Bab 3 sudah tayang, ya. Selamat membaca.
----------
Seketika kepingan-kepingan ingatan itu kembali tersusun dalam benak Ari dengan cepat. Helaan napas terdengar menyelinap. Ari tidak pasti apa yang ada di benak Rahmadi. Tidak yakin juga ingatan pria paruh baya itu tentang perjumpaan masa lalu mereka yang berakhir tidak baik-baik saja, sejernih ingatannya. Semacam percikan api yang melalak, lalu menyisakan kepingan bersalut jelaga.
Namun, yang tidak baik-baik saja biasanya akan melekat kuat di ingatan, 'kan?
"Dulu, anak-anak menjuluki Pak Adi, Monster Ijo. Ya, saking nyebelinnya."
Rahmadi masih mengernyit, berusaha keras mengekstrak ingatannya. Perempuan muda di sampingnya yang berusaha melempar beberapa nukilan kenangan masa lalu. Dia tidak banyak bersinggungan dengan perempuan. Apalagi yang punya profil menarik seperti ini. Kecuali, memang dia sudah terlalu tua untuk ingat.
"Yang jelas kamu bukan staf saya?" Rahmadi menatap tajam pada Ari yang balas menatapnya.
Jelaslah, staf perempuan di departemen produksi cuma satu biji, batin Ari.
"Bocah magang? Kamu anak 'Lingkungan' yang itu?" senyum Rahmadi terbit. Duhulu hal itu mungkin sangat langka. Muka Pak Manajer itu asik jutek setiap hari.
"Alhamdulillah, Bapak merawat ingatan dengan baik," pekik Ari. Rahmadi mengernyit keheranan. "Maksud saya, yang lebih muda dari Pak Adi, banyak yang kinerja otaknya mulai langsam dimakan kebutuhan anak-istri. Begitu!" imbuhnya lagi.
"Ingat, kok. Kamu bocah yang membuat departemen saya kacau balau." Pria itu lagi-lagi tersenyum simpul, dengan pupil mata semakin lebar.
Ari, seketika lega. Entahlah. Rahmadi mengingatnya, lumayan spesifik. Ari yakin setelah ini, bukan hanya julukan itu yang mampu pria itu ingat akan darinya. Irisan nasib mereka memang membuat bulu kuduk meremang seketika. Yah, sedikit rahasia pria itu. Sebenarnya bukan rahasia, tetapi sebuah kenangan yang membuatnya selalu dalam mode tempur.
Pada pandangan Rahmadi, Ari mengamatinya dengan tatapan tajam, lebih berani, berbeda dengan pandangan masa lalu, gadis muda yang selalu dipanggilnya: hai bocah!
Bagi Ari, Rahmadi ketika diperhatikan dengan saksama, tidak lah banyak berubah. Mungkin yang langsung terlihat adalah satu dua sulur kelabu yang samar mulai menghiasi pelipisnya. dahinya yang radanya lebih lebar, mungkin efek semakin banyak rambut yang gugur dimakan usia. Pada pandangan Ari yang paling menonjol justru kulit yang pria itu terlihat lebih legam yang memang membuat pangling. Karena setahunya dahulu, pria itu aslinya berkulit cerah dan bersih.
Ari harus bangga pada matanya yang jeli. Padahal, beberapa saat lalu saat memutuskan menumpang mobil rombongan mereka, pria paruh baya itu terlihat kacau dan berantakan. Sangat-sangat memprihatinkan. Bukan Rahmadi yang Ari kenal belasan tahun lalu. Walaupun dulu sosok itu bukan kategori pria metro seksual, dengan ciri: necis, wangi, dandanan rambut trendi. Setidaknya, dia kategori rapi dan terawat.
***
Cilegon, Februari 2006
Kota yang benar-benar panas. Sabtu sore ketika turun dari bis Arimbi, badan Ari langsung mandi peluh. Belum lagi saat berangkat dari Terminal Kampung Rambutan, dia harus bertekak dengan pemalak yang nyaru jadi pengamen. Ari memang hanya meminta jalur, nama bis yang harus ditumpanginya. Setelah turun di Terminal Serang, dirinya mengambil bis menuju Cilegon lalu turun di depan Matahari. Di sanalah Kamila dengan cengiran lebar sudah duduk di atas GL Pro bersama adiknya.
Paginya, di hari Senin, yang seperti sebagian orang sepakati, Monday: is's oke to have a bad day. Senin yang menyebalkan! Memulai pagi dengan tergopoh-gopoh, sekaligus mendengarkan cicitan Kamila tentang cowok bening. Memang air mineral, bening? Ari semakin rimas. Seperti ada yang mengganjal dengan keputusanya magang di kota ini.
"Pokoknya ada yang bening. Namanya Imam Junaidi. Kepala bagian. Seorang lagi anak magang juga, universitas dekat-dekat sini. Ada tujuh orang, tapi Andri seorang yang bersinar. Itu dua orang—take by," cicit Kamila menepuk dadanya sambil tersenyum lebar, matanya terpejam, melesakkan mimpi sampai nirwana.
"Halah, kemaruk. Dua minggu, sempat piknik mata, Mbak? Juling tau rasa, loh!"
"Idih, siapa yang piknik. Hanya memindai. Lagian ini, embak-embak ukhti salihat ngomongnya. Pamali, tau."
Ari tergelak. Langsung memukul bahu Kamila dengan gulungan buku absensi magang. "Terus kalau nanti aku sampai di sana, kudu ketemu siapa, nih?"
"Kalau kamu, ketemuan gih sama, monster." Kamila tergelak. "Monster Ijo dari Cidanau. Buat kamu, ikhlas lahir batin."
"Woi, serius! Apaan sih, Mil? Monster Ijo pula? Raksasa gitu orangnya?"
"Gini ... imut sebenarnya, si bapak itu. Ehem!" cengiran Kamila terbit. Gadis itu meniup ujung kerudungnya. Lagi-lagi, Ari menyambit bahunya untuk serius. "Jadi, surat tembusan dari kampus, soal permohonan magang itu sudah kelar. Aku sedikit kedip-kedip, sih, lancar jaya." Bibirnya menyeringai sambil menjejalkan sepotong donat. Mereka sekeluarga tidak sempat sarapan. Sedangkan Ari memang berniat puasa sunnah Senin seperti biasa.
"Terus?" Ari menelan ludahnya.
"Maafkeun daku, ye! Bukan maksud jadi Ifrit. Azan Magrib masih jauh." Kamila mengelap bibirnya yang mengilap. "Nah, nanti kamu tinggal menghadap Pak Manajer yang terhormat. Biasanya bakal dicueki. Paling disuruh jumpa dengan para kabagnya. Pak Imam yang gantengnya nggak bisa ditoleransi itu."
Ari menganguk-anguk persis burung pelatuk. Dia merasakan kalau sahabatnya ini sedikit terobsesi dengan satu nama. Pak Imam. "Terus Monster Ijo itu, siapa?"
"Jadi gini ya, Nareswari Tri Ulin."
"Wulanti. Enak aja ganti nama seenak gundulmu. Gini-gini juga pas orog udah ditebus dengan menumpahkan darah seekor wedus gembel. Tunai!"
Kamila senyum-senyum seperti kemasukan makhluk tak kasat mata. Silakan pilih sendiri. Genderuwo, Kuntilanak atau Mak Lampir.
"Ukhti salihat, pantesan prengus. Bau kambing."
"Kan, tambah ngaco, deh? Eh, ini belum kelewat? Bukannya turun di stasiun?"
Ari melongok ke belakang. Papan nama Stasiun Krenceng sudah terlewat lima menit yang lalu. Dengan asumsi kecepatan angkot adalah 50 km/jam, berapa jarak yang sudah terlampaui? Saat ini angkot masih terus melaju tanpa hambatan. Bahkan menambah kecepatannya.
"Stoppp!" jerit Kamila membuat seisi angkot terperangah. Sopir mendadak menghentikan angkotnya. Untung berada pada zona aman. Tidak ada angkot atau kendaraan lain di depan maupun belakang.
"Huuu, si eneng ... aya ... aya wae. Stop meni ngadadak. Copot jantung Mamang!" (1)
"Maaf sekalian. Pangapunten, nyak." Kamila berbasa-basi.
Mereka mendarat dengan selamat di tepi jalanan beraspal. Ari mematahkan lehernya ke kiri lalu ke kanan. Kakinya terangkat, berjinjit seperti balerina yang siap menari. Meregangkan badan yang tertekuk hampir setengah jam dalam angkot. Sedangkan Kamila masih terkikik geli, kemudian terbatuk-batuk memuntahkan lendir di pinggir jalan.
"Gak sopan banget, Mil. Jorok, siah!"
"Siah-nya nggak usah keras-keras, woi. Calon 'Ustadzah Lingkungan Hidup'!"
Kamila meringis. Sedikit mengagumi Ari sahabatnya yang semakin fasih dengan slang Bahasa Sunda. Ini memang ajaran sesat Bobby. Anak yang menjuluki dirinya sendiri b***k Bageur atau bocah baik. Dengan alasan, di mana bumi di pijak di situ pula langit dijunjung. Biasanya anak-anak jurusan hanya terkekeh geli ketika Ari ikut slang kasar. Maklum mereka kuliah di Kota Hujan, Bahasa Sunda menjadi bahasa kedua. Buksn Sunda alusan.
"Ustadzah paan? Pilih 'Hanifah' ajalah."
"Ughhh ...." Kamila mencebik. "Ini semua salah Monster Ijo dari Cidanau."
"Lah, kok jadi salah Monster Ijo?"
"Ariii! Ai sia tanya we kumaha, Monster Ijo... Monster Ijo. Duh, karesel kieu." (2)
"Astaafirullah. Ngomong opo, tho, Mbak? Aku enggak tanya itu lagi, deh. Monster Ijo atau Kolor Ijo. Pokoknya yang ijo-ijo, enggak! Kecuali brokoli." Ari merapikan kerudungnya yang sedikit melorot, menutupi matanya yang sipit. "Terus kita nyebrang? Nyari angkot buat balik ke stasiun?" Ari melirik jam di pergelangan tangannya. Juga angkot dari arah Anyer.
"Mlayu wae, Ri. Sesekali terlambat nggak masalah kok. Lariii!"
"Yah, Mil, aku kan masuk pertama. Reputasiku jadi kayak uler, dong! Ngolet gitu."
"Halah, ngolet opo? Emang uler cobra apa? Dah, cabut! Sepuluh menit lagi pukul delapan, teng. Gerbang mungkin akan ditutup."
Kamila sudah ngacir dengan ranselnya yang terguncang-guncang. Sedangkan Ari yang mengenakan jubah kebesaran terpaksa menaikan roknya sedikit ke atas, hingga laju kakinya kini menyamai Kamila.
"Curang!"
"Siapa suruh kakinya pendek. Wekkk ...." Ari menjelirkan lidah.
Mereka berdua tersengal-sengal, ketika sampai belokan papan petunjuk bertuliskan stasiun, berarti masih delapan ratus meter lagi untuk sampai. Setelah memastikan rel dalam keadaan kosong, mereka berdua menyeberang. Kamila menarik tangan Ari, lalu menggandengnya.
"Lihat, oi, ada tanda: dilarang bergandengan tangan saat menyeberang rel kereta."
"Peraturan ada untuk dilanggar." Kamila tersenyum simpul. "Tapi, ada baiknya, nyebrang kudu noleh kanan kiri, nyak!"
Setelah naik ke jalan aspal yang lebih kecil, sebuah mobil Kijang LGX memelankan lajunya, seperti sengaja membayangi langkah cepat mereka berdua.
"Mau naik, enggak?" sergan satu suara bariton terdengar dari dalam mobil. Bermaksud menawari tumpangan.
Ari menoleh sambil mengangguk hormat. Meski tidak mengenal si empunya mobil, dari lencana yang berayun di saku sebelah kiri terlihat jelas kalau orang tersebut adalah pekerja perusahaan tempatnya akan magang. Ari menyikut Kamila.
"Mil. Yang inikah, Monster Ijo?" bisiknya lirih. Ini mah, Dewa Kamajaya, Arjuna mencari cinta. Gantengnya nggak ketulungan, batin Ari.
Mobil itu masih berderum. Kamila menahan Ari yang otomatis menghentikan langkah mereka. Kedua tangan Kamila terkatup di depan d**a. Seperti bertepuk, atau memohon maaf. Kelakuan Kamila sedikit aneh. Senyumnya lebar betul sampai telinga.
"Eh, Bapak. Enggak usah. Ini tadi memang kita sengaja. Mlayu-mlayu biar sehat, tetap ramping, dan bugar ...."
"Beneran ...?" Pria berkulit sedikit gelap itu tersenyum miring. Pria yang dipanggil Kamila dengan sebutan Bapak itu, seringainya saja secerah matahari pagi. "Ya sudah, saya duluan. Nanti, langsung ke ruangan arsip, ya."
Sosok yang menawari mereka tumpangan itu tersenyum lagi. Giginya putih, berderet rapi seperti iklan pasta gigi seketika membuat jantung Ari berdegup tak teratur. Dia buru-buru menundukkan pandangan. Bapak ini kadar gantengnya melebihi ambang batas normal. Apalagi pas senyum. Lemah jantung, Ari bergumam sendiri. Tall, dark, smart kali ya. Pantesan mata Kamila jelalatan, pikirnya lagi.
Setelah deruman itu berlalu ....
"Pegang erat-erat jantungmu, takut meletus, ntar!"
"Emang balonku ada lima!" cebik Ari kesal. Tahu aja si Kamila ini.
"Aku pastikan kurvanya naik turun, tak beraturan. Dua bulan magang di sini, aku pastikan kamu cangkok jantung. Awas, kalau kamu naksir sama Pak Imam!"
"Ohhh ... itu tadi yang namanya, Pak Imam. Ganteng sih, banget. Meski, ehmmm ... dewasa banget. "
"Kamu mau bilang, Pak Imam tua, gitu?"
"Lha, iya. Itu mah, bukan cowok. Mata siwer, nyak! Pakde itu mah. Aku taksir umurnya pasti nggak muda lagi. Bisalah, dibubuhkan tanda lebih dari atau sama dengan—."
"Eh, baru juga tiga tiga gitu deh."
Ari terkekeh geli. "Pakde itu, Mil." Muka Kamila mberengut membuat Ari ingin melempar segepok mercon lagi. Biar seru. "Pasti udah punya buntut. Orang ganteng mah, biasanya cepat laku. Apalagi yang kantongnya sedikit moncer. Kira-kira, anaknya Pak Imam kalau cewek sudah gadis itu. Haaa, mantu sebentar lagi."
"Bisa diem, nggak! Aku staples mulutmu itu!"
Muka Kamila persis kertas kwarto spesifikasi laporan mikrobiologi yang gagal dapat, acc. Yang dilipat, kemudian diremas. Lecek sana-sini sekaligus bersimbah keringat.
"Duh, memang susah kalau mata Hawa dirabunkan Adam. Meski si Adam bukan perjaka lagi. Haaa ...." Ari mendekap mulutnya.
"Ukhti Saliha, sopan, oi! Itu depan tempat pindai absensi."
"Aku anak baru, mana punya kartu buat pindai." Ari masih mendekap mulutnya. Takut tawanya pecah berderai. Melewati gerbang saja sudah menjadi perhatian satpam. "Ngomong-ngomong yang namanya Monster Ijo dari Cidanau yang mana? Ups, afwan jiddan." Ari mengigit bibirnya ketika Kamila mendelik
"Kalau Monster Ijo gantengnya segini," ujar Kamila menaikkan tangan. Antara jempol dan telunjuk diberi jarak sedikit. "Udah gitu, kalau ngomong sengak! Beda sama Pak Imam. Pool gantengnya, pool ramahnya. Uwis, ah ... diem!"
Mereka berdua sudah ditunggu rupanya. Mau tidak mau, Kamila menarik tangan Ari untuk berlari kecil.
"Telat, lima menit, kita."
"Apesss!"
--------------------
1. Ada-ada saja. Berhenti mendadak.
2. Ya kamu dari tadi tanya Monster Ijo. Monster ijo, duh bete banget.