10. Pada dini hari

1135 Kata
Nava naik ke lantai dua, tepat dengan kedatangan 2 gadis yang merupakan penghuni lain dari rumah kos itu. "Hai, Mbak. Orang baru, ya?" tanya seorang gadis dengan rambut yang ikal bergelombang. Nava tersenyum. "Iya, kenalin aku Nava." "Loh, kok namanya mirip?" celetuk gadis lainnya. "Ha?" Nava tampak kebingungan. "Namaku Nova, Mbak." Gadis berambut ikal itu tersenyum. "Kalo aku Indri," sela gadis lainnya. Nava menjabat tangan kedua gadis itu dengan tersenyum manis. "Kok jam segini baru pulang?" tanya Nava penasaran. "Habis maen, Mbak. Bu Lia kan kasih jatah main sampe jam 10, bentar lagi juga gerbang dikunci." Gadis bernama Nova menyahut. Nava mengangguk. "Kalo udah dikunci begitu, kita nggak boleh masuk?" tanya penulis novel online itu dengan mimik wajah polos. "Boleh, nanti dibukain sama Raka. Tapi ntar dia marah, aku nggak mau dong dimarahin sama calon suami," sahut Nova dengan nada manja. Nava mengerutkan kening ketika Nova dan Indri tertawa. "Nggak usah dipikirin Mbak, yang ngekos di sini kebanyakan suka sama Raka. Pada mimpi bisa deket sama dia, bisa jadi pacar dia." Indri menjelaskan. "Ya wajar, sih. Raka tampan, jadi kalo begini malah lebih masuk akal. Bukan cuma aku yang suka sama Raka," ucap Nava dalam hati. Nava mengangguk. "Kalian kuliah? Semester berapa?" "Semester 6. Tapi kami beda kampus sama Raka, bisa ketemu cuma di sini aja." Nova menyahut. "Wah, kalian seumuran sama Emi?" Kedua gadis itu mengangguk. "Emi enak, dia yang paling akrab sama Raka. Selain Emi, nggak ada yang bisa ngobrol sama Raka," ucap Indri. "Mbak sendiri kuliah di mana?" tanya Nova. "Aku udah nggak kuliah, udah lulus. Mau cari kerja juga ini, kalo ada lowongan, bisa lah kasih tahu aku." "Oh, siap, Boss." Nova dan Indri kemudian masuk ke dalam kamar mereka masing-masing. Sementara Nava baru saja akan masuk ke kamar, tetapi diurungkan karena Emi memanggilnya. "Ke mana aja? Ngobrol sama Raka?" tanya Emi dengan mulut mengembang, gadis itu masih mengunyah makanannya. "Bentar aja, terus kenalan sama Nova sama Indri." Nava menyahut dengan santai. Emi sendiri merasa cemburu jika melihat Nava dekat dengan Raka karena bagaimana pun ia masih memiliki perasaan pada pria itu. "Raka ngomong apa aja?" tanya Emi penasaran. "Tadi nawarin kerja di tempat temennya." "Kerja apa, Mbak? Temen siapa?" Nava menggeleng. "Alah, nyebelin. Mana ada dia serius, kayaknya cuma ganggu aja." Emi mengangguk. "Ya udah, aku masuk dulu, bye-bye." Nava masuk ke kamarnya, mengunci pintu dan memulai pekerjaannya yaitu merangkai kata demi kata. Malam hari adalah waktu terbaik bagi gadis itu untuk menulis. Menurutnya, heningnya malam sangat cocok untuk menulis novel, ia bisa fokus dan menciptakan cerita yang akhirnya banyak disukai. Nama Bawang Putih sendiri adalah salah satu nama penulis novel online yang sering dicari namanya di berbagai platform novel online. Jam 1 dini hari, Nava mulai mengantuk, ia mengakhiri pekerjaannya dan lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Namun, sebelum tidur, ia memilih untuk membaca pesan yang masuk ke akun media sosial Bawang Putih satu per satu. Gadis itu selalu menyisihkan waktunya untuk menyapa para penggemarnya melalui media sosialnya, tetapi tak semua pesan yang masuk di akunnya bisa ia balas satu per satu. Termasuk pesan yang mengirim komplain atau pesan berisi kata-kata umpatan, biasanya ia akan mengabaikannya begitu saja. Itu sebabnya pesan dari Raka beberapa bulan yang lalu juga ia abaikan karena menurutnya memikirkan banyaknya orang yang tidak menyukainya hanya akan membuatnya stres dan malah mengganggunya dalam mengarang cerita. Nava merasa lapar tiba-tiba ketika ia tak kunjung memejamkan mata dan malah sibuk membalas pesan. "Bikin teh aja kali ya. Tapi aku belum ada pemanas air, kalo aku turun ke bawah, buat teh, ganggu Bu Lia nggak, ya?" Nava masih menimbang-nimbang. "Emi udah tidur belum, ya?" Gadis itu beranjak dan lalu keluar dari kamarnya, mengetuk pintu kamar Emi dengan pelan. "Emi ...." Tak ada sahutan, Nava akhirnya memutuskan untuk turun ke lantai bawah, menuju ke dapur. Gadis itu membuat teh dengan perlahan, tak ingin mengganggu induk semangnya yang sudah tidur. Ketika sedang mengaduk isi gelasnya, Raka muncul. Pemuda itu ingin mengambil air minum dari lemari pendingin. Raka dan Nava saling bertatapan. Lalu tatapan Raka turun, melihat tangan Nava yang tengah mengaduk minuman teh. Nava pun menurunkan pandangannya, tetapi hanya sedikit. Tatapannya berhenti tepat di d**a anak induk semangnya yang tak mengenakan apapun itu. Matanya membesar sempurna, melihat Raka yang bertelanjang d**a. "Jam segini bikin teh? Emang mau lembur?" tanya Raka dengan suara pelan. Lalu dengan tenang ia minum, mengabaikan Nava untuk beberapa saat sebelum akhirnya kembali menatap gadis itu. "Kamu nggak lagi tidur sambil jalan sendiri kan? Ditanyain diem aja." Raka menggerakkan telapak tangannya di depan wajah Nava. Gadis itu benar-benar terkejut dengan penampilan Raka seperti itu. "Kamu nggak punya baju? Mau aku beliin?" tanya gadis itu dengan nada sinis. Raka menyeringai. Pemuda itu berjalan mendekati Nava, membuat gadis itu ketakutan. Hingga jarak semakin dekat, Raka masih belum menghentikan langkahnya. Nava ingin pergi, tetapi Raka menghadangnya dengan tangan yang menyandar di dinding, keduanya, itu pun dilakukan secara bergantian. Ketika Nava hendak ke kiri, Raka menghadangnya menggunakan tangan kanan. Ketika Nava hendak ke kanan, Raka menghadangnya dengan tangan kirinya. Kali ini Raka berhasil mengukung Nava, di dapur, pada dini hari ketika semua orang tengah tertidur. "Kamu mau apa?" tanya Nava dengan gugup. "Entahlah," sahut Raka yang tengah menatap Nava dengan tatapan nakal. "Nggak usah gila, minggir!" Nava mencoba mendorong tubuh pemuda itu, ia bahkan memegang d**a berotot itu. Namun, Raka malah memegang tangannya sehingga ia semakin tak bisa berbuat banyak untuk menyingkir dari posisinya yang terasa canggung itu. Degup jantung Nava berdegup lebih cepat, seolah habis berlari maraton. "Ka, kamu gila? Lepasin, nggak?" Nava semakin ketakutan. "Kamu yang mulai. Kamu yang pegang aku lebih dulu. Kamu malah pegang dadaa, aku cuma pegang tangan," ucap Raka dengan seringainya. "Aku nggak megang dadaa kamu, nggak usah kepedean. Lepasin, nggak?" Nava melotot dengan gigi yang menggertak keras, berusaha menakuti Raka, padahal ia yang tengah ketakutan setengah mati. Selain takut kalau ada Dahlia yang tiba-tiba muncul, gadis itu juga merasa gugup karena diperlakukan seperti itu oleh pria yang sebenarnya ia taksir. "Apa Raka mau cium aku? Aku harus gimana? Kalo aku diem, dia bisa mikir aku ini cewek gampangan. Tapi, kalo aku tolak, aku pasti nyesel, cowok setampan ini, gimana aku nggak suka?" batin Nava. Diam-diam ia mengaku suka pada pria yang sebelumnya ia sebut sebagai hantu itu. Raka masih menyeringai, lalu perlahan ia mendekatkan wajahnya ke wajah Nava. Semakin dekat dan semakin mengikis jarak di antara mereka. Jika saja Raka bisa mendengar, degup jantung Nava berpacu lebih cepat dari biasa. Gadis itu merasa gugup bukan main karena itu adalah kali pertama ada pria setampan Raka yang mau dekat dengannya. Padahal, Nava sendiri merupakan gadis cantik, hanya saja ia lebih sering mengurung dirinya di dalam kamar. Itu juga adalah kali pertama ia tinggal di rumah kos yang pemiliknya memiliki anak bujang. Jika tidak seperti itu, tak ada kesempatan bagi Nava untuk bisa dekat dengan pria. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN