Prolog
Hujan pertama turun seperti tirai air dingin yang menutup cahaya senja. Butiran-butiran pelaut awan menetes di kilau baja pesawat latihan yang remuk di bawah kanopi pepohonan. Bunyi dentum yang bukan berasal dari manusia, melainkan dari mesin yang menjerit dalam bahasa sendiri, mengisyaratkan bahwa akhirnya mereka berada di tanah runtuh antara logika dan mimpi buruk. Runtuhnya pesawat itu menghapus garis antara mimpi keras dengan kenyataan yang lebih kelam: mereka sekarang tidak lagi sekadar siswa tentara yang berlatih; mereka adalah gambaran ketahanan yang diuji oleh satunya lawan terbesar—hidup.
Luka-luka pertama datang dari udara yang menumpahkan air, dan dari tanah yang menahan kaki mereka seperti penjaga batu. Jantung berdebar, napas terhenti sejenak saat debu mesin melayang di udara, mengingatkan mereka bahwa semua kontrol telah hilang. Mereka tidak lagi memiliki pemimpin yang pasti, karena suara-suara di dalam d**a masing-masing berebut menjadi mercusuar. Ada yang memegang komando secara naluriah, ada yang menahan diri, ada yang menundukkan kepala karena ingatan akan kegagalan masa lalu. Mereka semua tahu, pukulan paling keras bukanlah tumbukan baja pesawat, melainkan kehimpitan ketakutan yang merayap di tulang belakang.
Hutan ini tidak ramah. Ia berdiri seperti labirin hijau raksasa, menatap mereka dengan mata yang tidak pernah blink. Kabel akar adalah jerat, cabang yang membelai kulit terasa seperti voodoo lembut yang menuntun ke jurang. Pohon-pohon tinggi menahan langit, menurunkan bayangan hitam yang menelan harapan. Di antara semak liar, suara yang tidak mereka percaya: desis binatang malam, langkah ringan manusia yang tidak dikenali, dan suara angin yang seolah berbisik tentang rahasia yang tidak boleh dibawa pulang.
Mereka tidak bisa mengingat kapan terakhir kali makan yang cukup. Perut mereka bernegosiasi dengan keras, mengayun dari harapan ke putus asa, dari tekad ke ragu. Senjata di tangan mereka tidak lagi sekadar alat pertahanan; ia menjadi simbol tanggung jawab yang berat: bertahan hidup tanpa kehilangan kemanusiaan, atau kehilangan kemanusiaan demi bertahan hidup. Mereka belajar menilai setiap jejak kaki, setiap suara kipas daun, setiap bayangan yang bergerak dengan ritme yang tidak mereka kenal. Karena di hutan ini, ketakutan bukan hanya tentang binatang buas, tetapi tentang diri mereka sendiri: adakah mereka cukup kuat menahan diri dari dorongan untuk menyerah, cukup berani menatap cermin yang menampilkan ketakutan terdalam mereka sendiri.
Malam pertama menurunkan hujan, membawa aroma tanah basah yang menghilangkan bau pakaian tempur. Dalam sinar bulan yang temaram, mereka mencoba menghitung jumlah nyawa yang hilang dari pesawat itu, tetapi yang tersisa hanyalah nyawa yang belum sempat mereka ukur secara lengkap. Saling menatap, mereka melihat pantulan diri mereka di mata orang lain—sebuah cermin yang menyingkapkan kehausan akan pelarian, sekaligus rasa bersalah karena masih hidup ketika orang lain tidak seberuntung mereka.
Di kejauhan, asap juga menari di udara—meskipun tidak ada api besar yang terlihat. Jejak-jejak aneh menampilkan diri sebagai teka-teki: sebilah bambu berpelekat lilin, batu berpilin seperti lingkaran ritual, dan bekas jerat yang masih segar di antara akar. Pupil mereka menyesuaikan diri dengan kegelapan, mencoba membaca bahasa yang tidak pernah diajarkan di sekolah militer: bahasa kode alam, bahasa luka, bahasa kepercayaan yang rapuh.
Ketika pagi datang, keheningan bukan lagi kehampaan, melainkan kehadiran. Mereka menemukan diri mereka terperangkap bukan hanya di antara pepohonan, tetapi di antara pilihan: berpegang pada masa lalu yang menuntun ke arah jalan pulang yang tidak lagi jelas, atau membangun jalan baru dengan tangan-tangan yang gelap—tangan yang mungkin tidak lagi bisa membedakan antara sah dan tidak sah. Di antara mereka, seorang pemimpin yang dulunya tegas kini gemetar oleh bayangan rasa takut. Seorang lainnya menaruh luka masa lalunya di saku, menutupnya rapat agar tidak mengganggu alur pikirnya. Dan di sela-sela keheningan, timbul satu ancaman yang lebih akut daripada belantara itu sendiri: kejahatan yang bisa lahir dari manusia, saat kebutuhan akan keselamatan menutupi tali kemanusiaan.
Labirin hijau ini bukan sekadar tempat bertahan hidup. Ia adalah ujian terhadap karakter. Mereka tidak hanya kalah oleh alam, tetapi kehilangan sebagian dari diri mereka sendiri di setiap perkelahian, setiap kelaparan, setiap kilat badai yang menyapu langit sebagai pengingat bahwa segalanya bisa berakhir dalam satu napas. Mereka terdampar, tetapi tidak sepenuhnya tanpa arah. Di bawah kanopi yang menahan langit, di antara jejak-jejak yang belum selesai, mereka menggeser kompas moral mereka. Ada yang ingin pulang dengan cara apa pun; ada yang percaya bahwa pulang itu tidak lagi berarti kembali ke rumah, melainkan ke tempat yang lebih lembut: ke tempat di mana nyawa mereka tidak lagi terhimpit oleh rasa takut.
Mereka akan terus berjalan. Berjalan dalam kegelapan dan cahaya tipis pagi, dalam diam dan gelegak marah, dalam keheningan yang menyimpan mulut yang tidak berani berteriak. Dan suatu hari nanti, ketika tanah menahan napas mereka untuk sejenak, mereka mungkin menemukan cara kembali ke dunia yang telah mereka tinggalkan. Atau, mungkin, mereka akan menemukan bahwa pulang bukanlah tempat, melainkan keadaan—sebuah batas yang hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang mampu mengubah diri mereka sendiri menjadi tanah yang kuat untuk tumbuh kembali.
Labirin hijau telah memulai puasa malam ini, menahan nafasnya demi menjaga rahasia yang tidak boleh dibocorkan kepada mereka yang masih hidup. Dan kita, pembaca, berdiri di pinggir hutan, menahan napas bersama mereka, menunggu saat ketika jalan pulang akan muncul atau ketika mereka akan memilih untuk tetap bertahan di tempat yang tidak lagi menampung masa lalu mereka.