Langkah Awal
Angin pagi berembus lembut di desa kecil tempat Bram tinggal. Matahari baru saja muncul dari balik perbukitan, memancarkan cahaya keemasan yang membasahi hamparan sawah dan rumah-rumah kayu di sekitarnya.
Desa itu tenang, tetapi bagi Bram, setiap pagi adalah awal dari hari yang sulit.
Bram adalah seorang pemuda biasa, dengan rambut hitam yang selalu tampak acak-acakan dan tubuh kurus yang terkesan ringkih. Ia tidak memiliki banyak teman, bahkan mungkin tidak ada. Setiap kali ia melangkah ke sekolah, yang ada hanyalah tatapan sinis dan bisikan-bisikan yang menyudutkannya.
"Eh, lihat tuh, si Bram. Masih juga pakai seragam butut itu!" bisik seorang anak di sudut kelas.
"Mana ada perempuan yang mau sama dia? Boro-boro ganteng, pinter juga enggak," sahut yang lain sambil tertawa.
Bram tidak menghiraukan mereka. Bukan karena hatinya kebal, tetapi karena ia sudah terlalu sering mengalaminya. Ia menunduk dan berjalan menuju tempat duduknya, kursi paling belakang yang tampak kosong.
Di sekolah, Bram bukan siapa-siapa. Tidak pandai dalam pelajaran, tidak menonjol dalam olahraga, dan bahkan suaranya pun jarang terdengar dalam diskusi kelas. Keberadaannya seperti angin yang berembus tanpa disadari. Ada, tapi seolah tidak penting.
Bahkan saat jam istirahat tiba, Bram hanya bisa duduk di bawah pohon tua di belakang sekolah, mengamati teman-temannya bermain bola atau bercanda bersama. Sesekali ia mencoba bergabung, tetapi selalu berakhir dengan penolakan.
"Maaf, Bram. Tapi tim kami udah penuh," ucap salah satu anak dengan nada setengah mengejek.
Bram hanya tersenyum kecil dan kembali duduk di tempatnya. Ia menggenggam buku lusuh yang selalu ia bawa, meskipun ia tahu bahwa membaca pun tak selalu memberinya pelarian. Hatinya perih, tetapi ia tidak pernah mengeluh.
Satu hal yang paling membuatnya sadar akan posisinya adalah bagaimana para gadis di sekolah memperlakukannya. Tidak ada yang pernah mendekatinya, apalagi berbicara dengannya kecuali jika benar-benar terpaksa.
Bahkan saat ia tanpa sengaja menabrak seorang gadis di koridor, gadis itu buru-buru menjauh seolah takut tertular sesuatu.
"Maaf," ucap Bram dengan suara pelan.
Namun gadis itu hanya mendelik kesal sebelum pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Bram menelan ludahnya dan kembali berjalan.
Di dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah hidupnya akan selalu seperti ini? Apakah ia selamanya akan menjadi seseorang yang diremehkan dan dijauhi?
Tapi di balik semua itu, ada sesuatu dalam dirinya yang belum disadari oleh siapa pun, bahkan oleh dirinya sendiri, sebuah potensi yang suatu hari nanti akan membuat semua orang yang meremehkannya menyesal.
Hanya saja, hari itu belum tiba.
Hari yang dinanti-nanti oleh para siswa akhirnya tiba. Kelulusan. Ruang aula sekolah dipenuhi oleh suara riuh rendah obrolan dan tawa. Para siswa berdiri bersama orang tua mereka, mengenakan seragam rapi dengan senyum bangga. Beberapa orang tua tampak sibuk mengambil foto anak-anak mereka, menangkap momen yang akan selalu dikenang.
Namun, di sudut ruangan, seorang pemuda berdiri sendiri. Tidak ada siapa pun di sisinya. Tidak ada ayah atau ibu yang menepuk bahunya dengan bangga, tidak ada senyum penuh kebanggaan dari orang tua seperti yang didapatkan teman-temannya.
Bram hanya bisa diam, menatap suasana di sekelilingnya. la tahu, orang tuanya tidak akan datang. Ayah dan ibunya bekerja di ladang, sama seperti hari-hari sebelumnya. Mereka tidak memiliki waktu untuk berdiri di sini dan menyaksikan anak mereka menerima ijazah. Bukan karena mereka tidak peduli, tapi karena kehidupan menuntut mereka untuk terus bekerja tanpa henti.
Bisikan-bisikan mulai terdengar di sekitar Bram.
"Kasihan banget, ya? Orang tuanya nggak datang."
"Ya iyalah, mereka kan cuma petani biasa. Mungkin mereka malu punya anak kayak Bram."
"Apa yang mau dibanggakan juga? Bram tuh nggak pinter, nggak punya prestasi, cuma numpang lewat aja di sekolah ini."
Tawa kecil terdengar di antara para siswa. Mereka menganggap kata-kata itu lucu, sementara Bram hanya bisa mengepalkan tangannya di balik lengan panjang seragamnya.
la tidak menangis. Tidak lagi. Sudah terlalu sering ia menghadapi hal semacam ini.
Salah satu teman sekelasnya, Riko, berjalan mendekat dengan senyum sinis. "Bram, orang tua kamu nggak datang ya? Duh, sedih banget sih. Tapi ya wajar sih, mungkin mereka pikir nggak ada gunanya datang buat kamu."
Beberapa anak lain tertawa. Bram tetap diam.
Namun, di dalam hatinya, sesuatu perlahan mulai membakar. Entah itu amarah, kesedihan, atau tekad, ia belum bisa memahami perasaan itu sepenuhnya. Tapi satu hal yang pasti-ia lelah.
Lelah dianggap remeh.
Lelah diperlakukan seolah ia tidak memiliki nilai apa pun.
la menggigit bibirnya, menatap ke depan tanpa ekspresi. Hari ini, ia menerima ijazahnya sendirian. Tanpa tepuk tangan dari orang tua. Tanpa pelukan hangat yang diterima teman-temannya.
Namun, dalam hati, ia berjanji
Kelak, akan tiba saatnya ia berdiri di tempat yang lebih tinggi. Saat di mana tidak ada satu pun orang yang berani meremehkannya lagi.
Keesokan paginya, langit masih berwarna keemasan ketika Bram berdiri di depan rumahnya, membawa sebuah tas kecil yang isinya tak seberapa. Udara pagi masih dingin, tapi hatinya sudah bulat. Ia akan pergi ke kota, meninggalkan desa kecil yang selama ini hanya memberinya luka dan rasa rendah diri.
Di depan pintu, ibunya menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Wajah wanita itu tampak lelah, garis-garis usia semakin jelas di sana, hasil dari bertahun-tahun bekerja keras di ladang tanpa istirahat yang cukup.
"Bram... yakin mau pergi?" suara ibunya lirih, seperti berusaha menahan tangis.
Bram mengangguk, "Aku harus mencoba, Bu. Aku nggak mau selamanya begini."
Ayahnya, seorang pria tua dengan tubuh kurus yang terbakar matahari, berdiri tak jauh dari mereka. Pria itu hanya diam, tangannya menggenggam topi caping lusuh yang biasa ia pakai untuk bekerja di ladang. Setelah beberapa saat, ia menarik napas panjang lalu berkata pelan, "Maafkan Bapak dan Ibumu, Nak. Kami belum bisa kasih hidup yang lebih baik buatmu."
Bram menggeleng. "Jangan minta maaf, Pak, Bu. Aku justru yang minta maaf karena belum bisa ngebantu banyak di rumah."
Ibunya tak bisa menahan air matanya lagi. Ia meraih tangan Bram, menggenggamnya erat. "Kalau nanti di kota kamu kesulitan, jangan malu buat pulang, Nak. Di sini selalu ada tempat buatmu."
Bram tersenyum tipis. "Aku nggak akan lupa, Bu."
Ayahnya menepuk bahunya pelan, lalu mengulurkan selembar uang lusuh. "Ini ada sedikit bekal. Nggak seberapa, tapi setidaknya bisa buat makan di jalan."
Bram ragu menerimanya, tapi ia tahu menolak hanya akan membuat ayahnya merasa lebih bersalah. Ia pun mengambil uang itu, lalu memeluk kedua orang tuanya untuk terakhir kali sebelum berangkat.
Dengan langkah tegap, Bram berjalan menuju terminal kecil di ujung desa. Di belakangnya, ibunya masih berdiri di depan rumah dengan mata yang terus mengikuti kepergiannya.
la tahu perjalanan ini tidak akan mudah. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa memiliki harapan.
Kota menunggunya. Dan di sanalah, ia akan membuktikan bahwa dirinya lebih dari sekadar pemuda desa yang diremehkan.