Akhirnya, perangkap aneh itupun benar-benar sudah terlepas dari kaki Thomas. Darah pun mulai melumuri kaki Thomas.
“Cepat bersihkan lukanya sebelum infeksi!”
Mendengar perintah dari Samuel itu, Gabriella dan Elizabeth mulai membersihkan luka Thomas. Sedangkan Kimberly ia menyiapkan obat-obatan seperti antiseptik dan perban. Saat luka itu dibersihkan, Thomas selalu berteriak dan mengeluarkan kata-kata u*****n. Ia sangat kesakitan.
Entahlah. Perangkap itu sangat aneh bentuknya. Berbahan dari besi, saat ada yang menginjak perangkap itu, perangkap itu otomatis melilit sesuatu yang menginjaknya. Tidak bisa dibayangkan jika perangkap itu melilit seekor binatang. Bukankah binatang akan sangat kesakitan? Sebenarnya, menggunakan perangkap hewan seperti ini ilegal dilakukan dimanapun, terlebih lagi di Parama. Namun sayangnya, masih ada oknum-oknum yang tetap melakukan perbuatan ilegal itu.
Di Little Forest memang tempat dijadikan untuk perkemahan, dan selalu ada tim yang merawat hutan ini. Sayangnya, hal itu dilakukan hanya di area perkemahan saja. Di area yang tidak digunakan atau di tempat liar seperti ini kurang diperhatikan. Padahal, banyak orang yang suka menjelajah hutan. Jika hal seperti Thomas terjadi lagi, bukankah itu akan menimbulkan kerugian dan menyengsarakan oranglain?
Saat ini, kaki Thomas sudah bersih dari luka. Kimberly mulai memberikan antiseptik ke bagian kaki Thomas yang luka. Saat memberikan antiseptik itu, Thomas mengerang dengan keras. Bagian lancip yang menusuk kakinya tadi menyebabkan rasa sakit yang luar biasa. Kaki Thomas seperti mati rasa. Hanya rasa nyeri saja yang tersisa. Setelah memberi antiseptik itu, Kimberly membalutkan perban ke kaki Thomas.
“Tommy, apakah kau baik-baik saja?” Tanya Samuel memastikan kondisi Thomas saat ini. Sebenarnya, Samuel bisa melihat dari raut muka Thomas kalau dia sudah sangat lemas. Ia terkapar di pangkuan Samuel.
“Huh…hmm…ya….” Ucap Thomas dengan nafas yang tersenggal-senggal.
“Syukurlah.”
“Sepertinya, di sini banyak perangkap. Tidak mungkin perangkap hanya ada satu saja, pasti ada yang lain.”
“Betul, emang sialan orang yang memberikan perangkap di hutan. Hewan-hewan dibiarkan hidup bebas di sini tetapi orang-orang seperti itu malah menangkap mereka.”
“Tommy, apakah kau masih kuat untuk berjalan?” Tanya Dylan. Pasalnya, untuk mencapai ke basecamp, masih membutuhkan beberapa waktu lagi.
Thomas melirik jam tangan yang ada di tangan kirinya. Pukul sembilan malam. Sebelumnya, mereka meminta tengah malam harus sudah sampai di basecamp. Thomas sesungguhnya merasa tidak mampu untuk berjalan saat ini. Namun, ia tidak mau menjadi beban bagi tean-temannya. “Ya…aku sanggup.”
“Tidak, kita harus menunggu Tommy pulih dahulu.”
“Tapi, Chan…jika kalian menungguku untuk pulih, itu akan membutuhkan waktu yang lama.” Thomas berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya. “Bukankah kalian menginginkan tengah malam sudah sampai ke basecamp? Aku tidak ingin menjadi beban bagi kalian.”
“Tommy…tidak, menurutku kita harus menginap di hutan ini malam ini.”
“Ya, aku setuju dengan Gaby. Tidak mungkin Tommy akan berjalan pasca kejadian tadi. Pasti rasanya sakit sekali.”
Elizabeth pun ikut memberi usulan. “Iya, kita harus bermalam di hutan ini. Seperti yang dikatakan Chan tadi, pasti banyak perangkap di sini. Ini sudah malam hari, gelap, dan semak-semak di sini sangat rimbun. Kita tidak tidak tahu apakah nanti akan ada korban lagi atau tidak. Lebih baik kita menunggu pagi saja, bagaimana?”
Mereka semua mengangguk mendengar usulan dari Elizabeth. Mereka malam ini akan menginap di Little Forest.
“Baiklah, kita akan mendirikan tenda di sekitar sini. Namun, Tommy kau harus berjalan beberapa meter untuk mencari tempat yang layak untuk didirikan tenda. Tidak mungkin kita akan mendirikan tenda di sini. Pasti akan ada tempat yang tidak ada semak-semaknya.”
“Baiklah, Sam. Aku dan Dylan akan membantu Thomas berjalan. Kau yang akan mencari tempatnya.”
Dylan dan Chan mulai mengangkat Thomas supaya ia bisa berdiri. Mereka membopong Thomas dan berjalan perlahan. Kaki Thomas sebelah kiri ia usahakanuntuk tidak menyentuh tanah. Jika tersenggol sikit saja, rasa sakitnya akan bertambah.
“Tommy, kau masih kuat untuk berjalan?” Tanya Dylan untuk memastikan.
“Ya, asal kalian tidak menyenggol kaki kiriku aku akan baik-baik saja. Sekali kau senggol atau kau sentuh aku akan mati tiba-tiba.”
Chan dan Dylan secara bersamaan melirik kearah Thomas. “Disaat seperti ini kau masih saja bergurau, huh?”
“Ya, lagipula kenapa kalian terus menerus bertanya keadaanku? Aku baik-baik saja.”
“Kau tidak ingat beberapa menit yang lalu kau merintih kesakitan dan mengeluarkan berbagai u*****n?”
“Tentu saja tidak ingat. Perangkap sialan itu telah membuatku mati seketika. Tapi tenang saja, sekarang aku hidup lagi.”
Samuel yang berjalan paling depan mendengarkan mereka. lalu ia menoleh kearah tiga laki-laki itu. “Tommy, kau…”
Belum sempat bertanya lebih lanjut, namun Thomas sudah tahu apa yang akan dikatakan oleh Samuel. “I’m ok, baby. Don’t worry about me!”
Ucapan Thomas itu membuat tiga perempuan yang ada di depannya merasa geli. Samuel dan Thomas seringkali melemparkan kata-kata romantis. “Jika kalian saling suka, aku akan keluar dari grup Vriends ini!”
“Ya, aku juga sama seperti Beth. Aku akan keluar.”
“Me too.”
“Sudah-sudah. Aku masih menyukai wanita. Tidak mungkin aku akan menyukai pria, apalagi pria itu seperti Tommy,” Ejek Samuel secara halus.
“Sudahlah. Mari kita lanjutkan perjalanan. Sudah hampir larut.”
Mendengar perkataan dari Dylan, mereka pun melanjutkan perjalanan mereka.
Tidak lama kemudian, Samuel menemukan tempat yang menurutnya layak untuk didirikan tenda. Tempatnya tidak terlalu luas, tetapi jika mereka mendirikan tiga tenda di sana, itu masih cukup. Semak-semak di situ juga tidak ada.
“Aku menemukan tempatnya!”
Mereka pun girang sekali. Dengan cepat, mereka menuju ke tempat yang dimaksud oleh Samuel.
“Oke, mari kita dirikan tenda di sini. Aku sudah mengecek keadaan di sini, dan aman tidak ada perangkap atau yang lainnya.”
Dylan dan Chan mendudukkan Thomas di sebuah batang kayu yang lumayan besar.
“Kau diam saja di sini. Biar aku yang lainnya yang akan mendirikan tenda. Jangan coba-coba berdiri!” Chan memberikan peringatan kepada Thomas.
“Ya…” Thomas hanya bisa menyaksikan teman-temannya sibuk mendirikan tenda. Sedangkan ia hanya duduk dengan kaki sebelah kiri yang masih terasa sakit.
Tidak butuh waktu lama, tenda itu sudah didirikan. Mereka menyusun tas-tas mereka supaya tidak memakan tempat.
Chan dan Dylan kembali membopong Thomas untuk menuju ke tenda. Sedangkan Samuel mencari kayu bakar di sekitar area mereka mendirikan tenda. Samuel akan membuat api unggun dengan maksud supaya tidak ada binatang buas yang mendatangi mereka dan sebagai penghangat badan. Angina malam ini lumayan kencang. Hawa dingin menusuk kulit mereka. terlebih lagi Thomas. Satu kaki kirinya tidak bisa dikenakan sepatu dan kaos kaki. Ditambah celananya telah dipotong setengah. Rasa dingin semakin menjadi-jadi.
Setelah mencari kayu lalu ia menyalakan api unggun. Setelah itu, Samuel berpamitan untuk tidur dahulu. Ia perlu menjernihkan otaknya dan merileks-kan badannya. “Selamat malam, aku tidur dahulu, ya.”
“Malam, Sam. Have a nice dream!”
“Sleep well.”
“Selamat tidur!”
Samuel hari ini satu tenda dengan Chan. Namun, Chan masih ada di luar bersama yang lainnya. Sebelum tidur, Samuel berdoa supaya esok hari Thomas segera membaik dan semoga besok mereka akan segera menemukan Nicholas.
Setelah itu, ia tertidur dengan lelap.
***
Chan, Dylan, Gabriella, Kimberly, dan Elizabeth kini berada di luar tenda. Mereka menghangatkan tubuh mereka di depan api unggun. Sedangkan Samuel dan Thomas sudah masuk ke enda masing-masing. Mereka berpamitan untuk istirahat terlebih dahulu.
“Baru satu hari mencari keberadaan Nick, tapi tantangannya sudah berat saja.”
“Ya, begitulah. Pasti disetiap masalah pasti ada masalah yang beranak pinak.”
“Pertama, Nick menghilang. Lalu, Samuel merasa bersalah sampai dia hampir stress. Dan sekarang, Tommy terkena musibah.”
Mereka merenungkan apa yang telah terjadi tepat satu hari hilangnya Nicholas. Meskipun baru satu hari melakukan pencarian Nicholas, namun masalah selalu datang silih berganti. Padahal, mereka tidak tahu kapan pencarian ini akan berakhir. Mereka selalu berdoa dan berharap jika esok hari mereka akan menemukan Nicholas. Mereka juga tidak tahu apakah itu akan terjadi atau tidak. Namun, mereka selalu percaya jika keajaiban Tuhan akan selalu ada.
Mereka saling terdiam dan menatap api unggun yang ada di depannya. Mereka merasa lelah. Namun, mereka tidak berasa mengantuk. Pikiran mereka dipenuhi rasa bersalah dan rasa khawatir. Mereka juga mengetahui pasti Samuel dan Thomas sama seperti mereka. Tidak bisa tertidur karena rasa bersalah dan khawatir yang melanda mereka.
Gabriella memeriksa ponselnya yang hampir sehari ini tidak ia buka. Tidak ada sinyal. Namun, ada satu nama yang membuatnya terdiam cukup lama.
Mama.
Ternyata ibu Gabriella mengirimkan sebuah pesan kepadanya beberapa jam yang lalu. Isi pesannya kurang lebih menanyakan kabar Gabriella dan teman-teannya dan juga menanyakan kapan ia akan kembali ke rumah. Gabriella merasa ia tidak bisa menjawab pesan itu, namun, ia juga tidak ingin ibunya itu khawatir. Akhirnya, ia membalas pesan ibunya.
‘Kabar Gaby dan teman-teman baik. Mama, mungkin aku akan menginap di rumah Kimberly bersama teman-teman dalam beberapa waktu ke depan.’
Kurang lebih isi pesan yang Gabriella kirimkan ke ibunya seperti itu. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya terjadi kepada ibunya. Gabriella tidak ingin ibunya merasa khawatir dengan keadaannya.
Kimberly yang sedang duduk di samping Gabriella mengetahui sikap Gabriella yang sedikit aneh. Lalu, Kimberly menanyakan sesuatu kepada Gabriella, “Kau kenapa, Gab? Ada pesan dari siapa?”
Gabriella menoleh kearah Kimberly. “Dari mama. Mama mengatakan bagaimana keadaanku dan keadaan kalian. Dan juga…mengatakan kapan aku akan kembali ke rumah.”
Tiba-tiba mereka yang semula diam dan memperhatikan api unggun menjadi terfokus keaarah Gabriella. Mereka penasaran dengan balasan dari Gabriella.
“Lalu, kau balas bagaimana?” Tanya Chan yang penasaran.
“Apakah kau mengatakan hal yang sesungguhnya terjadi?”
“Tidak. Tidak mungkin aku mengatakan yang terjadi kepada mama. Pasti ia akan sangat terkejut dan khawatir. Aku tidak ingin itu terjadi.”
Mendengar balasan pesan dari Gabriella untuk mamanya itu menimbulkan satu permasalahan bagi masing-masing dari mereka. Mereka bahkan belum memberitahu orangtua mereka mengapa mereka belum pulang juga. Padahal, mereka sudah mengatakan kalau mereka akan kembali siang hari.
“Aku bahkan belum mengabari kedua orangtuaku.”
“Sama, akupun juga belum menghubungi mereka sejak kemarin. Pasti mereka khawatir.”
Elizabeth langsung membuka ponselnya. “Tidak ada sinyal, dan tidak ada pesan. Ah, aku lupa. Aku broken home. Orangtuaku tidak peduli denganku. Mereka hanya sibuk dengan kekasih mereka.”
Mereka menatap kasihan kepada Elizabeth. Diantara mereka semua, Elizabeth memiliki masalah keluarga yang pelik. Mungkin bagi beberapa orang yang mellihat Elizabeth, mereka pasti menganggap jika Elizabeth seperti seorang putri raja karena memiliki paras cantik dan kaya raya. Namun siapa sangka, dibalik paras cantik dan kekayaannya ia merupakan anak yang sering tidak diurus orangtuanya. Kedua orangtuanya cerai sejak Elizabeth masuk Sekolah Menengah Atas. Ayah Elizabeth memergoki ibunya pergi dengan seorang milyader di sebuah hotel. Semenjak saat itu, mereka langsung memutuskan untuk cerai. Kini, Elizabeth tinggal seorang diri di rumah ayahnya. Ayahnya sibuk bekerja ke luar kota. Sedangkan ibunya sering berpindah-pindah rumah sesuai dengan kediaman kekasihnya.
Elizabeth seringkali merasa iri dengan teman-temannya yang memiliki keluarga yang lengkap. Selalu menanyakan kabar anaknya, memperhatikan anaknya, dan selalu ada untuk anaknya. Sedangkan Elizabeth tidak pernah merasakan itu. Ia hanya merasakan hidup di rumah mewah sendirian dan kekayaan yang menurutnya tiada artinya.
“Beth…” Kimberly langsung memeluk Elizabeth. Ia yakin jika Elizabeth merasa sedih saat ini.
“Jangan sedih, oke? Kita ada bersamamu,” ucap Dylan.
“Terimakasih, ya, sudah mau menjadi sahabatku. Jika tidak, entahlah bagaimana hidupku. Pasti sangat suram.”
Mereka tersenyum kearah Elizabeth. Mereka yakin jika Elizabeth adalah perempuan yang kuat. Buktinya, ia masih melanjutkan hidup hingga sekarang.
Chan tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya. “Malam semakin larut. Lebih baik kita beristirahat. Besok kita harus kembali mencari Nick lagi.”
“Baiklah.”
Mereka pun masuk ke dalam tenda masing-masing. Meskipun sudah berada di dalam tenda, dingin masih saja menusuk kulit mereka. Mereka memejamkan matanya. Perlahan, mereka terlelap dalam mimpi masing-masing.
***
To be continued