Kami beristirahat sejenak untuk melepas lelah. Sebenarnya aku yang kelelahan, Chadrish tampak baik-baik saja, bahkan dari keadaan yang kulihat saat ini dari dirinya, ia sangat sehat sehingga mampu berlari sejauh berkilo-kilo meter dengan menggendongku. Seperti itulah jika dinilai dari penampilan dan keadaan tubuhnya yang berbanding terbalik denganku.
Saat ini kami berada di bawah pohon tinggi yang ramping, aku sendiri duduk di atas batang pohon yang tumbang, lumut kering pada kulit pohon membuat pantatku sendikit nyaman duduk di sini. Kami tak semata duduk dan beristirahat di sembarang tempat, sebelumnya Chadrish sudah memastikan terlebih dulu jika tempat yang akan kami gunakan sudah aman atau tidak.
“Omong-omong, ke mana perginya yang lain? Salah mendarat juga atau selamat?” Pertanyaan tersebut terlontar begitu saja dari mulutku, untuk apa juga aku harus peduli dengan mereka ya?
Untuk sesaat, Chadrish tak menjawab sehingga aku mengira jika dia tak mendengarkanku. Maka segera saja kutolehkan tatapanku ke arahnya, aku hendak buka suara untuk mengulang pertanyaanku, tapi ia sudah lebih dulu membuka mulut untuk berbicara.
“Mungkin mereka sampai di tempat tujuan, mungkin juga tidak. Kecelakaan ini memiliki beberapa kemungkinan, sesuatu yang tak tak dapat diperkirakan.” Dia memberikan jawaban yang tak pasti. Ya, aku dapat memaklumi jika dia hanya menerka dan mengira-ngira ketidakpastian. Pastinya dia juga tak tahu apa yang terjadi dengan teman-teman mereka.
“Jadi, menurutmu bukan hanya kita saja yang terpisah? Tapi yang lain juga mungkin saja tak muncul di tempat yang tak seharusnya?” tanyaku.
“Kemungkinan yang lain juga mendarat di tempat yang salah. Semoga saja bukan tempat yang lebih berbahaya dari ini.”
“Aku tak bisa membayangkan ada tempat yang lebih berbahaya dari ini.” Aku membalas dengan pelan, tatapanku teralih darinya karena aku memperhatikan keadaan sekitar. Tak dapat kubayangkan jika ada yang lebih berbahaya dan menakutkan lagi dari tempat ini.
“Ya, mungkin tidak. Tapi tempat memalukan bisa bukan?” tanyanya sehingga refleks saja membuatku menoleh ke arahnya, dia tersenyum dengan segurat misteri atau mungkin segurat kejahilan.
“Tempat memalukan? Seperti apa?” tanyaku yang seharunya tak perlu melontarkan pernyataan semacam itu.
“Emmm ... contohnya toilet. Bisa saja salah satu di antara kita mendarat di pangkuan lawan jenis yang sedang buang air ....”
“Jangan dilanjutkan. Itu langsung terbayang olehku.” Segera saja aku menyela perkataannya, aku ingin muntah dan jijik dengan itu. Dia tersenyum jahil dan saat aku mengalihkan tatapan darinya, dia tertawa lepas, begitulah kedengarannya, suara tawanya terdengar sangat nikmat dan puas. Aku menyesal sudah bertanya, serius.
“Hahahaha.”
“Oke, dengan kata lain. Pendaratan yang acak ini bisa membuat kita muncul di mana saja.” Setelah aku meludah, aku kembali memandangnya, dia juga sudah berhenti tertawa.
“Ya, jika ada yang berhasil. Seharusnya mereka akan memberi laporan, terlepas dari apakah mereka akan dihukum atau tidak, jadi kita bisa asumsikan jika bantuan mungkin saja akan segera datang pada kita,sayangnya kita tak tahu kapan tepatnya. Intinya, kita hanya perlu menunggu, dan selama menunggu kita harus bertahan menghadapi semuanya.” Ia berbicara panjang lebar.
“Terdengar seperti aku adalah orang yang istimewa.” Aku bicara dengan agak ketus mengejek.
“Tentu saja, Anda istimewa. Dan sudah jelas jika keselamatanmu sangat penting, maka dari itu seharusnya bantuan datang lebih cepat dari yang seharusnya.”
“Kenapa aku sangat penting?” tanyaku yang penasaran, semoga saja kali ini dia tak menjawab pertanyaan yang seenaknya dan sekenanya.
“Aku tak memiliki jawabannya, kami sama sekali tak diberi tahu rincian tugas ini, hanya perlu membuatmu aman dan selamat, itu saja yang harus kami lakukan.” Ia membalas seperti sedang menggumam pelan.
Oke, aku kecewa dengan jawabannya. Kusisir rambutku dengan tangan dan agak kusut rasanya, tapi tak sampai membuat tanganku tersangkut di sela-sela rambut.
“Tugas macam apa itu, terlalu aneh dan tak menyenangkan.” Aku mengerling.
“Meski aku tahu sekalipun, tak ada alasan bagiku untuk memberitahumu.” Dia menambahkan, seolah apa yang kutanyakan ini merupakan arsip negara saja, kenapa harus main rahasia-rahasia segala? Menyebalkan.
“Ya, terserahlah. Aku juga sudah tak tertarik.” Maka setelah ini, keadaan menjadi hening. Selama beberapa detik lamanya, tak ada yang berbicara lagi di antara kami, aku sendiri tak memedulikan keadaan sekitar, aku lebih tertarik untuk menanyakan hal-hal yang ingin kuketahui darinya. Pria ini, sepertinya dia cukup baik dan patuh.
“Lalu apa yang akan kita lakukan berikutnya? Kau pasti punya rencana.” Setelah mengajukan pertanyaan itu, aku beranjak berdiri dan membersihkan apa yang bisa kubersihkan dengan menepuk-nepuk tangan.
“Entahlah, aku sama sekali belum memikirkannya. Untuk saat ini, kita lanjutkan saja perjalanan.” Dia ikut beranjak berdiri. Meregangkan badan dan seperti melakukan pemanasan seolah dia akan olahraga saja.
“Kakiku masih pegal. Sudah kubilang aku tak bisa lari.” Aku berjongkok lalu meraih betisku untuk memijitnya, bahkan saat berdiri pun rasa pegalnya kembali terasa.
“Oke, kita istirahat beberapa menit lagi.”
Saat kualihkan pandanganku padanya, dia sudah kembali duduk, aku memijat betisku secara perlahan, setidaknya dengan memijit, rasa sakit dan pegal sedikit berkurang, meski aku sadar jika ini tak memberi banyak perubahan. Celana panjangku tak terlihat bersih atau kotor, cahaya di sini sangat kurang.
“Omong-omong di mana kau muncul?” Aku mengubah posisi dari jongkok ke duduk, lalu melanjutkan memijit kaki, tak memandangnya lagi, tapi memeriksa keadaan kakiku. Siapa tahu ada terjadi sesuatu, lalu nantiーyang benar-benar tidak kuharapkan—kemungkinan besarnya aku harus berlari lagi. Keadaan tubuh terutama kakiku mesti siap dan dalam keadaan baik. “Maksudku ketika kau datang ke sini, tempat seperti apa yang kau datangi?” Aku segera memperjelas pertanyaanku.
“Oh, itu. Aku muncul di atas langit.” Dia menyahut singkat, sepertinya dia jatuh di tempat yang berbeda dan tak diharapkan.
“Kau jatuh?” Kutolehkan kepalaku sesaat ketika melontarkan pertanyaan itu. Sekadar melihat ekspresinya.
“Ya. Aku tiba-tiba saja berada ratusan kaki di atas langit. Itu menyeramkan.”
“Oke, sepertinya tak semua mendapat pendaratan yang bagus.”
“Begitulah, kuharap Nona mendarat dengan baik.”
“Aku tak ingat bagaimana aku mendarat dengan baik, aku hanya bangun dari tiduran di tanah dan mendapati semua pemandangan semacam ini.” Aku menyahut dan menyelesaikan pijatanku, rasanya agak sedikit nyaman setelah dipijat.
“Begitu ya, tapi jika tak ada yang sakit, kau pasti tak mendapat cedera apa-apa setelah mendarat di sini.”
Dia memang benar, aku tak merasakan sakit apa-apa pada tubuhku saat aku bangun, hanya merasa pusing dan perut yang terasa diaduk-aduk, berarti aku mendarat dengan mulus dan tertidur di tanah. Membayangkan itu, sepertinya aku agak beruntung. Siapa yang tahu ketika aku pingsan di sini, ada makhluk yang bisa saja memakanku, aku bisa mati tanpa kusadari jika itu yang terjadi. Tapi kenyataannya, aku tak seperti itu. Meski tempat ini menyeramkan, sepertinya aku cukup beruntung karena tak langsung terbunuh ketika muncul di sini, meski tetap saja nyawaku terancam.
“Kau benar.” Aku membalas, lalu hening lagi setelahnya.
“Sepertinya Nona Xhellvana benar-benar tertidur, aku memanggilnya saat monster itu menyerangku, tapi bukannya muncul, menyahut pun tidak.” Aku mengganti topik percakapan dan membahas hal baru.
“Seperti itulah, mungkin saja Nyonya Xhellvana tak akan bangkit dalam waktu yang dekat.”
“Eh?”