Proses operasi telah berjalan sukses, Liza dipindahkan ke dalam ruang inap, aku sangat lega dengan itu, dan omong-omong, Rumah Sakit Galleria adalah bangunan terbesar pusat medis di Kota Soulvia. Ini adalah bangunan besar lima lantai, mungkin jika ada pasien yang frustrasi dengan keadaan tubuhnya yang tak kunjung membaik atau dia bosan untuk hidup, orang itu bisa naik ke atas atap dan melompat dari atap sana. Aku yakin jika kepala yang jatuh lebih dulu, orang yang melompat akan mati. Oh apa sih yang kupikirkan?
Setelah hampir satu jam perjalananーdengan bus dan sisanya kutempuh dengan cara jalan kaki, maka di sinilah aku, aku sudah sampai di halaman rumah sakit yang sekarang terlihat lebih besar dan cantik. Saat aku datang terakhir kali ke sini, keadaanku sedang kalut dan tak memiliki waktu untuk memperhatikan keadaan bangunan ini. Sekarang aku dapat melihatnya dengan jelas, semuanya tampak cantik. Tapi aku tak punya waktu untuk memandangi pemandangan ini, Liza sudah menungguku, mungkin.
Aku memasuki rumah sakit ini, rasanya tak nyaman berada di dalam sini, entah kenapa. Aku sama sekali tak tahu alasannya, yang jelas ini memang tak nyaman dan aku tak suka dengan keadaannya. Setelah mendapat nomor kamar dan lantai dari pesan yang dikirim padaku, aku segera pergi ke tempat yang dituju, aku segera mendapat nomor kamar tempat Liza dirawat. Itu bernomorkan 121.
Memerlukan waktu sedikit lama sejak memasuki rumah sakit hingga tiba di depan pintu masuk kamar inap ini, tapi inilah aku, gadis muda yang menjenguk temannya yang sakit.
Aku membuka pintu mendorongnya tanpa permisi pada orang yang tinggal di dalam ruangan itu.Kulangkahkan kaki lalu segera masuk sebelum kemudian menutup pintu. Oh dan waktu besuk masih lama, tapi aku ingin buru-buru menemuinya, jujur saja ketika melihat keadaannya yang memprihatinkan waktu itu, kondisinya membuatku sangat khawatir.
Saat ini tampak Liza memang sudah sadarkan diri, kulihat dia sedang duduk bersandar di atas ranjangnya sambil membaca sebuah koran, ada perban melapisi kepalanya. Kuharap ia tak mengalami geger otak atau hal yang lebih buruk lagi. Tapi sepertinya dia memiliki keadaan yang jauh lebih baik, wajahnya tampak baik-baik saja, dia tak memiliki ekspresi yang kesakitan atau seperti sedang menderita.
Aku segera memanggilnya, karena sejak aku masuk, Liza sama sekali tak bergerak dari posisinya. “Liz.” Ketika namanya terpanggil, Ia melemparkan koran itu lalu menoleh ke arahku, tapi masih belum mengatakan apa-apa.
“Hai, kau sudah merasa lebih baik?” tanyaku agak merasa bersalah. Karena bisa saja ini sampai terjadi akibat dari konflik gila antara aku dan para makhluk menyeramkan itu.
“Ya, aku sangat baik-baik saja. Aku bahkan bisa lari maraton sambil menggendongmu.” Dia menjawab dengan melontarkan lelucon. Ucapannya jelas sangat berlebihan, mana mungkin orang yang masih berada di atas ranjang rawat mampu melakukan lari maraton sambil menggendong orang.
“Bagus, tampaknya tak ada yang terlalu parah.” Aku segera saja menjuru ke arahnya.
“Dengan perutku yang berlubang dan kepala bocor, ya aku sangat-sangat merasa luar biasa. Hanya saja kau pasti tak ingin merasakannya, itu benar-benar tak nyaman.” Ia membalas mengatakan semua yang terdapat pada tubuhnya. Aku mengangguk setuju dengan apa yang dia katakan, tak secara harfiah setuju juga, sih.
“Sekarang sih sudah tak sakit akibat obat penghilang rasa sakit. Tapi percayalah, saat pertama mendapatkannya. Itu tak akan membuatmu tahan.” Dia segera mengajukan keluhan-keluhan yang dideritanya, oke sepertinya itu bukan hal yang bisa dibilang baik-baik saja, meski sebenarnya itu bukanlah apa-apa.
Sebenarnya tak lama kau memiliki lubang di perut, aku juga sama sepertimu, perutku kena gunting dan itu melubangi organ dalam cukup parah untuk membuatku sekarat. Bahkan aku sampai kekurangan darah, ya, tentu saja aku tahu rasanya seperti apa perut dilubangi dan darah keluar banyak dari lubang luka itu. Tapi tentu saja aku tak akan mengatakan dan menyampaikan hal itu, sebagai gantinya aku hanya tersenyum kaku padanya, aku tak mungkin berkata bohong untuk hal yang sepele juga. Oh tidak, perut berlubang dengan gunting sebenarnya bukan hal yang sepele, tapi tetap saja aku tak akan mengatakannya.
“Itu pasti sangat buruk rasanya, kuharap obat pereda sakitnya bekerja dengan baik.” Aku membalas dengan nada yang prihatin, jujur saja aku memang khawatir dengan keadaannya. Saat melihat dia sudah banyak bicara dan tampak baik-baik saja, aku merasa benar-benar lega.
“Ya, itu bekerja sepenuhnya. Aku bisa bicara normal seperti ini, bahkan sempat lupa jika aku mengalami p*********n sampai perut berlubang, tentu saja aku benar-benar lupa sampai kau datang dan membuatku mengingatnya lagi.” Dia menjawab dengan tenang dan tampak baik-baik saja, gelagatnya tak seperti seorang yang tengah kesakitan dengan luka berlubang pada kepala dan perutnya. Seperti dia tak pernah mengalami kecelakaan tentunya. Aku merasa seperti sedang berbicara dengan Liza yang biasanya.
“Oh maaf,” kataku dengan senyum di bibir. Ia mengganti raut muka yang suram dan kesal saat memandang ke sekitar tubuhku, aku juga menoleh ke arah tempat ia memandang seolah mencari sesuatu di sekelilingku. Aku jadi bingung saat dia mengerutkan kening. Apa yang dia cari? Apakah ada sesuatu yang hilang?
“Apa ada sesuatu yang kau butuhkan? Kau kehilangan sesuatu?” tanyaku padanya, aku benar-benar tak tahu apa yang dicarinya. Dia mengerutkan kening dengan pertanyaanku. Oke, aku jadi semakin penasaran.
“Jadi, kenapa kau tak membawa apa-apa ke sini? Halo! Ada orang sakit di sini, dan kau tak membawa apa-apa? Kau datang ke sini untuk membesuk atau menagih utang?” Ia bertanya dengan protes padaku, aku mendadak sadar dengan apa yang dia cari di sekitarku. Benar juga, aku bahkan lupa untuk membawa bingkisan dan sesuatu untuk dihadiahkan pada Liza. Aku segera memukul kening dengan kebodohan itu.
“Astaga, kenapa aku sampai lupa. Huh, maaf. Aku akan segera membelinya untukmu.” Aku agak panik dan segera saja berpikir untuk pergi. Baru saja aku hendak melangkahkan kakiku untuk berjalan ke luar ruangan, telingaku menangkap suara Liza yang segera saja tertawa lepas sampai terpingkal. Segera saja kepanikanku menghilang. Aku menoleh ke arahnya dan segera saja kupasang muka kesal dan muram, dia menjahiliku.
“Jangan tertawa!” Aku mendengus kesal padanya.
“Aw, s**l. Ternyata tertawa terlalu banyak tetap bisa membuat perutku sakit.” Liza segera berhenti tertawa, ia langsung memegangi perutnya yang terasa sakit karena terlalu banyak tawa akibat menertawakanku, ia agak meringis ketika memegangi perutnya, sedikit senyum tersungging di bibirku.
“Oh, rasain tuh! Itu akibatnya jahil kepadaku.” Aku membalas dengan rasa puas.
‘’Hei, dari mana kau belajar mengutuk orang yang sedang sakit? Itu kejahatan yang tak termaafkan, aku harus menuntutmu ke pengadilan.” Ia tak terima dengan umpatanku, dan apa maksudnya itu? Dia akan menuntutku ke pengadilan? Aku terkikik pelan dengan apa yang dia ucapkan.
Segera saja aku menggelengkan kepala sebelum kemudian bergumam, “Ada-ada saja. Mana ada tuntutan seperti itu.” Aku mengambil sebuah apel bersama dengan pisaunya, lalu duduk di samping Liza.
“Tentu saja, itu aturan baru yang tadi kuajukan ke pengadilan.”
“Sepertinya dosis obat pereda sakitnya terlalu banyak, itu membuatmu sedikit betingkah berlebihan, mungkin aku bisa membantu membuat tubuhmu sedikit bocor untuk mengeluarkannya sebagian.” Aku berekspresi sehoror mungkin dengan gaya psikopat yang memegangi pisau untuk menakuti calon korbannya–kuharap ekspresiku sudah cocok dan meyakinkan. Seketika saja Liza bergidik ngeri saat melihat apa yang kulakukan, tampaknya aku berhasil.
“Itu menyeramkan, kau tahu. Apalagi kau mengatakannya sambil memegang pisau.” Ia agak mundur dari posisi duduknya, uh apa dia takut sungguhan padaku? Sepertinya aku berbakat.
“Itu keahlianku.” Aku membalas dengan bangga sambil memejamkan mata saat mengatakan itu, menyanjung diri.
“Menjadi pelawak?” tebaknya, tebakan yang benar-benar sembarangan dan sekenanya. Apa-apaan itu? Apa dia ingin kubuat bocor sungguhan? Aku memasang wajah sebal padanya karena kalimat itu.
“Apa hubungannya?!” tanyaku dengan kesal. Ia kembali tertawa.
“Sebenarnya apa yang telah terjadi, polisi belum juga menemukan titik terang meski sudah menggunakan kamera yang tak sengaja menangkap insiden yang kau alami.” Aku memulai topik serius, menanyakan pertanyaan yang sudah terasa sangat lama kupendam dan kusimpan ini, rasa penasaran sangat menyiksaku. Liza segera berhenti dan keadaan ruangan ini hening sesaat. Aku menunggu jawabannya tanpa mengatakan apa-apa.