Bab 1 : Tersesat di Antara Bayang-Bayang

2422 Kata
Mentari sore menyelinap melalui celah-celah dedaunan lebat, menebar cahaya yang berkelip-kelip di atas tanah basah. Aroma tanah yang terinjak, bunga liar, dan dedaunan hancur memenuhi udara—hutan berbicara dalam bahasa sunyi yang hanya bisa didengarkan dengan hati-hati. Di tengah samudra hijau tanpa ujung itu, sekelompok remaja berdiri terpaku, menatap reruntuhan pesawat yang sudah menjadi pecahan-pecahan logam tersangkut di antara akar dan ranting. Dari kedalaman reruntuhan, suara panggilan listrik berdengung lemah, seolah mengingatkan mereka bahwa waktu yang tersisa semakin sedikit. Lima belas murid tentara yang tersisa saling bergandengan, tanpa pemimpin yang nyata sejak kejadian itu. Mereka para calon prajurit terbaik, telah dilatih dengan disiplin, keberanian, dan strategi, tapi tidak ada pelajaran yang mengajarkan bagaimana bertahan saat dunia berbalik menghadap mereka dengan kejam. Rizal, seorang pemuda berpostur tegap dengan mata tajam, mengangkat tangan memberi isyarat hening. “Kita harus segera bergerak. Badai ini bisa datang lagi dan kita tidak punya perlindungan,” katanya dengan suara tegas, meski jantungnya berdebar tak kalah kerasnya. Amira, yang sejak tadi diam menatap reruntuhan dengan wajah pucat, mengangguk pelan. “Kita nggak boleh berlama-lama di sini. Tapi… ke mana kita akan pergi? Peta kita hancur bersama pesawat.” Mereka hanya punya satu hal: hutan yang luas dan belum terjamah, penuh misteri dan bahaya. Senapan SS1 dan M16 A1 yang tergenggam terasa berat di tangan, bukan hanya karena fisiknya, tapi karena beban kemungkinan yang melekat di ujung laras. Di saku mereka, pisau belati dan beberapa perlengkapan seadanya menjadi teman setia. Dalam hati, setiap orang disergap ketakutan yang sama—kengerian akan kelaparan, serangan binatang buas, dan yang paling menakutkan, manusia lain yang mungkin sudah menganggap mereka sebagai ancaman di labirin ini. Saat mereka mulai menyusuri jalan setapak yang samar, langkah demi langkah terasa seperti masuk ke dalam perangkap tak kasat mata. Rintik-rintik hujan mulai jatuh pelan, membasahi kulit dan menyejukkan rasa haus yang perlahan merayap. Tapi kehangatan itu hanya cukup untuk membuat mereka sadar: perjuangan baru saja dimulai. Rizal berhenti dan menoleh ke belakang. “Kita harus tetap bersama. Jangan ada yang terpisah.” Sementara bayang-bayang pepohonan bergerak seperti makhluk hidup, seorang dari mereka, Fahri, terdiam melihat ke kejauhan. Di antara desau angin dan bisikan dedaunan, sebuah suara samar terdengar; sesuatu yang lebih menyeramkan daripada hanya angin. Malaikat atau monster, belum jelas. Yang pasti, mereka baru memasuki jantung hutan yang tidak akan melepaskan mereka begitu saja. Maukah mereka bertahan? Atau apakah hutan ini akan menjadi kuburan bagi masa depan mereka? Ini baru saja dimulai. *** Hutan semakin lebat, dan setiap langkah terasa berat seolah dipenuhi oleh jutaan mata yang mengawasi. Rizal memimpin dengan waspada, matanya terus memindai kegelapan di balik dedaunan yang berlindung dari sinar matahari. Suara-suara alam—gemerisik ranting, derap kaki hewan, dan rajuk burung—menjadi simfoni yang menguji kesabaran dan kewaspadaan mereka. “Jangan buat suara keras,” bisik Sari, yang berjalan di sebelah Amira. “Kita tidak tahu apa yang bersembunyi di sana.” Di antara mereka, ketegangan mulai merayap, bukan hanya karena ancaman hutan yang tak terlihat, tapi juga karena ketidakpastian yang menggantung. Rasa takut mulai menghantui langkah mereka, mengubah sikap yang awalnya pasti menjadi keraguan yang menggerogoti. “Bagaimana kalau suku primitif itu benar-benar ada?” suara Fauzan berbunyi, hampir menyerah pada fiksi yang mereka duga selama ini. “Mereka mungkin sudah mengawasi kita sejak kita hilang.” Rizal menoleh tajam. “Kita tidak boleh percaya pada ketakutan. Tapi anggap saja kita harus siap menghadapi apa pun.” Tiba-tiba dari semak di depan mereka, suara berdecit dan keributan kecil pecah. Semua anggota kelompok langsung menyiapkan senjata, napas tertahan. Sebuah sosok kecil yang terjebak dalam perangkap kayu melompat, berlari cepat menghilang ke semak-semak. Suara itu menyerupai sesuatu yang jauh dari peradaban—seolah sebuah makhluk yang lebih primitif dan liar dari mereka. Amira menggenggam lengan Rizal dengan erat. “Kita bukan yang teratas di hutan ini, ya?” katanya lirih. “Tidak, kita harus ingat itu,” jawab Rizal. “Hutan ini adalah rumah mereka. Bukan kita.” Malam mulai turun lebih cepat, dan dengan langit yang mulai gelap, mereka mencari tempat berlindung. Sebuah gua kecil yang terlindung oleh akar besar menjadi pilihan sementara. Setelah memastikan keamanan di sekitar, mereka menyalakan api kecil menggunakan korek api seadanya, menyalakan asap yang perlahan mengepul ke langit malam. Sebuah kehangatan yang menyimpan rasa aman meski rapuh. Namun, dalam keheningan itu, kepanikan berbisik perlahan. “Kenapa kita tidak bisa hubungi siapa pun? Radio mati, dan pesawat—hancur,” ucap Sari, suaranya hampir pecah. Fahri menatap api, wajahnya suram. “Kita terjebak di sini, sendirian di tempat yang asing.” Rasa frustrasi mulai muncul, memuncak menjadi pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab. Mereka sadar, bukan hanya alam yang harus mereka taklukkan, tapi juga rasa takut yang tumbuh di dalam diri masing-masing. Di kejauhan, suara seruling bambu terdengar samar. Melodi aneh dan menggema seolah mengingatkan bahwa mereka tengah dijadikan korban tatapan orang-orang yang hidup mengikuti ritme hutan ini. Rizal mengangkat senjata, jantungnya berdetak kencang. “Kita mungkin tidak sendiri,” katanya tegas. Ketika mata mereka menatap ke kegelapan, bayang-bayang mulai bergerak. Bukan hanya bayangan pohon yang terhenyak oleh angin, tapi sosok-sosok yang lama tersembunyi, mengintai dengan niat yang tak terucap. Dendam, ketakutan, dan pertarungan akan segera menyatu dalam tarian kelam antara manusia dan alam. Malam ini, mereka belajar bahwa bertahan hidup bukan hanya soal fisik, tapi juga mental. Di labirin hijau ini, setiap detik adalah taruhan antara hidup dan mati. *** Gelap malam semakin pekat, dan bara api satu-satunya sumber cahaya mulai meredup. Wajah-wajah muda itu tertutup bayang-bayang, sorot mata mereka berkaca antara rasa takut dan tekad yang bergulat dalam keheningan. Suara-suara malam bukan lagi sekadar suara alam—ia membawa ancaman yang tak terlihat, tapi terasa menekan leher dan d**a mereka. “Kita harus berbicara,” Rizal mulai, suaranya berat karena kelelahan dan beratnya beban yang harus dipikul. “Kondisi kita sekarang jauh dari latihan dan aturan yang pernah kita pelajari.” Amira menggigit bibir, suaranya melemah. “Apa kita sudah siap menghadapi ini? Aku… aku bahkan belum pernah benar-benar menjauh dari kamp.” “Kita tidak punya pilihan,” Fauzan menyela, matanya menyapu bayang api. “Kalau kita berani, kita bisa bertahan. Kalau tidak, kita mati.” Sari menarik nafas panjang, mencoba menenangkan diri tapi ragu-ragu. “Ketakutan kita bukan hanya dari luar, tapi dari dalam. Kadang aku merasa takut pada diriku sendiri.” Senjata yang mereka bawa terasa lebih berat dari biasanya, bukan hanya karena fisiknya, tapi karena makna yang melekat: mereka harus bertahan bukan hanya melawan hutan, tapi juga melawan kerapuhan hati masing-masing. Tiba-tiba, suara daun bergerak keras di kejauhan membuat semuanya menegang. Semua mata segera tertuju ke arah suara itu, senjata diangkat dengan waspada. Namun, yang muncul bukanlah suku primitif, melainkan seekor harimau hitam besar yang memandang tajam, membeku beberapa saat di balik semak sebelum menghilang dengan gesit. Rasa takut menderu, tapi juga kekaguman menyelinap di hati mereka. Alam memang tidak memihak, tapi mereka harus belajar menghormati kekuatannya. Fahri berdiri, memecah kebisuan. “Ini hanya permulaan. Esok kita harus bergerak lagi, cari sumber air dan tempat yang lebih aman.” Rizal mengangguk dan mengatur napas. “Kita harus tetap bersatu. Tidak ada ruang untuk ego dan kecurigaan. Jika kita pecah, kita akan kalah.” Malam itu, suara seruling muncul lagi, makin dekat, membawa getaran batu dan kayu yang dikayuh sepi. Mereka tahu, mereka tidak sendiri di sini. Ketegangan semakin menjadi-jadi, tapi juga membakar semangat untuk bertahan. Dalam labirin hijau itu, mereka bukan hanya mempertaruhkan nyawa, tapi juga kepercayaan, keberanian, dan harga diri sebagai manusia. Apakah mereka bisa melewati semuanya tanpa kehilangan jati diri? Ataukah hutan ini akan menjadi kematian tanpa upacara, tempat di mana mereka dilupakan oleh dunia dan diri mereka sendiri? Langkah selanjutnya akan menentukan siapa yang benar-benar kuat—bukan hanya secara fisik, tapi juga jiwa. *** Fajar belum menyingsing ketika mereka sudah membuka mata dengan tubuh yang kaku dan pikiran yang berkecamuk. Suara malam masih tersisa di telinga, meninggalkan rasa waspada yang sulit dihilangkan. Hutan itu seperti makhluk hidup yang bernafas bersama mereka, mengawasi dengan ketidakpastian yang membayang di setiap sudut. Rizal mengambil alih peran memimpin pagi itu, berusaha menunda keraguan yang mendera mereka semalam. “Kita harus fokus sekarang,” katanya sambil membagi persediaan air yang tersisa dengan cermat. “Cari sumber air dan tempat yang aman. Kita tidak bisa tinggal diam.” Kelompok itu mulai bergerak pelan, mengikuti jejak-jejak binatang dan bekas air yang ditemukan di tanah berlumut. Amira berjalan di belakang, matanya tajam memperhatikan setiap gerakan di sekitar, sementara Sari terus mengamati senjata dan peralatan mereka, memastikan semuanya masih berfungsi. Namun suasana berbeda terasa berat di udara, bukan hanya karena lingkungan yang menuntut kewaspadaan, tapi juga karena kecurigaan dan kegelisahan yang tumbuh dalam kelompok. Diskusi kecil bermunculan, memunculkan perbedaan pendapat yang mulai mengukir jurang di antara mereka. “Kalau terus begini, kita tidak akan bertahan lama,” ucap Fahri sinis saat mereka berhenti sejenak di bawah dedaunan rindang. “Kita butuh strategi, bukan sekadar jalan tanpa arah.” “Apa kau punya rencana?” tanya Rizal. “Kita sudah di sini tanpa komunikasi, tanpa petunjuk—apa lagi yang bisa kita lakukan selain bertahan?” Fahri menghela napas panjang tapi tidak menjawab, menatap tajam ke depan. Di saat itulah, satu hal yang mereka takuti muncul: suara langkah kaki berat dan teratur dari balik pepohonan. Dengan cepat, semua mata mengarah ke sumber suara, senjata siap mengunci target. Bayangan manusia mulai muncul, sosok bertubuh tegap dengan wajah yang kasar, membawa tombak dan busur—tanda suku primitif yang selama ini jadi ketakutan mereka. Sejenak terjadi keheningan membeku. Tidak ada gerakan, tidak ada suara selain detak jantung yang berdetak cepat dan napas terengah. Pedang dan panah sibuk menanti perintah. Rizal mengangkat tangan, memberi tanda untuk tetap tenang. “Jangan menembak dulu,” katanya dengan suara rendah. “Kita harus tahu niat mereka.” Seorang lelaki tua dari kelompok itu melangkah maju, matanya tajam menatap mereka penuh waspada. Bahasa tubuhnya menegaskan, mereka bukan musuh yang mudah dihadapi, tapi bukan pula pembawa damai. Ketegangan berubah menjadi pertemuan antara dua dunia yang berbeda: dunia modern para siswa tentara dan dunia primitif yang tak ternoda peradaban, wajah kearifan yang keras dan sulit diterjemahkan. Dalam hati, mereka sadar ini bukan hanya soal bertahan dari alam, tapi soal bagaimana membaca dan menghadapi manusia yang juga bertahan di tanah ini dengan aturan mereka sendiri. Mampukah mereka membangun jembatan kepercayaan di tengah gelapnya kecurigaan? Ataukah hutan ini akan menjadi pengadilan terakhir bagi mereka semua? Langkah mereka kini bukan hanya menentukan hidup atau mati, tetapi juga harga diri dan arti keberanian sejati. "Pada hitungan ketiga, kita harus lari secepat mungkin, dan ikuti aku!" Perintah Rizal sebagai pemimpin rombongan. Karena mereka semua sadar, bahwa tidak mungkin mereka melawan kelompok orang yang hidup di dalam labirin ini yang sudah menguasai medan. Mereka kalah persiapan, kalah strategi, dan kalah mental. Belum lagi mereka tidak mengenal daerah ini. "Satu... Dua... Tiga... Lari!!!" Perintah Rizal. Seketika semua siswa tentara tersebut lari mengikuti Rizal yang ada didepan mereka. Sementara kelompol orang primitif itu hanya melihat siswa tentara itu lari, mereka tidak mengejar atau melempar senjata mereka ke siswa tentara. Karena mereka tau siswa tentara itu tidak akan pernah luput dari pengawasan mereka. Setelah dirasa sudah jauh meninggalkan kelompok primitif itu, semua siswa tentara itu beristirahat sejenak untuk mengatur nafas dan memakan sedikit perbekalan mereka. Sebagian ada yang mencari air untuk minum mereka. "Ayo kita jalan lagi, jangan terlalu lama di satu tempat yang terbuka seperti ini." Ajak Rizal setelah melihat semua teman-temannya selesai beristirahat. *** Malam itu, hutan terasa seperti hidup dan menelan rasa aman mereka utuh-utuh. Kabut tebal mulai merayap turun, membungkus tubuh dan jiwa dalam putih pekat yang mengaburkan pandangan. Suara ranting patah terdengar dekat, namun sasaran tetap tak terlihat. Setiap napas yang keluar dari mulut terasa berat dan dingin, menyiksa d**a seperti jerat yang mengencang. Rizal berdiri di tengah lingkaran kecil teman-temannya, berusaha mengikis rasa takut yang merambat dari ujung kaki ke ujung kepala. Matanya menyapu kegelapan, mencari sesuatu. Bahkan ancaman yang sudah mereka kenal, seperti binatang buas atau suku primitif, terasa jauh lebih ringan dibandingkan ketidakpastian yang menyelimuti malam ini. “Kenapa kita merasa diawasi?” bisik Amira dengan suara serak. “Ada sesuatu di sini yang bukan hanya suku itu...” Sari menjawab pelan, napas terpotong, “Aku merasakan sesuatu—bukan yang kasat mata. Lebih seperti kehadiran yang mengendap dalam bayang-bayang.” Tiba-tiba, dari balik pohon besar, terdengar suara bisikan samar dalam bahasa yang tak mereka kenal. Bisikan itu mengalir seperti angin malam yang mendinginkan kulit. Namun, kata-katanya menyimpan ancaman yang menghantui: sebuah mantra tanpa wujud, tapi penuh dendam dan rahasia yang terlupakan. “Siapa di sana? Tunjukkan dirimu!” Rizal mengeraskan suaranya, menembakkan kilatan lampu ke arah suara itu. Tapi yang terlihat hanya sekumpulan kabut yang terus menari, menolak bentuk. Kelompok itu mulai berdesak, ketegangan mencengkeram hingga ke ujung saraf. Mata mereka menangkap bayangan yang berkelebat cepat, sosok gelap yang muncul dan menghilang sebelum bisa dikenali. “Ini bukan hanya tentang bertahan hidup...” suaranya tiba-tiba pecah saat Fahri menatap ke kedalaman hutan. “Ada sesuatu yang lebih gelap. Hutan ini tidak ingin kita hidup di sini.” Sementara itu, suara-suara aneh semakin sering muncul — tawa kecil yang tidak wajar, jeritan lembut yang berubah menjadi raungan yang menusuk telinga. Panik mulai mencuat, ada yang gemetar, ada yang terdiam menggigil. Bahkan Rizal yang selama ini jadi pilar kekuatan mulai goyah. Rasa takut bukan lagi musuh tersembunyi, melainkan pesaing yang membayang dari dalam diri. Sari terjatuh terhuyung saat sebuah ranting tajam melukai kakinya. Darah menetes, dan aroma besi basi yang menusuk membuat suasana semakin mencekam. “Kita harus keluar dari sini...” suaranya lemah. Namun, saat mereka mencoba bergerak, suara bisikan itu kembali — namun kini di kiri, kanan, di atas, di bawah, mengelilingi mereka seperti jebakan tak berwujud. Malam berubah menjadi labirin mimpi buruk dengan suara tanpa wujud dan bayangan tanpa wajah. Suara-suara itu membisikkan rahasia gelap yang hanya bisa dirasakan, bukan dimengerti. “Jangan percaya pada apa pun yang kau lihat, kecuali pada senjata di tanganmu,” bisik Rizal pada dirinya sendiri dan mereka. “Karena dalam hutan ini, kepercayaan adalah kemewahan yang bisa membunuhmu.” Dan saat kabut semakin tebal, mereka tahu satu hal pasti: di labirin hijau ini, setiap detik bisa menjadi akhir dari segala harapan. Apakah mereka akan menemukan jalan keluar? Ataukah hutan ini akan menelan mereka dalam sunyinya, menyisakan hanya jeritan bisu dan misteri tak terpecahkan? Ketegangan dan ketakutan belum pernah sedalam ini menyatu menjadi laras kehidupan yang siap meledak kapan saja. Dengan semua misteri dan ketakutan, menutup tirainya—namun tak satu pun dari mereka bisa yakin, kapan mimpi buruk ini akan benar-benar berakhir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN