Episode 30

1703 Kata
Airin segera menghubungi Ken. Setelah beberapa panggilan tak dijawab olehnya, akhirnya Ken mengangkat panggilan Airin. "Kenapa? Sudah lihat?" tanya Ken. Dia tahu persis, jika Airin menghubunginya sudah dipastikan akan membahas masalah Brian. "Ken, kenapa kamu melakukan itu?" tanya Airin. "Enggak, kamu di mana?" tanya Airin lagi. "Di studio," jawab Ken singkat. "Jangan ke mana-mana, aku akan ke sana," ujar Airin. Dia bergegas menyetel mesin mobil dan melajukannya. Meninggalkan pelataran tempat pemakaman umum di kota itu. "Ken! Kenapa kamu melakukan itu," ujar Airin. Dia tak habis pikir Ken akan melakukannya. Ponsel dia terus berdering. Desta lagi-lagi meneleponnya. Akhirnya Airin memutuskan untuk menepi di bahu jalan. Ia menjawab panggilan Desta. "Halo," jawab Airin. "Rin, sudah aku bilang. Tunggu sebentar saja. Jadi, ini rencana kamu? Jahat kamu Rin," maki Desta. "Des," jawab Airin. Dia ingin menjelaskan, namun lagi-lagi Desta berbicara. "Serius, kamu tuh jahat banget. Bisa membongkar semuanya karena sebuah balas dendam." Desta terus berbicara. "Oke, kita ketemu," kata Desta. "Nanti, aku masih ada urusan," ujarnya. Desta menutup panggilannya. Airin mengembuskan napas. Bukan dia pelakunya, sudah dipastikan Brian dan Desta menuduh dirinya. Airin dengan kecepatan kencang berhasil sampai di studio milik Ken tak sampai satu jam. Dia berlari kecil menaiki anak tangga menuju lantai dua. Setelah membuka pintu, langsung saja suaranya berbarengan dengan pintu yang terbuka. "Ken!" protes Airin. Dia menahan amarahnya sekarang. Ken yang tengah sibuk pada layar komputernya, seolah sudah siap mendapat ocehan dan omelan dari Airin. "Oke, oke," ujar Ken. Dia berdiri dari tempatnya. Menuju sofa dan duduk di sana. "Kenapa harus diunggah? Itu masa lalu Ken," protes Airin. "Iya, kan? Kamu cinta sama dia?" tanya Ken. "Terlepas aku cinta sama dia atau enggak, itu nggak ada hubungannya." Airin bersikeras. "Rin, kamu yang menggebu-gebu buat balas dendam. Tapi, apa? Setelah kamu dekat dan dia, kamu tahu kelemahan dia, kamu tahu masa lalu dia, kamu kasihan? Lalu kamu gagal buat balas dendam!" Ken kesal. "Kamu ingat, kan? Aku bilang, kalau kamu nggak bisa balas dendam, aku yang akan balas dendam," kata Ken tegas. Dia dilanda rasa cemburu sekarang. Melihat Airin begitu marah dengan pengunggahan berita tentang Brian, itu membuat Ken sangat cemburu. "Itu sebabnya kamu menolak perasaanku, kamu cinta sama dia, tapi kamu berusaha menepisnya," kata Ken datar. "Ken, aku udah anggap kamu seperti saudara sendiri, aku sayang sama kamu, tapi bukan sebagai laki-laki, tetapi sebagai sodara," ujar Airin. Ken menggelengkan kepala. "Maaf, perasaan aku tulus, lebih dari seorang teman, aku nggak bisa kalau harus dianggap kakak." Ken memalingkan wajahnya. "Benar, aku sangat egois. Karena aku berniat untuk mendapatkan perasaan kamu," ujar Ken. Airin mengalah. Dia tak mungkin memaksa Ken untuk berhenti mencintainya. "Oke, jika itu keinginan kamu. Maaf, kita nggak perlu ketemu lagi. Aku nggak mau lebih menyakiti kamu, dan aku nggak mau lihat kamu kayak gini. Tapi tolong, usaha balas dendam aku biar aku yang urus. Jadi, aku berharap kamu jelasin ke Brian, dan minta maaf ke dia," ucap Airin. Dia lantas meninggalkan Ken sendirian. Ken tampak menyesal. Betapa bodohnya dia dan segala keegoisannya tentang perasaan. Ken hanya menyandarkan tubuhnya, menatap langit-langit ruangan itu. Napasnya tampak sesak. "Kenapa aku begitu bodoh!" Ken memaki dirinya sendiri. Airin yang seharusnya masih berada dekat dengan dia, yang harusnya masih bisa dia lindungi diam-diam, yang seharusnya selalu ada saat dia butuhkan, kini benar-benar menjauh. "Bodoh!" Ken menyalahkan dirinya sendiri. Dia menyadarkannya dengan menepuk kepala dengan tangannya. Malam ini dia harus menemui Desta. Namun, tiba-tiba Desta membatalkan janjinya. Airin tak mungkin menjelaskannya lewat telepon, karena ini adalah hal yang penting. Airin memutar mobilnya. Dia ingin menemui Brian langsung. Airin berhasil menerobos jalanan dengan cepat. Dengan skill mengemudinya, dia berhasil sampai di apartemen Brian hanya memakan waktu dua puluh lima menit. "Yan!" Airin mengetuk pintu, sembari memanggil nama Brian. Ia melirik ke arah ruang tamu lantai itu, ternyata ada banyak wartawan di sana. "Aish," gerutunya. Sudah dipastikan banyak wartawan di sana. Dan ketahuilah, tidak mudah untuk mereka masuk ke apartemen itu, karena selain penjagaannya yang ketat, peraturannya juga sangat rumit. Makanya mereka rela menunggu berjam-jam, bahkan sampai berhari-hari jika perlu. Mereka tak ingin membuang kesempatan untuk menanyakan langsung pada Brian. "Airin!" Seseorang memanggil nama Airin dengan jelas. Sudah pasti ada salah satu diantara mereka mengenal Airin. Laki-laki berjaket bomber warna hitam itu mendekat. "Benar, kamu Airin. Sedang apa?" tanya Willy. Dia merupakan partner kerja di perusahaan lama Airin. "Ah, kamu, kan? Yang ngunggah berita tentang Brian. Hebat banget sih, bisa seakurat itu," kata Willy. "Secret emang nggak ada duanya," lanjutnya lagi. "Bukan aku pelakunya," jawab Airin tegas. Willy tertawa. "Secret itu yang megang kamu sama Ken, lalu siapa lagi yang cerdik dan telaten ikutin jejak selebriti," ujar Willy. "Diam, semua orang pasti akan mendengarnya." Airin berbicara dengan ketus. "Santai aja, sih." Willy tampak tengah meledek. "Terus ngapain kamu ke sini? Memangnya kamu dekat sama mereka? Atau kamu mau minta maaf, atau lagi, kalian punya perjanjian untuk berita itu?" Willy terus bertanya. Membuat Airin kesal. "Will, bisa diam nggak, sih!" gerutu Airin kesal. Dia tak mungkin memaki Willy di depan wartawan lain. Airin memutuskan untuk pergi. Dia tak mungkin di sana sampai Brian membukakan pintu. "Desta!" gerutunya kesal. Kenapa disaat-saat genting seperti ini, dia malah membatalkan janjinya. Airin berjalan cepat menuju elevator. Namun, karena pintu elevator ternyata sedang digunakan. Dia memilih untuk menuruni anak tangga. Tangannya meraih ponsel dan menghubungi Desta. Panggilannya lagi-lagi ditolak. "Desta, please!" katanya dengan penuh permohonan. Airin menghubungi Desta, hingga dia lupa. Bahwa dia tengah menuruni anak tangga dari lantai tinggi. Kakinya seketika lemas. Sehingga, dia memilih untuk bersandar pada tembok. Mengembuskan napas, dia tersadar bahwa dia sedang berolahraga malam. Keringatnya mengucur melalui pelipis rambutnya. "Desta, please!" Airin terus memohon. Dia ingin sekali Desta menjawab panggilannya. Satu kali percobaan terakhir, tetap tak dijawab. Airin menyerah. Dia duduk di anak tangga sembari mengatur napasnya yang memburu. Walaupun dia sudah menyerah, dia berharap bahwa Desta akan menjawab panggilannya. "Iya," jawab Desta. Airin segera kembali bersemangat lagi. "Des! Kenapa batalin pertemuan kita?" tanya Airin. "Rin, wartawan banyak banget di depan." Desta menjawabnya dengan kesal. "Ah, iya." Seketika Airin lemas. "Iya? Apa kamu liat?" tanya Desta. "Baru aja aku ke tempat Brian. Kupikir nggak ada wartawan. Ternyata banyak." Airin pasrah. "Gimana bisa ke luar? Udah lah, ini semua perbuatan kamu sama Ken, iya, kan?" tanya Desta ketus. "Des, aku nggak pernah ngelakuin itu! Oke, aku minta maaf, atas nama Ken," kata Airin. "Apa? Minta maaf? Atas semua kegaduhan yang kalian perbuat, minta maaf? Nggak salah, aku udah berkali-kali bilang, jangan sakiti Brian!" kata Desta dengan nada tinggi. "Des!" Belum sempat Airin menjelaskan. Namun, seseorang mengambil alih ponsel Desta. "Sudah puas kamu?" Suara Dava menggema di telinga Airin. Perempuan itu mengerutkan kening. Ia menjauhkan ponselnya, ternyata nama Desta masih ada di layar ponsel itu. "Kak Dava?" tanya Airin. "Iya, sudah puas? Setelah semuanya terungkap, dan setelah semuanya hancur. Apa balas dendam kamu berhasil?" tanya Dava. "Kak, Aku." Airin lagi-lagi tak bisa menjelaskan, karena Dava kembali berbicara. "Oke, apa dengan kamu balas dendam, Irene bakal kembali? Dia bahagia melihat tingkah Kakaknya yang bodoh seperti itu," ujar Dava. "Maaf, seharusnya aku jaga rahasia tentang Brian," ucap Airin. "Please, jangan pernah muncul di depan Brian lagi. Jangan pernah ada di kehidupan Brian. Dia sudah cukup menderita," kata Dava. Dia menutup panggilan itu segera. Padahal Airin belum selesai berbicara. Mau seperti apapun, jika hanya dilakukan melalui panggilan telepon, tak akan pernah berhasil. Airin lagi-lagi mengembuskan napas berat. Sudah dipastikan dia yang disalahkan. Kini perempuan itu menyesal mengatakan semuanya pada Ken. Dia tak tahu Ken akan berbuat senekat itu hanya untuk membalaskan dendamnya. "Ken," ujar Airin menyalahkan Ken. Ia tak tahu lagi apa yang harus dia perbuat. Yang jelas saat ini, dia harus meminta maaf kepada Brian. Airin berjalan lemas menuju pintu lobi utama. Dia bahkan nyaris menyeret langkah kakinya. Ia tak ingin pergi dari gedung itu. Namun, semakin banyak wartawan yang datang untuk mengungkap kebenarannya. "Benar, apa salahnya operasi plastik," kata Airin lirih. "Itu hak dia, dia punya uang, dia punya keberanian, dan dia pengen berubah, kenapa tidak?" tanyanya membela diri sendiri. "Kenapa netizen repot-repot memikirkan dia, toh Brian juga nggak pernah urusin hidup mereka. Please, semuanya berhenti men-judge dia!" Airin terus berbicara sendiri. Airin duduk di sebuah taman. Malam itu angin tak terlalu kencang. Udara juga tak terlalu dingin. Perempuan itu duduk pasrah di sana. Sesekali matanya melihat langit yang sudah bertabur bintang. "Seandainya dulu nggak sekacau ini, pasti Irene masih bersamaku. Dan jika dulu aku sedikit perhatian sama Attar, mungkin dia nggak akan berubah menjadi seperti sekarang," ucap Airin sembari menatap langit. "Rasa balas dendam itu sepertinya sudah lenyap. Kalah dengan rasa yang lain," katanya. "Benar, pasti kamu udah bahagia di sana. Kakak melakukan hal bodoh yang justru mungkin membuat kamu sedih, iya, kan?" tanya Airin terus berbicara. "Lalu Kakak harus ngapain? Maafin dia? Tapi, terlalu sakit jika Kakak tahu, kamu meninggal sia-sia karena dia." Airin berharap satu bintang itu menjawab semua ucapannya. "Ren! Apakah kamu bahagia, walaupun Kakak nggak balas dendam?" tanyanya lagi. "Kamu tahu, hal gila apa yang akan Kakak pikirkan?" Airin tersenyum. "Jika Kakak berhasil balas dendam, Kakak pikir kamu bakal bahagia, kamu bakal kembali," kata Airin pasrah. "Tapi, setelah Kakak pikir-pikir, mungkin Kakak sudah gila!" Airin berucap. Tak terasa air matanya menetes. "Kakak gagal balas dendam! Bahkan Kakak gagal buat ungkap siapa pelakunya. Kakak nggak bisa buat kamu bahagia di sana!" Airin terus berbicara. Air mata terus mengalir. Hingga dia tak sanggup dan menundukkan kepala. Airin terisak. "Aku harus gimana?" tanya Airin lemah. "Bahkan mungkin sekarang aku malah mencintai dia," ujar Airin. Airin merasa kalah. Rasa ingin balas dendamnya benar-benar menjadi rasa iba sekarang. Dia ingin berhenti jadi orang bodoh. Selama ini hidupnya diselimuti rasa dendam dan kebencian terhadap Brian. "Tolong! Hukum aku!" ucap Airin. Dia menangis sejadi-jadinya. "Aku udah menghancurkan seorang Brian! Maaf, maaf!" Suaranya semakin lirih. Nyaris tak terdengar. Airin mendongak. Dia kembali menatap langit. Rasanya sangat malu. Dia menghancurkan hidup seseorang dalam sekejap. "Jika diizinkan, aku ingin meminta maaf," ujar Airin. "Aku juga ingin bilang, bahwa hati aku berdebar saat bersama dia." Airin berucap pada langit gelap. Air matanya kembali menitik. "Bodoh!" Dia memaki dirinya sendiri. Dia mengusap air matanya. Airin mencoba tenang. Seperti memiliki keberanian. Dia berdiri. "Benar, aku harus minta maaf sekarang." Airin bertekad. Namun, belum sempat dia melangkah, seseorang mencegahnya dengan meraih lengannya. Airin menoleh. Dia mendapati Ken di depan matanya. "Ken!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN