Isabel duduk dengan anggun, menyilangkan kaki seperti bos perusahaan yang sedang melakukan wawancara perekrutan agen rahasia.
“Mimi,” katanya pelan, namun tegas.
“Aku akan menjadikanmu model… hmmm… tapi itu bukan yang utama.”
Mimi yang sejak tadi menegang makin menegang.
Mendengar jadi model saja dia sudah bingung, terus ada yang utama lagi.
Matanya membulat, wajahnya serius seperti mau ikut ujian CPNS.
“Ada tugas lain yang jauh lebih penting,” lanjut Isabel.
“Apa itu, Nona?” tanya Mimi. Suaranya kecil, tapi penuh rasa ingin tahu.
Isabel mencondongkan tubuh ke depan.
“Menggoda.”
Mimi tersedak ludahnya sendiri.
“Hah… menggoda? Menggoda apa, Nona?”
“Bukan apa, Mimi…” Isabel menepuk dadanya sendiri dramatis. “Tapi siapa.”
Mimi menatapnya polos. “Menggoda siapa, Nona?”
Isabel tersenyum licik. “Seorang pria.”
Mimi langsung mengibaskan kedua tangan panik.
“Aku tidak bisa, Nona! Pacaran saja belum pernah! Mana bisa menggoda! Aku kalau lihat laki-laki cakep saja langsung gugup… apalagi disuruh menggoda… nanti aku pingsan duluan!”
“Aku bisa ajarin,” jawab Isabel santai seperti guru yang menawarkan les privat.
“T-tapi aku nggak mau, Nona. Itu namanya dosa…” Mimi berbisik sambil memegangi d**a sendiri.
Isabel memutar bola mata kesal.
“Mimi… tenang. Yang kamu goda itu bukan suami orang. Jadi dosa dari mananya? Ini bukan perebutan rumah tangga orang lain, ini cuma… misi kecil.”
“Tetap saja, Nona…” Mimi cemberut. “Kalau menggoda laki-laki itu… dosa.”
Isabel menarik napas panjang.
“Dosa? Mimi… sayang… dosa itu kalau kamu menggoda, terus dia punya istri, lalu istrinya nangis tiga hari. Nah itu dosa.”
Mimi memelotot. “Terus yang ini?”
Isabel mengangkat jari telunjuk. “Yang satu ini… gadis-gadis rebutan dia tiap hari. Kamu cuma membantu keberimbangan ekosistem cinta saja.”
Mimi makin bingung. “Ekosistem apa, Nona?”
Isabel menepuk dahinya sendiri sambil mendesah dramatis.
“Intinya begini, Mimi… kamu cuma perlu tampil cantik, senyum sedikit, yaaa… goyang-goyang dikit lah…!”
Mimi langsung menegang.
“Goyang? Goyang apanya, Non?” tanyanya serius dengan mata bulat polos.
Isabel hampir meledak tertawa. “Ya ampun, Mimi… bukan goyang itu! Cuma goyang kecil… yang manis… bukan goyang yang bikin ibu-ibu karang taruna ngamuk.”
Tapi Mimi mendadak pucat, tubuhnya kaku.
Teringat masa lalu di kampung di mana para pria suka menggoda dirinya, suka berkata yang menjurus, pikirannya langsung terseret ke hal-hal yang tidak terduga.
“NOOONAA!! Itu namanya menggoda tingkat tinggi! Nanti aku disambar petir!”
Mimi memeluk tubuhnya sendiri, gemetar seperti ayam kedinginan kena hujan angin.
Isabel sampai hampir jatuh dari kursi karena tertawa keras.
“Ya nggak segitunya lah! Kamu pikir kamu siapa? Dewi Turun dari Langit? Petir aja nggak akan repot-repot nyamber kamu karena menggoda cowok.”
Mimi menggeleng cepat.
“Aku takut dosa, Nona. Ayahku dulu bilang, menggoda laki-laki itu jalan menuju neraka.”
Isabel mengangkat alis tinggi.
“Ayahmu bilang begitu karena takut kamu digoda. Beda konteks, Mimi, beda!”
“Tapi…” Mimi masih ragu.
Isabel mendekat, wajahnya berubah serius.
“Mimi… coba pikir baik-baik. Memang kamu mau kerja di mana dengan keadaanmu itu? Ini bukan dosa. Kamu cuma menggoda seorang pria yang belum beristri. Dia seorang CEO, tampan, kaya raya, dan paling tidak nggak setua calon suamimu yang kamu tinggal itu.”
Mimi terpaku.
Kata terakhir itu sangat menusuk telinganya: kaya raya.
“Nona yakin ini nggak dosa?” tanya Mimi lirih tapi mulai terpancing.
“Tentu saja tidak! Kamu pernah dengar pepatah ‘selama janur belum melengkung’? Nah, kita cuma… mencoba peruntungan. Kalau ada barang bagus, ya kenapa tidak diperjuangkan? Ini namanya siapa cepat dia dapat.”
Mimi makin bimbang.
Isabel menambahkan lagi, suaranya halus tapi menusuk, “Kesempatan bagus tidak datang dua kali. Dan aku sedang berbaik hati menawari kamu. Kapan lagi, Mimi?”
Mimi menunduk.
Pertahanannya mulai runtuh.
Terngiang kembali cita-citanya sejak kecil: ingin sekali menjadi orang kaya.
Kalau tidak bisa kaya dengan usaha sendiri… apa salahnya jadi istri orang kaya?
Yang penting pernah kaya, kan?
Lagi pula, daripada jadi istri ketiga Tuan Joko yang hampir setua kakeknya… bukankah jadi penggoda sedikit lebih mulia?
Dan kalau dia kaya nanti… bukankah dia bisa pulang kampung tanpa takut lagi pada hutang-hutang almarhum ayahnya? Dengan begitu dia bisa berziarah ke kuburan ayahnya tanpa merasa takut lagi.
Isabel melihat perubahan di wajah Mimi, ragu berubah jadi harapan.
Senyumnya langsung terbentuk lebar, licik tetapi manis.
“Deal?”
Mimi menggigit bibir.
“Kalau aku ditimpuk masa, Nona?”
“Aku lindungi.”
“Kalau aku berdosa?”
“Tenang, aku doain.”
Isabel tersenyum sok alim.
“Kalau aku gagal?”
“Bu Atun siapin cadangan.”
“NOOOONAAA???” Mimi hampir menjerit histeris.
“Maksudku…” Isabel buru-buru meralat, “Bu Atun siapin cadangan riasan lain yang lebih menggoda. Kalau perlu pakai susuk!”
“ADUH Nona! Jangan! Katanya kalau pakai susuk nanti susah mati!”
Isabel mencak-mencak sambil tertawa keras.
“Hahaha! Mimi! Bedakan yang bercanda sama yang serius! Mana ada aku tega nyuruh kamu pakai susuk? Kamu sudah cantik, apa yang mau disusukin lagi? Aku cuma perlu kecantikanmu yang polos dan alami itu. Yang lainnya biar aku yang urus. Pokoknya jangan takut. Aku janji, semuanya lewat jalan halal. Jadi kalau pun dosa… ya paling dosa kecil. Tebusnya gampang.”
Mimi mendengus kecil.
“Ih, Nona kedengarannya kayak pegadaian…”
Isabel tersenyum penuh kemenangan.
“Jadi? Deal?”
Mimi akhirnya mengangguk pasrah.
“Deal.”
Wajah Isabel langsung bersinar.
Memang kalau soal meyakinkan orang, dia jagonya.
Kalau tidak, mana mungkin dia dapat banyak proyek?
Malam itu, Isabel yakin satu hal:
Mimi, si gadis kampung polos baru saja resmi masuk ke dalam rencananya.
Dia tinggal memanfaatkan Mimi sebaik mungkin.
*******
Sejak dulu, keluarga Isabel dan keluarga Leon adalah sahabat dekat.
Perusahaan mereka pun telah lama bekerja sama dalam bidang penyediaan pakaian bermerk untuk butik kelas atas.
Dan Isabel, dengan kecerdasan dan kedewasaan (plus dendam yang menumpuk seperti arsip kantor), memanfaatkan kerja sama itu untuk satu tujuan:
Mendekatkan Mimi pada Leon.
Untuk itu, Mimi harus bisa satu hal dulu:
menjadi model.
Pagi itu, Isabel membawa Mimi ke ruang latihan modelling pribadi miliknya, ruangan luas dengan cermin di tiga sisi, lampu ring besar, dan catwalk kecil sepanjang lima meter.
Mimi langsung terpukau.
“Ya ampun… Non… ini tempat apaan? Kok kayak rumah dukun modern? Cerminnya banyak banget.”
Isabel mengembuskan napas.
“Ini studio, Mimi. Studio. Bukan tempat dukun.”
“Ooh… studio itu tempat buat bikin orang pusing ya Non? soalnya saya liat cahayanya banyak.”
Isabel menepuk keningnya.
“Cahayanya memang banyak. Itu namanya pencahayaan. Supaya kamu cantik saat difoto.”
Mimi manggut-manggut.
“Ooh… cahaya buat bikin cantik orang.”
“Bukan bikin cantik, tetapi menonjolkan kecantikan!”
"Kalau cahaya saja bikin cantik, bisa-bisa operasi plastik nggak laku lagi, Mi!"
"Ayo, kita mulai misi mu!" ujar Isabel menyudahi pembicaraannya, kalau dituruti, pertanyaan Mimi tidak pernah habis.
Mereka pun mulai misi pertama: Latihan Jalan di Catwalk
Isabel pun mengambil posisi, berdiri di ujung catwalk.
“Mimi, coba jalan dari sini ke sana. Jalannya yang elegan, pelan, dan… ya model-model gitu lah.”
Mimi menatap catwalk itu seperti menatap jembatan rakit di atas sungai deras.
“Non… sempit banget ini. Kalau jatuh gimana?”
“Ya jangan jatuh! Ini catwalk, bukan jembatan menuju akhirat!”
Mimi menarik napas panjang, lalu…
melangkah.
Langkah pertama: oke.
Langkah kedua: masih oke.
Langkah ketiga…
Tiba-tiba Mimi membuka kaki selebar dua ubin.
“Mimi! Itu gaya apa?!”
Mimi panik. “Menghindari lubang, Nona!”
“LUBANG MANA?! Ini lantai marmer!”
“Oh…” Mimi buru-buru merapatkan kaki. “Sudah kebiasaan Non… kalau jalan di kampung suka ada lubang…”
Isabel menutup muka dengan kedua tangan.
“Sudah! Ulang! Jalan biasa, yang elegan. Bayangkan kamu model profesional.”
Mimi menarik napas lagi, lalu berjalan…
kali ini sambil mengangkat tangan ke samping seperti ayam hendak terbang.
“STOP! Mimi! Kenapa tanganmu begitu?!”
“Aku jaga keseimbangan Non… takut jatuh…”
“Model itu nggak boleh kayak ayam mau kabur dari kandang!”
Merasa capek dengan misi pertama, mereka pun beralih ke misi kedua : Latihan Pose
Isabel menyerahkan gaun elegan pada Mimi.
“Sekarang coba pose. Pose apa saja yang menurutmu… anggun.”
Mimi berdiri di depan cermin.
Menghela napas.
Lalu… mengangkat tangan dan membentuk jari peace.
“MIMI! Itu bukan anggun! Itu kayak anak sekolah habis piknik!”
“Oke, oke Non…” Mimi mencoba lagi.
Pose kedua: tangan di pinggang, wajah terlihat serius.
“Mimi… itu bukan anggun. Itu kayak ibu-ibu ngamuk karena diskonan habis.”
Pose ketiga: Mimi menunduk dengan kedua tangan dilipat di depan seperti foto buku nikah jaman dulu.
“Mimi… kamu mau jadi model atau calon menantu Pak RT?!”
Mimi langsung menurunkan tangan dan menatap Isabel memelas.
“Nona, aku nggak ngerti gaya-gaya orang kota…aku benar-benar bingung, aku juga jarang difoto.”
Isabel menghela napas panjang, panjang sekali, sampai Dadang di luar pintu ikut menghela napas tanpa sadar.
“Sudah. Lihat aku.”
Isabel memperagakan pose elegan: dagu sedikit miring, satu kaki ditumpu, tangan longgar alami.
Mimi mengangguk, mencoba menirukan…
Hasilnya: dagu terlalu miring sampai hampir keseleo, kaki menekuk aneh, tangan kaku seperti robot.
Isabel rasanya ingin menjerit namun juga tidak bisa menahan tawa.
Merasa lelah dengan misi kedua, Isabel pun langsung tancap gas ke misi ketiga: Latihan Ekspresi
Isabel: “Coba ekspresi seksi.”
Mimi langsung membuka mata lebar-lebar, bibir terbuka.
Hasilnya seperti orang kaget lihat pocong.
“STOP! Itu ekspresi diserang kambing!”
“Oke… ekspresi bahagia.”
Mimi tersenyum lebar… terlalu lebar… sampai matanya lenyap dan giginya terlihat semua.
“Mimi… itu bukan bahagia. Itu kaya dapat undian.”
“Ekspresi sedih.”
Mimi langsung menunduk dan… hiks… hiks…
Air matanya beneran keluar. Membayangkan kenangan ayahnya.
“MIMI! Sedihnya nggak usah beneran! Ini latihan, bukan sinetron!”
*******
Akhirnya, setelah satu jam lebih berjuang, tertawa, frustrasi, dan hampir menangis, Isabel mengangkat tangan.
“OKE! CUKUP UNTUK HARI INI!”
Mimi mengelap keringat.
“Non… aku lulus ya?”
Isabel menatap Mimi dengan tatapan “ingin bilang tidak, tapi dia sudah tidak sabar mempertemukan Mimi dan Leon.”
“Ya… lulus… versi remedi.”
Mimi tersenyum malu-malu.
“Remedi apa Non? Apakah berarti… aku sudah bisa jadi model?”
Isabel menghela napas tetapi tersenyum.
“Bisa. Tapi kamu butuh banyak latihan. Banyak sekali. Tapi tenang, Mimi… kalau kamu sudah tampil di depan Leon nanti…”
Isabel menunjuk Mimi dengan yakin.
“…dia pasti MELIHAT kamu. Mau kamu jalan kayak ayam pun, dia tetap lihat.”
Seketika pipi Mimi merona merah, membuat wajah Mimi semakin terlihat cantik dan menarik.
“Non… jangan begitu… aku jadi malu…”
Melihat itu, Isabel tertawa puas.
Seperti ini yang aku cari. Masih fresh, polos dan malu-malu! Leon pasti suka, kalaupun tidak, akan kubuat sampai suka!
Dalam hati, ia tahu satu hal:
Gadis kampung ini mungkin tidak punya bakat modelling…
tapi pesona alaminya jauh lebih mematikan daripada semua teknik yang ia ajarkan.
Dan untuk rencananya, sementara ini dia cukup puas dengan hasilnya.
Bersambung.....