BAB-1
20 TAHUN YANG LALU, DI KANTOR POLISI DI KOTA K.
***
Seorang lelaki yang bernama Dean Padalecki tengah duduk di ruang kantor kepala kepolisian. Theresa Lisbon adalah kepala kepolisian di sana.
Mereka berdua saling berhadapan dan terdiam selama 2 jam di dalam kantor kedap suara itu.
Sedari tadi, Theresa mengotak-atik keyboard PC miliknya. Sementara Dean, hanya diam acuh tak acuh.
"Oke, aku ingin mencuatkan suasana canggung ini."
Cetus Theresa.
Ia berhenti mengetik dan langsung menyorot kearah Dean yang juga menyorot kearahnya.
"Kau tahu, semua wanita yang ada di seluruh unit menatap dan membicarakan betapa menawannya dirimu, kau seperti Pangeran mereka."
Decak Seline, berbisik-bisik kepada Dean.
"Di tambah lagi, kau memiliki aksen yang sangat unik."
Imbuhnya.
Dean hanya diam dan terkekeh dalam hati.
"Benarkah, termasuk dirimu?."
Tanya Dean.
"Huftt, tidak!. Aku sudah punya seseorang, tetapi.."
Theresa langsung melamunkan seseorang yang dulu pernah ia kenal.
"Tetapi, tetapi kenapa?. Kau tak mencintainya, atau dia yang sebaliknya?."
Tanya Dean.
Theresa sontak tersadar dari lamunannya. Ia menggelengkan kepalanya dan langsung tersenyum kearah Dean seraya berkata.
"Tidak ada, Tuan. Padalecki!. Maafkan aku."
Dean hanya mengangguk mafhum dengan pertanyaannya yang tak terjawab.
Wanita cantik berambut pirang, bernetra abu-abu itu terpaksa harus tersenyum kearah Dean demi menutupi dan menghindari pertanyaan yang terlontarkan kepadanya.
Theresa terlihat begitu menyesal telah berbincang terlalu jauh.
Mereka berdua kembali duduk dengan suasana hening. Theresa kembali mengotak-atik keyboard PC-nya.
Niat awal Dean duduk di sana bukan apa-apa, tetapi ia tengah menunggu seseorang yang kini tak kunjung datang.
Dean menunggu pengacara pribadinya, ia masih berada di perjalanan hendak kemari.
Keheningan dan suasana canggung masih menguap di ruangan itu karena keterlambatan pengacaranya.
Yang di tunggu-tunggu akhirnya datang.
Seorang lelaki bersetelan formal yang seharga ribuan dolar, membawa tas hitam kecil miliknya tengah berjalan dengan cepat menghampiri pintu masuk yang berbahan kaca di depannya.
Lelaki itu mendorong pintu dan langsung memasuki ruang kedap suara itu tanpa ragu.
Jamie Mcliefter, dia adalah Pengacara pribadinya Dean.
"Maafkankan aku karena terlambat, Tuan. Padalecki."
Lantas, Dean dan Theresa berdiri.
"Tidak apa, Tuan Mcliefter."
Sahut Dean memaklumi.
"Ada masalah di perjalanan?."
Tanyanya.
Jamie mengangguk mengiyakan seraya berkata.
"Biasalah, ini hari Senin. Aku terjebak macet!."
"Tunggu, kalian berdua saling mengenal?."
Sela Seline, ia terlihat kebingungan.
Jari telunjuknya terhunus kearah Dean dan Jamie.
Mereka berdua yang mendengarnya langsung menyorot kearah Theresa.
"Tidak!."
Mereka berdua menyahuti pertanyaan dari Theresa secara bersamaan.
"Terus, kamu lagi ngapain di sini, Jamie?."
Tanya Theresa.
"Kami sedang menunggu seseorang, jadi silahkan tunggu di luar."
Imbuhnya.
Sontak, Dean dan Jamie saling menatap.
Jamie terkekeh tak percaya seraya berkata.
"Kau bahkan tak memberikanku sedikit waktu untuk menjelaskannya."
"Apa kau tidak bisa berpaling dari ku, apa kau masih marah kepadaku?."
Dean yang menyaksikan dan merasakan kecanggungan itu hanya bisa diam. Menggeliat-geliatkan matanya kearah Jamie dan Theresa.
Theresa tengah menahan emosi, sementara Jamie berdiri dengan keangkuhannya.
"Apa yang kamu katakan?."
Tanya Theresa, dengan nada tak suka.
"Baiklah, Nona Lisbon. Mari kita bersikap Profesional."
Kata Jamie dengan tersenyum sopan.
Ia berjalan menghampiri Theresa, mengulurkan salah satu tangannya hendak berjabat tangan.
Theresa yang melihatnya hanya bisa terdiam dengan dahi yang mengkerut.
"Aku adalah pengacara pribadinya Tuan Padalecki!."
Sontak Theresa mengerjap tak percaya, lantas ia membalas uluran tangan Jamie dengan cepat.
Mereka berdua bersalaman layaknya profesional walaupun dengan sedikit canggung.
Setelah berjabat tangan, mereka bertiga langsung duduk kembali.
Di dalam ruang kedap suara itu, Jamie dan Theresa saling bertukar kata dan saling menjawab pertanyaan.
Dean hanya diam saja, mengangguk mafhum sesekali jika di perlukan.
Mereka bertiga sudah dua jam berada di sana.
Jamie memberikan sebuah file kepada Theresa, ia langsung mengambilnya dan membacanya dengan teliti.
"Jadi, aku sudah mendapat jaminan. Jika Tuan Padalecki berkerjasama penuh dengan penegak hukum. Dia akan terbebas dari jeratan hukum."
Jelas Jamie.
Ia langsung menoleh kearah Dean sembari tersenyum dan mengangguk sopan kearahnya.
"Sungguh kehormatan bagiku menjadi pengacara Pribadi Tuan Padalecki, walaupun hal itu secara tiba-tiba. Aku sudah lama mengejar dan ingin menumbangkan organisasi Mafia itu."
"Semoga, kali ini organisasi kejam dan operasi ilegal mereka benar-benar bisa di hentikan."
Dean mengangguk mafhum.
"Aku hanya masih tidak mengerti, kenapa kamu ingin menghancurkan organisasi Mafia itu. Mereka kan mata pencaharian kamu sehari-hari?."
Cetus Theresa, acuh tak acuh.
"Aku, Euh."
Sontak Jamie menepuk pundak Dean dengan cepat seraya berkata.
"Eits, No. Diam, jangan dengarkan dia, Tuan Padalecki. Kau dengar aku, jangan dengarkan dia. Dan kau, kita ini memang saling mengenal tetapi bisa tidak bersikap layaknya seorang profesional."
Theresa langsung menutup file yang sedari tadi ia baca dengan cepat, ia melotot dan mengkerutkan dahi kearah Jamie.
"Kenapa kamu yang sewot? Aku hanya sekedar bertanya. Jika pertanyaan itu melanggar hukum kalian, anggap saja aku tidak pernah bertanya. Gampang kan."
Kata Theresa dengan nada sedikit marah.
Dean hanya duduk terdiam menyaksikan drama pertengkaran sengit antara Mantan kekasih.
"Oh, jadi seperti itu? Balas dendam. Aku tahu, kau meluapkan semuanya di depan Klienku. Bagus!."
Kata Jamie, bertepuk tangan sembari memasang muka meremehkan.
"Sebaiknya aku pergi!."
Celetuk Dean, dengan nada canggung.
"Shut up!."
Dean yang hendak berdiri sontak tersentak, lantas ia duduk kembali dengan perlahan.
Mereka benar-benar membentak seorang anggota Mafia.
"Oke, baiklah!."
Dean kembali menyaksikan mereka bercekcok, sehingga melupakan bagian terpenting dari pertemuan ini.
"Maafkan kami, Tuan Padalecki. Hal ini tidak akan terulang lagi."
Dean mengela nafas kasar seraya berkata.
"Kalian ini mau membantu ku atau tidak, hah?. Jangan biarkan pertengkaran asmara kalian mengganggu pekerjaan."
"Baik, Tuan Padalecki. Kami akan berusaha sebaik mungkin."
Tidak lama kemudian, mereka bertiga melanjutkan percakapan mengenai Organisasi Mafia itu.
Semua operasi ilegal dari organisasi Mafia itu sudah berjalan selama 20 tahun sejauh ini, Organisasi Mafia itu di kelola oleh Dean sendiri tetapi di bawah naungan Jeremy Blood, selaku pemilik Organisasi.
Sudah 7 tahun, Dean bergabung dan bekerja di sana. Tentu saja, tekanan dan jalan sulit telah ia lewati sejauh ini.
Theresa menghela nafas pasrah dan langsung tersenyum seraya berkata.
"Kita lihat saja, sejauh mana Tuan Bos Mafia ini berkontribusi dalam hukum."
Dean mendengus dingin dan menggelengkan kepalanya tak percaya.
Sementara Jamie, ia masih tertegun dan menggeliat-geliatkan matanya kearah mereka berdua.
"Kau meragukan ku, Nona?."
Tanya Dean. Ia terlihat ingin bertaruh.
"Iya, kenapa kau ini? Dingin sekali. Kamu terdengar seperti meremehkannya, Thes."
Gerutu Jamie.
"Malahan, kalian yang terlihat terbalik. Kenapa kamu mendadak jadi sosok dingin, Thes?. Ingat, profesional."
Imbuhnya, sedikit menghakimi.
"Diam kau!."
Jamie tersentak dan membelalakkan matanya tak percaya seraya berkata.
"Kau.."
Ia melototi Theresa sembari mengangkat tangan kiri dan meremasnya.
Dean yang mendengarnya langsung menahan kekehannya.
Ia berdehem seraya berkata.
"Sudahlah, Tuan Mcliefter!. Ingat, harus profesional kan?."
Salah satu tangannya berada di pundak Jamie.
Setelah mendengar perkataan dari Dean, Jamie menghela nafas sembari menenangkan dirinya.
"Hari ini, aku memaklumi situasinya, Thes. Aku akan melupakan hal ini karena Tuan Padalecki."
Tidak lama kemudian, Dean mengambil sesuatu dari dalam saku jaketnya.
Theresa dan Jamie masih bercekcok.
"Aku bilang cukup!."
Mereka berdua langsung terdiam.
Dean memukul meja sembari meletakkan secuil kertas yang ia keluarkan dari sakunya.
"Kalian membuat ku muak, tahu tidak. Jika kalian terus seperti ini, aku tidak akan segan-segan membunuh kalian berdua di sini."
Gertak Dean kesal. salah satu tangannya masih berada di atas meja sembari menahan secuil kertas itu.
"Aku tidak punya waktu untuk mendengarkan semua ini, jadwalku padat. Mereka akan curiga jika aku keluar terlalu lama."
Imbuhnya.
Sontak ia menarik kembali tangannya dan membenarkan jaketnya.
"Sebagai rekan, demi kepercayaan. Di kertas itu sudah tertulis sebuah alamat perusahaan, di gedung itu mereka akan melancarkan operasi. Perdagangan manusia."
Jamie terkejut sejadi-jadinya, ia menganga tak percaya.
Sementara Theresa tengah menatap isi dari secuil kertas yang ada di tangannya.
"Per, perdagangan manusia?!."
Tanya Jamie. Ia menyorot kearah Dean sembari menunggu jawaban.
"Aku sudah memberitahu kau sebelumnya, Tuan Mcliefter. Jangan pernah sekalipun bertanya mengenai diriku ataupun pekerjaanku."
Lantas Jamie berdehem dan memasang muka tak tahu apa-apa.
"Baiklah! Aku akan diam. Lanjutkan!."
Kata Jamie sia-sia.
"Aku sudah menduganya, aku sudah lama curiga dengan perusahaan itu."
Cetus Theresa, menganggukkan kepalanya berulang kali dengan perlahan sembari berpikir keras.
"Kamu tahu harus bagaimana. Aku serahkan sisanya kepada kamu, Nona. Jangan buat aku menyesali keputusan ku."
Sahut Dean, dengan nada serius.
Theresa mengangguk mafhum.
Dengan cepat Dean berdiri, merambati Dean dan Theresa.
"Baiklah, Kawan-kawan. Jangan kacaukan ini semua, atau kalian berdua yang akan menanggung akibatnya."
Ancam Dean, telunjuknya merambati Jamie dan Theresa.
Jamie langsung membereskan file-file kedalam tasnya kembali.
Ia mengangkat tasnya seraya berkata.
"Oh, ya. Jangan terlalu lama menyimpan dendam kepada ku, Theresa. Lagi pula, kita akan sering bertemu."
Sontak Theresa meremas kepalan tangannya dan menggertakkan giginya kesal.
Lantas ia bola matanya mendapati bola mata Dean, ia menyorot tajam kearahnya.
Yang ia pikirkan adalah, bagaimana cara membuat Jamie bungkam.
Tidak lama kemudian, Theresa berjalan menghampiri Dean yang tengah berdiri sembari melipatkan lengannya di depan.
Melihat Theresa mendekat, Dean mengerjap dan melepaskan lipatan lengannya itu dengan cepat.
Ia hanya bisa diam menikmati. Theresa mencium bibirnya Dean dengan mesra.