Sepanjang perjalanan menuju kota, Mimi terus menatap keluar jendela dengan mata sembab. Setiap kali jalan berlubang membuat mobil terguncang, dadanya ikut bergetar. Ada satu ketakutan yang menusuk-nusuk pikirannya:
bagaimana jika Ibu tirinya tidak mengurus penguburan ayahnya dengan layak?
Bagaimana kalau jasad ayahnya dibiarkan begitu saja hanya karena ia kabur?
Dadang seperti bisa membaca pikiran Mimi saja. Dadang yang melihat wajah Mimi dari kaca spion langsung mencoba menenangkan.
“Jangan khawatir soal itu, Mi,” ujarnya lembut.
“Di kampung kita, walaupun miskin, orang-orangnya terkenal suka gotong royong. Kalau sampai ibumu tidak mau mengurus ayah mu, pasti ada warga yang turun tangan. Mereka itu baik, hanya saja memang tidak ada yang berani cari masalah sama ibu tirimu yang galak itu.”
Mimi terdiam. Kata-kata itu sedikit menenangkan, tapi luka di hatinya tetap terasa perih.
Ia teringat pada Bu Nana, tetangga tua yang sejak dulu selalu merasa iba melihat Mimi bekerja keras sejak usianya masih belasan, mencuci, menimba air, memasak, hingga berjualan kecil-kecilan. Semua itu ia lakukan demi ayahnya yang makin hari makin melemah.
“Seharusnya kamu tidak seperti ini, Mi… kalau ibumu masih hidup. Ibu rasa semua ini sungguh tidak adil buat kamu,” gerutu Bu Nana suatu sore ketika Mimi membantunya menyelesaikan pesanan gorengan, hanya untuk menambah sedikit penghasilan.
Mimi tersenyum kecil, pasrah.
“Tidak apa-apa, Bu… yang penting ayah terawat.”
Bu Nana mendengus pelan, matanya berkaca-kaca.
“Tapi waktu bapakmu masih sehat, dia memperlakukan kamu dan Yuni sama. Mengapa sekarang, saat dia sakit, hanya kamu yang berjuang? Ibumu itu selalu bilang dia sibuk menjaga bapakmu… ya memang itu tugasnya sejak menikah, kan? Kok enak, saat senang dia ikut menikmati, tapi saat susah dia nggak mau ikut susah!”
Kegeraman Bu Nana menampar kenyataan yang selama ini sengaja Mimi tutup-tutupi.
Karena benar, Siti selalu menekan dan berdalih, membuat Mimi tidak bisa menjawab apa pun. Semua pekerjaan selalu jatuh padanya karena Siti mengaku sibuk mengurus ayahnya, padahal Mimi tahu betul siapa yang sebenarnya bekerja siang malam.
Sementara itu Yuni, anak kandung Siti, hidup nyaman.
Disekolahkan di kota, kebutuhannya dipenuhi, tingkahnya selalu dimaafkan.
Mimi memejamkan mata, dan dari balik kelopak itu muncul kembali kenangan lain, kenangan yang jauh lebih pahit.
Dua tahun yang lalu, Dika, anak kepala kampung yang cukup terpandang, mulai sering datang ke rumah. Dika baik hati, sopan, dan diam-diam banyak gadis mengaguminya. Namun Yuni selalu iri setiap kali melihat Dika lebih memilih berbicara dengan Mimi dibanding dirinya.
Hingga suatu hari, Dika membawa kabar besar: ada program beasiswa untuk dua anak kampung. Ia ingin Mimi ikut bersamanya ke kota.
Namun sebelum Mimi sempat membuka mulut, Siti sudah menyela dengan senyum palsu yang begitu rapi.
“Maaf ya, Nak Dika… Mimi itu kurang pintar. Kalau dia ikut, nanti malah memalukan kampung kita. Biar Yuni saja, dia ranking terus.”
Dika terdiam, bingung, sementara Mimi merunduk, wajahnya menahan malu dan luka.
Tapi malam harinya, Dika diam-diam datang lagi.
“Mimi, apa benar kamu nggak mau ikut?” tanyanya lembut, suaranya seolah takut melukai.
Mimi masih bisa merasakan hangatnya tatapan itu, tatapan yang membuat dunia terasa sedikit lebih baik. Tapi ia juga mengingat ayahnya yang saat itu sudah sering terbatuk-batuk, bahkan untuk berdiri saja kesulitan.
Akhirnya, dengan suara lirih, ia menjawab,
“Benar kata ibu… aku memang kalah pintar dari Yuni. Lebih baik Yuni saja yang ikut. Aku tetap di sini.”
Dika hanya menghela napas panjang, tarikan yang terdengar seperti patahnya sebuah harapan. Sebelum pergi, ia menggenggam tangan Mimi dan berbisik,
“Kalau aku sudah selesai sekolah di kota… aku akan pulang untuk melamar kamu. Tunggu aku, ya Mi.”
Janji sederhana itu membuat hati Mimi berbunga selama berminggu-minggu.
Namun beberapa bulan kemudian, Siti mulai berulang kali membisikkan gosip bahwa Dika sudah pacaran dengan Yuni di kota. Mimi tidak ingin percaya, tapi rumor itu makin kuat dari hari ke hari.
Akhirnya, ia hanya tersenyum pahit.
Tentu saja Dika memilih Yuni.
Dika berpendidikan, berstatus.
Sementara dirinya?
Hanya lulusan SMP, gadis miskin yang tidak punya apa-apa kecuali wajah cantik yang sering justru membawanya pada nasib buruk.
Dari situlah ia belajar satu hal:
Cantik tidak menjamin hidup bahagia.
Kalau bisa memilih, ia lebih ingin punya uang daripada rupa.
Kata orang, uang bisa mengubah rupa,
tapi rupa belum tentu bisa mengubah nasib.
Buktinya sekarang, karena kecantikannya lah ia diburu Tuan Tanah tua itu.
Mobil terus melaju menuju kota, tetapi hati Mimi masih tertinggal jauh di kampung, di masa lalu yang penuh luka, pengorbanan, dan harapan yang tidak pernah kembali.
“Ayah… maafkan aku…”
Mimi menatap keluar jendela mobil yang buram oleh air matanya. Samar-samar ia melihat bayangan pepohonan yang bergerak mundur, seolah kampung itu semakin menjauh darinya, bersamaan dengan sosok yang paling ia cintai.
“Aku nggak bisa menghadiri penguburan ayah…” gumamnya dalam hati, suaranya pecah namun tidak sanggup keluar dari bibir.
“Aku harap… ayah mau mengerti. Aku… aku nggak punya pilihan lain.”
Setetes air mata jatuh, membasahi gaun pengantin yang kusut, gaun yang seharusnya menandai hari bahagia, tapi justru menjadi saksi kepedihan yang tidak akan pernah ia lupakan.
Dadang meliriknya sekilas, namun tidak berkata apa-apa. Ia tahu luka itu terlalu dalam untuk disentuh. Hanya waktu yang sanggup menghapus luka itu.
Sementara Mimi memeluk dirinya sendiri, berusaha menahan tubuhnya yang bergetar, hatinya kembali memanggil-manggil ayahnya dalam diam:
“Ayah… tolong jangan tinggalkan aku sendirian… Aku masih butuh ayah…”
Namun hanya suara mesin mobil yang menjawab.
Di tengah perjalanan yang gelap dan panjang itu, Mimi merasa seolah separuh jiwanya tertinggal di rumah sakit, di samping tubuh ayahnya yang sudah dingin, ayah yang tidak sempat ia ucapkan selamat tinggal untuk terakhir kali.
*******
Mobil akhirnya keluar dari jalan kampung yang gelap dan memasuki wilayah kota. Lampu-lampu jalan mulai bermunculan, gedung-gedung tinggi berdiri megah, dan suasana ramai membuat Mimi tak bisa menahan rasa takjubnya.
Ia merapatkan wajahnya ke kaca jendela seperti anak kecil pertama kali melihat pasar malam.
“Bang… ini kota yang sering diceritain Bu Nana?” tanyanya lirih.
Dadang tersenyum tipis. “Iya, Mi. Ini baru pinggirannya. Kita belum masuk pusat kota.”
Mimi menelan saliva. Kalau pinggirannya saja sudah semegah ini… bagaimana pusatnya?
Hatinya langsung berdebar...
Mimi memegang dadanya sendiri. Degupnya tidak beraturan antara takut, gugup dan penasaran.
Masih dengan gaun pengantin yang lusuh dan rambut yang setengah terurai berantakan, ia merasa seperti gadis kampung yang tersesat ke dunia lain.
Sekitar setengah jam kemudian, mobil memasuki sebuah kawasan super elite. Jalanannya lebar dan mulus, sisi kiri dan kanan dipenuhi rumah-rumah megah dengan pagar tinggi, taman tertata rapi, dan lampu-lampu estetik yang membuat malam tampak glamor.
“Bang… perumahan siapa ini?” Mimi bertanya dengan suara kecil.
“Bukan perumahan,” balas Dadang. “Ini kawasan mansion-mansion orang kaya. Kalangan elit, kalangan konglomerat, bukan seperti kita-kita yang konglomelarat,” canda Dadang yang ingin membuat suasana menjadi lebih santai.
Mimi mengangguk, padahal sebenarnya ia tidak terlalu paham apa beda perumahan dengan mansion, tapi mendengar kata “orang kaya” saja sudah membuatnya merasa harus duduk lebih tegak. Cita-cita nya semenjak dia merasa hidup semakin sulit, jadi orang kaya.
Ketika mobil berhenti di depan sebuah rumah… Mimi terbelalak.
Rumah itu sangat besar. Lebih besar dari balai desa tempat menampung hajatan satu kampung. Pagar besi tempa hitamnya saja lebih tinggi dari pohon jambu milik Bu Nana.
“Bang… ini… museum ya?” bisiknya.
Dadang nyaris tersedak tawa. “Ini rumahnya Nona Isabel. Calon bos mu nanti.”
“Rumah?” Mimi berkedip cepat.
“…rumah beneran? Orang beneran tinggal di dalam?”
“Iya lah. Masa kuntilanak yang tinggal.”
Mimi langsung merapatkan diri, ketakutan. “Bang jangan begitu, nanti aku takut beneran…”
Dadang menahan diri agar tidak ketawa keras-keras.
“Mi, ini rumah orang. Orang kaya. Bukan gua hantu....”
Tapi Mimi masih belum bisa menerima kenyataan.
Ia melihat dinding putih marmer yang mengkilap, lampu gantung besar di teras, dua patung singa emas di pintu masuk, dan halaman luas yang bahkan punya air mancur.
Mulutnya terbuka sedikit.
Dalam hatinya, ia mulai membayangkan hal-hal yang tidak masuk akal.
Wah… kalau air mancur kayak gini dipindahin ke kampung, pasti warga nggak perlu narik air dari sumur lagi…
Kalau halaman seluas ini dibagi tiga, bisa buat kandang kambing Pak Wardi, lapangan bola anak-anak, sama tempat jemur padi Bu Nana.
Dan dapurnya… duh, pasti gede banget! Bisa masak buat 200 orang sekaligus!
Ia makin terpukau melihat halaman luas yang penuh tanaman hias mahal.
“Bang… ini… kalau aku tinggal di sini… aku boleh nggak jemur kerupuk di halaman?” bisiknya penuh harapan.
Otak bisnisnya langsung menyala seperti lampu petromaks.
Siapa tahu… kalau tinggal di kota… ia bisa jualan kerupuk.
Bayangkan saja: Kerupuk Mimi-Premium-Sun Dried Edition.
Harganya pasti bisa naik dua kali lipat hanya karena “dikeringkan di mansion mewah.”
Mimi memang lumayan pintar bahasa Inggris, apalagi kalau sudah soal dagang. Dulu Dika sering mengajarinya saat Dika masih di kampung. Kata Dika, “Kalau kamu mau dagang sukses, minimal harus bisa ngomong harga, tawar-menawar, sama kata-kata basic.”
Maka tidak heran, meski wajah Mimi polos dan gerak-geriknya kadang kocak, kepala gadis itu lumayan encer kalau soal bisnis. Setiap kali mendengar istilah asing, Mimi langsung sibuk menerjemahkan sendiri dalam hati.
Dan sekarang, ketika ia berdiri di depan pintu besar Mansion Isabel yang megah, bahasa Inggrisnya otomatis aktif.
“Bang…” bisiknya kagum, “ini mansion gede banget. Kalau ada yang nyasar, ini bisa lost and found sendiri.”
Dadang menutup muka. “Mi… tolong… jangan pakai bahasa Inggris sembarangan.”
“Lho, aku salah ya? Tapi kan bener, Bang… gede banget. Ini kalau di kampung, bisa disewain buat tujuh hajatan sekaligus.”
Dadang hanya bisa menarik napas panjang. Mimi tetap Mimi, selalu spontan, polos, tapi bikin siapa pun geli sekaligus pusing.
Dadang terdiam, menutup mata sejenak, lalu menepuk kening.
“Apapun itu Mi… tapi ingat, tolong jangan jemur kerupuk di mansion orang kaya.”
“Sedikit aja bang,” Mimi masih bersikeras. “Di pojokan. Nggak bakal kelihatan… sumpah. Sayang banget, tempat seluas gini nggak dimanfaatkan. Kalau di kampung, halaman segede ini bisa buat jemur gabah, jagung, ikan asin… wah, Bu Nana pasti seneng banget.”
“MI!”
Suaranya Dadang sampai menggema sedikit karena ruangan terlalu besar.
Mimi akhirnya terdiam. Bibirnya manyun, pipinya memerah karena malu.
Itulah Mimi, kalau sudah urusan uang, semangatnya meledak seperti petasan lepas dari tangan bocah.
Dalam hati ia membatin,
Katanya kalau mau kaya harus kreatif dan rajin…
Lah, aku udah kreatif banget. Kenapa bang Dadang malah marah?
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
Mimi memang ingin kaya.
Ia ingin hidup di rumah yang layak.
Tidak ingin hidup dibentak, diremehkan, atau dianggap tidak berguna lagi. Bahkan sampai dijual ke Tuan Tanah yang sudah tua.
Ia ingin masa depannya berubah…
tapi mungkin ia harus belajar dulu satu hal,
Tidak semua halaman besar cocok untuk jemur kerupuk.
******
Pintu depan terbuka, dan seorang pelayan wanita berpenampilan rapi membungkuk hormat.
“Selamat datang di kediaman Nona Isabel.”
Mimi terlonjak kaget dan otomatis ikut membungkuk, terlalu dalam—hingga hampir menubruk lantai.
Dadang spontan menangkap lengannya. “Mi! Nggak usah kayak mau sujud.”
Mimi merah padam, menunduk malu-malu.
Begitu mereka masuk, Mimi kembali terpana melihat interiornya.
Lantai marmer putih seperti es. Tangga melingkar. Lampu kristal menggantung dari langit-langit yang tingginya seperti lapangan badminton. Sebuah piano hitam besar berdiri anggun di sudut ruangan.
Mimi menelan ludah.
Piano itu pasti harganya sama dengan satu kampung…
Ia menggenggam gaunnya erat-erat sambil berbisik lirih pada Dadang.
“Bang… kalau aku jalan di lantai ini terus jatuh, lantainya nggak retak kan?”
Dadang menutup wajah.
“Mi… lantainya yang takut retak karena kamu.”
“Bang!”
Sebelum Dadang sempat menjawab, sebuah suara terdengar dari arah lantai atas, lembut, berwibawa, tapi dingin.
“Kalian akhirnya datang.”
Mimi spontan berdiri tegak. Dadang menelan ludah.
Dari tangga yang melingkar, tampak seorang wanita anggun dengan gaun malam berwarna hitam berjalan turun perlahan. Aura elegannya seperti menyelimuti seluruh ruangan.
Isabel.
Tatapan Isabel terarah pada Mimi, seakan menilai setiap detail dalam satu pandangan.
Mimi refleks menelan ludah.
Dadang menunduk hormat.
Isabel berhenti di anak tangga terakhir… bibirnya melengkung sedikit.
“Kau,” katanya pelan, “lebih menarik dari yang kubayangkan.”
Bersambung.......