Neng Ari datang ....
Kamila lelah menyeret tangan Ari untuk cepat. Bangunan yang didominasi warna biru tua dan putih itu terlihat kontras dengan tiga jalur jalan beraspal kelam dengan tulisan in dan out. Kenapa harus tiga jalur? Entahlah. Bahkan ada rambu-rambu kecepatan di jalan yang masuk ke gedung lain. 20 km/jam.
Kalau ini adalah divisi pengadaan airnya pabrik baja, besar sekali, batin Ari. Perusahaan air minum daerah setingkat ibu kota provinsi yang pernah dia kunjungi juga tak sebesar ini. Melihat instalasi limbah di pabrik shampo dan pewarna rambut, yang tidak lebih besar dari kolam lele di belakang rumahnya.
“Bangunan pertama dari kompleks perusahaan pengolahan air adalah Departemen Produksi, atau bisa disebut Gedung A. Inti dari operasional perusahaan, ya, di sini.” Kamila menarik tangan Ari, lagi. Akan tetapi, langkah mereka terhenti karena ada mobil operasional lewat.
Sampai pada anak tangga, di sana dua sosok yang tengah bersedekap dengan seragam atasan biru cair dan celana bahan biru tua, memandang mereka berdua tak berkedip. Kamila terlihat sedikit pias, kebalikan dengan responsnya saat berjumpa dengan Pak Imam yang ramah dan gantengnya, ya ampun tadi.
Berbanding terbalik dengan Kamila, Ari malah jelalatan pada bangunan lantai dua di depannya. Tercetus kekaguman sedari tadi. Semakin dekat dengan anak tangga, dia baru menyadari bahwa warna gedung ini bukan putih dan biru tua, tetapi biru cair dan biru tua.
Kamila menyikut Ari sambil berbisik lirih, “Itu, yang pakai kaca mata, Monster Ijo. Yang terhormat Bapak Ir. Eko Rahmadi Widagdo, manajer sekaligus pembimbing magang kita.”
Oh, ini si bapak monster. Ari memberikan sedikit penilaian secara sekilas.Bisa dibilang Pak Rahmadi kombinasi antara imut dan sangar, batin Ari segera menundukkan pandangan pada langkah kakinya yang mulai menapaki anak tangga.
“Selamat pagi! Maaf Bapak-bapak, Mila telat,” lirih Kamila dengan cengiran tak berdosanya.
“Ah, enggak apa-apa. Ngomong-ngomong ini teman yang kamu rekomendasikan itu, Mila?” jawab Pak Imam.
Kamila mengangguk, setengah menunduk. Antara masih malu karena terlambat atau karena memang sedang salah tingkah. Bisa jadi, takut karena satu sosok yang tidak juga menyahut saat mereka berdua menyapa. Sosok dengan bingkai kacamata kotak tebal berwarna hitam dengan lensa kecil itu. Pilihan frame tebal juga bisa menambah kesan wajahnya menjadi lebih tajam.
Si Pak Manajer sedikit menjeling dengan matanya itu. Dia mengamati dengan pandangan sedikit meremehkan.
Yah, cewek-cewek bodoh. Sudah bodoh, ngrepotin, tukang telat, indisiplin. Semua nampak minus, mungkin seperti itu. Hal yang sedari tadi berkecamuk dalam pikiran Ari. Sosok pongah itu masih bersedekap, pandangannya pada Ari lebih intens. Naik turun seperti pemindai bom.
“Kamu anak baru, ya, saya tunggu di atas. Ruangan saya.” Si Monster Ijo itu mengultimatum lewat dagunya, sambil menaikkan kacamata yang bertengger sedikit melorot. “Duluan, Jun. Kamu tanya-tanya lagi apa mau mereka berdua.”
Setelah sosok Pak Monster alias Pak Manajer menghilang, Kamila menepuk dadanya berulang. “Uhhh— bebas lepas!”
“Haaa rasain!" tingkah Pak Rendy.
"Kena sembur, ya?" Gantian Pak Ahmad menimpali.
"Hai, b***k magang. Welcome Monday!” Dua Kabag yang baru datang itu langsung ikut nimbrung sekaligus melontarkan ejekan.
“Pak Rendy … Pak Ahmad. Senin yang ngenes!” luah Kamila. Tali ransel yang cuma mengantung satu itu jatuh merosot.
Trio Kabag terkekeh geli melihat tingkah Kamila yang lucu dan mengemaskan. Semacam hiburan tersendiri karena departemen mereka yang minus perempuan itu. Karena satu-satunya makhluk perempuan hanya ada di laboratorium bawah. Meskipun berhormon esterogen, tetapi jauh dari kata layak untuk dikasih hati. Mulutnya Ibu Tutik sangat mirip meriam buluh menjelang hari raya lebaran.
“Ngengaca udah dari subuh, ya. Tapi bedaknya masih enggak rata.” Pak Ahmad menimpali. Padahal selama ini Pak Ahmad jarang mengobrol langsung dengan anak magang.
“Ah, masa sih, Pak?” Kamila kebingungan. Keki dibuat bulan-bulanan. Dia merogoh ransel lalu mengeluarkan cermin yang menyatu dengan bedak padatnya. Ketiga bapak-bapak itu tambah ger-geran.
“Nama kamu siapa, Nong?”
Itu suara Pak Imam. Pria kece, gebetan Kamila yang tadi menawari tumpangan pada keduanya saat masih di jalan menuju perusahaan. Yang gantengnya tidak dapat ditoleransi. Namanya selalu didengungkan Kamila dalam tiap sadarnya.
“Nareswari Tri Wulanti, Pak.”
“Panggilnya gimana, Nong? Nares, Tri, atau Wulan?”
“Ari, Pak.”
“Panggil saja, Wules, Pak.” Kamila mencebik, “Sok, imut.”
“Emang imut, yee,” timpal Ari.
Ari memang manis. Meskipun kulitnya bisa dibilang lumayan gelap dibanding Kamila yang putih pucat khas mojang periangan. Walaupun Kamila juga campuran Sunda-Jawa, tetapi lebih dominan warna kulitnya yang cerah. Kulit gelap Ari mungkin efek memilih banyak jalan kaki dari rumah kos miliknya di kawasan Babakan Peundeuy sampai dengan kampus Gunung Gede yang berjarak sekitar 2 kilometer, menjadikan kulitnya bukan kategori sawo matang, bukan pula kuning langsat.
Warna khas ras Mongoloid sebenarnya. Masih kurang eksotis untuk ukuran gadis Jawa alias kurang hitam manis. Andai kata tidak berterus terang tidak ada yang curiga kalau Ari memang asli gadis Jawa. Dengan matanya sayu cenderung sipit, akan bersembunyi jika dia tertawa rancak membuat banyak orang menyimpan kenangan sendiri terhadap gadis itu.
"Pede, yah."
Ketiga pasang mata itu membulat, tetapi ekspresi bibirnya penuh dengan tawa merekah. “Dasar barudak. Yuk, naik ke atas.” Pak Imam bersuara.
“Kalau Pak Manajer marah, jangan ambil hati. Kalau kalian sudah kenal, hatinya itu lebih lembut dari spons bedak kalian. Beda dengan kita ini, amat sangat kejam. Berbahaya juga, ya kan, Pak Imam, Pak Ahmad.”
Kedua orang yang dimaksud mengangguk sambil terkekeh geli.
“Nggak dapat jatah mungkin.” Pak Ahmad berseloroh.
Tawa mereka bertiga meledak bersahutan. Lagi-lagi hal itu membuat Ari menoleh pada Kamila yang juga bersemu merah. Dari bibir gadis itu keluar kata-kata, abaikan!
“Bukan, nggak dapat jatah. Kebanyakan malahan,” sembur Pak Rendy. Menuang minyak dalam candaan panasnya. Berkobar-kobar akhirnya.
“Eh! Bapak-bapak, kalau ngomong depan anak gadis dijaga. Bisa lari terbirit-b***t nanti.” Giliran Pak Imam bersuara. “Jangan ambil hati. Biasa, hari Senin mengembalikan suasana hati, pemanasan otot yang sempat kendur.”
“Saya maklum kok, Pak. Departemen minus perempuan selalu guyonannya kayak gini, sih. Miring kanan-kiri, nyerempat bahaya.” Ari mulai sok akrab. Tidak mau jadi bahan gojlokan. Berupaya tegar berada di sarang pria-pria matang ini.
Mereka bertiga kembali tertawa. Bahkan ditambah sorakan dan tepuk tangan. Ketika Pak Imam entah sengaja atau apa, menepuk pundak Ari beberapa kali, gadis itu sedikit rimas, sampai sedikit memiringkan bahunya, berusaha menghindar. Langkahnya terhenti pada tiga anak tangga terakhir. Saat itu matanya menangkap Kamila yang mengatupkan bibirnya sambil berdecak.
Apa Kamila cemburu? Eh!
Trio Kabag sudah melewati pintu tanpa menunggu dua gadis yang sudah jadi bulan-bulanan mereka. Sebelum mensejajarkan langkah dengan Kamila yang madih tampak cemberut dan tidak sabar, pandangan Ari sempat melayang ke lantai atas. Pada satu ruang di atas sana, yang tirai jendelanya sedikit terbuka, sepasang mata berbingkai itu bersitatap dengannya, hanya se per sekian detik. Entah siapa yang mengakhirinya, tirai itu tertutup cepat dan langkah Ari telah sampai pintu kaca.
“Lama banget jalan, kayak Putri Solo aja.”
“Itu, Mil, Monster Ijo, ngliatin kita pas ketawa-ketiwi.”
“Serius? Matilah kita.”
“Iya, ihh nyeremin. Mukanya si Pak Monster butek persis plant limbah aja!”
***
Meski para kepala bagian mengatakan untuk santai, jangan ambil hati bila melihat tampang datar nan memualkan manager produksi, tetap saja sebagai sosok bau kencur, apalagi status magang di hari pertama, Ari gentar juga. Tempat ini opsi cadangan, kalau sampai gagal, bisa-bisa mundur juga jadwal lulusnya.
“Mil, masih ingat nggak pas ospek, Kak Danu menjuluki kita berdua trouble maker?”
“Kok, tiba-tiba ingat Kak Danu?”
“Ya ingatlah. Mosok dijuluki biang rusuh nggak ingat. Aku nih, kalau lihat orang yang kaku kaya papan, keras kayak besi, otomatis ingat Kak Danu.”
“Orang kaya gitu, nyak, cuma nyari perhatian adek tingkat aja. Pas udah enggak ospek, biasa aja. Sok datar. Eh, tapi masih suka kirim sms ke kamu?”
Ari menggeleng. Sejak dia memilih aktif di rohis, lalu mengendurkan kegiatan di Himpro, seniornya itu memang lenyap dari pandangan. Menurut beberapa orang, Ari terlihat lebih kalem.Jarang ber ha ha hi hi dengan kaum adam. Padahal, tidak juga. Seperlunya saja.
“Kak Danu itu kataku, devide et impera. Sudah tahu kamu naksir dia, eh, sms ke aku.”
Ari ingat bagaimana Kamila yang rela mengekori seniornya itu naik KRL sampai Stasiun Depok, kemudian balik lagi ke Stasiun Bogor. Seperti anak ayam kehilangan induk.
“Enggak usah deh bahas cowok nyebelin kayak dia!”
Ari beringsut memangkas jarak dengan Kamila. Menepuk bahu sahabatnya itu. Hati yang terlanjur mengkristal tiba-tiba dipaksa retak. Ambyarlah.
"Maaf, deh."
"Hmmm ...."
“Eh, Pak Adi tampangnya imut gitu, tapi sok kaku kayak papan besi. Ala-ala Kak Danu? Berarti, Pak Adi itu lagi cari perhatian kita, anak magang?”
“Cih, imut? Mungkin bener kata bapak-bapak itu, kurang belaian. Atau kurang sajen! Kamu lucu, manggilnya, mesra banget. Pak Adi … Pak Adi. Monster Ijo!”
Sebelum Ari sempat berkelit menjawab, mereka berdua sudah sampai di lantai dua. Kamila mulai menunjukkan dengan singkat beberapa ruangan di sana. Hanya ada enam ruangan.
“Ujung yang paling besar meeting room. Yang tepat di samping kiri kita, ruang Kabag. Samping kanan ini, toilet. Kalau kamu masuk toilet ini jangan melirik sisi kiri, jangan lupa untuk teriak permisi dengan keras. Nggak usah aku terangkan, kamu akan tahu sendiri nanti.
"Nah, ujung sana ruang arsip yang di dalamnya juga ada dua ruang, satu untuk rapat terbatas dan tentu saja ruang yang isinya berbagai arsip. Vista untuk ruang arsip sama dengan ruang para kabag, yaitu tiga chamber utama, tower dan ruang perawatan. Yang berhadapan dengan ruang arsip itu, ruangan Monster Ijo. Kita selama di sini, ngantor di ruang arsip. Sampai sini, Anda paham, Ukh?”
Ari mengangguk singkat. “Paham, Mbak. Berarti sekarang aku ke ruangan Monster Ijo, nih? Atau, lihat ruang arsip dulu.”
“He eh. Menghadap Monster Ijo dulu, gih. Mungkin beliau sudah tidak sabar untuk memamah biak, kamu!”
Ari terjengit dengan tata bahasa Kamila yang mengerikan. “Ngomong-ngomong, kamu enggak nemani aku, jumpa Pak Monster Ijo?”
“Ogah! Buruan deh ngadep. Sudah: 8.15 WIB. Biasanya, Pak Monster bakalan ke kantor pusat. Yang nangkring di atas sano, dekat masjid perusahaan. Rapat rapet sama direksi, direktur apa, mbuh. Buru!”
Mereka berdua saling beradu punggung. Kamila tanpa ragu meraih gagang pintu ruang arsip, kemudian tubuhnya lenyap ditelan pintu yang langsung tertutup rapat. Ari mengayunkan kepalan tangannya. Ketukan pertama selesai tanpa ada respons dari dalam. Sedikit sunyi. Namun, Ari merasa yang terdengar tadi hanya deru napasnya sendiri. Gadis dengan gamis kotak-kotak merah bata itu memiringkan badan, menempelkan telingannya pada pintu yang sedikit terbuka, ketika sayup-sayup terdengar suara musik.
Bermakna ada penghuninya yang mungkin pura-pura tak mendengar ketukanku, pikir Ari. Minta digedor kali, ya?
“Kamu berusaha menguping atau mengingtip ruangan saya? Gak sopan, ya!”
Ari yang tadi sedikit membungkuk kini refleks menegakkan badan ketika ada suara garau menyapanya. Dahinya berkerut mengetahui sosok yang baru datang itu. Ternyata yang empunya ruangan sedang tidak di tempat.
“Di dalam ada suara musik, Pak.”
“Musik apa?”
“Ringtone kayaknya. Moonlight Densetsu. Nggak tahu, Pak? Samar-samar terdengar syair lirih gitu."
Rahmadi spontan menggeleng. "Mana ada."
"Mirakuru Romansu, Sailor Moon, Pak.” Ari tergelak, dia menunduk berusaha menyembunyikan tawa yang makin keras. “Wah, pagi-pagi muter lagu itu. Ini keajaiban alam … aku mempercayainya. Ini keajaiban alam,” lirihnya.
Ketika kembali mendongak, sosok di depannya menyeringai seperti monster hanya saja warna merah itu menyerbu pada wajah putih milik Pak Manajer. Pria itu lalu meraih gagang pintu dan meninggalkan Ari begitu saja.
Blam!
“Woi, Bapak pikir aku ini lalat di TPS Bantar Gebang!” geram Ari sambil mencengkram ganggang pintu di depannya. Memukulnya karena dirundung kesal.