4. Janji Terakhir untuk Ayah

1466 Kata
Wito dan rekannya melihat pemandangan yang membuat mereka terperangah: Bu Lila duduk di kursi, terikat tali, mulutnya disumpal kain. “b******k!!” Wito langsung mencabut sumpal itu. “Siapa yang ngikat kau?” Bu Lila terbatuk keras, wajahnya merah karena emosi. “Su… supir kampung! Si Dadang itu!” teriaknya. “Apa?! Dia culik Non Mimi?!” Belum sempat Wito bereaksi lebih jauh, terdengar deru mobil dari arah belakang rumah. Wito berlari ke luar. Ia hanya sempat melihat mobil Dadang melesat cepat meninggalkan desa. “KEJAR!!” teriaknya kepada rekannya. “Tuan Tanah bakal bunuh kita kalau gadis itu kabur!” Namun mereka terlambat. Mobil Dadang sudah hilang di tikungan kecil menuju hutan bambu. Dadang mengatur napas, mencoba tetap tenang walau wajahnya penuh tekanan. “Mimi… yang penting kamu selamat dulu. Soal lainnya kita pikir nanti.” Mimi menggenggam d**a, air mata mengalir tanpa bisa ditahan. “Bang… saya takut… mereka kejar kita?” “Pasti,” jawab Dadang jujur. “Tapi selama saya nyetir, nggak ada yang bisa ambil kamu.” Mimi menatap keluar jendela, melihat desa tempat ia tumbuh menjauh semakin kecil. Saat itu… dunia Mimi berubah selamanya. ****** Di dalam mobil yang melaju menembus jalan kampung yang mulai gelap, Mimi masih terisak pelan, antara rasa takut, sedih, dan bingung. Tangannya bergetar memegang ujung kain kebaya yang belum sempat dirapikan. Dadang menyetir dengan rahang mengeras, sesekali melirik melalui kaca spion untuk memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Setelah beberapa menit, napas Mimi mulai teratur. Ketika ketakutannya sedikit mereda, pikirannya menjadi lebih jernih. Ia melirik Dadang dengan dahi berkerut, berusaha memahami semua yang baru saja terjadi. “Bang… aku heran,” ucap Mimi lirih. “Setahu aku, abang sudah lama nggak balik kampung. Orang tua abang juga sudah nggak ada… Anak sama istri abang pun dibawa ke kota, kan? Tapi kok abang tiba-tiba muncul hari ini… pas banget. Kayak malaikat jatuh dari langit yang dikirim Tuhan untukku. Kenapa, Bang? Ada apa sebenarnya?” Dadang terdiam beberapa detik. Ia menarik napas panjang seperti menimbang apakah harus berkata jujur sepenuhnya atau tidak. “Aku memang sudah lama nggak pulang,” jawabnya perlahan. “Tapi nona besar di kota minta aku cariin anak gadis kampung yang mau kerja di rumahnya. Katanya butuh pekerja dari kampung yang nggak banyak permintaan. Jadi… aku sempat balik buat nyari yang pas.” Ia melirik Mimi sejenak lalu melanjutkan, “Kalau kamu bersedia, aku akan bawa kamu kamu ke nona ku. Nona ku cukup royal dan baik, walaupun kadang mau menang sendiri.” Mimi mengangguk pelan. Penjelasan itu masuk akal bagi kepalanya yang sedang lelah dan kacau. Ia langsung menyimpulkan sendiri, Paling cuma dijadiin pembantu… nggak apa-apa, yang penting aku selamat dari Tuan Tanah itu. Lebih baik jadi pembantu daripada jadi istri ketiga Tuan Joko. Dengar-dengar istri pertamanya saja sangat galak. Namun tiba-tiba wajahnya menegang, seperti tersengat oleh sesuatu yang lebih menyakitkan dari ketakutan sebelumnya. “Bang…” Mimi menelan ludah. Suaranya bergetar. “Ayah… Ayahku. Dia lagi sakit. Kalau aku ikut abang ke kota sekarang… aku ninggalin ayah. Aku nggak tega, Bang. Kalau aku nggak nikah sama Tuan Joko, ibu nggak mau bayar biaya rumah sakit ayah.” Matanya kembali berkaca-kaca. “Bagaiman juga aku harus tetap pulang. Aku tidak boleh egois dan jadi anak durhaka...” Dadang langsung memperlambat mobil. Hatinya mencelos. Ia tahu momen itu akhirnya muncul. Dengan suara sangat hati-hati, ia berkata, “Mi… ada hal yang sebenarnya harus kamu tahu.” Mimi menoleh cepat, seolah siap menerima kabar buruk apa pun. “Aku tadi ke rumah sakit dulu sebelum ke rumah kamu,” lanjut Dadang. “Aku cari kamu justru karena aku dengar sendiri ibumu bicara sama Tuan Joko lewat telepon… Mereka mau percepat pernikahan kalian.” Mimi menegang, wajahnya memucat. Dadang menelan ludah, lalu melanjutkan pelan, “Karena ayahmu… sudah tiada, Mim.” Mimi membeku. Dunia seolah berhenti berputar. “Ibumu sengaja nutupin semuanya dari kamu,” kata Dadang lagi. “Dia takut kamu batal nikah sama Tuan Joko kalau kamu tahu kenyataannya.” Seakan seluruh dunia runtuh, Mimi menutup mulutnya. Bahunya bergetar hebat. “Nggak… Nggak mungkin… Ayah nggak mungkin pergi tanpa aku…” suara Mimi pecah, air matanya jatuh tanpa suara, deras, patah, dan penuh luka. Dadang menatap jalan dengan mata ikut memerah. Setelah hening beberapa detik, ia berkata lirih, “Sebelum aku pergi dari rumah sakit… aku sempat lihat ayahmu, Mi. Benar. Ayahmu sudah meninggal.” Mobil terus melaju meninggalkan kampung yang kini tidak lagi terasa seperti rumah, melainkan perangkap gelap yang hampir menelan Mimi hidup-hidup. ****** Mimi memegangi kepalanya, tubuhnya bergetar hebat. Tangisnya pecah tanpa bisa ditahan. “Tidak… tidak, Bang! Ayah nggak mungkin pergi tanpa aku! Ayah nggak mungkin meninggalkan aku sendirian!” teriak Mimi sambil memukul-mukul dadanya sendiri. Napasnya tersengal, suaranya patah, hampir seperti seseorang yang tenggelam di tengah lautan. Dadang segera menepikan mobil ke pinggir jalan tanah. Ia mematikan mesin lalu memutar tubuhnya menghadap Mimi. “Mimi, tenang dulu, Nak… dengarkan Bang,” bisiknya cemas. “Gimana aku bisa tenang, Bang!” Mimi meronta, air matanya tidak berhenti jatuh. “Ayahku… Ayah… Dia pasti nyari aku! Dia pasti manggil aku… Kalau aku nggak ada saat terakhirnya, aku anak apa Bang? Aku anak apa…?” Mimi menutupi wajahnya, tubuhnya gemetar kuat. Dadang ikut menarik napas berat, ikut merasa sesak melihat gadis itu hancur seperti itu. “Mimi…” suaranya pelan, namun tegas. “Mau tidak mau… demi keamanan kamu, kamu nggak bisa balik rumah ibumu. Orang-orang Tuan Joko pasti lagi nyari kamu. Dan kalau kamu datang ke kampung sekarang… kamu akan dipaksa nikah langsung.” Mimi terisak makin keras. “Tapi Ayahku, Bang…” bisiknya memelas. “Ayahku sendirian. Aku harus lihat dia… minimal sekali sebelum dia dikuburin. Aku nggak bisa… aku nggak bisa nggak ketemu Ayah di saat terakhir…” Dadang menunduk. Kata-kata gadis itu seperti pisau yang menusuk hatinya. Ia tahu risikonya besar, tapi melihat Mimi seperti itu, ia tidak tega. Lelaki itu akhirnya menggenggam lengan Mimi lembut. “Ayahmu di atas sana pasti ngerti, Mi. Kamu anak yang berbakti… kamu bukan lari dari ayahmu. Kamu lari dari orang yang mau mencelakai hidupmu.” Mimi menggeleng keras, matanya memerah bagai bara. “Aku paling tidak harus lihat Ayah sebelum dikubur, Bang… Aku mohon. Sekali ini aja… tolong…” Dadang memejamkan mata sejenak, lalu menarik napas panjang. Keputusan diambil. “Baik. Kita ke rumah sakit sekarang.” putus Dadang akhirnya. ****** Mobil berbalik arah menuju kota. Mimi memeluk dirinya sendiri sepanjang perjalanan, menangis tanpa suara. Setiap detik terasa menyiksa, namun tekadnya membuat tubuhnya tetap duduk tegak. Sesampainya di rumah sakit, Dadang bersyukur karena dugaannya benar, jasad ayah Mimi memang belum diberangkatkan ke kampung. Siti ternyata meminta pihak rumah sakit menahan proses pemulangan jenazah sampai “urusan penting” selesai. Urusan yang ternyata adalah menikahkan Mimi dengan Tuan Joko. Begitu turun dari mobil, Mimi gemetar hebat. Dadang menopang tubuhnya. “Pelan-pelan, Mi… ” Saat mereka masuk ke lorong menuju ruang jenazah. Dadang langsung mematikan ponselnya, menahan napas. “Cepat, Mi. Sebelum mereka sadar kamu hilang.” Dengan langkah limbung, Mimi memasuki ruang jenazah. Aroma dingin formalin menyambutnya. Ruangan itu sunyi, hanya lampu neon putih yang menyala redup. Di tengah ruangan, tubuh ayahnya terbaring tenang, ditutupi kain putih. Mimi berhenti di ambang pintu. Seluruh tubuhnya gemetar seperti daun diterpa angin. “Bang…” suaranya hampir tak terdengar. “Aku takut…” Dadang mengangguk lembut. “Ayo, Mi… Ayahmu nunggu kamu.” Mimi melangkah mendekat, satu langkah… dua langkah… lalu lututnya tiba-tiba melemas. Dadang cepat menangkapnya sebelum ia jatuh. Begitu kain penutup wajah ayahnya tersingkap, Mimi menutup mulutnya, terisak keras. “Ayah…” suara Mimi pecah, menyayat. “Ayah… Mimi datang, Yah… Maafin Mimi telat… Maafin Mimi…” Ia menunduk, memeluk tubuh ayahnya yang dingin. Tangisnya pecah memenuhi ruangan. Dadang berdiri di belakangnya, memalingkan wajah untuk menahan emosi yang ikut menyeruak. Sambil melihat sekitarnya, khawatir ada yang melihat kedatangan mereka. Beberapa detik yang terasa seperti begitu panjang berlalu dalam keheningan yang mengiris. Mimi akhirnya berkata dengan suara yang hampir mati, “Ayah… Mimi janji… Mimi bakal pergi dari kampung ini… Mimi bakal hidup baik-baik… Bukan karena Mimi mau lari… Tapi karena Mimi mau hidup seperti yang Ayah mau…” Dadang menyentuh pundaknya. “Mimi… kita harus pergi.” Dengan tangan gemetar, Mimi menarik kain penutup wajah ayahnya kembali. Ia mencium dahinya untuk terakhir kali. “Selamat jalan, Yah…” Air matanya jatuh membasahi kain putih itu. Lalu ia bangkit, dengan langkah paling berat yang pernah ia buat dalam hidupnya dan meninggalkan ruangan itu, meninggalkan ayahnya, meninggalkan masa lalunya. Ada perasaan bersalah karena tidak bisa ikut hadir dalam acara penguburan ayahnya, namun tidak ada jalan lain kalau dia mau terhindar dari pernikahan itu. Dia yakin ayahnya akan memaklumi keputusannya. Maafkan Mimi, yah.... Namun untuk pertama kalinya sejak hari itu dimulai… Mimi melangkah bukan sebagai korban, melainkan sebagai seseorang yang akhirnya memilih jalannya sendiri. Bersambung........
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN