4,2 miliar untuk sekali job.
Junior telah mengantongi nominal itu di rekeningnya. Laki-laki itu menghempaskan tubuh ke sofa dengan secangkir kopi di tangan kanan. Laki-laki itu menyilangkan sebelah kaki di atas kaki lain dan menyeruput kopi hangatnya.
"Di mana dia?" Junior berkata, kepada seseorang yang terikat di depan sana. Sekujur badannya babak belur. Wajah tangan kaki hingga kaki. Pria malang itu menangis tersedu-sedu memohon agar Junior membebaskannya.
"Lepasin saya ... saya nggak tahu apa-apa ..."
"Wajah lo terekam jelas di dalam rekaman cctv itu." Junior menunjukkan buktinya. Disetelnya bukti rekaman cctv di dalam laptopnya ke hadapan pria itu, di mana rekaman tersebut menunjukkan bahwa wajahnya terekam jelas di gang sempit, terlihat sedang mengejar seseorang. "Masih nggak mau ngaku?"
"Bu—bukan! Bukan saya! Tolong biarin saya pergi! Saya nggak tahu apa-apa! Tolong!"
Junior duduk bertumpu kaki sambil membungkukkan badan ke depan, laki-laki itu memantik rokok kemudian mengisap puntungnya dan menghembuskan asapnya ke hadapan wajah pria itu secara smooth.
Junior mengambil koper berisi uang nominal 120 juta rupiah lalu menunjukkannya kepada pria itu.
"Barter."
Pria itu mendongak. Mata bengkak keunguannya memandang Junior dengan sorot terkejut.
"120 juta pas."
Pria itu kemudian melirik koper uang di atas meja dengan ludah terteguk susah payah. Matanya membelalak melihat uang sebanyak itu tepat di depan matanya. 120 juta? Bahkan dia tidak menyangka bahwa tumpukan uang 120 juta itu sangatlah tebal sampai tumpah dari koper.
"Gue cuma butuh informasi lo, selengkap-lengkapnya. Dan uang ini sepenuhnya akan jadi milik lo."
"Ka—kamu bercanda, kan?"
Junior menunjukkan keaslian uang itu dengan cara memperlihatkan latent image serta intaglio yang terpampang nyata di kertas tersebut.
Pria itu percaya.
"Tapi kamu nggak akan bunuh saya, kan?"
"Tergantung."
"..."
"Gue bisa bunuh lo detik itu juga seandainya gue mendengar secuil aja kebohongan keluar dari mulut lo."
Pria itu mengangguk mantap.
"Ta—tanyakan apa saja."
Junior menyesap rokoknya, sedangkan di tangan kanannya memegang sebuah pisau.
"Ke mana hari itu dia dibawa?"
"Ke—ke rumah tuan."
"Tuan?"
"Tu—Tuan Arzelion."
Arzelion.
"Kenapa dia dibawa ke rumah Arzelion?"
"Tu—Tuan muda melarikan diri. Dan kami diperintahkan untuk membawanya kembali ke rumah itu."
"Melarikan diri?" Arzelion bergumam. "Jadi selama ini Arzelion menyekapnya?"
"I—iya. Tuan mengurung tuan muda di ruang bawah tanah dan menyiksanya setiap hari."
"Apa alasan Arzelion melakukan itu?"
"Tidak tahu, Tuan. Saya hanya diperintahkan tuan Arzelion untuk menjaga tempat itu."
"Terus sekarang dia di mana?"
Dan pria itu menjelaskan semua yang terjadi beberapa hari yang lalu.
***
Arloji hitam di pergelangan tangan Junior menunjukkan pukul satu lewat dua belas dini hari. Junior merapatkan pakaian hitamnya dan bergerak mengendap-endap, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, hingga tiba di depan sebuah bangunan kosong terbengkalai di ghost town.
Dengan pergerakan yang smooth, Junior berhasil mencapai dalam. Laki-laki itu mendengar suara-suara dari dalam sana, suara orang tertawa, denting gelas dan botol kaca, serta suara televisi.
Usai memastikan orang yang tengah dicarinya tidak ada di sana, Junior lantas berbalik dan—tiba-tiba saja seseorang muncul mengejutkannya. Junior spontan menghindar saat orang itu akan menghantamnya dengan pisau.
Sebelum orang itu membuka mulut dan mengalihkan perhatian orang-orang di dalam sana, Junior lebih dulu membunuhnya. Laki-laki itu berjalan mendekati meja yang berada di salah satu ruangan terbengkalai. Ketika didekati, Junior melihat darah yang hampir mengering di sana. Dan Junior menemukan sebuah arloji emas tergeletak di bawah meja lalu memungutnya.
Diperhatikannya arloji itu dengan seksama. Entah milik siapa, bisa jadi barang penting. Junior meletakkannya di dalam kantong plastik tembus pandang lalu beralih ke sudut lain.
"Siapa kamu?"
CRAT!
Junior melempar pisaunya tepat mengenai leher orang yang berdiri diambang pintu. Laki-laki itu kemudian menggeledah baju orang yang dibunuhnya ini dan menemukan sesuatu di salah satu kantong jaketnya.
Sebuah kertas kusut serta kumal yang terciprat noda darah.
Dibukanya kertas itu dan menemukan angka; 08xxxx1718
1718, Junior pikir 4 angka terakhir itu cukup familiar.
Junior mengeluarkan ponsel miliknya dari saku baju dan memeriksa nomor tersebut.
Dan benar. Bahwa nomor tersebut adalah milik seseorang yang dikenalnya.
***
PRANG!!!
Jendela kaca itu pecah ketika dihantam oleh beratnya tubuh pria berpakaian putih itu.
Baru saja pria itu mencoba bangkut, Junior sudah lebih dulu mengunci lehernya hingga pria bertubuh kekar besar itu tidak berkutik.
"Lo terlibat dengan kecelakaan malam itu."
Pria itu kesulitan bernapas saat tangan Junior menekan lehernya semakin erat. Kedua tangannya berusaha memukul-mukul tangan Junior.
Junior melepaskan pitingan itu, lalu melempar arloji emas di hadapan pria itu.
Pria itu melihat arloji miliknya yang tergeletak tepat di bawah kaki Junior.
"Di mana?" tanya Junior, membuat pria itu menoleh.
"Junior."
"Di mana dia?"
"Tidak tahu. Kamu tiba-tiba menyelinap ke tempat ini dan mengacau. Siapa dia yang kamu maksud?"
"Lo udah tahu siapa yang gue maksud."
"Tidak, saya tidak mengerti apa maksud kamu."
"s**t. Di jalan tol."
Pria itu tersadar.
"Maksud kamu, orang itu?" Pria itu berbalik menuju laci dan menunjukkan sesuatu kepada Junior.
Sebuah kalung.
Kalung tali dengan bandul vertical bar terbuat dari perak yang bar-nya terukir sebuah inisial menurun; NY.
Benda ini ... miliknya.
"Di mana dia sekarang, Jemma."
***
Malam pelarian beberapa hari yang lalu
Mobil melaju di bawah derasnya guyuran hujan. Sementara itu, di dalam mobil, Nael duduk di kursi depan tepat di sebelah Pak Wendi yang sedang menyetir.
"Kenapa kamu bisa ada di sana? Kenapa mereka mengejar kamu?" tanya Pak Wendi, membuka percakapan.
Nael menoleh.
Keningnya mengernyit berusaha memahami setiap kata yang Pak Wendi ucapkan, tetapi akhirnya gagal. Karena Nael belum mempelajari bahasa Indonesia. Yang diketahuinya hanyalah umpatan seperti b*****t, anjing, binatang, iblis, persis seperti yang selalu Arzelion ucapkan kepadanya.
Pak Wendi berdeham.
"Maaf kalau bahasa Inggris saya kurang bagus. Why were you there? And why were they chasing you?"
Nael tercekat.
"What about you?"
"I think the people from yesterday were very suspicious, so I followed one of them, and then I arrived at that place."
"They are cruel people."
"Really?"
Nael memandang Pak Wendi.
CIIIIIITTTTT ...!
Mobil direm secara mendadak. Pak Wendi melepas seatbelt-nya dan berkata,
"Sepertinya saya menabrak sesuatu."
Nael melihat Pak Wendi berjalan keluar dari mobil dan memeriksa. Tapi Nael merasa aneh saat melihat Pak Wendi membuka bagasi dan tidak berapa lama kemudian kembali ke dalam mobil sambil membawa linggis.
Pak Wendi mulai mengunci mobil dan hal itu mencurigakan sekali.
Nael sampai tidak berkedip dari Pak Wendi.
"Ternyata cuma dahan patah." Pak Wendi terkekeh sembari menjalankan kembali mobilnya.
Tidak percaya, Nael melirik ke arah kaca spion dan tidak ada dahan pohon apa pun. Lalu apa maksudnya Pak Wendi mengerem mendadak—
Pak Wendi bermanuver, memutarbalik mobilnya kembali ke arah rumah Arzelion. Dengan kecepatan yang amat gila.
"What are you doing?"
Pak Wendi tidak menghiraukan dan hanya terus menginjak pedal gasnya dalam-dalam.
"Stop! Stop it!"
Usaha Nael untuk menghentikan Pak Wendi berujung sia-sia saat Pak Wendi memukul kepala Nael menggunakan linggis.
Sempat terjadi kekerasan di dalam mobil itu yang berujung membuat mobil oleng dan terhenti di pinggir jalan. Nael menendang-nendang pintu mobil yang terkunci, sementara itu Pak Wendi berusaha kembali mengegas mobilnya.
"STOP IT! STOP ITTT!"
Mobil oleng bergerak zig-zag. Bannya tergelincir ketika bergesekan dengan aspal jalan yang licin.
Nael menyentak stang mobil sedangkan Pak Wendi mencoba memukul Nael menggunakan linggis.
CIIIIIITTTTTTT!!!
Mobil menabrak perbukitan. Saat Pak Wendi sibuk mengerang, Nael memanfaatkan situasi itu dengan membuka kunci pintu mobil dan berlari dari sana.
Harus kepada siapa Nael memintai pertolongan.
Maukah Tuhan menyelamatkannya malam ini?
Atau Nael menyerah saja?
Nael rasa sudah tidak sanggup lagi untuk berlari.
Buk.
Nael jatuh tersungkur di atas tanah basah. Sekujur tubuhnya mati rasa.
Pak Wendi tiba di hadapannya dengan linggis tergenggam di tangan.
"Why are you doing this to me!!!"
"Money, of course."
Jadi hari ini alasan Anna ada di sana karena Pak Wendi yang menelepon perempuan itu? Shitttttttt!
Pak Wendi mengeluarkan tali dari saku celananya. Pria perut buncit itu mulai mendekati Nael, namun tiba-tiba—DOR!
Nael menembak d**a Pak Wendi.
Pistol yang tidak sengaja ditemukannya di bawah daun kering yang basah oleh air hujan.
DOR!
Dua kali.
Pak Wendi maju selangkah.
Dan tembakan terakhir, DOR!
Tubuh Pak Wendi ambruk ke tanah.
Nael langsung lemas. Laki-laki itu merintih menahan perih di sekujur tubuh sekaligus perih yang menghantam dadanya keras-keras hingga rasanya sulit sekali bernapas. Ada berapa banyak orang yang sudah dibunuhnya ...,
"I'm sorry ... im sorry ..." Nael bersimpuh di jasad Pak Wendi.
Dinginnya udara, derasnya hujan, gelapnya malam, serta keheningan yang menyeruak nyaris menggila. Dengan sekujur tubuh basah kuyup, Nael hanya terus berjalan menyusuri hutan. Sekujur badannya dipenuhi oleh luka terbuka, kemeja yang dikenakannya penuh oleh bercak darah yang perlahan terkikis oleh air. Nael hilang arah.
Malam ini, kembali lagi Nael menghirup udara luar yang segar. Aroma kebebasan.
Setelah berjalan selama berjam-jam tanpa henti, Nael akhirnya menemukan pemukiman. Tempatnya lumayan sepi karena ini dini hari. Nael menepi di pinggir jalan kosong dan berusaha mengatur napasnya yang memburu. Nael berjalan mencari toilet umum dan membersihkan diri di sana.
Begitu melihat air mengalir, Nael langsung meminumnya tanpa bepikir apa pun. Asal dahaganya terobati, Nael bisa bernapas lega. Setidaknya rasa hausnya terpenuhi.
Nael melipat lengan kemejanya dan membersihkan darah yang lengket di sana. Darah-darah itu mengalir terbawa oleh air wastafel.
Untuk sesaat, Nael termenung. Saat sakit kepala luar biasa tiba-tiba menyerang, Nael tertunduk kesakitan. Sekuat tenaga meremas kepalanya yang terasa dihancurkan dari dalam. Ketika sakitnya perlahan mereda, Nael duduk tersandar dengan mulut sibuk merintih.
Nael kelaparan hebat. Dirinya layaknya mayat hidup. Hebat Nael bisa bertahan sejauh ini. Kalau bukan karena keinginan untuk bertahan hidup, mungkin Nael sudah mati di rumah itu.
Tanpa sadar, Nael ketiduran.
***
Keesokan harinya, Nael terbangun oleh suara orang yang datang silih berganti masuk ke dalam toilet. Usai mengucek mata, Nael bangkit berdiri. Laki-laki itu merapihkan pakaiannya yang seperti gembel itu dan keluar dari sana.
Nael menatap orang-orang yang berlalu lalang di sekitar tempat itu. Dan Nael seketika merenung.
Ke mana ... Nael harus melangkah?
***
Malam yang ramai. Ada banyak sekali beberapa barang dan makanan yang ditawarkan, sementara Nael hanya menatap orang-orang itu makan dengan lahap. Untuk tetap bertahan hidup, Nael rela mengobok-obok isi tempat sampah dan memakan makanan sisa yang bahkan tidak layak dikonsumsi. Dengan kelaparan Nael memakan sisa hidangan yang diambilnya dari tempat sampah dan melahapnya bak orang tidak makan selama berhari-hari, memang. Arzelion b******k itu tidak memberinya makan selama satu minggu penuh.
"Ngapain kamu? Pergi kamu dari sini!" Si pemilik restoran keluar dari pintu belakang dan menemukan Nael tengah memakan bekas sisa makanan dari tempat sampah. Si pemilik restoran langsung menendangnya, namun bahkan saat ditendang hingga terjungkal pun Nael kembali memakan nasinya bak tidak ada harga dirinya.
Harga diri? Nael bahkan tidak merasa punya itu.
Kepalang marah melihat Nael melahap sisa-sisa makanan di tempat sampahnya, si pemilik restoran memanggil orang untuk menghajar Nael. Orang-orang itu dengan jahatnya berkumpul dan menghajar Nael sampai babak belur, padahal Nael hanya meminta sedikit sisa makanan dari tempat sampah. Pada akhirnya Nael diusir jauh-jauh dari tempat itu, bahkan lebih parahnya mereka meludahinya layaknya bukan manusia.
Malam yang dingin. Nael terlunta-lunta kehilangan arah. Laki-laki itu duduk di pinggir jalan sembari menatap hiruk-pikuk kendaraan yang lewat di tengah jalan sana dalam diam. Sejujurnya perutnya masih lapar, sekujur tubuhnya terasa remuk. Tubuhnya ringkih dan penuh luka, wajahnya pucat, secara keseluruhan, Nael tampak mengenaskan.
Nael menatap kedua telapak tangannya yang penuh oleh luka goresan. Angin dingin berhembus kencang menerpa wajahnya. Cukup lama Nael memandangi telapak tangannya hingga tanpa sadar sepasang sepatu hitam tiba-tiba muncul di pandangannya.
Ketika mendongak, Nael melihat seorang pria tinggi berbadan kekar berdiri di hadapannya, sedang menatapnya.
Lalu di sebelah pria kekar itu berdiri seorang perempuan berambut hitam lurus berponi rapih mengenakan heals dan tangannya memegang gagang koper.
"Itu dia, Jem ...," Perempuan itu berkata dengan suara lirih di belakang pria kekar itu, sambil menunjuk dan memandangi Nael takut.
"Kamu baik-baik saja?"
Nael jelas bingung. Siapa orang ini? Kenapa tiba-tiba saja mendatangi Nael dan menanyakan keadaannya?
"Jem! Kamu nggak liat tuh mukanya bonyok gituuu." Perempuan di balik badan pria kekar itu menggumam.
"Saya dan Nona saya siap bertanggung jawab atas kejadian lalai malam lalu." Pria kekar itu memberikan kartu namanya kepada Nael dan disambut Nael sambil membacanya.
Jemmima Sondakh. Nama yang tertera di atas kartu nama itu.
"Saya siap membayar seluruh biaya pengobatan Masnya." Perempuan itu menimpali. "Maaf atas kelalaian saya dalam menyetir malam itu yang menyebabkan Masnya terluka ...,"
"I don't understand,"
Perempuan serta pria kekar itu saling berpandangan satu sama lain. Peka, perempuan itu lalu berkata, "Do you speak english?"
Nael mengangguk.
"I'm sorry. I panicked that night and unintentionaly left you behind. I sincerely apologize and take full responsibilitu for what I did. I'm fully comitted to making things right—including covering all you medical expenses."
"..." Nael terdiam. Ingatan malam itu kembali terulang di kepalanya, bagaimana perempuan itu memutuskan untuk meninggalkannya begitu saja.
"I'll do anything for you—just please forgive me and let me fix this. I'm truly sorry, and I regret everything with all my heart ..." Perempuan itu benar-benar menyesal dan merasa bersalah, tetapi tidak dengan Nael.
Laki-laki itu siap menyentuh sebilah potongan besi kecil dan menggenggamnya di balik pinggang.
Sepertinya pria kekar itu menyadarinya dan buru-buru menambahkan,
"What happened that night was my fault. I was the one who urged you to come back right away." Pria itu melihat ada tatapan yang berbeda dari sorot mata Nael. "I really do take full responsibility for everything."
"Then why did you just leave me like that?"
"..." perempuan itu terdiam. Dia lalu menatap orang di sebelahnya.
"We feel truly sorry for happened, and we're ready to take full responsibility for our mistake." Pria kekar dan perempuan itu membungkuk.
Nael langsung berdiri bersamaan dengan tangannya yang sengaja menjatuhkan bilah besi itu di sisi tempat duduknya.
Perempuan itu melihatnya. Melihat sebuah bilah besi tajam yang jatuh bersama Nael. Untuk beberapa saat perempuan itu tercekat dan terdiam seribu bahasa.
Perempuan dan pria kekar itu menyaksikan Nael pergi begitu saja meninggalkan mereka tanpa patah kata apa pun.
Pria kekar itu spontan mengejar.
"Could you please share your account number? I'd like to transfer the compensation."
"No need."
"I sincerely regret what happened—" Ucapan pria kekar itu mengambang di udara tatkala melihat Nael melengos pergi begitu saja.
Pria kekar itu hanya melihat kepergian Nael, sementara perempuan itu berjalan mendekati pria kekar itu dengan ekspresi wajah bersalah.
"Kayaknya dia nggak terima. Terus kita harus gimana, Jem ..."
Jemma pun tidak bisa berkata apa-apa selain bergeming.
"Saya akan membujuknya lagi."
Dan setelah itu Jemma benar mengejar Nael yang sudah hilang entah ke mana.
***