10. Rahasia Dendam Isabel

1260 Kata
Sambil menata meja makan, Mimi melirik sekeliling ruangan besar itu. Langit-langit tinggi, hiasan mewah, perabot mahal, semua tampak seperti istana dalam dongeng. “Nona…” Mimi akhirnya bertanya pelan, “...apakah Nona tinggal di istana sebesar ini sendirian?” Isabel yang sedang menyeruput minumannya tiba-tiba terdiam. Raut wajahnya berubah, seperti ada awan gelap lewat di matanya. “Ayah dan ibuku sedang di luar negeri,” jawab Isabel lirih. “Mereka… membawa kakakku untuk berobat.” Mimi mematung mendengar nada suara itu. Ia menatap Isabel, dan tampak jelas di mata Mimi bahwa ia benar-benar khawatir dan tulus. “Kakak Nona sakit apa?” tanya Mimi hati-hati. Isabel menghela napas panjang, pandangannya melayang jauh seperti melihat masa lalu yang menyakitkan. “Kak Irwan… dia pria yang baik. Dia sangat menyayangiku, karena kami hanya dua bersaudara.” Senyumnya muncul sebentar, lalu lenyap. “Tapi suatu hari… kecelakaan terjadi. Dan sejak itu Kak Irwan lumpuh.” Mimi menutup mulutnya, kaget dan iba. “Ayah dan ibuku tidak mau menyerah. Setelah aku bisa mengurus perusahaan, mereka memutuskan pergi bersama Kak Irwan untuk mencari pengobatan terbaik.” Isabel tersenyum tipis, tapi tatapannya tetap sendu. “Jadi ya… aku memang sendirian di rumah sebesar in saat inii.” “Maaf, Nona… aku membuat Nona teringat hal yang tidak enak,” kata Mimi, suaranya pelan tulus. Isabel menggeleng. “Tidak apa, Mi.” Tiba-tiba ia menatap Mimi serius, seperti ingin menguji hatinya. “Aku ingin tanya. Dan kamu harus jawab jujur.” Ia menarik napas. “Kalau kamu punya kekasih. Lalu kekasihmu mengalami hal seperti itu… apakah kamu akan meninggalkannya begitu saja hanya karena dia cacat?” Mimi tidak ragu sedikit pun. “Kalau kekasihku selama ini menyayangiku dengan baik, tentu aku tidak akan meninggalkannya, Nona.” Mimi menunduk, suaranya mulai bergetar. “Aku akan memberi semangat, siapa tahu suatu hari dia bisa sembuh. Andai ayahku dulu tidak meninggal… aku pasti sudah menikah dengan Tuan Tanah. Dan aku… tidak mungkin meninggalkan ayahku yang sudah sakit-sakitan.” Matanya berkaca-kaca. Isabel terpaku. Untuk pertama kalinya hari itu… ia merasakan kehangatan yang berbeda. Dalam hati ia mengakui, Mimi polos bukan sekadar wajah. Hatinya pun jernih. Harusnya Leon akan suka yang begini…Tapi Sherly terlalu pintar manipulasi, selalu terlihat manis, lembut dan polos. Dalam hati Isabel, ada satu pengakuan yang tidak bisa ia bantah, Mimi itu jernih. Bukan hanya wajahnya… tapi hatinya. Ada sesuatu dari Mimi yang membuat d**a terasa hangat, sesuatu yang… seharusnya Leon sukai. Andai dunia ini adil, mungkin Leon akan memilih gadis seperti Mimi. Namun begitu satu nama terlintas di kepalanya, seluruh ketenangan itu runtuh seketika. Sherly. Isabel merasakan hawa dingin merayap di tulang belakangnya. Jarinya mengepal tanpa ia sadari. Dadanya menegang. Suaranya tercekat, seperti ada sesuatu yang menahan di tenggorokan. Sherly… Perempuan bermuka dua paling sempurna yang pernah ia temui. Selalu terlihat lembut. Selalu tersenyum manis. Selalu berbicara seolah-olah ia gadis paling polos di dunia. Bahkan Isabel dulu merasa Sherly adalah kakak yang dihadiahkan Tuhan untuknya. Perempuan itu pernah menjadi tunangan kekasihnya, Irwan. Pasangan yang tampak sempurna, begitu serasi, begitu saling mencintai hingga orang-orang yakin mereka akan menikah dan hidup bahagia. Isabel sangat menyayangi Sherly. Bahkan ia membagikan begitu banyak hal pada Sherly… termasuk rahasianya yang paling dalam: Bahwa ia mencintai Leon. Bahwa ia menunggu Leon pulang dari Swiss dan ingin menyatakan perasaannya. Dia berharap Leon menyukainya juga, karena mereka teman masa kecil. Bahwa Leon adalah harapan kecil yang ia simpan di ujung hati. Semua itu ia ceritakan tanpa curiga. Dengan polos. Dengan percaya. Bahkan semua kesukaan Leon yang dia hafal betul, juga tidak terlewatkan. Lalu kecelakaan itu datang. Irwan lumpuh. Dan cinta Sherly… lenyap seperti kabut tersapu angin. Dengan alasan keluarga tidak merestui ia menikahi pria cacat, Sherly memutuskan hubungan. Begitu cepat. Begitu dingin. Isabel awalnya mencoba memahami. Irwan pun berkata tidak apa-apa, ia tak ingin membebani Sherly. Tetapi yang menghancurkan hatinya bukanlah perpisahan itu. Yang menghancurkan adalah… Ternyata Sherly mendekati Leon. saat Leon kembali, Leon mengenalkan Sherly sebagai kekasihnya. Sherly mengumpulkan semua cerita Isabel. Semua detail kecil yang dulu Isabel bisikkan sambil tersenyum malu-malu. Hal-hal kecil yang tidak pernah ia ceritakan pada siapa pun. Semua disimpan, lalu digunakan... Begitu Leon di luar negeri, Sherly menyusul. Bersenjatakan informasi yang ia korek dari sahabat bodohnya, Isabel. Dan karena dia tahu apa yang disukai Leon, apa yang membuat Leon nyaman… ia menang. Sherly mendapatkan Leon. Isabel merasa seperti ditarik masuk ke jurang gelap. Seakan-akan semua napasnya direbut. Pengkhianatan itu terlalu telak. Terlalu dalam. Terlalu sengaja. Bagaimana ia tidak membenci Sherly? Bagaimana ia tidak ingin menghancurkan wanita itu? Saat ia bercerita pada kakaknya, Irwan hanya menatap penuh kepasrahan. “Aku sudah relakan semuanya. Biar Leon dan Sherly bahagia. Leon sahabat kita… bukan musuh.” “Kak… dia sudah mempermainkan kakak…” suara Isabel bergetar. Dia belum sempat menceritakan pada Irwan, kalau dia menyukai Leon sejak dulu, kalau dia juga yang sering bercerita tentang Leon pada Sherly. Bahkan dengan polos dia menunjukkan foto Leon pada Sherly. Irwan menatapnya lemah, tetapi tegas. “Isabel… berjanji. Jangan pernah beri tahu Leon bahwa aku pernah bersama Sherly.” Janji itu terasa seperti belati yang menusuk tenggorokan. Isabel mengangguk, tapi dadanya bergolak. Aku janji, kak. Tapi itu tidak berarti aku akan diam. Aku akan membuat Sherly merasakan pria yang ia cintai pergi meninggalkannya. Aku akan membuatnya merasakan kehilangan yang menusuk tulang. Aku akan membuatnya merasakan apa yang kita rasakan-kau dan aku. Isabel menatap telapak tangannya yang masih mengepal. Tekad itu seperti api yang menyala, gelap, panas, dan tak bisa dipadamkan. Demi kakaknya. Demi dirinya sendiri. Demi semua perasaan yang pernah ia kubur. Sherly harus merasakan balasan yang setimpal. Tidak apa-apa Leon dimiliki perempuan lain, asal bukan Sherly! ****** Sentuhan lembut di punggung tangannya membuat Isabel tersentak keluar dari pusaran masa lalu yang menyakitkan. Ia mengedip pelan, seolah baru sadar ia telah tenggelam terlalu lama. Di hadapannya, Mimi menatap dengan mata bulat, polos, dan penuh kekhawatiran. “Nona… baik-baik saja, bukan?” tanya Mimi pelan, tangannya masih menggenggam tangan Isabel seolah takut Isabel tiba-tiba roboh. Isabel tersenyum—senyum kecil yang jarang muncul. “Aku baik-baik saja, Mi. Dan akan semakin baik kalau kamu berhasil menjalankan tugas utamamu!” Mimi berkedip. “Tugas… utama?” Ia tampak bingung, seperti murid SD yang tiba-tiba dipanggil guru ke papan tulis. Isabel menghela napas panjang lalu menatap Mimi dari ujung kaki sampai ujung rambut, matanya seperti sedang menilai kualitas barang antik. “Aku sudah tidak sabar menunggumu belajar jadi model sampai pintar. Kalau aku tunggu sampai kamu lancar pose, mungkin aku sudah tua dan keriput.” Mimi langsung memerah. “Non-nona… Mimi sudah berusaha, tadi Mimi sudah latihan jalan dengan satu kaki, tapi...” “Itu bukan teknik catwalk, Mimi,” potong Isabel cepat. “Tadi kamu hampir jatuh karena kesandung karpet.” Mimi menunduk malu. “Saya kira… itu bagian dari seni.” Isabel memijit pelipis. “Seni dari mana orang jalan seperti ayam nginjek duri?” Mimi hanya bisa tersenyum kaku. Isabel akhirnya berdiri, menepuk kedua tangannya seolah membuat keputusan besar. “Besok pagi,” ucap Isabel, nadanya tegas tapi penuh semangat. “Aku akan mempertemukanmu dengan Leon Arvallo.” Tubuh Mimi langsung menegang. Hampir terdengar bunyi “krek” seperti kayu patah. “Se-secepat itu, Nona?” “Tidak cepat,” Isabel mengibaskan tangan. “Ini sudah pas. Kalau lebih lama, kamu keburu tua sebelum kenal Leon.” “Mi… Mimi masih 20 tahun…” “Justru itu! Waktu itu emas!” Jantung Mimi berdegup kencang seperti genderang perang. Leon Arvallo? Pengusaha muda super tampan yang bahkan di berita saja wajahnya bikin kamera HD minder? Melihat fotonya saja sudah membuat Mimi grogi, bagaimana kalau bertemu langsung? Bersambung........
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN