyisir tiga cincin yang masih setia melingkar di jari manis dan tengah. Cincin kawin dan pertunangan yang disemat satu dasa warsa lalu.
“Ini juga masih kamu pakai? Sebenarnya, kamu itu belum bisa mup on, tho?”
Ari mau tidak mau tergelak. Kata move on yang tercetus dari bibir ibunya terdengar lucu. Perempuan tua itu kesal, hingga mendaratkan cubitan di punggung tangannya.
“Malah, ngguya-ngguyu. Dasar!”
“Habisnya, Ibuk. Sudah Ari kasih tahu, cincin ini semacam anti body, imunitas, tameng, apalah, biar enggak ada yang menggangu kalau lagi jalan keluar rumah.”
“Malah ndak laku-laku kamu nanti. Orang pikir, oh … sudah ada yang mengikat. Batal lagi mau punya mantu.” Ibuk membenamkan telunjuknya ke d**a Ari. “Mumpung masih seger, masih ayu, kalau masih ada rejeki dan jodoh, ya, siapa tau, tho.”
“Injih, Ibuk.”
“Ndak mau nikah lagi? Kapok?”
“Mboten, Ibuk. Ari masih berhasrat, kok. Nikah itu ibadah yang panjang nikmatnya, berjibun pahalanya. Jadi,” jeda Ari tidak melanjutkan perkataannya.
Ari melepas dua cincin yang sudah melingkari jarinya lebih dari satu dasa warsa. Meletakkan dalam genggaman tangan ibundanya, tetapi masih menyisakan satu cincin mungil di jari manis tangan kirinya.
Ari meraba cincin tipis itu. Seorang seniornya pernah berkata bawa perempuan memang seharusnya memakai perhiasan. Seniornya itu pernah kehabisan uang, lalu menjual cincin emasnya. Kalau mampu, hiasi jari dengan cincin emas meski hanya seikat kecil, ia bisa menjadi penolong di kala susah. Bukan hanya untuk riya karena mampu berhias. Ari membeli cincin itu dengan gaji pertamanya saat dia bekerja di Amanah Mulia.
“Jadi?” tegas perempuan tua itu menggenggam kedua benda itu. Meniupkan harapan baru untuk putrinya.
“Ibuk tahu Daendels, njih? Kan, guru sejarah.” Sang Ibu menyentil hidung putri bungsunya. Ari cepat menangkis. “Kalau dulu Ari mikirnya panjang, sepanjang Anyer sampai Panarukan. Sekarang harus dipikirkan lebih panjang lagi, sepanjang Tol Merak sampai Kertosono, sambung Suramadu,” sengihnya kegirang.
“Podho, wae. Sama saja.” Ibuk mecucu.
Suasana hati ibunya yang sedikit beku, enggan melepas kepergiannya untuk kembali menjadi relawan bencana akhirnya cair juga.
Ari mencium sekilas pipi yang mulai berkedut di sana-sini itu, bersamaan dengan gerakan tangannya menutup tas.
“Ari pasti akan berusaha membuka diri. Ari tahu enggak enaknya menyandang gelar janda. Dipandang serong, dihakimi, bahkan dicemooh. Biarlah putrimu ini seperti nguler kambang, seperti ular mengapung, lambat penting selamat. Belum setahun ini, Ari pisah.” Ibuk mengusap bahunya, lembut. Mencium ubun-ubun sang putri.
“Mbak, aku ntar dioleh-olehi buak tat sama kemplang, ya?” laung Feri tiba-tiba.
“Kamyu pikir aku piknik, po!”
“Lha, seperti yang lagi viral.” Feri yang sudah menenteng ransel 60 liter milik Ari terkekeh geli. Keponakan itu yang akan mengantarnya ke bandara.
Ari mendengkus. Membayangkan betapa sudah sangat parah moralitas orang jaman sekarang. Bahkan yang setua dirinya. Para pencari ketenaran, menjadikan puing tsunami sebagai latar berswa foto, sungguh terlalu dan biadab.
Kalau mereka adalah anak bau kencur, lahir di atas tahun 2000, yang di sebut Gen Z, mungkin dirinya sedikit maklum dengan kegilaan itu. Anak jaman sekarang banyak yang mengalami krisis moral, sense of humanity-nya mentok. Menjadi relawan sekedar untuk memadatkan laman sosial media mereka dengan tagar, save! Lalu panen like. Apalagi yang mereka menyaru jadi relawan lalu mendapat keuntungan berupa recehan.
“Aku di Pandeglang. Kalau nggak, ya, Anyer, Serang. Nggak sampai nyebrang ke Lampung.”
“Mampir ke Cawang! Lebaran kemari kamu nggak jumpa sama masmu.” Ibuk mengekorinya sampai pintu.
“Ari turun Tangerang, Buk. Enggak ambil yang penerbangan ke Halim. Jadi, nggak mungkin Ari mampir ke Cawang.”
“Ya, sudah. Hati-hati.”
Perempuan muda itu berbalik mendaratkan kecupan di pipi ibunya. Sedikit lama. Seperti saat dia akan menetap di rumah Opik. Tidak. Semua sudah tutup buku. Pertalian jodoh dirinya dan Opik. Ari resmi mendapat predikat janda berhias sepuluh bulan yang lalu.
Ari dengan rejeki dan jodohnya, yang sedikit menyesakkan. Sepuluh bulan yang lalu, ketika palu hakim pengadilan agama bergema, perasaannya harusnya luar biasa lega. Yah, harusnya dia benar-benar lega. Sebongkah batu sebesar gajah yang selama bertahun diimpitkan padanya lengser begitu saja. Sepuluh tahun ternyata waktu yang dicukupkan dirinya untuk mengabdi, menjadi seorang istri, menantu keluarga Hairul Aman. Namun, rejeki menjadi seorang ibu tidak ada padanya.
Ari menghela napas, mengelus perutnya. Bahkan hal-hal tersebut sudah jauh-jauh ditepisnya. Toh, bukan sepuluh bulan ini saja dirinya keseorangan. Hampir tiga tahun. Dia bahkan malas menghitungnya. Kekosongan yang berakhir perpisahan dengan suaminya. Entah, apa itu bisa disebut perpisahan yang baik.
Suami yang masih sangat dia cintai. Ari meraba dadanya, nyeri yang masih terasa, meski lukanya memang tak kasat mata. Dia sendiri tak pasti dengan hatinya. Karena siapa yang mampu mengukur kadar cinta. Tidak ada satu instrumen di dunia ini yang akurat mengukurnya. Itulah kenapa lahir istilah, dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati tiada yang tahu. Jejak cinta itu bersemayam di hati, ‘kan?
Berniat mengajukan gugatan cerai, rasanya cinta pertama seperti ditiup bulu perindu, melekat erat. Apakah niatnya itu sudah mampu menggetarkan Arsy-Nya? Dia benar-benar terkilan, ketika Opick mendahuluinya, meluluskan apa maunya. Padahal dia pikir, Opick begitu tergila-gila padanya.
Mungkin, memang Ari yang salah, atau memang keadaan harus seperti itu. Yah, jalan terbaik. Jalan terbaik itu terkadang tidak mulus, berliku, bahkan penuh ranjau dan duri. Sekali lagi, banyak yang menyalahkan dirinya. Termasuk ibu dan kedua saudaranya.
__________
1.Bintang