bc

Pesona Sang Penggoda Bayaran

book_age18+
65
IKUTI
1K
BACA
billionaire
love-triangle
HE
arrogant
heir/heiress
blue collar
drama
sweet
bxg
lighthearted
city
office/work place
small town
cheating
secrets
affair
like
intro-logo
Uraian

Mimi, kembang desa yang polos dan menawan, terpaksa kabur dari rumah ketika ibu tirinya ingin menjualnya pada seorang tuan tanah tua demi menutup hutang. Pelarian itu membawanya ke kota bersama Dadang dan di sanalah hidup Mimi berubah selamanya.

Dadang mengenalkannya pada seorang wanita kaya yang memberikan tawaran pekerjaan tidak biasa dan nyaris mustahil ditolak.

“Kamu cuma perlu menggoda seorang pria. Dia muda, tampan, dan kaya raya. Bukan suami orang, jadi nggak dosa.”

Terdengar ringan.

Sampai Mimi tahu bahwa pria itu adalah seorang CEO muda dengan aura dominan, tatapan tajam, dan pesona yang membuat lututnya melemas hanya dengan satu senyum.

Mimi hanya diminta memainkan peran kecil, tapi sentuhan pertama, jarak yang terlalu dekat, dan tatapan panas sang CEO mulai mengaburkan batas antara tugas dan keinginan.

Yang Mimi tidak tahu, dia sudah punya kekasih yang sangat ia cintai.

Dan Mimi mulai terjebak di antara godaan, kecemburuan, dan permainan berbahaya sang sosialita kaya yang mempekerjakannya.

Apakah Mimi hanya pion dalam permainan perempuan itu?

Atau justru ia sendiri yang akan menyerah pada pesona sang CEO dingin dan arogan, meski tahu itu bisa menghancurkan semuanya?

Note: Nama tempat hanya fiksi semata.

Jangan lupa tap Pustaka ya, happy reading.🤗🤗

chap-preview
Pratinjau gratis
1. Nasib di Kembang Desa
“Mimi! Cepat keluar! Tuan Tanah sudah datang, jangan bikin malu!” Suara nyaring itu memecah keheningan pagi di rumah reyot peninggalan almarhum ibu Mimi. Cat dindingnya mengelupas, kayu-kayunya lapuk, seolah ikut menanggung beban hidup penghuninya. Di depan pintu, berdiri seorang perempuan paruh baya dengan bedak tebal yang menggumpal di wajahnya, ibu tiri Mimi. Senyumnya licik, matanya tajam penuh perhitungan. Mimi berdiri dengan tubuh sedikit bergetar, menggenggam ujung kain lusuh yang menutupi tubuhnya. “Bu… Mimi nggak mau dijual,” ucapnya lirih, suaranya retak. “Tuan Tanah itu sudah tua, istrinya aja dua…” Plak! Tamparan keras mendarat di pipinya sebelum kalimat itu selesai. Kepala Mimi terpelanting ke samping, rasa perih menyengat, tapi yang lebih sakit adalah perlakuan orang yang seharusnya menjadi ibunya. “Diam!” bentak sang ibu tiri, suaranya tajam seperti pisau. “Kamu pikir kita bisa makan dari udara, hah? Ayahmu berhutang banyak! Kalau bukan karena aku, dari dulu kita sudah diusir!” Mimi menunduk, air matanya jatuh satu per satu, membasahi kain lusuh yang ia genggam. Di balik dinding tipis, terdengar suara batuk berat ayahnya—serak, melemah, seperti napas yang setiap saat bisa putus. Lelaki itu hanya bisa terbaring, dililit rasa bersalah yang lebih menyiksa daripada penyakitnya. Apakah nasibku seburuk itu? Teman-temanku bilang aku beruntung dilahirkan cantik, kembang desa. Tapi apa gunanya kalau hanya membuatku dijual? Apa untungnya jadi cantik kalau akhirnya jadi istri ketiga orang tua renta? Seandainya aku dilahirkan kaya… mungkin semua ini tidak akan terjadi. Ibu tirinya kembali membuka mulut, kali ini lebih lembut namun tetap penuh manipulasi. “Cepat bersiap. Tuan Tanah sudah menunggu. Dengan begitu utang kita lunas, dan kamu… kamu bisa menyelamatkan ayahmu.” Kata-kata terakhir itu menusuk Mimi paling dalam. Dia mengangkat kepalanya perlahan, menatap ke arah kamar ayahnya yang pintunya setengah terbuka. Sesuatu di dadanya seperti runtuh, tapi pada saat yang sama sebuah keputusan mulai terbentuk. “Baiklah, Bu…” Mimi menarik napas panjang, menahan getar suaranya. “Kalau begitu, Mimi setuju menikah.” Ibu tirinya tersenyum puas. “Tapi,” Mimi melanjutkan dengan suara lebih tegas daripada sebelumnya, “ibu harus bawa ayah ke rumah sakit. Hari ini juga. Kalau tidak… Mimi tidak akan pergi.” Untuk pertama kalinya, ibu tirinya terdiam. Mimi berdiri tegak, walau tubuhnya gemetar. Dia tahu pilihannya pahit. Dia tahu hidupnya mungkin akan berubah selamanya. Tapi demi menyelamatkan sang ayah… Dia sudah tidak punya pilihan lain. ****** Suasana halaman depan rumah reyot itu terasa semakin mencekam. Angin pagi membawa aroma tanah basah, namun bagi Mimi, baunya persis seperti ketakutan. Di depan rumah, sebuah mobil hitam panjang terparkir. Mengkilap, kontras dengan lingkungan yang serba kumal. Dua pria berbadan besar berdiri di sampingnya, tangan di belakang, wajah datar tanpa emosi. Di antara mereka, Tuan Tanah berdiri dengan perut buncit dan jubah sutra berwarna emas yang terlalu mencolok untuk ukuran desa kecil ini. Kumisnya tebal, matanya sipit menghina, seolah semua yang ia lihat terlalu rendah baginya. Saat Mimi muncul dari pintu, kepala menunduk, Tuan Tanah tersenyum—senyum yang membuat bulu kuduk siapa pun berdiri. “Ah… ini gadisnya,” katanya sambil mengusap cincin permata di jarinya. “Lebih cantik dari yang kudengar.” Ibu tiri Mimi segera maju mendekat, tubuhnya sedikit membungkuk dalam usaha menjilat. “Tentu saja, Tuan. Mimi memang cantik dan patuh. Dia siap ikut Tuan kapan saja. Dan soal mahar—” “Sudah, aku tahu,” potong Tuan Tanah sambil mengibaskan tangan. “Utang keluargamu lunas. Tapi jangan lupa, gadis ini akan ikut aku sekarang.” Sekujur tubuh Mimi menegang. Sekarang? Tanpa sempat melihat ayahnya untuk terakhir kali? Tanpa persiapan apa pun? Ibu tirinya menoleh dengan tatapan memperingatkan. “Ayo Mimi, tidak sopan buat Tuan Tanah menunggu.” Mimi menggeleng pelan. Hatinya dipenuhi keberanian yang bahkan tidak ia tahu masih tersisa. “Aku akan ikut,” katanya lirih tapi jelas, “asalkan ayahku dibawa ke rumah sakit dulu. Itu janji ibu.” Tuan Tanah tertawa kecil, suaranya berat dan mengejek. “Gadis kecil, kamu pikir kamu punya hak menawar?” Mimi menggigit bibir bawahnya. Ketakutan menyergap, tapi ia tak bergeming. “Ayahku bisa mati kalau tidak dibawa sekarang. Aku… aku tidak akan pergi kalau itu belum dilakukan.” Ibu tiri Mimi menghela napas keras. Wajahnya menegang penuh amarah, tapi ia tidak berani memarahi Mimi di depan Tuan Tanah. “Tuan, izinkan kami membawa ayahnya dulu. Itu akan membuat Mimi lebih… kooperatif,” ujarnya sambil tersenyum paksa. Tuan Tanah menatap Mimi lama. Sangat lama, seolah menilai apakah gadis ini pantas diberi kelonggaran. Lalu ia mendecak. “Hmph. Baik. Tapi cepat. Aku tidak punya waktu.” Salah satu pengawal langsung bergerak menuju dalam rumah, mengangkat tubuh ayah Mimi dengan kasar. Mimi buru-buru menghampiri. “Pelan! Ayahku sakit!” serunya, matanya berkaca-kaca. Pengawal hanya mendengus, tapi sedikit mengendurkan genggaman. Ayah Mimi setengah tersadar, matanya berusaha fokus pada wajah putrinya. “Mimi… jangan…” suaranya lemah, nyaris tak terdengar. Mimi memegang tangan ayahnya erat-erat. “Semua akan baik-baik saja, Yah. Mimi di sini.” Pintu mobil hitam terbuka. Ayahnya dibaringkan di dalam. Mimi ingin ikut, tapi ibu tirinya menahan lengannya. “Kamu ikut nanti,” bisiknya dingin. Mimi menatap mobil itu pergi, meninggalkan gumpalan debu di jalan tanah. Hatinya hancur. Lalu tangan kasar sang ibu tiri menyeret lengannya. “Sekarang bersiap. Kita harus cepat menyusul Tuan Tanah.” Mimi menahan air mata. Dalam hatinya, hanya satu doa yang terus ia ulang: Ya Tuhan… selamatkan Ayahku. Dan selamatkan aku dari semua ini ******* Mansion mewah di tengah kota itu berdiri megah dengan pilar tinggi berlapis marmer dan lampu kristal yang masih menyala meski hari sudah terang. Aroma kopi mahal memenuhi ruang tamu luas yang bergaya klasik modern. Di tengah ruangan, Isabel, wanita muda dengan wajah cantik, gaya elegan, dan temperamen yang sulit ditebak, berjalan mondar-mandir sambil memegang majalah mode tebal. “Dang! Aku mau kamu bawakan gadis desa yang tercantik di kampungmu! Sekarang juga kamu pulang, dan segera bawa dia ke sini! Aku nggak mau tahu kamu rayu pakai cara apa, yang penting dia harus sampai di mansion ini secepatnya!” perintah Isabel dengan nada tinggi. Dadang, sopir pribadinya yang sudah bekerja bertahun-tahun, langsung tertegun. Lelaki itu bahkan nyaris menjatuhkan kunci mobil yang ia pegang. “Buat apa, Nona?” tanyanya dengan dahi mengernyit. “Jangan bilang… jangan bilang Nona buka usaha baru?” Nada suaranya setengah berbisik, setengah takut, terutama ketika imajinasinya mulai liar sendiri. Plak! Majalah tebal itu mendarat tepat di kepala Dadang. “Enak aja kamu, Dang!” seru Isabel dengan jengkel. “Kamu pikir aku mau jual perempuan di sini?” Dadang langsung berdiri kaku, memegangi kepalanya. “Lho, saya cuma tanya, Nona…” Isabel mendengus, memutar bola matanya kesal. “Aku butuh model untuk launching butik baruku minggu depan! Model kota sekarang banyak yang sombong dan mahalnya kebangetan. Aku butuh wajah baru, cantik natural, yang belum banyak dikenal orang.” Ia mendekat, menatap Dadang tajam. “Kampungmu itu kan terkenal dengan gadis-gadis cantik. Jadi kamu pulang sekarang. Cari yang paling cantik, paling segar, paling… pokoknya yang paling menyita perhatian. Bawa dia ke sini! Clear?” Dadang menelan ludah. “Tapi, Nona… kalau dia nggak mau?” Isabel menyeringai, senyum licik penuh percaya diri. “Kamu kan jago ngomong, Dang. Bilang aja dia akan tinggal di mansion, digaji besar, makan enak, pakai baju bagus. Siapa yang nolak?” Dadang menghela napas panjang. Dia tahu satu hal: kalau Isabel sudah punya keinginan… Tidak ada yang bisa menghentikannya. “Baik, Nona,” akhirnya ia berkata pasrah. “Saya berangkat sekarang.” “Bagus!” Isabel kembali duduk di sofa mewah, menyilangkan kaki anggun, dan menyesap kopinya. “Dan Dang… jangan pulang kalau kamu belum nemu gadis yang cocok!” Dadang hanya bisa mengangguk sebelum berjalan keluar dengan langkah berat, tetapi hatinya gelisah. Karena di kampungnya… Ada satu gadis yang paling cantik. Dan dia tahu pasti, hanya satu orang yang sesuai dengan permintaan Isabel. Mimi. Tapi kan orang di kampungnya banyak yang nikah muda. Bersambung......

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
307.5K
bc

Too Late for Regret

read
271.6K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.6M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
135.8K
bc

The Lost Pack

read
374.6K
bc

Revenge, served in a black dress

read
144.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook