2. Rahasia yang Bocor

1567 Kata
Sebenarnya, Dadang tidak langsung mengiyakan permintaan Isabel. Ada kegelisahan yang menempel di dadanya sejak nama “gadis desa tercantik” disebut. Dia tahu seperti apa kampung halamannya. Dia tahu kenyataan pahit orang-orang di sana. Dalam perjalanan menuju garasi, Dadang menghela napas berat. Apa Mimi masih ada? Masih belum menikah? Perempuan di kampungnya jarang yang menunggu sampai dewasa. Banyak yang menikah muda, bahkan masih belasan tahun, karena kemiskinan memaksa mereka menerima laki-laki mana pun yang mau memberi sedikit harapan. Beberapa dari mereka malah “dinikahkan” ke luar negeri. Hanya demi sebidang tanah, atau uang yang tidak seberapa. Semua karena kebutuhan makan jauh lebih mendesak daripada masa depan. Dadang menunduk. Pikirannya melayang pada masa kecilnya di desa. Rumah-rumah papan reyot. Anak-anak kurus berlarian tanpa alas kaki. Bapak-bapak bekerja serabutan, dan ibu-ibu menopang keluarga dengan berkebun di lahan sempit yang tidak pernah cukup menghasilkan. Dia ingat betul alasan kenapa dia pergi. Dan kenapa dia tidak pernah benar-benar pulang. Tidak usah jauh-jauh bicara tentang orang lain... Dirinya sendiri terpaksa meninggalkan keluarga demi bekerja di kota, menjadi sopir untuk orang kaya seperti Isabel. Itu pun awalnya ia tinggal di mess pekerja yang sempit dan sesak. Untung Isabel, dengan sifatnya yang keras tapi sebenarnya tidak pelit, pernah memberinya pinjaman besar tanpa bunga, untuk menyewa rumah petak sederhana di pinggir kota. Dengan itu, istri dan anaknya bisa tinggal dekat dengannya. Mereka tidak perlu kembali hidup kekurangan di kampung. Itulah salah satu alasan mengapa Dadang tetap setia bekerja untuk Isabel. Dan mengapa sekarang dia tidak punya pilihan selain menuruti perintahnya. Namun di lubuk hatinya, ada rasa sungkan. Rasa bersalah. Karena nama yang muncul di kepalanya sebagai “gadis tercantik dari kampung” hanya satu. Mimi. Tetapi apakah Mimi masih ada? Masih bebas? Atau dia sudah… dinikahkan seperti gadis-gadis lain? Dadang masuk ke dalam mobil, memutar kunci, tapi tangannya sempat berhenti di atas setir. “Ya Allah… mudah-mudahan anak itu masih baik-baik saja,” gumamnya pelan. Lalu dengan hati yang diliputi kekhawatiran, ia menginjak gas. Perjalanan kembali ke kampung pun dimulai, membawanya menuju kenyataan yang mungkin tidak pernah ia sangka. ****** “Apa? Suami saya… meninggal?” Suara Siti tercekat, matanya membesar seolah tidak percaya. Dokter yang berdiri di hadapannya menunduk pelan, wajahnya penuh simpati yang tulus. “Maaf, Bu. Kami sudah berusaha. Tapi pasien datang terlambat… kondisinya terlalu parah. Kami tidak bisa menyelamatkannya.” Siti menutup mulutnya dengan tangan. Tubuhnya sedikit bergoyang, seolah hampir jatuh. Dari luar, terlihat seperti perempuan yang terpukul oleh kehilangan besar. Tapi dokter itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di hatinya. Bukan kesedihan. Bukan duka. Bukan kehilangan. Melainkan rasa takut dan panik yang menusuk jantungnya. Matilah aku… kalau sampai Mimi tahu ini! Siti memegangi dadanya, napasnya memburu. Selama ini, ia menggunakan sakit keras suaminya sebagai ancaman agar Mimi mau menikah dengan Tuan Tanah. Itu modalnya. Itu satu-satunya cara agar utangnya lunas dan dirinya terbebas dari tekanan. Padahal tidak benar kalau hutang itu disebabkan ayah Mimi, hutang itu sebenarnya Siti gunakan untuk menyekolahkan Yuni anak kandungnya ke kota. Kalau Mimi tahu ayahnya sudah meninggal… Kalau Mimi tahu tidak ada lagi yang harus ia selamatkan… Mimi pasti membatalkan semuanya! Tidak jadi menikah. Tidak jadi dibawa oleh Tuan Tanah. Tidak jadi menebus utang. Dan itu berarti, Siti akan kembali menanggung semua masalah sendirian. Bahkan mungkin dikejar orang suruhan Tuan Tanah. “Bu? Ibu baik-baik saja?” tanya dokter itu cemas. Siti buru-buru menghapus air mata, air mata palsu yang keluar lebih karena takut ketahuan daripada rasa duka. “I-iya, Dok… saya hanya kaget,” jawabnya terbata-bata. Dokter mengangguk penuh empati. “Kami akan membantu urusan rumah sakit dan administrasi. Nanti pihak kami akan hubungi keluarga ibu....” “Tidak!” potong Siti refleks, lalu cepat-cepat menutup mulutnya. “Maksud saya… saya saja yang urus, Dok. Tidak perlu menghubungi siapa-siapa. Keluarga kami… tinggal sedikit.” Siti mencoba tersenyum, tapi wajahnya pucat. Begitu dokter pergi, Siti langsung duduk, memegang kepalanya. “Aduh… gimana ini…” bisiknya panik. “Kalau Mimi tahu ayahnya mati, habis aku…” Ia menggigit bibir, pikirannya berputar cepat mencari solusi. Cara apa pun, alasan apa pun, yang penting Mimi tidak boleh tahu. Tidak hari ini. Tidak besok. Tidak sampai semua urusan dengan Tuan Tanah selesai. Dengan tangan gemetar, Siti mengambil ponselnya. Ia harus gerak cepat. Sebelum semuanya hancur. ****** Dadang merasa hari itu benar-benar sial. Baru saja keluar dari pusat kota dan hendak mempercepat laju kendaraan menuju kampungnya, tiba-tiba saja Bruk! Mobilnya menyerempet gerobak sayur di pinggir jalan. “Astaga!” Dadang mengerem mendadak. Gerobak itu oleng, sayur-mayur berserakan di aspal. Seorang lelaki tua terhuyung, hampir terjatuh. Dadang buru-buru keluar dari mobil. “Pak! Maaf, Pak, saya nggak sengaja!” Begitu wajah si penjual sayur terlihat jelas, Dadang tertegun. Itu Pak Wardi. Tetangga satu dusunnya dulu. Lelaki pekerja keras yang dulu sering membantu warga saat hajatan. Tapi Pak Wardi menatapnya tanpa mengenali. Matanya sudah rabun, langkahnya pun goyah. “Maaf, Nak… saya nggak lihat ada mobil,” ucapnya dengan suara lirih. Dadang merasa sesak. Bukan karena kecelakaan kecilnya, tapi karena kenyataan pahit yang terpampang di depan mata: orang-orang tua di desanya semakin banyak yang pergi ke kota demi bertahan hidup, tapi usia membuat mereka rentan seperti ini. Dengan suara penuh penyesalan, Dadang memutuskan, “Pak, ikut saya ke rumah sakit. Saya antar sekarang.” Pak Wardi hendak menolak, tapi Dadang tidak mau dengar. Kemanusiaannya menang di atas segala urusan. ****** DI RUMAH SAKIT Setelah memastikan Pak Wardi mendapatkan penanganan, Dadang keluar ke koridor dan hendak mencari air minum. Namun langkahnya berhenti ketika melihat sosok yang sangat ia kenal berjalan cepat melewati lobi. Siti. Ibu tiri Mimi. Dadang spontan hendak menghampirinya. Ia berpikir mungkin bisa sekalian mencari tahu kabar Mimi, apakah gadis itu masih di rumah, apakah dia baik-baik saja. Apakah Mimi sudah menikah atau Mimi masih single? Namun sebelum Dadang sempat melambaikan tangan, Siti berhenti tidak jauh darinya, menempelkan ponsel ke telinga. Nada bicaranya rendah, tapi jelas penuh kecemasan. “Tuan… tolong percepat proses pernikahannya, cepat bawa Mimi,” suara Siti bergetar namun memaksa. “Saya nggak mau Mimi tahu dulu. Iya… ayahnya sudah meninggal di sini. Baru saja. Takutnya dia tidak mau kalau tahu ayahnya sudah meninggal.” Dadang membeku. Wajahnya langsung mengeras. Siti melanjutkan dengan nada ketakutan bercampur ambisi, “Sebelum semua bocor, kita langsung nikahkan saja. Mimi pasti nurut. Dia kan cuma mau selamatkan ayahnya… padahal ayahnya sudah nggak ada.” Dadang mengepalkan tangan. Astaga… perempuan ini benar-benar tega. Ia sudah tahu Siti bukan ibu tiri yang baik. Tapi memanfaatkan kematian suami sendiri untuk menipu Mimi agar menikah dengan Tuan Tanah yang sudah uzur? Itu sudah melampaui batas. Dadang memalingkan wajah, memastikan Siti tidak melihatnya. Ia mendengar Siti berjalan pergi, masih ribut di telepon. Saat itu juga, Dadang membuat keputusan dalam hatinya, keputusan yang tidak pernah ia rencanakan sebelumnya. “Kebetulan aku memang butuh Mimi. Isabel minta gadis tercantik dari kampung. Tapi sebelum itu… aku harus kasih tahu Mimi semuanya. Dia berhak tahu ayahnya sudah meninggal.” Dadang memejamkan mata sejenak. Bayangan Mimi kecil muncul di ingatannya. Gadis manis yang sering memetik bunga liar. Suka membantu siapa saja. Paling sopan ketika berbicara dengan orang tua. Dan Siti mau mengorbankan anak sebaik itu? Mengapa bukan anak kandungnya sendiri, si Yuni itu? Kenapa harus Mimi? Dadang menggeleng, amarahnya semakin menebal. Tidak. Ini tidak boleh dibiarkan. Ia membuka mata dengan tekad bulat. “Aku harus cari Mimi sekarang. Ceritakan semuanya. Kalau perlu, kubawa dia kabur ke kota. Biar Isabel senang,, akhirnya keinginannya tercapai. Yang penting Mimi jangan jatuh ke tangan Tuan Tanah.” Dadang menarik napas panjang, kepalan tangannya mengeras. Hari yang ia kira sial… Ternyata justru mengarahkan langkahnya kepada sebuah misi yang jauh lebih penting. Menyelamatkan Mimi. Dadang berjalan cepat menuju parkiran rumah sakit. Wajahnya masih tegang, tapi ada semacam kilatan keyakinan yang baru di matanya. Untuk pertama kalinya sejak Isabel memberi perintah aneh itu, ia merasa… mungkin ini memang sudah jalannya. “Bukankah ini namanya… sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui,” gumam Dadang dalam hati sambil membuka pintu mobil. Ia masuk, menarik napas panjang. “Selain bisa menyelamatkan Mimi dari Siti dan Tuan Tanah itu…” Dadang tersenyum kecil, senyum penuh tekad. “…aku juga bisa memenuhi keinginan Nona Isabel.” Karena Isabel hanya meminta satu hal: gadis tercantik dari kampungnya. Dan siapa lagi kalau bukan Mimi? Dadang memukul setir pelan, bukan karena kesal, tetapi karena semangat tiba-tiba meluap. “Ini kesempatan,” bisiknya. “Kesempatan untuk nolong Mimi… dan kesempatan untuk memenuhi keinginan nona Isabel.” Ia menyalakan mesin mobil. Dalam kepalanya, rencana mulai terbentuk. Pertama, ia harus pergi ke desa sebelum Mimi dibawa ke kantor KUA atau rumah Tuan Tanah. Kedua, ia harus menemukan Mimi dan memberitahunya kebenaran tentang ayahnya, tentang rencana kotor Siti. Dan yang ketiga, ia harus menawarkan perlindungan. Bukan sebagai pahlawan. Tapi sebagai seseorang yang masih punya nurani yang tidak tega melihat seorang gadis muda dihancurkan hidupnya hanya karena kemiskinan dan kelicikan orang dewasa. “Nanti kalau Mimi mau ikut aku ke kota,” ucap Dadang mantap, “aku bawa dia ke mansion. Aku jelasin semuanya ke Nona. Dan Mimi bisa dapat hidup yang jauh lebih baik dari ini.” Perlahan mobil melaju keluar dari parkiran rumah sakit. Dadang menatap jalanan yang membentang di depan, seolah jalan itulah yang akan menentukan masa depan Mimi. “Bersabarlah, Mi…” gumamnya tegas. “Aku datang menjemputmu.” Dengan hati penuh niat baik yang jarang ia rasakan sekuat ini, Dadang memulai perjalanan menuju desa, menuju rumah Mimi, menuju perubahan yang tidak pernah ia duga. Bersambung.......
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN