bc

Double Helix

book_age18+
754
IKUTI
3.1K
BACA
serious
mystery
straight
genius
expert
detective
male lead
multi-character
realistic earth
crime
like
intro-logo
Uraian

INNOVEL WRITING CONTEST -- THE NEXT BIG NAME

Rate: 18+

Genre: Suspense, Crime, Mistery

Status: On-Going

~ Tap ❤ sebelum membaca biar kesimpen di library dan gak ilang ya :) ~

=====

Penemuan DNA pada korban pembunuhan berantai membuka tabir asal usul seorang Arsyanendra Adhyaksa.

Siapa dan seperti apa sebenarnya sosok dosen kriminologi tersebut?

Bagaimana bisa DNA Arsya tertinggal pada jasad para korban?

Benarkah ia adalah pelaku pembunuhan berantai seperti yang dituduhkan aparat?

Mengapa pembunuhan itu bisa terjadi?

© Atavya 2021

chap-preview
Pratinjau gratis
Bagian 01
“Jasad yang ditemukan membusuk dengan luka memar disekujur tubuhnya segera dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan otopsi. Aparat kepolisian kemudian melakukan olah TKP dan memeriksa sejumlah saksi untuk mengetahui penyebab pasti kematian korban. Banyak yang menduga bahwa jasad wanita muda itu merupakan korban kelima dari kasus pembunuhan berantai yang beberapa bulan terakhir menghantui warga ibukota. Warga tetap dihimbau untuk tenang dan selalu waspada.” Beberapa orang yang menyaksikan berita tersebut tampak menghela napas panjang sekaligus bergidik ngeri. Buru-buru seorang wanita paruh baya mengangkat remote yang ada ditangannya hendak mengganti saluran TV. Namun, pria paruh baya yang ada disampingnya menahan gerakan tersebut hingga si wanita berdecak geram. “Itu kayaknya yang kejadian di deket kantor kemarin, deh,” ungkap si pria paruh baya bernama Hastanto. “Oh ya?” Jani, si wanita paruh baya dan istri Hastanto itu cukup terkejut. “Kok baru diberitain sekarang?” “Biar gak menebar ketakutan di masyarakat, Ma,” sahut seorang pria yang lebih muda dan tak lain adalah menantu keluarga ini, Arsya. “Tetep aja bikin takut, Mas,” balas wanita di samping Arsya yang tak lain adalah Citra, istrinya sekaligus putri bungsu Hastanto dan Jani. “Komandan Radeva yang pegang kasus itu,” lanjut Arsya dalam posisi bersantainya dengan lengan yang bersilang diatas perut. “Memang pembunuhan berantai katanya. Ciri-ciri tanda yang ditinggalkan pelaku diidentifikasi sama.” “Tanda apa?” Tanya Hastanto penasaran. Arsya mengangkat kedua tangan lalu menyatukan pergelangannya dan menunjukkan pada kedua mertua serta istrinya, “Begini. Tangan dan kaki korban diikat pakai ikat rambut milik mereka.” Ketiga orang lain yang ada di ruang keluarga itu terkesiap dan memberikan perhatian penuhnya pada dosen kriminologi berusia tiga puluh tahun tersebut. Mereka tampak tidak percaya sekaligus ngeri dan menantikan konfirmasi yang lebih lanjut. Merasa diperhatikan, Arsya mengusap tengkuknya dengan canggung dan tersenyum kikuk. “Itu loh, tahu ‘kan kasus pembunuhan yang di Menteng awal tahun, terus lanjut yang di Kebayoran, Margonda, sama Pondok Indah bulan lalu? Kata Komandan Radeva semua punya tanda itu, makanya dibilang pembunuhan berantai,” jelas Arsya. “Bukannya almarhum Nara ditemukan seperti itu juga? Berarti dia?” Tanya Citra yang menyebutkan nama salah satu korban pembunuhan tersebut. Arsya menjentikkan jarinya dengan tenang, “Nah, iya itu. Guru piano Tiara itu korban ketiga kalau gak salah.” Citra dan Jani semakin bergidik ngeri. Bagaimana tidak? Mereka mengetahui secara pasti sosok korban pembunuhan tersebut. Citra dan putrinya bahkan masih bercanda-canda dengan Nara satu hari sebelum perempuan itu ditemukan meninggal di apartemennya hingga membuat wanita itu juga sempat diinterogasi oleh rekan sang suami tersebut. “Sampai sekarang belum ketahuan siapa pembunuhnya?” Tanya Hastanto penasaran. “Belum, Pa. Bersih pelakunya, hampir gak ada jejak sama sekali,” jawab Arsya yang mengetahui perkembangan kasus tersebut secara rinci. “Ya Tuhan, serem banget sih,” ujar Jani sambil mengusap lengannya yang merinding. “Hati-hati kamu, Sya! Meskipun kamu dosen, tapi kerjaanmu berhubungan sama penjahat-penjahat begitu.” Arsya tergelak dan menganggap enteng peringatan tersebut, “Santai aja, Ma. Kalau bener pembunuhan berantai, aku aman banget. Orang yang diincar cewek-cewek.” “Kalau gitu, jagain anak dan istri kamu bener-bener!” Pinta Hastanto yang disanggupi Arsya tanpa pikir panjang. Tak lama kemudian terdengar suara deru mobil memasuki pekarangan rumah dua lantai tersebut. Suara pekikan anak-anak serta orang tuanya yang memperingati mereka untuk tidak berlarian terdengar menggema dan rumah itu menjadi semakin hidup. Mereka adalah keluarga kakak Citra. Hari ini semuanya memang akan berkumpul di rumah utama untuk makan malam bersama. Sebuah agenda rutin yang dilakukan sebulan sekali untuk menjaga ikatan persaudaraan mereka, sekaligus untuk mengurangi rasa kesepian Hastanto dan Jani setelah kedua anaknya berumah tangga dan tinggal di rumah masing-masing. Acara makan malam hari ini berjalan seperti biasa. Hangat, penuh canda tawa, dan tanpa jarak. Hanya saja terdapat satu hal yang selalu membuat Arsya agak kurang nyaman, yaitu kakak iparnya yang tak lain adalah kakak kandung sang istri. Pria bernama Barrack itu sejak awal sikapnya memang kurang bersahabat dan selalu curiga pada Arsya. Tidak heran jika keduanya tidak pernah seakur ipar di luar sana. Wwwiiiuuuu....wwiiiiuuu.... Saat sedang seru-serunya bersenda gurau selepas makan malam, secara tiba-tiba semua orang terdiam saat mendengar sirine polisi berdenging dari kejauhan. Suara itu membuat degup jantung siapa pun bertambah cepat dan berharap segera melewati area perumahan tersebut. Sayang, bukannya menjauh, sirine itu justru terdengar semakin dekat dengan telinga mereka dan tanpa sadar meningkatkan rasa waspada dari setiap orang. Ketiga anak-anak yang ada di tengah-tengah orang dewasa itu juga segera menghampiri orang tua masing-masing. Mereka seperti menyembunyikan dirinya saat suara sirine polisi justru berhenti didepan rumah dan derap langkah mungkin puluhan orang terdengar menggema. Semua orang saling berpandangan bingung. Degup jantung mereka seperti memiliki pengeras suara dan siap melompat kapan pun saking cepatnya. Keringat dingin meluncur bebas di punggung setiap orang, menandakan betapa cemasnya mereka. “Ada apa ini?” Gumam Jani sambil mencengkeram erat lengan Hastanto. Belum sempat ada yang menanggapi, bel di rumah mereka berbunyi nyaring, seperti sebuah alarm kematian yang membawa sang malaikat maut semakin mendekat. “Pa,” lirih Jani waswas. “Bi, buka pintunya dan lihat siapa yang datang,” pinta Hastanto pada salah satu asisten rumah tangganya yang segera dituruti. “Ma, Pa, Tiara takut,” cicit seorang gadis kecil berusia lima tahun yang tengah memeluk sang mama. Arsya dan Citra mendekap erat putri mereka serta berusaha memberikan ketenangan pada gadis kecil itu. Hal serupa juga dilakukan oleh kakak Citra, Barrack serta sang istri pada kedua anak mereka. Kegugupan semakin bertambah saat sang asisten rumah tangga yang Hastanto perintahkan membuka pintu tadi kembali ke ruang tengah dengan tergopoh. Tak sendirian, dibelakangnya terdapat beberapa pria berseragam kepolisian, lengkap dengan senjata dan borgolnya. Anak-anak semakin bersembunyi ketakutan. “Ada apa ini?” Tanya Hastanto mewakili keluarganya dan menghampiri seseorang yang sepertinya adalah kepala polisi. “Komandan Radeva? Ada perlu apa kemari?” Kali ini Arsya bangkit dari posisinya dan bergerak mendekat pada pria yang menjadi teman dekatnya tersebut. Suasana terus tegang saat setiap anggota polisi yang berjumlah hampir sepuluh orang itu tak segera menjawab. Komandan Radeva bahkan tampak memandang Arsya dengan raut tak bisa ditebak. Sebuah ekspresi yang selama kedua pria itu saling mengenal belum pernah Arsya lihat sebelumnya. “Komandan,” panggil Arsya sekali lagi dengan tenang. Pria yang usianya sebaya dengan Arsya itu menatap seorang anak buahnya. Ia lalu memberikan isyarat dengan gerakan dagunya yang samar. Satu orang anggota polisi yang dalam posisi siap itu mengangguk hormat, lalu mengeluarkan benda yang menjadi momok setiap orang, borgol. Dua polisi lain dengan tingkatan lebih juniior mengikut dibelakang dan ketiganya berhenti dihadapan Arsya yang kebingungan. “Mama,” lirih Tiara yang hampir tidak terdengar di telinga Citra yang tercekat saat sang suami harus berhadapan dengan polisi-polisi tersebut. “Tuan Arsyanendra Adhyaksa, anda kami tahan atas tuduhan pembunuhan berantai,” ucap polisi yang membawa borgol sambil menunjukkan surat perintah penangkapan pada Arsya. Kalimat itu terdengar seperti petir yang menggelegar di tengah siang hari yang terik. Jani dan Citra sempat memekik dengan detak jantung yang seolah berhenti, sementara anggota keluarga lainnya terkesiap dan mematung. Napas Arsya tercekat dan kepalanya seperti terasa kosong. Sungguh, ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi hadapannya saat ini, sampai kemudian ia merasakan tangannya diraih oleh polisi yang akan memborgolnya. “APA-APAAN INI?” Teriak Arsya tidak terima. Dua polisi muda yang siaga segera menahan pergerakan Arsya agar senior mereka bisa melakukan tugasnya meski dosen berusia tiga puluh tahun itu terus memberontak dan berteriak. “KOMANDAN DEVA, APA YANG TERJADI?” Tanya Arsya terus berusaha lepas dari cengkeraman para polisi. Namun, pria itu tersudut, ia tak bisa berbuat apa-apa, sementara nama yang dipanggilnya tadi hanya berpaling tak ingin melihat. “Anda memiliki hak untuk tetap diam. Apa pun yang anda katakan dan lakukan, dapat digunakan melawan anda di pengadilan. Anda memiliki hak untuk berbicara dengan seorang pengacara. Jika anda tidak mampu menyewa seorang pengacara, akan ditunjuk satu pengacara umum untuk anda. Mari ikut kami ke kantor polisi!” Seru sang polisi setelah mengunci borgolnya di pergelangan tangan Arsya dan menyampaikan hukum Miranda pada pria itu. “Kenapa kalian memperlakukan saya seperti ini?” Tanya Arsya melawan saat ia digiring keluar. Kali ini, Komandan Radeva mendekati teman dekatnya tersebut dan menatap Arsya prihatin. Ia menepuk bahu Arsya pelan lalu menyapukan pandangannya pada keluarga Arsya yang masih membatu. “Spesimen DNA yang ditemukan pada korban pembunuhan berantai cocok dengan DNA milikmu dan kamu saat ini menjadi tersangka utama,” jelas Komandan Radeva. Semua keluarga Arsya semakin menegang, pun dengan pria itu sendiri yang tidak mempercayai pendengarannya. “Mas Arsya,” pekik Citra dengan kedua mata membola dan lengan yang masih memeluk erat putrinya. “Gak mungkin,” sangkal Arsya sambil menggeleng kuat. “Silakan lakukan pembelaan di kantor,” lanjut Komandan Radeva mengisyaratkan anak buahnya untuk menggelandang Arsya keluar rumah. “Gak! Aku gak bersalah! Aku gak tahu apa-apa! Kalian sudah salah menangkap orang!” Racau Arsya yang terus diseret keluar. Tangisan Tiara, putrinya dalam dekapan sang istri yang juga sesenggukan meruntuhkan dunia Arsya. “Sayang, ini gak benar! Aku gak ngelakuin apa-apa. Aku bukan seperti yang mereka tuduhkan!” Teriakan Arsya semakin terdengar menjauh seiring dengan menghilangnya tubuh pria itu dari ruang keluarga. Para polisi yang bertugas juga segera membubarkan diri, kecuali komandan Radeva yang memperlihatkan tatapan prihatinnya pada anak dan istri Arsya. “Apa yang terjadi?” Tanya Hastanto mewakili keluarga mereka, meminta konfirmasi. “Bukti-bukti kekerasan dan pelecehan seksual terhadap korban pembunuhan berantai semua menyudutkan menantu bapak. Kami hanya melakukan perintah atasan untuk menangkap Arsya. Untuk kejelasannya, kami masih harus melakukan penyidikan dengan tersangka,” jelas Radeva tanpa sedikit pun mengalihkan pandangannya dari Tiara yang meraung melihat sang papa ditangkap. “Maksud bapak, adik ipar saya adalah seorang penjahat?” Tanya Barrack menyuarakan rasa penasarannya. “Kami harus menyelidiki hal ini lebih lanjut sebelum meningkatkan status tersangka menjadi terdakwa. Tetapi tidak menutup kemungkinan jika Arsya bisa di bebaskan,” jawab Komandan Radeva. “Bukankah bapak tadi bilang DNA pelaku sama dengan DNA Arsya? DNA tidak mungkin salah ‘kan?” Kejar Barrack. “Tidak ada yang pasti sebelum palu putusan diketuk oleh hakim,” Komandan Radeva tersenyum menenangkan Citra serta Tiara. “Segera hubungi pengacara untuk mendampingi Arsya! Saya permisi.” Selepas mengucapkan kalimat itu, Komandan Radeva berbalik dan meninggalkan suasana tegang keluarga Hastanto. Ia kemudian segera menyusul anggotanya yang sudah lebih dulu membawa Arsya ke kantor untuk proses penyidikan. Sebuah helaan napas panjang mengiringi rasa lelah yang baru saja akan dimulai. =====

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Marriage Aggreement

read
81.5K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
861.5K
bc

My Devil Billionaire

read
94.9K
bc

Menantu Dewa Naga

read
177.7K
bc

Scandal Para Ipar

read
695.2K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
626.4K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook