Sena menghembuskan napas panjangnya saat dirinya sudah merebahkan tubuh sepenuhnya di atas kasur suite hotel—sprei putih masih rapi, bantal tak banyak bergeser. Hari ketiga di Toronto yang terasa terlalu panjang.
Mata abu-abu Sena terus menatap langit-langit kamar hotel yang tinggi menjulang itu. Perasaan bosan menyelimuti harinya tepat di tiga hari ini. Datar sekali. Tak ada kegiatan selan makan, tidur, menonton televisi yang tak sepenuhnya Sena mengerti kecuali drama cina dan drama korea. Ada untuk film barat, tapi Sena tak terlalu suka.
Sungguh jika seperti ini, Sena tak akan mau ikut dengan lelaki itu. Selama tiga hari pula. Suaminya itu sibuk dengan urusannya sendiri. Lalu buat apa dirinya disini?
Ia meraba permukaan kasur, mencari letak ponselnya yang akhirnya dia dapat. Ponsel di tangannya digulir tanpa tujuan. Satu per satu notifikasi lewat. Tak ada dari Dialta—seperti biasa. Pria kaku yang ya... Tak ada manis-manisnya sekali. Benar-benar definisi papan triplek.
"Sumpah, bosen banget aku. Untung dari pagi tadi kak Calla telpon aku." Gerutuan Sena meluncur dari bibir berwarna cerinya.
Ia sempat video call dengan Callana—kakak iparnya. Tawa singkat, kabar cepat. Tapi tak mungkin seharian mengandalkan layar untuk menahan bosan.
Dialta sibuk. Pagi pergi, malam pulang. Percakapan mereka sebatas kalimat pendek, sudah makan, jangan keluar, istirahat. Apalagi mengingat hubungan mereka yang memang tak benar-benar hubungan manusia yang saling mencintai dan menikah. Dan selain itu Sena bukan tipe yang bisa anteng menunggu. Arsena Elvarendra terbiasa mengatur, bergerak, dan melakukan apapun dengan instingnya.
Sena kembali menggulir layar. 'Toronto things to do.' Jari-jarinya berhenti.
Royal Ontario Museum.
Ia menatap foto-foto bangunan itu—arsitektur tajam, koleksi seni, sejarah. Matanya menyala kecil.
“Sepertinya seru kalau ke sini,” gumamnya. Keputusan yang langsung dia ambil tanpa berfikir lama. Yang penting dia tak mendekam di kamar hotel.
"Ya udah lah, buat apa juga tiduran terus. Boyo'an yang ada."
Sena bangkit, berjalan ke arah lemari. Ia memilih tanpa ragu—gaun hitam simpel dengan potongan yang pas dengan badannya, dipadukan mantel panjang warna maroon tua yang jatuh anggun sampai betis. Mantel itu memberi kesan hangat, tegas, dan elegan—bukan hanya manis. Sepatu boots hitam tinggi mengunci langkahnya. Tas hitam digenggamnya di tangan mungilnya.
Rambut pirangnya—sebatas bahu—dibiarkan tergerai, sedikit bergelombang alami. Riasan tipis, cukup menegaskan mata abu-abunya yang selalu tampak dingin tapi hidup.
Sena menatap pantulan dirinya di cermin. Berputar ke kanan dan ke kiri. "Cantik banget sih aku. Bodoh banget tau nggak orang yang ninggalin aku. g****k bener. Aku yang secantik ini ditinggalin gitu aja. Asuuuu." pongahnya dengan sedikit umpatan jika mengingat Andro yang berlaku bodoh.
Di luar, dapat dia lihat dari jendela kamar hotelnya. Sena sudah disambut dengan salju yang turun tipis—tak selebat kemarin. Udara dingin, tapi masih bersahabat. Sena menarik napas panjang, mengenakan sarung tangan, lalu melangkah keluar kamar.
Ia tahu jika Dialta mengetahui niatnya, ia tak akan setuju. Dan maka dari itu, Sena sengaja untuk tidak meminta izin.
“Cuma sebentar doang,” gumamnya, seperti membela diri sendiri. “nggak papa kan?"
Lift menutup perlahan. Membawanya untuk ke lantai dasar. Saat pintu Lift kembali terbuka, Lobi hotel menyambut dengan keheningan mewah. Sena terus melangkah keluar, mantel maroon-nya kontras dengan putih salju. Ia memanggil taksi, menyebutkan tujuan dengan aksen Inggris yang dia bisa.
“Royal Ontario Museum, please.”
Mobil melaju. Kota Toronto terbentang di balik kaca—dingin, cantik, dan asing. Sena menyandarkan kepala, menatap keluar. Ada rasa bebas kecil yang menyelinap—manis sekaligus berisiko.
Ia tak tahu—atau mungkin tak mau tahu—bahwa keputusan “sebentar saja” ini akan membuka sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang akan membuat Dialta kehilangan kendali untuk pertama kalinya.
---
Tak butuh waktu lama. Mungkin hanya sekitar empat puluh lima menit dari hotel dimana dia menginap. Taksi yang dia tumpangi sudah akan berhenti di depan bangunan megah itu. Setelah membayar dengan mata uang yang berlaku di kota tersebut, Sena turun, langkahnya terhenti sejenak.
Royal Ontario Museum berdiri anggun di hadapannya—perpaduan arsitektur klasik dan modern yang tajam, seperti kristal raksasa menembus langit kelabu. Salju turun perlahan, butirannya menempel di mantel maroon Sena, di rambut pirangnya, di ujung bulu matanya.
Seharusnya dirinya akan lebih bahagia jika kesini juga liburan dengan suaminya. Tidak hanya mengurusi soal pekerjaan saja. Eh... Liburan? Bulan madu maksudnya? Tapi, ah sudah lah. Sena sendiri tak tau kemana nantinya hubungannya ini.
Dingin dari butiran salju masih mampu Sena rasakan. Dingin yang langsung menyergap kulit. Bahkan uap hangat dari bibir Sena pun terlihat. Namun antusiasnya untuk mengunjungi tempat baru begitu menggebu
“Wow…” lirihnya.
Sena menarik napas panjang. Matanya berbinar menelisik bangunan di depannya. Pemandangan yang mampu membuat Sena terkagum. Tak menyangka Toronto begitu indah di setiap sudutnya. Ia segera mengeluarkan kamera mininya dari tas—kamera kecil yang selalu ia bawa ke mana pun pergi. Jemarinya cekatan mengatur fokus.
Klik. Sena berhasil membidik satu foto yang akan dia pamerkan kepada kembarannya nanti.
Bangunan itu tertangkap sempurna dalam bingkai. Salju, langit abu-abu, dengan sudut mana saja yang tampak epik. Dan satu lagi yang dia ambil dengan dirinya yang berdiri nampak kecil namun sangat bagus di depan kemegahan sejarah.
Sena tersenyum tipis. Ia melangkah masuk. Pintu kaca terbuka otomatis, menyambutnya dengan kehangatan dalam ruangan. Bau khas museum—perpaduan kayu tua, batu, dan sejarah—menyergap inderanya.
Langkahnya pelan, matanya bergerak cepat. Sungguh mata itu seakan termanjakan dengan barang-barang yang memiliki sejarah dan nilai seni. Artefak Mesir. Fosil dinosaurus raksasa. Lukisan-lukisan klasik yang berdiri diam tapi seolah hidup.
Disetiap barang tersebut seakan memiliki nyawa dimana mereka bisa bicara. Menceritakan arti dari setiap goresan tinta atau pahatan kayu serta patung yang berdiri di setiap sisi bangunan tersebut.
Sena berhenti di satu sudut, menatap sebuah lukisan abstrak yang entah kenapa tak membiarkan mata abu Sena berkedip. Goresan tinta dengan tiga warna. Entah apa artinya karena memang pandangan itu mampu membuat Sena terpana.
“Kenapa aku lihat lukisan ini seakan ngena banget ya…” gumamnya. Sena mengambil kameranya kembali. Membidik dengan posisi yang menurutnya sempurna.
"Amazing."
Setelah puas mengamati lukisan itu. Sena kembali melangkahkan kakinya untuk mencari keindahan lain. Sesekali Sena mengangkat kamera, memotret detail—ukiran, tekstur, cahaya yang jatuh dari langit-langit tinggi. Lalu ia beralih ke ponsel, tak lupa mengambil beberapa selfie, satu dengan latar dinosaurus, satu di depan lukisan besar, satu lagi dengan mantel maroon dan senyum kecil yang jarang ia tunjukkan.
Ia membuka grup keluarga yang selalu tersemat paling atas. Bani ELVARENDRA 🤍
Sena: 📸 Sena mengirim 3 foto.
Sena: Toronto lagi musim salju, dan sekarang adik kecil kalian ada di museum.🖤❄️
Beberapa detik hening. Lalu notifikasi bermunculan. Tak terkecuali dari dua kakak kembarnya yang selalu protektif pada si sulung.
Mami Kalia: Astaga… anak mami cantik sekali 😍
Mami Kalia: Hati-hati ya, Sayang.
Sena: Jelas dong, putri mama ini memang cantik sekali.
Daddy Denta: Kamu ke museum sendirian?
Sena: Iya, Dad. Cuma sebentar kok 😊
Kak Sean: Sendiri? Kemana suamimu?
Sena meneguk ludah. Salah bicara dia. Sudah tau kakak sulungnya ini sangat membenci suaminya. Terlepas dari masalah mereka dulu. Yang namanya liburan, jika jauh dari keluarga dan pergi bersama suami setidaknya suami harus selalu mendampingi istri bukan?
Ia mengigit bibirnya. Bingung mau mengetik apa dan membalas bagaimana. Ini belum kakak kembarannya yang tengah.
Kak Senio: Pergi jauh berdua. Kenapa kamu dibiarkan pergi sendiri?
Kak Sean: Arsena Elvarendra.
Tuh kan, baru saja Sena membatin dan terbukti sudah. Habislah kak Sean, terbitlah kak Senio.
Sena: cuma sebentar kak.
Sena: Dialta kerja. Aku nggak enak buat ngerepotin.
Kak Sean: dalam oernikahan gak ada yang namanya ngerepotin, Arsena.
Kak Senio: Aku pesankan tiket. Kamu pulang saja.
BLAM.. Seakan kejatuhan batu berpuluh-puluh ton. Kenapa menjadi seperti ini? Niat pamer malah jadi tegang.
Mami Kalia: sudah nak kamu nikmati saja. Buat kakakmu ini biar mama yang maju.
Calla: Mas Sean, masih mau dilanjutin lagi yang kayak kemarin?
Calla: Enjoy, ya, Sen. Bahagia selalu adikku. Nggak usah mikir kakakmu. Biar jadi urusan mami sama kakak.
Daddy Denta: Hati-hati sayang. Kabari suamimu setiap kamu pergi.
Sena membaca pesan terakhir itu sedikit lebih lama.
Ia mengetik balasan singkat. Ada kehangatan tersendiri setelah bertukar kabar dengan keluarga tercintanya. Beginilah keluarga dari Arsena.
Sena: Hehe. I will 🤍
Bukannya mengirim pesan seperti yang di anjurkan oleh kedua orang tuannya. Sena malah menyimpan ponselnya lagi. Kaki dengan sepatu boot cantik itu kembali melangkah, sampai akhirnya berhenti di area seni kontemporer. Hingga ada seseorang dengan suara asing penyapanya.
“Permisi… kamu orang Indonesia?”
Sena menoleh. Seorang pria berdiri beberapa langkah darinya—dengan tinggi sedang, jaket musim dingin warna gelap, wajahnya familiar berdarah Indonesia dan jawa, sepertinya. Hanya menebak saja. Dengan logat yang semakin memperlihatkan bahwa mereka saudara senegara.
Sena tersenyum spontan. “Iya. Kamu juga?”
“Iya,” pria itu tertawa kecil. “Saya nggak sengaja mendengar kamu berbicara dengan bahasa Indonesia.”
Sena ikut tertawa. “Oh begitu,.”
“Museum ini emang bikin speechless,” lanjutnya. “Saya Raka.”
“Sena.”
“Liburan?”
Sena mengangguk. “Kurang lebih seoerti itu. Kamu?”
“Kerja. Tapi nyempetin ke sini. Mumpung hari ini Saya libur,” jawab Raka santai. “Nggak nyangka ketemu orang Indonesia di sini.”
“Same,” Sena tersenyum. “Sendirian di kota asing tuh… rasanya aneh.”
Raka mengangguk paham. “Yap, dan kita bertemu. Toronto memang dingin. Tapi tempat-tempatnya ramah. Apalagi kalau kalian mengenal satu sama lain.”
Mereka berjalan berdampingan sebentar—membicarakan pameran, cuaca, dan perbedaan budaya. Percakapan ringan, tanpa beban. Sena menikmati itu. Tidak ada status. Tidak ada masa lalu. Tidak ada kata istri pembunuh.
Hanya dua orang Indonesia di museum asing.
Sena tak tahu—di waktu yang hampir bersamaan, seseorang yang seharusnya tak ia khabari mulai menyadari ketidakhadirannya.
---