BAGIAN 6

1125 Kata
Ruang hampa kian menepi menyudutkan kesenangan merajut asha. Harapan tinggllah harapan, mimpi setinggi langit pupus bersamaan fakta menerjang. Tidak ada yang luput dari sebuah kesalahan, terkadang dengan adanya itu bisa menghadirkan kebaikan. Menjalani sesuatu diawali dengan hal salah, tidak mungkin berjalan lancar. Entah kapan, tetapi yang pasti akan ada sebab akibat di balik itu semua. Tidak akan ada yang berjalan lancar selamanya, kadang kala masa akan memberikan kebenaran di baliknya. Bukankah Allah sudah menjabarkan jika kita berlaku baik maka kebaikan itu untuk diri sendiri? "Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri." (Q.S. Al-Isra: 7) Maka segalanya akan ada balasan sesuai apa yang telah diperbuat. Layaknya menanam pohon, apa yang kita tabur, maka suatu saat nanti akan menuainya. Arkana bangun dari tidur lelap, tangan kanan menyapu permukaan ranjang di samping dan tidak mendapati siapa pun di sana. Kelopak matanya secepat kilat terbuka melirik ke sisi kanan, kosong, di sana benar-benar tidak ada yang menempati. Dahi tegas itu mengerut dalam, Arkana menyapukan pandangan ke sekitaran dan hanya menemukan kehampaan semata. "Ke mana Elena pergi?" gumamnya, kemudian menyambar ponsel di atas nakas. Ia kelimpungan mendapati sang pujaan tidak terjangkau pandangan. Di dalam ponselnya, ia melihat ada notifikasi apa pun, Arkana semakin berpikir tidak-tidak mengenai kekasihnya tersebut. "Apa semalam aku sudah terlalu kasar? Apa yang aku lakukan?" racau nya lagi mengusak rambut frustasi, tidak sadar atas apa yang terjadi. Ia terlalu terbawa emosi sampai-sampai memberikan hal tidak seperti biasanya. Kurang lebih satu setengah jam kemudian, ia check out di hotel itu dan menanyakan pada resepsionis apa melihat Elena atau tidak. Ia menyebutkan ciri-ciri pujaan hatinya, "wanita itu sekitar seratus lima puluh senti, berbadan ramping, berambut lurus se d**a, matanya besar, ada tahi lalat di bawah mata kanannya," ungkap Arkana menjabarkan. "Maaf Tuan, saya tidak melihat wanita dengan ciri-ciri yang Anda sebutkan," balas sang resepsionis. Arkana pun mengangguk singkat dan mengucapkan terima kasih. Selepas itu ia berjalan lunglai menuju parkiran bawah tanah. Pikriannya melalang buana mencoba menggali kembali kejadian tadi malam. Mereka lagi dan lagi melakukan hubungan terlarang, tetapi tidak seperti biasanya. Suara pintu mobil yang dibanting oleh dirinya sendiri menyadarkan. Arkana diam di jok pengemudi, pandangan lurus ke depan menyadari satu hal. "Aku sudah berbuat terlalu jauh," ucapnya memukul stir mobil tak bersalah. Di sisi lain, Elena duduk di tepi tempat tidur miliknya. Sejak dua jam lalu ia tiba di rumah dan melihat-lihat potret dirinya dan Elang selama dua tahun terakhir. Seulas senyum sendu hadir menggambarkan betapa gamang dan tidak nyaman perasaan yang kini tengah hadir. Ibu jari sebelah kanannya mengusap wajah mulus nan tampan sang kekasih. Bagaikan ada duri menancap di permukaan, gerakan tersebut membuatnya terluka. Ia memudarkan lengkungan bulan sabit berganti kepiluan. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Lagi dan lagi, aku semakin... jauh pada kesalahan," gumam Elena mematikan ponsel. Kepala bersurai lembutnya mendongak, menyaksikan langit-langit ruangan. Bayangan demi bayangan kejadian yang telah dirinya lakukan bersama Arkana berkeliaran. Ia menghela napas kasar, pasrah pada ketentuan. "Aku yakin jika ada balasan dari segala perbuatan. Sampai saat itu tiba, aku pasrah," katanya lagi. *** Satu minggu kemudian, Elena diajak mencari gaun pengantin yang hendak dikenakannya satu bulan lagi. Selama tujuh hari itu pula ia menghindari kontak dengan Arkana, bahkan pesan maupun panggilan darinya tidak diindahkan. Elena lebih fokus pada Elang dan berusaha tidak berkomunikasi dengan kekasih gelapnya. Seketika Arkana naik pitam, berpikir pujaan hatinya benar-benar ingin mengakhiri hubungan mereka. Baru saja Elena dan Elang tiba di butik langgangan Aileen, keduanya dikejutkan dengan keberadaan Arkana. Ia tengah berdiri seraya melipat tangan di depan d**a menyambut kedatangan mereka. "Selamat datang di butik kami," katanya ramah. "Apa yang kamu lakukan, Arkana? Di mana bibi Intan?" tanya Elang melirik ke segala penjuru toko. "Bibi Intan sedang menemani klien yang lain dan menyuruhku untuk melayani kalian," ungkap Arkana lagi. Sedari tadi bola matanya terus saja melirik Elena, sejak kedatangannya ke sana ia terus menundukkan pandangan, berusaha menghindar. "Jadi, kamu benar-benar menghindariku Elena? Kenapa? Apa kamu sudah memutuskan untuk menikah dengannya? Atau kali ini... kamu sudah mencintainya?" benak Arkana melirik sang kakak yang tengah melihat-lihat tuxedo. "Baiklah, kalau begitu bisa kamu pilihkan pakaian mana yang cocok untuk kami berdua? Aku ingin dipernikahan kami nanti memiliki kesan mendalam," pinta Elang merangkul pinggang Elena, mesra. Arkana berdehem pelan, memutuskan kontak pada mereka dan berpaling ke sisi kiri. "Itu mudah. Kak Elena, bisa kakak ikut aku?" pinta Arkana kemudian. Elena terkesiap, mendongak pada Elang yang juga tengah menatapnya lekat. "Ikut saja, adikku itu pandai memilih pakaian. Kamu tahu... dia bercita-cita menjadi desainer," ucap Elang lalu menjawil pipi sebelah kiri sang kekasih. Elena tersenyum lebar akan perlakuan hangat nan manis calon suaminya ini. Namun, berbanding terbalik dengan Arkana yang sedari tadi menahan kekesalan. Sedetik kemudian, Elena berjalan mengikuti ke mana Arkana pergi, sedangkan Elang menunggu di sofa panjang sambil memainkan tablet memantau pekerjaan. Sebagai seorang pemimpin perusahaan di kantor keluarga, Elang harus mengabdikan diri guna membuat keuntungan mereka semakin tinggi. Kembali pada Elena dan Arkana, kedua insan tersebut sudah masuk lebih dalam ke toko. Di sana banyak sekali gaun-gaun pengantin mulai dari yang sederhana sampai mewah. Dalam diam Elena terus mengikuti ke mana pria itu hendak membawanya. Ia bingung sekaligus khawatir akan bungkamnya Arkana. Karena selama ini ia tidak pernah memperlihatkan sisi seperti sekarang. "Arkana, apa-" Belum sempat Elena mengatakan maksudnya, tiba-tiba saja Arkana berbalik lalu memojokannya ke sudut ruangan. Manik jelaga Elena terbelalak, terkejut, juga tercengang melihat tatapan nyalang Arkana. "A-apa yang kamu lakukan?" cicitnya berusaha meredam suara sepelan mungkin. "Apa yang aku lakukan? Harusnya aku yang mengatakan itu... apa yang kamu lakukan? Satu minggu... satu minggu kamu menghidariku. Apa kamu benar-benar ingin mengakhiri hubungan kita?" sambar Arkana menekan setiap kata keluar dari bibir menawannya. Elena bisa melihat kekecewaan di balik mata karamel Arkana. Seketika perasaan tidak nyaman dan campur aduk datang menerjang. Kedua tangan wanita itu mengepal kuat sampai kuku-kukunya memutih. "Sudah aku katakan bukan? Jika hubungan kita tidak mempunyai masa depan... karena itulah kita harus-" Untuk kedua kali Elena harus menelan kata-katanya kembali. Kini tindakan Arkana membuatnya hampir terkena serangan jantung. Bagaimana tidak? Tepat di belakang Elang, Arkana berani memberikan ciuman mendalam. Elena berontak berusaha melepaskan diri dari kungkungannya. Namun, kekuatan pria tidak sebanding dengan wanita. Mau tidak mau Elena terbuai akan permainan yang diberikan dan berkali-kali menoleh ke belakang punggung Arkana berusaha menghindari orang lain. Elena memukul-mukul pelan d**a bidang Arkana yang langsung mencengkram pergelangannya kuat. Pria itu sama sekali tidak memberikan kesempatan pada sang pujaan untuk melarikan diri. Seketika degup jantung bertalu kencang, Elena takut, benar-benar takut jika Elang bisa datang ke sana dan melihat mereka tengah b******u. Entah sehancur dan sesakit apa perasaannya kala melihat adegan sang kekasih serta adiknya saling melempar kenyamanan. Dalam diam Elena berdoa agar Elang tidak mencurigai akan heningnya suasana di sekitar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN