3. Pengantin yang Hilang

1325 Kata
Setelah tekadnya bulat, Dadang langsung menuju kampung Mimi tanpa menoleh lagi. Mobilnya ia pacu secepat mungkin melewati jalan yang makin sempit dan becek, hingga akhirnya ia berhenti di depan rumah reyot yang sudah lama tak dicat. Di depan rumah itu, sebuah mobil hitam mengilap sudah menunggu. Mobil milik orang suruhan Tuan Tanah. Dadang mengedarkan pandangan. Jantungnya langsung berdegup kencang. "Astaga… mereka sudah siap jemput Mimi." Kalau ia telat sedikit saja… Mimi akan dibawa pergi. Dadang tidak mau mengambil risiko. Ia mematikan mesin, keluar dari mobil dengan cepat, dan memilih memutari sisi rumah. Ia tahu pintu belakang jarang dikunci, walaupun sudah lama meninggalkan kampungnya, Dadang masih cukup mengenal lingkungan kampungnya, apalagi rumah Mimi sama sekali tidak berubah, hanya bertambah tua saja. Benar saja. Pintu kayu itu mudah dibuka, hanya berdecit pelan. Dadang mengendap masuk. Rumah kecil itu terlihat lenggang dan sesak oleh ketegangan. Aroma bedak dan hairspray menyengat ruangan sempit itu. Dari sela pintu kamar yang sedikit terbuka, Dadang melihat Mimi tengah duduk diam di kursi kecil kayu. Rambutnya disanggul tinggi. Wajahnya sedang dirias oleh penata rias kampung, bu lila, tetangga jauh yang terkenal suka ikut-ikutan urusan orang. Mimi tampak pucat. Bahkan terlalu pucat. Di pangkuannya, ponsel tua tergeletak. Sesekali Mimi melirik layar, seolah berharap ada kabar dari ayahnya. Sejak tadi ibunya belum juga mengirimkan pesan ataupun menelpon. Dan itu membuatnya semakin resah dan tidak tenang. “Bu… ayah saya beneran di rumah sakit, kan?” tanya Mimi lirih, seperti masih mencoba meyakinkan diri sendiri. Penata rias itu hanya menjawab ketus, “Udah, Mimi. Yang penting kamu itu nurut. Ini jodoh bagus. Banyak gadis kampung nggak dapet kesempatan begini.Kan ibumu masih di Rumah Sakit mengurus ayah mu!” Mimi menggigit bibir. Ada sesuatu yang jelas-jelas salah, tapi ia tidak tahu apa. Sejak semalam hatinya tidak tenang. Dadang melihat itu semua sambil menahan emosi. Ia tahu Mimi sedang sendirian secara batin, tidak ada yang jujur padanya. Dan ini… saatnya ia masuk. Bu Lila berdiri untuk mengambil hairspray di tasnya, membelakangi pintu. Kesempatan itu hanya beberapa detik. Dadang bergerak cepat. Ia membuka pintu sedikit, cukup untuk Mimi melihat wajahnya. Mimi menoleh. Matanya membesar. Seperti melihat penyelamat di tengah badai. Dadang meletakkan telunjuk di bibir, memberi isyarat: jangan bersuara. Dalam gerakan pelan dan hati-hati, ia berbisik, “Mimi… ikut saya. Sekarang.” Mimi mengerjap, bingung dan takut sekaligus. Tapi tatapan Dadang mengatakan semuanya: bahaya. Perlahan ingatannya datang, Dadang dan istrinya cukup baik padanya saat mereka masih tinggal di desa ini, namun sudah beberapa tahun Dadang dan keluarganya pindah ke kota. Bu Lila masih membelakangi, sibuk mengobrak-abrik tas riasnya. Dadang mengulurkan tangan sedikit dari pintu. “Mi.. kalau kamu tetap di sini, kamu bakal dipaksa nikah dengan Tuan Tanah tua. Ayah mu sudah…” suaranya tercekat, menahan potongan kalimat yang harus ia sampaikan. Mimi menahan napas. Dadang menatapnya dalam-dalam, memberi keberanian. “Percaya sama saya, Mi.Aku datang untuk membantumu!” Mimi menggenggam kebaya pengantin yang dipakainya. Ia menatap pintu, menatap Dadang, lalu menatap Bu Lila yang tengah sibuk. Keputusan itu seperti menggeser hidupnya. Perlahan, Mimi bangkit dari kursi. Mimi baru saja bangkit dari kursi ketika Bu Lila membalikkan tubuhnya lebih cepat dari dugaan siapa pun. Mata Bu Lila langsung membesar. “Lho?! Mimi, kamu mau...” Kalimat itu belum sempat selesai. Karena begitu ia melihat sosok Dadang berdiri di balik pintu, mulutnya langsung terbuka lebar, bersiap menjerit. Dadang tahu itu tanda bahaya. Dalam sepersekian detik, Dadang menerjang masuk dan menutup mulut Bu Lila dengan kedua tangannya. “Jangan, Bu!” bisik Dadang setengah mendesis. “Jangan teriak! Tolong!” Bu Lila meronta keras. Tangannya menampar-nampar udara, hampir mengenai wajah Mimi. “Bu, tolong… jangan panggil orang suruhan Tuan Tanah!” Mimi memohon sambil menangis. Namun Bu Lila semakin memberontak, tubuhnya menggeliat liar, wajahnya memerah karena takut dan marah. Dadang menggertakkan gigi. Ia tidak mau kasar, tapi kalau Bu Lila sampai menjerit… semuanya selesai. “Non Mimi, cari apa aja… tali, kain, apa aja!” seru Dadang cepat sambil menahan tubuh Bu Lila yang kuatnya di luar dugaan. Mimi panik, namun buru-buru membuka laci, kain lusuh, selendang, dan tali jemuran. “Tali bang! Ini, Bang!” Dadang mengambilnya dengan satu tangan, tangan lain masih menekan mulut Bu Lila. “Bu… maaf… saya terpaksa…” Dalam gerakan cepat, Dadang memutar tali itu ke pergelangan tangan Bu Lila, mengikatnya di belakang tubuh. Bu Lila berusaha melepaskan tangan, tapi Dadang bergerak cekatan, seperti pernah melakukan hal semacam ini saat bekerja di kota. “Tolong jangan jerit… saya nggak mau kasar sama Ibu,” kata Dadang sambil mengikat simpul terakhir. Bu Lila menggeleng-geleng, mata melotot marah, tapi kemudian Dadang berkata pelan, setengah memohon: “Kalau Ibu teriak… Mimi bakal dipaksa nikah sama orang tua itu, Bu. Masa Ibu tega lihat gadis muda seperti Mimi hancur hidupnya?” Gerakan Bu Lila melemah sedikit. Tatapannya tidak lagi liar, lebih ke bingung dan ragu. Namun hanya sejenak, kalau dia biarkan, yang ada dia yang akan kena masalah. Tapi Dadang tidak punya waktu. Ia mengambil potongan selendang tipis dari meja, lalu berkata lirih: “Maaf, Bu… cuma untuk tutup mulut sebentar. Setelah kami pergi, ibu bisa teriak sepuasnya.” Mimi, dengan tangan gemetar, membantu menyerahkan selendang itu. Dadang membalutkan kain tersebut ke mulut Bu Lila, mengikatnya dengan rapi agar Bu Lila tidak bisa bersuara. Bu Lila akhirnya hanya bisa mendengus marah, tubuhnya terikat rapi di kursi rias dengan tangan di belakang. Mata Mimi berkaca-kaca melihatnya. “Maaf, Bu Lila… saya bukan mau jahat,” ucap Mimi pelan. “Saya cuma mau… selamat.” Bu Lila memutar bola matanya keras, namun tidak lagi berontak. Dadang meraih tangan Mimi. “Mi, kita harus pergi. Sekarang.” Keduanya bergegas menuju pintu belakang, langkah mereka cepat dan penuh kegugupan. Saat mereka hendak keluar, mereka mendengar suara kecil dari Bu Lila, suara yang tertahan di balik kain. Bukan teriakan. Bukan amarah. Tapi lebih seperti… desahan pasrah. Seakan-akan ia akhirnya mengerti bahwa ia pun tidak punya kuasa mencegah ini semua. Dadang menutup pintu pelan, lalu menarik Mimi menjauh dari rumah yang kini penuh bahaya. ****** Dadang menarik Mimi melewati pintu belakang dengan langkah cepat namun terukur. Jalan tanah sempit itu terhampar di depan, hanya diterangi matahari pagi yang mulai terbit. “Pegangan, Non. Kita harus cepat,” ujar Dadang terburu-buru sambil mengintip kanan-kiri memastikan tidak ada yang melihat. Mobil hitam suruhan Tuan Tanah masih parkir di depan rumah, mesinnya menyala pelan. Sang sopir, laki-laki berbadan besar bernama Wito, menunggu sambil mengetuk-ngetuk setir bosan. Di sampingnya, seorang laki-laki lain keluar dari mobil sambil melihat ke arah pintu depan rumah Mimi. “Kenapa lama amat, sih?” gerutunya. “Mana saya tahu,” balas Wito. “Biasanya kalau perempuan mau dinikahin, paling lama setengah jam dandan. Apalagi lagi Bu Lila penata rias berpengalaman.” Yang satu mengangkat alis. “Ini udah setengah jam lebih… bukankah Tuan sudah bilang seadanya saja dan yang penting cepat?” Wito akhirnya membuka pintu dan turun. Ia menguap besar, meregangkan bahu, lalu melongok ke teras. “Miiiiimiii!” panggilnya sambil mengetuk pintu. “Cepat, Non! Tuan Joko sudah tunggu!” Suara itu menggema… tapi tidak ada jawaban. Wito saling pandang dengan rekannya. “Kau coba cek ke dalam belakang, barangkali pingsan tuh anak.” ****** Dadang merendahkan tubuhnya sambil membawa Mimi berlari pendek menyeberangi halaman belakang yang sempit. Daun pisang menampar-nampar pundak mereka saat mereka melewati semak-semak. “Bang… ketahuan nggak, ya?” tanya Mimi dengan napas terputus-putus. “Belum. Tapi sebentar lagi,” jawab Dadang sambil membuka pintu mobilnya yang ia parkir agak tersembunyi di balik pohon melinjo. Mimi masuk cepat. Dadang ikut masuk dari sisi kemudi. Baru saja ia menyalakan mobil… BRAK! Suara pintu belakang rumah didobrak. “Oh tidak…” Mimi menutup mulut ketakutan. Dari kejauhan, mereka mendengar suara Wito berteriak lantang. “ BU LILA!! NON MIMI!! ADA ORANG?!” Suara itu membuat bulu kuduk Mimi berdiri. “Bang… mereka masuk!” seru Mimi panik. Dadang menginjak pedal gas. “Pegangan, Mi! Kita pergi sekarang!” Mobil melaju cepat menyusuri jalan kecil, hembusan angin mengangkat debu ke langit. Bersambung........
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN