Pintu kamar hotel terbuka pelan dari arah luar. Beberapa menit yang lalu, Dialta memang keluar entah untuk apa. Dan sekarang dia kembali lagi. Ia masuk dengan satu paper bag cokelat di tangan kirinya. Aroma kopi hitam dan makanan hangat langsung menyebar, menabrak udara dingin Toronto yang masih menempel di jaketnya yang tebal itu. Langkahnya terhenti. Di depan cermin besar dekat jendela, Sena berdiri santai—terlalu santai. Gaun dusty red itu membalut tubuhnya dengan cara yang tidak sopan bagi ketenangan seorang pria. Punggungnya terbuka, kain berlapis jatuh lembut mengikuti lekuk pinggang rampingnya. Kulit pucat Sena kontras dengan warna merah anggur gaun itu, membuatnya tampak… berbahaya dan memikat di waktu yang sama. Sial. Kenapa selalu saja seperti ini. Dialta berdecak pelan. Seti

