9. Percikan asmara

1111 Kata
Suara tombol keyboard terdengar menjadi satu-satunya suara yang ada di kamar Nava. Ya, gadis itu tengah menulis, karena itu memang satu-satunya pekerjaannya saat ini. Namun, ia berencana mencari pekerjaan sampingan lain untuk menutupi pekerjaan yang ingin ia tutupi itu. Terdengar suara ketukan pintu, Nava buru-buru mengakhiri apa yang ia lakukan untuk melihat siapa yang mengetuk pintu kamarnya. "Apa?" tanya Nava setelah melihat Emi tersenyum padanya. Ya, gadis itulah yang mengetuk pintu kamarnya. "Ayo beli makan. Belum makan, kan?" tanya Emi dengan santai. Nava memajukan bibirnya, terlihat berpikir untuk beberapa saat. "Aku laper, sih. Tapi ini udah malem, aku takut gendut makan malem-malem." "Alah, Mbak. Nggak-nggak kalo kamu gendut." Emi merayu. "Lagian jam segini kok baru mau cari makan. Dari mana aja, sih?" tanya Nava dengan kening berkerut. Emi tersenyum. "Tadi main ke mall." "Terus nggak beli makan?" tanya Nava lagi. "Beli, tapi cuma makan steik, aku laper lagi ini. Udah, ayo beli makan. Kalo Mbak nggak mau makan, temenin aja, yuk. Jam segini ada yang buka itu agak jauhan sana, temenin." Emi merengek dengan manja. Nava terkekeh melihat tingkat teman kosnya itu. "Dasar! Ya udah, aku ambil dompet dulu." Nava dan Emi kemudian keluar, tepat ketika Raka baru saja akan mencuci sepeda motornya di depan rumah, di dekat teras. "Hai Raka," sapa Emi dengan santai. Nava hanya diam, menatap Raka yang sudah lebih dulu menatapnya. "Tugas akuntansinya udah?" tanya Raka pada Emi. Emi menggeleng. "Malem ini aku kerjain." "Kirim ke WA kalo udah." "Dih, nyuruh-nyuruh." "Aku udah ngelakuin apa yang kamu mau, ya. Awas aja kalo kamu ingkar janji," ucap Raka dengan nada ketus. Emi menyeringai, lalu menyalakan mesin sepeda motornya. "Mau ke mana?" tanya Raka penasaran. "Beli makan." Emi mengenakan helm. "Jam segini?" Raka menatap Nava yang hanya diam saja dari tadi. "Aku laper." "Jangan lama-lama." Raka merasa khawatir pada Nava tiba-tiba, tanpa alasan. "Siap, Bos." Emi mengacungkan jempol tangan kanannya. Lalu menarik gas sepeda motornya setelah Nava naik. Emi dan Nava pergi tak terlalu lama, hanya membeli makan dan lalu pulang. Ketika pulang, mereka berdua melihat Raka yang masih mencuci sepeda motornya. "Cuma satu?" tanya Raka. Emi mengangguk. "Iya, Mbak Nava nggak mau. Takut gendut katanya, dia cuma nemenin aku aja." Raka menyeringai. "Makanya punya pacar, biar ada yang beliin makan." "Kamu mau jadi pacarku?" Emi bertanya tanpa beban, seperti apa yang dilakukan Nava tadi siang. "Jangan mimpi!" Raka menyemprot Emi menggunakan air dari selang yang ia pegang. Namun, Nava ikut terkena sehingga membuat gadis itu menyeringai kesal. "Ups, sorry!" Raka tersenyum melihat ekspresi kesal Nava yang malah menurutnya terlihat cantik. "Ya udah, aku duluan. Aku kebelet. Ayo, Mbak." Emi berlari, membawa sebungkus plastik berisi nasi goreng yang baru saja ia beli. Nava berniat melangkah, mengikuti Emi yang lebih dulu pergi dengan berlari karena sudah tidak bisa menahan hajatnya. Raka mencegah kepergian Nava. "Yah," ucapnya yang tak tahu harus memanggil nama Nava dengan sebutan apa. "Kenapa?" tanya Nava yang kini sudah berdiri di depan Raka yang tampak salah tingkah. "Kamu bilang kamu masih cari kerja," ucap pemuda itu dengan suara lirih. Nava mengangguk. "Kamu mau kerja di tempat temenku?" tanya Raka yang ingin menawari Nava pekerjaan. Sudah tak bisa ia elakkan, Raka memang tertarik pada Nava karena gadis itu cantik dengan cara sederhana. "Kerja apa? Gaji berapa? Berapa jam kerja?" tanya Nava dengan antusias. Ia memang berniat mencari pekerjaan sampingan. Selain karena ingin menutupi pekerjaan utamanya sebagai penulis novel online, ia juga ingin mencari inspirasi untuk membantunya mencari ide dalam mengarang cerita. "Kerjanya enak, tapi mungkin gajinya cuma kecil. Lumayan buat kamu, ada uang tambahan. Ibu bilang kamu jualan online, lumayan kan? Toko kamu apa namanya? Jualan apa? Biar aku bantu promo nanti di channel aku." Nava bingung, ia tak mengerti apa yang Raka katakan. "Apa mungkin Bu Lia bohong dan bilang aku jualan online?" tanya Nava dalam hati. "Kamu kok tiba-tiba baik begini? Kamu nggak lagi ngerjain aku, kan? Nggak salah makan, kan? Jadi curiga aku." Nava bingung harus menjawab apa tentang toko online yang memang tak pernah ada. Namun, kini ia memiliki ide untuk benar-benar melakukannya, demi menutupi kalau ia adalah Bawang Putih. Raka semakin salah tingkah. "Aku cuma mau bantuin kamu, takut kamu nggak bisa bayar kos. Ibu juga yang rugi." "Aku udah bayar setahun penuh." Raka merasa malu. "Terus, kamu nggak mau, nih? Kalo nggak mau ya udah," sahut Raka dengan nada ketus. "Apa dulu kerjanya?" Raka menyeringai. "Nggak jadi. Keknya kamu nggak butuh kerjaan." Raka melempar selang air yang masih menyala, menutup keran dan berniat mengeringkan sepeda motornya menggunakan kanebo. Nava mengembuskan napas panjang. "Niat nggak sih nawarin pekerjaan." "Kamu yang nggak niat cari kerja." Raka menatap Nava dengan tajam. "Kamu seumuran sama Emi, kan?" tanya Nava dengan wajah yang sudah ditekuk. "Terus?" tanya Raka yang penasaran ke mana arah pembicaraan Nava. "Panggil aku 'mbak'. Kamu 3 tahun lebih muda dari aku," ucap Nava dengan suara meninggi. Raka terkekeh. "Harus, gitu?" "Iya, dong." "Ini tahun berapa? Masih bahas umur. Cuma beda 3 tahun doang," ucap Raka dengan ketus. Pria itu kesal karena kenyataan di mana Nava mempan lebih tua darinya 3 tahun. "Nyebelin banget." Nava menekuk wajahnya. "Kamu yang nyebelin. Udah dibaikin, nggak tahu terima kasih." "Kamu? Baik? Dari mananya?" Nava kembali menggunakan suaranya yang terdengar lebih tinggi dibanding biasanya. "Aku dari tadi siang udah baik sama kamu. Makan aku traktir, pulang aku anterin, sekarang aku tawarin kerjaan. Kamunya aja yang nyolot, nggak tahu terima kasih. Mikirnya negatif mulu, pake bawa umur segala. Oke, kalo gitu mulai sekarang aku panggil kamu 'tante' aja. 'Mbak' aja nggak cukup, kurang tua. Tante Nava, nah itu baru cocok." Raka pergi begitu saja, melempar kanebo yang ia pegang dan meninggalkan sepeda motornya. Nava menyeringai, keningnya berkerut. "Dasar nyebelin!!!" Nava benar-benar kesal karena Raka menyebutnya tante, ia merasa insecure karena selama ini ia memang jarang melakukan perawatan wajah. Jika dibandingkan dengan wanita muda lainnya, tentu saja ia kalah jauh. Ia jarang melakukan perawatan dan hampir tak pernah menggunakan kosmetik berlebih. Ia lebih suka tampil apa adanya, karena ia memang malas melakukan hal-hal yang dilakukan para wanita muda pada umumnya. Raka masuk ke dalam rumah, menuju ke dapur untuk minum. "Tadi dia tanya aku mau nggak jadi pacarnya. Sekarang pake bahas umur! Dikira kalo cowok yang lebih muda nggak bisa buat cewek yang lebih tua beranak pinak apa?" Pemuda tampan itu menggerutu, merasa kesal sekaligus tersinggung karena ucapan Nava. Nava juga kesal pada anak induk semangnya itu karena selalu berhasil membuat mood-nya hancur. "Percuma ganteng, kalo nyebelin!" Gadis itu menyesali perbuatannya yaitu karena sudah memancing Raka dengan membahas mengenai hubungan asmara yang sebenarnya ia sendiri tak yakin bisa melakukannya. Walaupun Raka tampan, pria itu kasar dan terkesan cuek, tidak cocok dengan Nava yang juga seperti itu. Bersambung... ***Maaf kemarin libur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN