9. Suka Maju VS Arcade

1225 Kata
Isabel baru saja selesai jogging, napasnya masih teratur, wajahnya berkeringat namun tetap cantik seperti habis syuting iklan minuman vitamin. Saat membuka pintu belakang rumah, ia mendapati pemandangan yang membuatnya menghentikan langkah. Mimi sedang berdiri di dapur, mengenakan apron kebesaran, memegang spatula, dan dengan santai membolak-balik sesuatu di wajan yang mengeluarkan aroma… sangat menggoda. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Isabel dengan nada bingung sekaligus kaget. Mimi menengok dan tersenyum polos. “Aku membantu di dapur.” Kening Isabel langsung berkerut. “Aku tidak menjadikanmu pembantu rumah tangga. Kenapa kamu harus di dapur?” Mimi buru-burus menjawab, “Tangan saya gatal kalau tidak bekerja, Nona.” Isabel menatap tangan Mimi seperti menilai berlian. “Kau jangan bekerja keras! Aku tidak mau tanganmu jadi kasar! Kalau mau menggoda pria, semuanya harus halus. Mengerti?” Mimi langsung kaku seperti kena teguran kepala sekolah. Namun beberapa detik kemudian ia menjawab lirih, tapi jujur. “Jangan khawatir, Nona. Saya cuma memasak saja. Tidak mengerjakan pekerjaan kasar lainnya.” Isabel menghela napas jengkel, tetapi aroma masakan yang sedang dimasak Mimi perlahan menyerang hidungnya. Ia merasakan sesuatu yang jarang ia rasakan: lapar. Ah, mungkin karena aku sedang lapar saja. Jadi cium apa pun terasa wangi dan menggoda, pikir Isabel, berusaha tetap menjaga gengsinya. Beberapa menit kemudian, Isabel sudah duduk manis di meja makan. Rasa penasaran membuatnya mengambil satu sendok masakan yang baru pertama kali ia lihat itu, teksturnya sederhana, tampilannya kampung sekali, tapi aromanya… menggugah iman. Begitu makanan itu masuk ke mulutnya, mata Isabel langsung membelalak. “Ini masakan Bi Tuti? Apa ini menu baru Bi Tuti?” tanyanya dengan nada setengah terkejut, setengah terpikat. Salah satu pelayan segera menjawab, “Itu… masakan Mimi, Nona. Bukan koki.” Isabel memandang piringnya. Lalu Mimi. Lalu piring. Lalu Mimi lagi. “Kenapa… masakannya lebih enak daripada chef profesional?!” Pelayan lain menambahkan dengan suara lirih, “Mungkin karena bumbu kampung, Nona. Kalau Bi Tuti kan lebih sering masak masakan luar, sesuai selera Nona.” Isabel menelan ludah keras-keras. Ia menatap Mimi seperti menatap harta karun yang selama ini tersembunyi di belakang dapur. “Mimi… kamu bukan hanya model gagal latih, tapi… kamu juga chef berbakat?” Mimi menggaruk kepalanya sambil tersipu. “Saya cuma masak seperti di kampung, Nona.” Isabel langsung menyeringai lebar. “Bagus! Semakin banyak keahlianmu, semakin naik nilai kamu di depan Leon nanti!” Mimi membeku. Sudah berkali-kali Isabel menyebut nama itu. Leon… Leon… Leon… Nama yang terdengar seperti singa. Kalau artinya singa, apa sifatnya juga segalak singa? Apa nanti aku akan dimakan hidup-hidup? Pikiran Mimi melayang-layang, membuat jantungnya berdegup tak karuan. Sementara itu, Isabel yang tadi sok gengsi, diam-diam sudah memasukkan suapan kedua. Lalu ketiga. Lalu keempat. Sampai akhirnya ia memutuskan berhenti sebelum kehilangan martabat sebagai wanita langsing. Isabel menaruh garpu, menahan napas, lalu berkata lirih, “Ya Tuhan… ini enak banget. Aku benci mengakuinya.” Mimi tersenyum lebar, bangga. “Kalau Nona suka, saya bisa masakkan setiap hari.” Isabel langsung hampir tersedak udara. “JANGAN! Kalau kamu masak setiap hari, bisa-bisa aku berubah jadi GENTONG!” Pelayan yang mendengar hampir menahan tawa. Mimi cepat-cepat menggeleng, “Tidak mungkin Nona jadi gentong, paling cuma jadi kendi kecil saja.” “MI-MI! Itu bukan membantu!” Mimi panik, “Maaf, Nona!” Isabel menutup wajahnya dengan tangan, tapi dalam hati ia sudah memutuskan sesuatu: Mimi ini bukan hanya calon model. Mimi adalah paket lengkap. Dan jika Leon tidak terpikat… maka Leon pasti buta atau bodoh. Sebenarnya Sherly bakal kalah total kalau dibandingkan dengan Mimi. Mimi hanya kalah nasib saja, lahir di keluarga miskin. Dia pernah mendengar Dadang bercerita tentang Desa Suka Maju, kampung asalnya. Menurut Dadang, desa kecil itu terkenal karena banyak gadis cantiknya, namun… Sayangnya, desa mereka terisolasi, miskin, dan jauh dari hiruk pikuk kota. Isabel langsung mengkritik begitu mendengarnya. “Nama desa kalian tidak sesuai realita! Kalau namanya Suka Maju, harusnya suka majuin kehidupan, bukan majuin kemiskinan! Cari dong akar masalahnya!” Dadang hanya menghela napas. “Desa ini cuma suka majuin anak gadisnya, Nona…” “Maksudmu majuin supaya maju sekolah? Maju jadi calon pemimpin? Maju jadi pengusaha?” Dadang menggeleng lemah. “Majuin anak gadisnya buat dinikahkan, Nona… berharap dapat mahar yang lumayan. Banyak yang dinikahkan ke orang luar negeri pula.” Isabel terpaku. Kemudian ia mengeram kesal. “Sungguh keterlaluan! Kalau begitu sampai kiamat Desa kalian nggak akan maju!” omelnya. “Coba lihat Kota Arcade, isi kota ini pengusaha semua! Berpikir maju. Kerja keras. Baru bisa jadi kota terkaya dan termaju di negara ini!” Ia menggeleng dramatis. “Kasihan sekali nasib gadis-gadis yang lahir di sana…” Saat itu Isabel tidak pernah menyangka bahwa ia akhirnya akan bertemu seorang gadis dari desa itu. Dan ternyata… Apa yang dibilang Dadang seratus persen benar. Kalau yang “biasa saja” sudah cantik, Mimi sebagai kembang desa benar-benar seperti efek filter i********: bawaan lahir. Isabel harus mengakui: Mimi cantik jelita. “Andai saja dia punya pendidikan tinggi… bisa bahasa asing… mungkin bisa dikirim ke Miss Universe. Kayaknya ada peluang menang…” gumam Isabel dalam hati. ****** Isabel yang tengah menikmati masakan Mimi ketika pikiran itu berputar-putar di kepalanya. Membuat sesuatu muncul tiba-tiba di benaknya, hal yang membuat kedua alisnya langsung naik ke dahi. Pendidikan Mimi. Isabel menoleh cepat. “Mi, kamu sekolah sampai kelas berapa?” Mimi langsung menunduk, seperti anak kecil ketahuan mencuri jambu. “Lulus SD, Nona… tapi SMP cuma sampai kelas satu. Itu pun sering bolos, soalnya bantu ayah di sawah.” Isabel langsung mengerutkan dahinya dan berpikir keras. “Aduuuuh, Mimi… kamu tidak boleh punya pendidikan serendah itu! Orang-orang kota itu suka nanya hal-hal nggak penting, dan kamu harus terlihat kelas!” Mimi semakin meringkuk kecil, seperti kucing kehujanan. “M-maaf, Nona…” Isabel langsung berdiri, mondar-mandir seperti manajer artis yang sedang memutar otak menyelamatkan karier bintang terbarunya. “Kita harus rahasiakan hal ini,” gumam Isabel sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. “Kalau sampai Leon tahu kamu cuma lulusan SD… habis sudah rencanaku. Leon suka orang yang cerdas.” Tiba-tiba, seperti mendapat wahyu dari langit, Isabel berhenti dan mengambil ponsel. Tanpa ragu, ia menghubungi seseorang. “Haloo… iya, buatkan aku ijazah SMA. Atas nama Mimi Permata Sari. Secepatnya. Besok harus jadi.” Mimi langsung tersedak ludah, mata melebar seperti mau copot. “N-Nonnaa??” Isabel menutup telepon lalu menatap Mimi sangat serius, seolah sedang memberikan instruksi operasi rahasia negara. “Mulai hari ini, kalau ada yang tanya, kamu itu lulusan SMA. Paham?” “Tapi… tapi Nona… saya kalo bohong suka ketawa sendiri,” ujar Mimi polos. “TIDAK ADA TAPI-TAPIAN!” potong Isabel sambil menunjuk Mimi dramatis. “Kamu hanya perlu bilang satu kalimat: Saya lulusan SMA. Sudah.” Mimi menelan ludah, mencoba menyimpan semua kebingungannya. Akhirnya ia mengangguk kecil. Dalam hati Mimi bergumam lirih, Hebat sekali orang kaya… Orang yang sekolahnya amburadul saja bisa dapat ijazah. Cita-cita ku jadi orang kaya memang benar. Dengan uang, semua masalah bisa diselesaikan. Kalau begini, besok-besok mungkin aku bisa jadi sarjana juga… tanpa masuk kampus… Isabel menghembuskan napas lega. “Bagus. Sekarang kamu resmi… ehm… lulusan SMA kilat. Jangan bikin masalah!” Mimi hanya bisa mengangguk-angguk. Isabel tersenyum puas. Dengan ini, rencananya mendekatkan Mimi pada Leon semakin mulus. Kalau Tuhan merestui? Bagus. Kalau tidak? Ya… berarti belum rejekinya Mimi. Dia paling harus kalah dari Sherly lagi, tetapi paling tidak dia sudah mencoba. >>Nama tempat hanya fiksi semata, khayalan author ya Bersambung.........
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN