"Ah ... Akhirnya!"
Akhirnya aku bisa menghirup udara segar setelah kurang lebih satu jam berada di dalam Ruang Guru.
Tentu saja semuanya sudah tahu apa yang baru saja aku jalani di dalam sana. Diceramahi dan diceramahi. Sebenarnya perkataan mereka semua sama sekali tidak mempengaruhiku. Aku masih seorang Topa dengan sifat aslinya. "Hehe ..."
Setelah berdiri beberapa saat di depan Ruang Guru, aku pun berniat mampir ke kelas temanku, Irvan. Entah kenapa tiba-tiba aku ingin bertemu dengan Si Cewek Songong bernama Putri yang belakangan ini menjadi sangat terkenal di sekolah. Dia sering dibicarakan oleh hampir semua guru.
Entah karena kemenangannya di Turnamen Beladiri kemarin? Atau juga karena Prestasi Akademiknya di sekolah? Atau mungkin prilakunya di sekolah? Entahlah, aku pun juga tidak tahu.
Tapi, jika itu karena kemenangannya di Turnamen Beladiri kemarin, harusnya yang lebih terkenal 'kan aku! Kan dari ke-tiga piala yang kami dapatkan, piala punyaku yang paling besar. Aneh sekali!
Kenapa aku tidak bisa seterkenal dia, ya? Ah! Tapi sepertinya tidak juga! Aku juga cukup terkenal di sekolah ini. Buktinya, hampir semua guru mengenalku. Tapi, jalur terkenalku dan perempuan itu mungkin sedikit berbeda. Kalau dia lewat prestasi yang bisa dibanggakan, kalau aku lewat kenakalan yang bisa memusingkan. "Hehe..."
Aku mengintip keadaan Kelas 3-B dari luar jendela. Kebetulan kelas 3-B sedang jam kosong. Aku pun melangkah masuk begitu saja. Mengedarkan pandanganku untuk mencari keberadaan Si Irvan. Namun, pandanganku terhenti begitu melihat Si Cewek Songong sedang duduk di kursinya sembari membaca buku.
Aku pun iseng melangkah menghampirinya. Dia tidak menyadari kedatanganku. Putri masih terpaku pada bukunya. Aku berdiri di sebelahnya. Mataku menatap lembaran buku yang sedang ia baca.
"Lu lagi baca buku apa?" tanyaku penasaran.
"Pergi! Jangan ganggu gue!" ucapnya dengan nada datar. Matanya masih terpaku pada bukunya.
Dih! Jutek amat, nih, Cewek.
Aku membungkuk. Mencoba melihat lembaran buku itu lebih dekat. Di sana tertulis "Cara Terlihat Anggun di Mata Laki-Laki".
Buset! Cewek Songong kaya dia suka buku beginian?
Dia langsung menutup bukunya rapat. Lalu meletakkannya di atas meja dengan sedikit tenaga. Menghasilkan suara gebrakan yang memancing perhatian seisi kelas.
"Udah gue bilang pergi ya pergi! Kenapa lu masih di sini?" ucapnya terdengar kesal. Dia masih diam di posisinya semula.
Wah! Kayaknya dia marah, nih.
Dia langsung berdiri kemudian berbalik menghadapku. Matanya melebar seketika begitu melihat wajahku. Perempuan ini sepertinya sedikit terkejut saat mengetahui kalau yang sedari tadi berdiri di sebelahnya adalah aku.
"To—Topa?! Lu lagi ngapain di sini?" tanyanya. Raut wajahnya terlihat sedikit gugup.
Aku hanya menatapnya heran. "Lah! Emang kenapa? Gak boleh?"
Putri terlihat grogi. Terlihat jelas di wajahnya. Wajahnya mulai memerah. Tanpa aku duga, dia langsung berlari meninggalkan kelas.
Aku hanya mengernyit dahi melihat tingkah anehnya. Dia kenapa? Kesurupan gorengan? Atau kebelet b***k?
"Dia kenapa, Top?" Tiba-tiba Irvan sudah berada di sebelahku.
"Anjir! Ngagetin aja lu, Kamprett!"
"Lu bilang apa ke Si Putri sampai dia lari kayak gitu?"
"Lah ... Mana gue tahu. Orang gue nggak bilang apa-apa."
"Gak kayak biasanya dia kayak gitu."
"Emang biasanya kalau lagi di kelas cewek itu kayak gimana?"
"Dingin dan Misterius."
"Halah! Lebay banget lu! Kayak di cerita novel-novel aja."
"Beneran, Anjir! Gue serius. Dia tuh kalau lagi di kelas sikapnya dingin banget."
Dingin? Emang Es Cendol?
"Terus dia tuh paling gak bisa diganggu. Gak ada yang berani ngusik dia. Apalagi kalau dia lagi baca buku kaya tadi. Tapi, pas ada elu, sikapnya jadi aneh kaya gitu. Kenapa ya?"
"Lu nanya siapa, Kamprett? Gue? Ya mana gue tahu, Anjir! Bodo amat gue mah! Eh, Ngomong-ngomong, kelas lu adem juga, ya.
"Woh jelas! Kelas gue 'kan termasuk kelas terbersih di sekolah ini."
Mataku tertuju pada kursi kosong di sebelah kursi Si Irvan. "Eh, kalau gak salah, itu kursi yang kosong, kursi Si Tomy, 'kan?"
Irvan menoleh sesaat ke arah kursi yang aku tunjuk. "Iya. Kok lu tahu?"
"Gue pernah ngobrol sama dia. Si Tomy gak sekolah?"
"Kagak."
"Kenapa?"
"Gak tahu juga, sih. Di keterangannya mah Alfa. Tapi, enggak biasanya Si Tomy kayak gini. Biasanya dia hadir terus."
***
Aku pun kembali ke kelasku.
"Eh, Top! Nih, Ada surat buat lu," ucap Rania sembari menyodorkan sebuah amplop berwarna merah jambu kepadaku.
"Amplop apaan, tuh? Isinya duit bukan?"
"Bukan. Ini surat. Kan gue udah bilang tadi! Lu budeg?"
"Surat? Surat apaan?"
"Ck." Rania berdecak lidah. "Jangan banyak nanya! Nih, lu terima aja!"
Aku pun mengambil amplop tersebut.
"Dari siapa, nih? Tumben banget ada yang ngasih gue surat. Jangan-jangan, ini dari penggemar gue, ya?"
"Itu dari temen gue."
"Cewek?"
"Ya iyalah! Gila aja gue temenan sama cowok!" ucap Rania dengan nada tinggi.
Sewot amat, neng! Santai napa santai!
"Dari kelas mana?"
"Kelas 3-D."
"Wuih! Isi suratnya apaan, ya?"
"Lu buka aja sana!"
Aku pun mulai melangkah ke kursiku. Duduk dengan tatapan terus terpaku pada secarik amplop di tanganku.
Surat pertama dari penggemar gue. "Hehe..."
Aku pun membuka amplop ini dengan perlahan. Mengambil secarik kertas yang terlipat didalamnya. Aku perlahan membuka lipatannya. Ada beberapa kalimat yang tertulis di kertas ini. Aku mulai membacanya dalam hati.
Hai, Topa. Kamu keren banget, deh. Selamat, ya, atas kemenangan kamu di Turnamen Beladiri kemarin. Aku Karin dari kelas 3-D. Aku mau mau ngungkapin sesuatu sama kamu. Tapi, kayaknya lebih enak kalau kita bicara langsung, deh. Hehe.
Kalau kamu mau, pulang sekolah nanti, aku tungguin di kantin sekolah, ya.
Sejak awal membaca surat ini, mataku terus terbelalak lebar. Kata demi katanya bikin aku merinding tak karuan.
What?! Ini surat cinta maksudnya? Serius gue ditembak sama cewek? Eh, tapi belum tentu juga, sih.
Di sini nama penulisnya Karin. Tapi, Karin itu yang mana, ya?
Wajar, sih, kalau aku gak kenal. Murid di SMP Citra itu banyak banget. Bahkan, jumlah murid Kelas Tiga-nya itu hampir nyentuh seribu orang.
"Eh, Rania!" Aku berteriak memanggil Rania.
Dia menoleh. "Apaan lu manggil-manggil gue?" Dia masih sewot seperti biasanya.
"Di sini namanya Karin. Karin itu yang mana, ya?"
"Lu gak tahu?"
"Kagak. Makanya gue nanya. Lu b**o apa gimana?!"
Hahaha... Akhirnya aku bisa membalas ucapannya tadi.
Rania menatapku sinis. Kemudian membuang pandangannya dariku.
"Lha... Jawab, woi! Kok malah diem?"
"Dia yang pake kacamata." Rania menjawab tanpa menoleh ke arahku.
Oh... Ngambek, nih, ceritanya.
"Yang pake kacamata banyak, woi!"
"Pokoknya, Karin tuh yang pake kacamata bulet. Terus rambutnya diiket. Biasanya diiket satu ke belakang kayak kuncir kuda gitu. Udah, jangan nanya-nanya lagi! Gue sibuk!"
"Oh... Oke-oke."
***
Aku, Irvan, dan Reza sedang berjalan menuju Kantin Sekolah.
"Hah? Serius lu, Si Putri bilang kaya gitu?" tanyaku dengan tatapan tak percaya.
"Serius gue. Dia bilang langsung ke gue kalau nanti sepulang dari sekolah, dia mau ketemu sama lu," ucap Irvan terdengar serius.
"Anjir! Cewek Songong kaya dia pengen ketemu sama gue?" Aku seakan tak percaya.
"Menurut gue, sih, dia sebenarnya gak songong, Top. Si Putri itu tipikal cewek yang yang bisa ngejaga dirinya. Kalau lagi sama temen ceweknya, dia kayak cewek normal, kok," tutur Irvan.
"Kayaknya cewek itu suka sama elu, Top," celetuk Reza.
"Ha? Dia suka sama gue? Gak mungkin lah! Secara nih, ya, gue tahu sih gue itu ganteng kayak Aliando, cuma ya—"
"Hoek!! Mual gue dengernya!" Irvan memotong cepat kalimatku dengan ejeken.
"Ada kantong kresek gak? Gue mau muntah nih!" Si Reza ikut-ikutan.
"Heh, Kamprett! Dengerin gue ngomong, Anjir!"
"Gue dengerin, Top, tapi ya lu sebelum ngomong mikir dulu lah," kata Irvan.
"Maksud lu?"
"Masa lu ngaku-ngaku mirip Aliando. Mirip Aligator elu mah. Hahaha..."
"Hahaha... Bukan Aligator, Van. Tapi, Alat Kel—"
TOK!!
Aku mendaratkan satu jitakan keras pada kening Reza.
"Mau ngomong apa lu tadi, hah?" tanyaku kesal.
"Gak jadi, Top. Gak jadi." Reza ciut dan mengurungkan niatnya sembari mengusap keningnya.
"Gue lanjutin nih, ya. Jangan ada yang motong! Awas aja! Gue tau gue ganteng, tapi lu berdua mikirlah, gue sama dia tuh ibarat langit dan bumi. Eh, gak sejauh itu juga, sih. Gue sama dia sama-sama terkenal. Cuma bedanya, dia murid berprestasi, sedangkan gue? Lu tahu sendiri, kan?"
"Ya ... kita 'kan gak tahu apa maksud dia pengen ketemu sama elu. Mending lu temuin aja dia sepulang sekolah nanti," saran Irvan.
"Wah! Kalau dia sampai suka sama lu, parah, sih!" celetuk Reza.
"Kenapa emangnya?" tanyaku bingung.
"Lu gak tahu? Katanya, Si Azel dari Kelas 3-D pernah nembak dia, tapi ditolak, Bro! Terus, nih ya, si Jonathan yang dari kelas lu juga pernah nembak dia, tapi ditolak juga!"
"Hah? Si Jojo pernah nembak Si Putri?" Aku gak percaya anak pendiam kaya Jojo pernah nembak Cewek Songong itu. Lebih gak percaya lagi pas tahu dia ditolak.
Like what?! Seorang Jonathan Kusuma itu punya segalanya. Dia dari keluarga terpandang. Masa, sih, ada perempuan yang gak mau sama dia?
"Dan kalau nggak salah, gue juga pernah denger, katanya, Si Kristo juga pernah nembak Si Putri pas masih kelas dua. Tapi, ditolak juga, Bro! Gila gak tuh!"
"Kristo? Kristo mana? Gue gak kenal."
"Dia senior kita. Udah keluar sekarang mah. Dia yang dulu dari Ekskul Karate itu, loh. Masa lu gak inget, sih?"
"Ekskul Karate? Si Kris Jon bukan, sih?"
"Iya. Si Kris Jon. Nama aslinya itu Kristo."
"Anjir! Gue baru tahu."
"Dia dipanggil gitu soalnya dia tuh kuat banget. Berantemnya gak ada yang ngalahin. Dulu kalau nggak salah, dia pernah jadi raja sekolah ini, guru pun ragu buat negur dia."
"Tapi, gimana, Top? Lu mau nemuin Si Putri nanti pulang sekolah? Kesempatan jangan disia-siain, Bro!"
"Gue mau, sih. Gue juga penasaran. Tapi, masalahnya, ada cewek lain juga yang mau ketemu sama gue sepulang sekolah."
"Hah? Lu serius? Siapa?" tanya Reza terkejut.
"Gue gak tahu yang mana ceweknya, tapi namanya Karin."
"Anjir! Karin?! Serius lu?" Irvan tak kalah terkejut.
"Lu kenal?"
"Karin dari Kelas 3-D bukan?" tanya Irvan memastikan.
"Iya, bener. Yang mana, sih, orangnya?"
"Wah! Kacau sih lu! Karin tuh kalau gak salah pernah pacaran sama si Azel. Tapi, sekarang mereka udah putus," tutur Irvan.
"Dia yang setiap hari masuk Perpustakaan bukan, sih?" lontar Reza.
"Iya, yang itu. Gue juga pernah ketemu sama dia di depan perpus, cantik banget orangnya."
"Bentar!—Bentar! Kalau kata lu dia cantik, kok bisa putus sama Si b******k Azel?"
"Mana gue tahu, Top. Lu kira gue detektif apa?! Tapi, setahu gue yang mutusinnya itu Si Karin," kata Irvan.
"Jadi gimana, nih? Lu mau nemuin siapa, Top? Si Karin atau Si Putri?"