Dan sebelum salah satu dari mereka sempat bertanya apa maksudnya,
Isabel kembali berbicara, suaranya tenang, namun justru membuat Mimi merinding.
“Mulai malam ini… kau akan tinggal di sini dulu,” ucapnya sambil menutup map kontrak perlahan.
“Ada banyak hal yang harus kau lakukan.”
Tatapannya beralih langsung pada Mimi. Dalam-dalam. Mengukur.
“Dan salah satunya… mungkin akan mengejutkanmu.”
Mimi belum sempat merespons ketika wajah Isabel tiba-tiba berubah, dari elegan menjadi sedikit terkejut.
“Eh… penampilanmu ini? astaga...”
Isabel menegakkan tubuhnya.
“Apa yang terjadi dengan bajumu? Itu… baju apa? Dan makeup-mu? Kenapa seperti habis berkelahi dengan tornado?”
Mimi hanya terdiam, kebingungan, bibirnya membuka menutup tanpa kata.
Ia bahkan tidak tahu harus mulai menjelaskan dari mana.
Ia juga bingung apakah dia perlu jujur atau berbohong dikit-dikit.
Dadang yang sejak tadi gelisah, akhirnya angkat suara.
“Jadi begini, Nona…”
Ia menarik napas panjang, lalu menatap Isabel dengan serius.
“Waktu saya balik ke kampung, Mimi ini… mau dinikahkan paksa dengan Tuan Tanah yang sudah tua. Alasannya karena hutang orang tuanya.”
Isabel mengerutkan alis, jelas terkejut.
"Hah? Masa ada sih orang bayar hutang pakai nikah? Kalau begitu bisa-bisa aplikasi pinjol istrinya banyak dong?" protes Isabel.
"Maklum nona, orang kampung kan gampang dibohongi, mana ngerti masalah hukum. Makan saja susah, boro-boro sekolah," sahut Dadang berusaha menarik simpati Isabel.
Dadang melanjutkan, suaranya semakin pelan namun penuh tekanan,
“Saya nggak tega, Nona. Makanya saya bawa dia kabur. Bajunya rusak… karena dia harus lari secepat mungkin sebelum orang-orang itu tahu.”
Isabel menatap Mimi lama sekali, tatapan yang sulit ditebak.
Antara kaget, iba, dan sesuatu yang tidak Mimi mengerti.
Hening mengisi ruangan.
Sampai akhirnya Isabel berkata pelan,
“…Begitu rupanya.”
Dan suasana pun berubah. Seperti ada sesuatu yang baru saja bergeser di antara mereka.
Namun ketika Isabel akhirnya menghampiri Mimi dan melihat sekali lagi dengan seksama penampilannya dari dekat, reaksi yang muncul justru di luar dugaan.
Isabel terhenti.
Menatap.
Lalu...
“Pfft—hahahaha!”
Tawa itu pecah begitu saja.
Isabel, yang biasanya selalu tampil dingin, rapi, elegan, dan hampir tidak pernah kehilangan kontrol, benar-benar tidak bisa menahan diri.
Dadang sampai melotot kaget karena jarang sekali ia melihat Isabel tertawa seperti orang baru pertama kali menemukan meme lucu.
“Ini… ini baju pengantin?”
Isabel menunjuk gaun yang kusut, sobek, dan masih meninggalkan bekas lumpur.
“Serius? Ini? Dengan renda yang seperti jaring ikan? Siapa yang mendesain ini, musuh bebuyutanmu?”
Mimi hanya dapat berdiri diam, menunduk malu.
Dan Isabel belum selesai.
“Dan makeup-mu…” ia mendekat, memeriksa wajah Mimi lebih teliti.
Begitu melihat alisnya yang tidak simetris dan blush on yang seperti ditempel pakai sapuan tangan penuh tepung, Isabel langsung menahan perut.
“HA—HAHA! Astaga! Ini bukan makeup, ini topeng monyet habis kena audit pajak!”
Dadang spontan menepuk wajahnya dengan putus asa.
“Nona Isabel… tolong jangan begitu…”
Isabel mengangkat tangan, berusaha menenangkan diri sambil masih terisak menahan tawa.
“Tidak, Dang… aku… aku tidak kuat. Ini luar biasa.” Ia menunjuk wajah Mimi lagi.
“Kalau ini masuk runway fashion horror, bisa langsung menang.”
Mimi semakin menunduk, pipinya memerah-entah karena malu atau karena blush on kampung itu makin menyala saat dia gugup.
Tapi setelah puas tertawa, Isabel akhirnya menghela napas panjang dan menatap Mimi dengan ekspresi lebih lembut (meski senyumnya masih tersisa).
“Oke… cukup.”
Ia meluruskan punggung, kembali ke mode elegannya.
“Kita tidak bisa membiarkan calon… hmm, pekerja di mansion ini tampil seperti korban prank desa.”
Isabel menepuk tangan dua kali.
“Dang, Minta Bu Atun bawa Mimi ke kamar mandi dulu. Dan suruh Bu Atun untuk sementara mengambil beberapa baju rumahku dulu.”
“Baik Nona," ujar Dadang yang langsung menarik pergelangan Mimi untuk mengikutinya.
Isabel menatap Mimi dari atas ke bawah, dari belakang.
Hmm, aku sungguh tidak percaya ada perempuan secantik bidadari dari kampung miskin seperti itu. Astaga, bodynya saja kaya gitar Spanyol. Katanya kan miskin, gak mungkin dong si Mimi ini nge-gym? Dasar si Tuan bau tanah itu, hutang cuma berapa duit mau ngambil anak perawan orang. untung si Dadang gerak cepat. Dan...aku kok merasa ini seperti takdir, mengapa bisa pas dan di saat seperti itu? Langit saja berpihak padaku. Awas kau Sherly, akan kubuat kamu mati kutu. Akan kubuat si Leon tergila-gila pada gadis kampung itu. biar kamu lebih malu dari aku, kalah dengan gadis kampung dan...apa kata Dadang tadi? boro-boro sekolah, jangan-jangan si Mimi ini gak sekolah lagi?
Tapi dia hanya terkejut sebentar, setelah itu tiba-tiba Isabel tertawa sendiri.
"Ha..ha..ha.., aku yakin pasti akan memalukan. Bayangkan saja, sudah kalah dari orang Desa, eh ...punya pendidikan rendah lagi. Mau dikemanakan mukanya nanti si Sherly itu? Aku sejak kecil berteman dengan Leon, aku sudah tahu cewek kesukaan Leon, yaitu cewek polos dan wajah tak berdosa. Cantik alami, makanya si Sherly selalu pura-pura sok polos. Aku yakin yang polos alami pasti akan menang!
Baru membayangkan saja, Isabel sudah senang bukan main. Isabel begitu percaya diri, dia yakin dia bisa menggunakan Mimi untuk merusak hubungan Leon dan Sherly sehingga dendamnya terbalaskan.
Tapi dia lupa, seberapa kenalnya dia dengan Leon terkadang ada sifat yang tidak diketahui. Leon kalau sudah suka seorang perempuan, sulit berpindah hati. Tentu Mimi tidak tahu itu, karena sejak Sherly menjalin kasih dengan Leon, Leon pun sudah menjauh darinya atas permintaan Sherly.
Isabel menepuk tangan dua kali dengan gaya bak ratu kerajaan memanggil dayang-dayangnya.
“Bu Atun bawa Mimi ke kamar mandi dulu, ambil beberapa baju rumahku sementara.”
“Baik, Nona.”
Bu Atun langsung menggiring Mimi seperti sedang mengawal barang sitaan berharga.
Begitu mereka pergi, Isabel menyipitkan mata, menatap Mimi dari belakang, dari ujung rambut sampai ujung kaki… lalu balik lagi ke atas. Lalu muter lagi ke belakang. Lama. Sangat lama.
“Hmm… aku nggak percaya,” gumamnya dalam hati. “Katanya miskin? Ini bidadari dari kampung mana nih? Astaga, bodinya aja kayak gitar Spanyol. Jangan-jangan desa sekarang punya gym gratis?”
Isabel manggut-manggut sendiri, wajahnya makin dramatis.
“Dan si Tuan bau tanah itu… hutang cuma berapa sih? Modal dengkul mau ambil anak gadis orang. Untung ada Dadang, kalau nggak, tamat riwayat si Mimi.”
Tapi lamunan itu tidak berhenti di sana. Justru makin liar.
“Dan kenapa ya… timing-nya pas banget? Ini takdir banget sih. Langit tuh jelas-jelas di pihak aku hari ini!”
Isabel menegakkan badan bangga.
“Awas kau Sherly. Kali ini aku yang menang. Akan kubuat kamu mati kutu! Kubuat Leon tergila-gila pada gadis kampung itu!”
Setelah itu, Isabel teringat ucapan Dadang.
“Boro-boro sekolah… jangan-jangan dia nggak sekolah lagi?”
Hanya dua detik Isabel tertegun.
Setelah itu-tawanya pecah.
“HAHAHAHA! Astaga… ini akan jadi tontonan yang luar biasa. Kalah dari cewek desa, eh… pendidikannya rendah pula! Mau ditaruh di mana muka Sherly nanti?”
Isabel berputar kecil sambil terkekeh seperti villain drama yang merasa terberkati, padahal punya rencana jahat.
“Aku kan sudah kenal Leon sejak kecil. Tipe cewek dia itu yang polos. Wajah tanpa dosa. Cantik natural. Makanya Sherly tuh sok-sok polos. Huh! Polos palsu itu gampang banget kebaca bagi aku.”
Isabel menepuk dadanya bangga.
“Yang polos alami pasti menang!”
Cukup membayangkan Sherly kalah saja, Isabel sudah seperti menang undian.
Namun, ada satu hal yang dia lupa…
Leon itu, kalau sudah suka satu perempuan, hatinya nempel kayak lem tikus.
Sulit dilepas.
Tentu Mimi tidak tahu apa-apa soal ini.
Dan Isabel pun terlalu sibuk dengan khayalannya sendiri sampai lupa fakta kecil: sejak Sherly resmi berpacaran dengan Leon, Leon menjauh dari Isabel sesuai permintaan sang pacar. Sehingga Isabel tidak mengenal sifat Leon yang satu itu. Setia!
Kalau Isabel tahu hal itu… mungkin dia tidak akan tertawa sekeras tadi.
Sementara itu sejak tadi Dadang hanya bisa memperhatikan nonanya yang seperti orang sakit jiwa itu sambil mengelus d**a.
Pantas saja, kadang ada yang bilang kalau orang kaya itu aneh-aneh. Mungkin sudah kebingungan uangnya mau diapain sangking banyaknya, sampai melakukan hal-hal yang di luar nalar, tentu Dadang hanya berpikir dalam hati.
*******
Bu Atun menyeret Mimi menuju kamar mandi seperti membawa ayam kampung yang hendak dimandikan untuk lomba.
Begitu pintu tertutup, Bu Atun menghela napas panjang sambil memeriksa Mimi dari dekat.
“Ya Allah, Nduk… kamu ini mandi terakhir kalinya kapan?”
Bu Atun menegakkan alis. “Jangan bilang… kamu ndedeliki sumur juga jarang?” (maksudnya sangking jarangnya mandi sampai tidak pernah lihat sumur)
Mimi menunduk malu. “Tadi pagi kok, Bu…”
“Kalau gitu, pagi di dunia mana?”
Bu Atun mulai menggulung lengan bajunya.
“Sudahlah, yang penting Ibu kerja cepat. Kita masuk tahap pembersihan, oke? Non Isa sukanya yang expres, gak suka yang kaya siput!”
Tak menunggu jawaban, Bu Atun langsung menyemplungkan sabun cair jumbo ke shower puff.
DUEERRR—satu kali usap saja, busanya sudah kayak badai salju.
Mimi nyaris tenggelam di dalam sabun.
“Bu…! Bu! Aduh...mata saya perih...”
“Sabar! Ini belum seberapa! Kalau mau jadi gadis kota harus tahan bubuhan beginian!”
Bu Atun memutar Mimi seperti mesin laundry mode spin.
Setelah itu Bu Atun meraih botol shampoo.
Bacaannya: “Volume Boost – Untuk Rambut Lemas.”
Tanpa ragu, ia menuang hampir separuh botol.
“Bu… itu banyak banget,” Mimi berbisik ngeri.
“Kita harus kasih shock therapy, Nduk. Rambutmu ini sudah kaya kawat, kayaknya sudah menyerah hidup.”
Begitu shampoo dibusakan, rambut Mimi langsung mengembang.
Mengembang parah.
Kayak kapas terbakar angin.
Bu Atun sampai mundur dua langkah karena volumenya.
“Walah! Ini baru rambut segar!”
“Bu… saya keliatan kaya domba…”
“Domba mahal! Jangan protes!”
Setelah pembilasan dramatis yang melibatkan sabun masuk mata, Mimi tercebur ke ember, dan Bu Atun hampir terpeleset, akhirnya Mimi berhasil “diselamatkan.”
******
Sementara itu, di luar kamar mandi…
Isabel berdiri dengan tangan berlipat, seperti sutradara film Hollywood menunggu pemeran utama ganti kostum.
“Dang, menurutmu berapa persen kemungkinan Mimi jadi cantik kalau dibersihin sedikit?”
Dadang berpikir. “Seratus persen, Nona.”
“Seratus persen? Gile. Cantik asli ini berarti.”
Isabel tersenyum puas, membayangkan Sherly pingsan tiga kali ketika melihat Mimi nanti.
“Sherly pasti habis ini reinkarnasi dua kali kalau mau ngalahin Mimi.”
Dadang mengangguk untuk menyenangkan sang nona, biar dapat bonus tambahan.
“Bener, Nona."
Saat Bia Atun menggandeng Mimi menemui Isabel kembali…
Dengan rambut terurai lembut, namun masih sedikit mengembang seperti awan cirrus tapi justru bikin manis.
Kulit bersih berkilau.
Pipi merah natural karena digosok Bu Atun terlalu semangat.
Isabel ternganga.
Dadang tidak bisa berkata-kata.
Bu Atun bangga seperti habis renovasi rumah cuma dengan sapu lidi.
Isabel menutup mulut.
“Demiii apa… Mimi ini cantiknya level membunuh.”
Dadang ikut mengangguk.
“Pilihan saya nggak salah kan, nona?”
sahut Dadang berharap dapat saweran karena misinya berhasil, menemukan gadis desa yang cantik jelita.
Bu Atun ikutan komentar,
“Ini belum makeup, Nona. Baru dicuci doang, loh.”
Isabel mengacungkan jempolnya dengan semangat.
“Kalau dicuci aja udah kayak gini… kalau dimakeupin? Leon bisa berhenti napas.”
Bu Atun tersenyum sombong dan hiperbol.
“Kalau mau saya polesin sekarang. Dijamin, musuh bebuyutan nona pasti shock sampai masuk ICU.”
Isabel langsung tepuk tangan keras.
“BAIKLAH BU ATUN, BESOK SIAPKAN SENJATA. KITA MULAI MAKEOVER LEVEL NERAKA!”
“Tapi… sekarang aku harus membuat perjanjian dulu dengan Mimi,” ujar Isabella tiba-tiba dan suaranya pun berubah serius.
Seketika suasana ruangan mendadak hening, seolah ada tombol mute ditekan.
Tanpa diperintah, Dadang dan Bu Atun saling melirik, lalu mundur pelan-pelan keluar dari ruangan seperti dua prajurit yang tahu diri.
Tersisalah Isabella dan Mimi.
Mimi menelan ludah. Jantungnya langsung berdebar kencang, seperti genderang yang dipukul tanpa irama. Ia berdiri kaku, tidak yakin apa yang akan dihadapi berikutnya.
Isabella menatapnya tajam, wajahnya tenang namun penuh perhitungan, seperti seseorang yang hendak menandatangani kontrak rahasia.
Bersambung......