Malam yang sunyi di hutan berubah menjadi kegelapan yang tak terpecahkan. Setiap helai daun seolah menyimpan bisikan rahasia, dan aroma tanah basah berubah menjadi bau busuk yang menyusup ke dalam kulit. Kabut yang menggantung tebal di udara menyelimuti kelompok itu, mengubah setiap langkah menjadi pertaruhan nyawa.
Rizal terbangun dari tidur yang terpecah oleh mimpi buruk: bayangan sosok tanpa wajah yang mengintip dari balik pepohonan, mata yang merah menyala, dan suara bisikan yang seakan memanggil namanya. Jantungnya berdegup kencang ketika realita merayap masuk, mengingatkannya akan ancaman yang belum sirna.
Kelompok itu bergerak perlahan, nyaris tanpa suara, menjelajahi reruntuhan waktu yang tersembunyi dalam kehijauan. Setiap langkah membawa bau yang tak bisa dijelaskan—seperti campuran tanah lembap, darah kering, dan sesuatu yang berbau pembusukan. Amira menggenggam erat senjatanya, matanya menyapu kegelapan di luar lingkaran cahaya obor.
Tiba-tiba, dari kegelapan muncul tarikan napas berat, bukan manusia, tetapi bukan binatang biasa pula. Detak jantung mereka beradu cepat, napas tertahan. Di kejauhan, sosok bersiluet tinggi berdiri mengawasi, tubuhnya samar tertutupi kabut, namun aura kengerian yang terpancar membuat bulu kuduk berdiri.
“Lari!” bisik Fahri dengan suara serak, tapi langkah mereka sudah terdengar terjebak dalam gelap yang tak bernama.
Dalam kegelapan, bayangan bergerak, mengaburkan batas antara yang hidup dan yang mati. Suara tawa seram mengalun pelan, melingkar seperti lingkaran penghormatan bagi jiwa yang hilang.
Sari terhuyung ketika akar besar menyeruak keluar dari tanah, seolah hidup dan mencoba merenggut tubuhnya. Darah menetes di tanah hitam dan lengket, bercerita tentang perjuangan yang akan datang.
Malam itu, hutan menjadi panggung bagi teror yang tak terjamah. Hutan bukan hanya sebuah alam liar, tapi sebuah makhluk lapuk yang haus akan perasaan takut dan putus asa. Sebuah medan permainan di mana manusia hanyalah boneka kayu yang dipakai untuk menari oleh bayang-bayang yang lebih gelap dari kegelapan itu sendiri.
Di tengah kegelapan, suara-suara asing menyayat keheningan: jeritan pilu, bisikan mantra yang terlupakan, dan suara langkah yang tak pernah berhenti mengikuti mereka.
Rizal merasa napasnya hampir tersumbat oleh udara yang berubah menjadi racun sunyi. Dalam hati, terngiang satu pertanyaan: apakah mereka sekadar korban ketidaksengajaan alam atau bagian dari kutukan lama yang terbangun?
Ketika kabut mulai menyigar mereka, bayang-bayang berubah menjadi wajah-wajah samar—terlihat singkat, lalu lenyap seperti mimpi buruk yang merayap masuk ke dalam kenangan.
“Jangan biarkan mereka melihat ketakutanmu,” bisik Rizal pada teman-temannya. “Karena di sini, ketakutan adalah makanan mereka.”
Malam terus berjalan, dan mereka hanya bisa berharap bahwa mentari yang akan datang membawa kelegaan. Namun di balik tirai hijau itu, rahasia gelap semakin terbuka, menunggu untuk ditelan oleh jiwa-jiwa yang terperangkap di dalamnya.
***
Kelompok itu terus melangkah pelan, tiap gerakan di tengah remang hutan diliputi ketegangan. Angin dingin sesekali berhembus, membuat dedaunan bergesekan, suara yang terdengar seperti bisikan dari sesuatu yang tak terlihat.
“Tahan napas, dengarkan,” bisik Rizal, memberi aba-aba agar mereka semua waspada.
Amira menggenggam erat pisau belatinya, matanya berlomba mencari sesuatu yang mencurigakan. Di kejauhan, suara ranting patah pecah, membuat jantung semua anggota kelompok hampir melonjak ke tenggorokan.
Dari kegelapan muncul sosok samar—anak kecil, tubuhnya kotor dan wajahnya terpaut luka-luka. Namun matanya yang kosong menyimpan kengerian. Ia tidak berkata apapun, hanya menatap dan kemudian menghilang secepat bayangan.
“Ada sesuatu yang salah di sini,” suara Sari gemetar. “Anak itu... dia bukan seperti manusia biasa.”
Teror mulai merayap. Jalan setapak yang mereka lalui berubah menjadi labirin akar dan semak berduri. Dalam gelap, suara tawa kecil berubah menjadi bisikan mengerikan mengelilingi kelompok itu.
Fahri semakin gelisah. “Kita harus cari tempat aman. Suara-suara ini bukan hanya khayalan.”
Mereka menemukan sebuah pondok kayu tua yang terbengkalai, sebagian atapnya runtuh. Dengan hati-hati, mereka masuk. Bau tengik dan tanah basah memenuhi udara, tapi setidaknya pondok itu menawarkan perlindungan sementara.
Tiba-tiba, suara dentingan logam datang dari loteng. Rizal mengarahkan lampu senter ke atas, tapi yang diterangi hanyalah bayangan yang bergerak-gerak tanpa bentuk jelas.
“Terus bergerak. Jangan beri kesempatan ketakutan menguasai,” tegas Rizal. Namun di balik ketegasan itu, ada keraguan yang mulai tumbuh.
Malam makin larut, dan suara-suara aneh itu makin mendekat. Langkah kaki yang tak berwujud mengitari pondok, dan suara bisikan makin keras, seakan ada makhluk yang menunggu mereka keluar.
Sari tiba-tiba menjerit saat sesuatu menyentuh lengannya. Namun saat lampu diarahkan ke sumbernya, hanya ada ranting yang bergesekan.
Gelap di luar pondok menjadi medan pertempuran tak terlihat antara rasa takut dan keinginan bertahan. Pada titik ini, tidak ada yang yakin siapa teman dan siapa musuh.
Keesokan harinya membawa kabut tebal yang menyelimuti hutan, mempersulit penglihatan mereka. Langkah berikutnya harus lebih hati-hati, karena mereka tahu, bahaya terbesar bukan hanya dari binatang atau manusia, tapi dari sesuatu yang tersembunyi dalam keheningan.
***
Malam itu hutan minum darah ketakutan mereka, dan bayang-bayang bergerak lebih dekat dari sebelumnya. Rizal merasakan udara menjadi berat; langkahnya seakan ditemani oleh bisikan yang mengerikan. Setiap daun yang bergoyang, setiap ranting patah, membuat napas mereka tercekat.
Dari balik semak, matanya menangkap sesosok siluet yang terus mengintai, begitu dekat tapi tetap tak terlihat jelas. Sosok itu bukan manusia, tapi juga bukan binatang biasa. Ada sesuatu yang sangat salah di hutan ini, sesuatu yang tidak bisa mereka pahami tapi terasa sangat nyata.
Suara tawa yang menggeser di antara pepohonan membuat Amira menggigil. Suara itu bukan wajar, bukan tawa manusia. Ia seperti suara makhluk yang dipenuhi kebencian dan rasa lapar.
“Kita harus keluar dari sini sekarang juga,” bisik Fahri dengan suara nyaris patah. “Hutan ini... bukan tempat kita.”
Tiba-tiba, terdengar suara jeritan pendek yang mengiris keheningan. Mereka berbalik ke arah suara dan melihat samar-samar garis darah segar di tanah—jejak menuju sesuatu yang mengerikan.
Rizal mengangkat senapannya, jantungnya berdegup cepat. “Ikuti aku. Kita harus tahu apa yang kita hadapi,” katanya. Namun, ketakutan sudah menggerogoti kekuatannya, dan setiap langkah terasa seperti melawan arus gelap yang tak terlihat.
Di tengah hutan yang terkunci dengan kabut dan kegelapan, mereka menemukan sebuah bekas berkemah yang sudah lama ditinggalkan, dipenuhi dengan tanda-tanda ritual aneh yang terukir di atas batu dan batang pohon. Ada sesuatu yang janggal dan mengancam, seolah keberadaan mereka telah mengusik sesuatu yang lebih tua dan lebih gelap daripada hutan itu sendiri.
“Kita tidak sendiri di sini,” ujar Sari dengan suara bergetar. “Dan kita sudah terlalu dalam untuk mundur.”
Malam semakin membeku, dan bayang-bayang di balik kanopi bergerak melingkar di sekitar mereka, menunggu saat yang tepat untuk menyerang.
Ketegangan mencapai puncak, dan bukan hanya nyawa yang dipertaruhkan, tapi juga kewarasan mereka. Dalam labirin kegelapan ini, mereka tahu bahwa bertahan hidup bukan soal kekuatan senjata, tapi keberanian menghadapi kegelapan yang ada dalam dan di luar diri.
***
Kegelapan malam terasa semakin pekat ketika mereka melangkah lebih jauh ke dalam hutan yang menjelma menjadi labirin asing. Suara langkah kaki yang samar mulai terdengar lagi—lebih jelas dan berat—membuat udara seakan dipenuhi oleh aura ancaman yang tak terlihat.
Di tengah ketegangan yang mencekam, Fahri mengambil keputusan yang berani. “Aku akan jalan duluan,” katanya dengan suara tegas meski pandangannya menyiratkan ketakutan yang ia sembunyikan. “Kalian tunggu di sini, jangan bergerak meskipun kalian mendengar apa pun itu.”
Rizal menatapnya penuh kekhawatiran, tapi demi menjaga semangat kelompok, ia hanya mengangguk. Fahri maju perlahan, mengikuti jejak suara misterius itu, tiap langkahnya hati-hati namun penuh tekad.
Tiba-tiba, dari balik ranting dan bayangan, muncul sosok yang besar dan ganas—sejenis makhluk liar yang mata dan giginya bersinar dalam gelap. Fahri langsung berbalik dan menembakkan senjatanya. Namun, makhluk itu terlalu cepat; dalam serangan balasan yang brutal, Fahri terjatuh dengan luka parah di lengan dan bahunya.
“Tolong aku!” teriak Fahri, darah mengucur deras dari lukanya.
Tanpa ragu, Rizal dan Amira berlari mendekat sambil menembaki bayangan di sekitar yang seakan lebih banyak muncul. Suara gaduh dan teriakan perlahan memenuhi hutan, menciptakan simfoni teror yang memekakkan telinga.
Fahri terluka parah, tapi keberaniannya telah memberi mereka waktu untuk mundur ke tempat yang lebih aman. Nafasnya tersengal-sengal, wajahnya penuh keringat dan darah. “Aku... aku nggak mau jadi beban...” desaknya sebelum akhirnya mereka menghentikan langkahnya.
Rizal meraih bagian luka, menekan untuk menghentikan pendarahan. “Kau bukan beban. Kau bagian dari kita. Kita harus bertahan bersama,” katanya sambil memandang sekeliling yang mulai sunyi kembali, seperti hutan menarik nafasnya, menunggu gelombang teror berikutnya.
Malam itu, keberanian Fahri menjadi pelajaran pahit bahwa bertahan hidup bukan tanpa risiko. Luka-lukanya mengingatkan mereka betapa tipisnya batas antara nyawa dan kematian di tengah labirin hijau yang mematikan.
Dalam bayang-bayang kanopi, mereka belajar bahwa terkadang yang berani bukanlah yang terkuat, tapi yang bersedia mengorbankan dirinya untuk teman-teman.
***
Fahri berbaring di antara akar besar, wajahnya pucat dan tubuhnya menggigil karena kehilangan darah yang banyak. Rizal dan Amira berusaha menahan pendarahan dengan kaku, sementara yang lain menjaga sekeliling dengan waspada penuh kecemasan.
“Kondisinya kritis, kita harus cepat cari bantuan atau obat,” kata Amira dengan suara terbata-bata, matanya penuh gelisah. Namun, mereka tahu hutan ini bukanlah tempat di mana harapan mudah ditemukan.
Di tengah kegelisahan itu, Sari muncul dengan ide berani. “Aku akan mencoba memancing makhluk itu keluar. Mungkin dengan begitu kita bisa mengalihkan perhatiannya dan menjaga Fahri lebih aman,” ujarnya, tekad menyala dalam tatapan matanya.
Rizal menatapnya lurus. “Ini berbahaya, tapi kita tidak punya pilihan lain.”
Dengan perlahan dan hati-hati, Sari melangkah ke area terbuka, membawa obor dan mengeluarkan suara-suara aneh, berusaha meniru bunyi yang pernah didengarnya dari bawah kanopi hutan—bunyian yang diduga bisa menarik perhatian makhluk itu.
Suasana menjadi tegang, semua mata tertuju pada Sari yang berdiri sendiri dalam gelap. Namun, keheningan menjawab dan hanya suara angin yang berdesir. Beberapa saat berlalu tanpa tanda-tanda makhluk itu muncul.
Sari menatap sekeliling dengan putus asa. “Tidak ada...dia tidak muncul,” bisiknya serak.
Tiba-tiba, bukannya makhluk yang keluar, semak di dekatnya berguncang keras, namun hanya seekor babi hutan besar melintas dengan cepat, meninggalkan kebingungan dan ketegangan baru.
“Kita gagal,” ujar Sari sambil menunduk, merasa beban tanggung jawab begitu berat.
Mereka kembali ke tempat Fahri dengan langkah pelan dan hati dipenuhi kekhawatiran. Sekarang, mereka tahu ancaman itu tidak mudah dihadapi, dan hutan semakin memperlihatkan sisi gelap yang penuh dengan kejutan dan bahaya tersembunyi.
Malam itu, rasa takut bukan hanya dari dunia luar, tetapi tumbuh dari kekalahan yang mereka rasakan—mengikis semangat dan meninggalkan luka yang dalam, baik di tubuh maupun di jiwa.