5. Harga Sebuah Pelarian

1348 Kata
Lampu-lampu kristal di ballroom hotel berbintang itu memantulkan kilau emas, membuat seluruh ruangan tampak seperti dunia lain, dunia para pewaris, para pengusaha muda, dan anak-anak orang kaya yang datang bukan hanya untuk berpesta, tetapi juga untuk menunjukkan status. Musik jazz lembut mengalun, gelas-gelas kristal beradu, dan percakapan bisnis bercampur dengan tawa-tawa manis penuh kepura-puraan. Di tengah keramaian itu, Isabel berdiri anggun mengenakan gaun hitam elegan yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya disanggul rapi, memperlihatkan anting berlian yang memantulkan cahaya setiap kali ia bergerak. Bukan gaunnya yang mencuri perhatian malam itu, melainkan tatapan tajam Isabel. Tatapan yang terarah lurus pada satu titik. Sherly. Perempuan muda yang terkenal sebagai salah satu sosialita paling populer, ratu kecil di kalangan elit muda. Malam itu, Sherly tampil memukau dengan gaun merah wine dan senyum yang selalu terlihat manis, meski semua orang tahu betapa tajam lidahnya di belakang. Namun bukan penampilan Sherly yang membuat Isabel menghela napas kesal. Melainkan pria yang berjalan di sampingnya. Pria tampan, tinggi, dan berwibawa, dengan setelan mahal yang bahkan terlihat lebih mahal daripada sebagian besar tamu laki-laki di ruangan itu. Aura kharismanya seperti menyedot perhatian siapa pun yang melihat. Sherly menggandeng lengannya erat, seperti ingin memamerkan trofi. Isabel menyipitkan mata. Tentu saja… Sherly datang dengan dia. Bisik-bisik mulai terdengar dari kelompok tamu terdekat. “Itu Leon, kan?” “Iya, pewaris keluarga Arvallo…” “Katanya dia baru balik dari luar negeri…” “Sherly cepat sekali dapatnya.” “Isabel pasti panas.” Isabel memasukkan satu helai rambut ke belakang telinganya, tampak tenang… padahal hatinya seperti terbakar. Sherly menoleh. Mata mereka bertemu. Senyum Sherly mengembang tipis, senyum kemenangan dan mengejek. Isabel membalas dengan anggukan kecil, elegan, namun dingin. Dalam hati, ia mendengus. Tunggu saja, Sherly. Kau pikir cuma kau yang bisa bersinar malam ini? Kau bahkan belum tahu apa yang akan kubawa ke kota dari kampung… Dan entah kebetulan atau takdir, pada saat yang sama, Ponsel Isabel bergetar. Pesan masuk dari Dadang. “Nona, saya sudah dapat gadisnya.” Senyum Isabel perlahan terbentuk. Cantik. Dingin. Berbahaya. Malam itu, pesta baru saja dimulai. Dan pertempuran halus di antara dua perempuan elit… ikut memanas. ******* Isabel melangkah perlahan, anggun, seolah lantai marmer mahal itu memang dibuat untuk dilangkahinya. Setiap mata yang melihatnya otomatis memberi jalan. Aura percaya diri itu, dingin, tajam, dan berkelas, tidak bisa dibeli. Sherly melihatnya datang. Senyumnya mengembang, tetapi siapa pun yang mengenalnya tahu, senyum itu punya dua arti: selamat datang... kau tidak pernah bisa menang dari aku. “Isa…” sapa Sherly, suaranya manis seperti madu. “Kamu cantik malam ini.” Isabel membalas senyum, kecil dan terukur. “Terima kasih. Kamu juga terlihat… berusaha.” Senyum Sherly membeku sepersekian detik. Walauoun dengan saingan, Sherly bisa bermulut manis. Berbeda dengan Isabel, setiap melihat Sherly, dia tidak bisa bermanis-manis. Leon, pria tampan di sampingnya, mengangguk sopan. “Selamat malam, Isabel.” “Selamat malam, kak Leon,” balas Isabel dengan nada santun. “Aku dengar kamu baru kembali dari Swiss?” Leon mengangguk dengan ramah, tidak seperti Sherly yang tampak mulai gelisah. Leon dan Isabel sebenarnya berteman sejak kecil, namun sejak dia menjalin kasih dengan Sherly, hubungannya dengan Isabel mulai menjauhi. “Iya, beberapa proyek keluarga sedang aku tangani di sana. Baru seminggu kembali.” Sherly langsung menyela, menggandeng lengan Leon lebih erat, seolah menunjukkan kepemilikannya atas Leon. “Kami rencana liburan bareng setelah ini, Isa. Kamu ada rencana dengan siapa?” Nada itu halus, tapi menusuk, seolah ia ingin menegaskan bahwa Isabel sendiri, sementara dia datang dengan pria yang semua orang incar. Isabel tersenyum lembut. “Belum memutuskan,” ujarnya pelan. “Tapi sebentar lagi aku kedatangan ‘bintang baru’. Seseorang yang… unik. Aku yakin akan jadi pusat perhatian di kota.” ujar Isabel sengaja membuat penasaran. Sherly mengerutkan kening. “Bintang baru?” Senyum Isabel melebar sedikit, tenang tapi penuh misteri. Ia memainkan gelas wine di tangannya. “Ya. Gadis muda yang sangat cantik. Segar. Belum tersentuh dunia kota seperti kita.” Ia mendekat sedikit, berbisik namun cukup keras agar Sherly mendengarnya. “Dan aku akan pastikan dia akan....bersinar dalam segala hal.” Sherly melirik Leon sekilas, seolah takut gadis yang dimaksud Isabel akan menyainginya. “Apa maksud kamu membawa gadis desa ke lingkungan kita?” Nada suaranya tidak bisa menyembunyikan rasa meremehkan. Isabel tertawa pelan. “Justru itu yang membuatnya menarik. Alamiah. Tidak dibuat-buat seperti...” Ia berhenti tepat sebelum menyelesaikan kalimat. Membiarkan Sherly mengisi sendiri sisanya. Sherly memicingkan mata. “Isa. Jangan mulai. Kau...” Isabel tersenyum lagi, lembut namun tajam. “Kapan aku pernah ‘mulai’, Sherly? Kamu yang selalu merasa paling duluan.” Leon tampak bingung dengan tensi halus di antara dua perempuan itu, tetapi ia memilih diam dan tidak ikut campur. Dia tidak mengerti drama kelas elit sedang berlangsung, persaingan antara dua perempuan itu yang sama-sama memiliki ego tinggi itu. Isabel lalu mengangkat gelasnya sedikit. “Semoga malam ini menyenangkan, Sherly. Dan… semoga kau tetap bersinar, meski sebentar lagi banyak yang akan mencuri perhatian.” Dengan anggun ia berbalik, meninggalkan Sherly yang menggenggam lengan Leon terlalu keras hingga pria itu menoleh heran. Sementara Isabel berjalan menjauh, ponselnya kembali bergetar. Dadang mengirim pesan baru: “Nona, saya dalam perjalanan ke kota. Gadis yang nona cari sudah ikut dengan saya.” Isabel tersenyum tipis. Permainan baru akan dimulai. Dan Sherly belum tahu… bahwa sesosok Mimi yang polos akan Isabel poles menjadi penggoda, dan yang akan digoda adalah kekasih Sherly, Leon Arvallo ******* Sementara Mimi dan Dadang melaju jauh meninggalkan kampung, kekacauan besar terjadi di rumah reyot itu. Bu Siti kalang kabut. Keringatnya bercucuran meski malam sudah mulai turun. Para pengawal Tuan Joko berlarian ke sana kemari, meneriaki satu sama lain, mencari jejak pengantin yang seharusnya sudah siap dibawa. Di teras, Tuan Joko berdiri dengan wajah merah padam seperti mau meledak. Laki-laki berperut buncit itu membanting tongkat kayunya ke lantai. “KE MANA PENGANTEN SAYA?!” Suara baritonnya menggema, membuat seluruh orang kampung memilih menjauh. Dua pengawalnya ketakutan, menunduk dalam. “Tuan, tadi kami hanya sepersekian det...” “DIAM! Kalian berdua g****k!” bentak Joko. “Saya bayar kalian untuk menjaga gadis satu itu! SATU! Tapi bisa hilang?!” Pengawal menyusutkan diri, tidak berani menjawab. Bu Siti akhirnya memberanikan diri mendekat, meski lututnya gemetar. “Tuan Joko… tolong jangan salahkan saya lagi. Bukankah saya sudah bilang dari tadi untuk mempercepat pelaksanaannya? Kalau saja Tuan langsung bawa dia saat itu juga...” “JADI INI SALAH SAYA?!” potong Joko, amarahnya naik lagi. Siti menelan ludah. “B-bukan begitu Tuan… saya hanya...” “Sudah! Saya tidak mau dengar!” Tuan Joko mengibas tangannya dengan marah. Wajahnya gelap, suaranya rendah tapi mengancam. “Saya sudah membayangkan malam ini. Sudah bayar banyak. Sudah siapkan kamar. Dan sekarang penganten saya, penganten yang sudah SAYA BELI—HILANG begitu saja?!” Nada kata dibeli itu membuat beberapa warga yang mendengar ikut meringis, tapi tidak berani bersuara. Bu Siti menatap tanah, wajahnya pucat. Ia tahu ia tidak bisa menagih mahar dari Joko lagi. Semua rencananya berantakan. “Kalau begitu…” suara Tuan Joko menegang, seperti mengucap vonis. “Jangan harap saya bayar sepeser pun. Mahar batal. Uang saya kembali. Selesai.” Bu Siti refleks memekik pelan. “Jangan begitu Tuan! Saya, saya sudah… Saya butuh uang itu!” “Masalahmu,” sahut Joko dengan dingin. “Bukan urusan saya.” Ia meludah ke tanah, lalu berjalan kembali menuju mobilnya dengan marah. Pengawal-pengawalnya mengikuti sambil terus menunduk. Mobil Tuan Joko pergi meninggalkan awan debu dan murka, sementara Bu Siti terduduk lemas di tanah. Ia memegangi kepalanya, mengumpat tanpa suara. Sialan si Mimi! Gara-gara dia, semua uang lenyap! Mahar hilang! Terus… bagaimana aku memberikan uang pada Yuni? Bagaimana aku urus ayahnya yang mati itu? Ia menatap rumahnya yang setengah roboh. “Ini semua salahmu, Mi…” gumamnya dengan kebencian yang tajam. “Kalau aku tidak mengubur bapakmu, orang kampung bisa ngamuk.” Siti menggigit bibir, frustrasi setengah mati. Ia sadar satu hal: Malam ini, ia bukan hanya kehilangan uang dan penganten… Tapi juga kendali atas hidup Mimi, gadis yang selama ini ia peras habis-habisan. Dan untuk pertama kalinya… Bu Siti benar-benar takut pada apa yang akan terjadi selanjutnya. Bersambung........
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN