11. Cantik Itu Takdir, Polesan Itu Bonus

1127 Kata
Isabel sudah rapi sejak pukul delapanpagi, tapi Mimi… masih bergulat dengan ikat rambutnya. “Mimi! Itu rambut, bukan benang layangan! Kenapa kusutnya begitu?!” keluh Isabel sambil memegangi kepala. “Saya gugup, Nona… tangan saya gemeteran,” jawab Mimi polos. Isabel memutar mata. “Sudah, sini! Duduk!” Dia mulai menyisir rambut Mimi dengan penuh misi. Lima menit kemudian, “AUUWWW! Nona pelan sedikit!” “Diam! Cantik itu sakit!” Setelah rambut selesai, riasan Mimi rapi, baju model sederhana tapi anggun sudah dipakaikan… Mimi berdiri di depan cermin dan tidak mengenali dirinya sendiri. “Saya… saya kelihatan seperti artis sinetron…” gumam Mimi terpukau pada dirinya sendiri. “Bukan artis. Kamu harus kelihatan seperti calon istri pejabat tinggi,” kata Isabel sambil merapikan kerah Mimi. Mimi langsung tegang. “A-apa saya siap, Nona…?” “Kamu harus siap, Mimi. Ingat, hari ini kamu bukan hanya Mimi si gadis kampung,” ujar Isabel sambil merapikan sedikit rambut Mimi. “Hari ini kamu Mimi Permata Sari, lulusan SMA, meski ijazahnya… yah, hasil buatan, tapi rapi. Dan kamu adalah calon bintang iklan perusahaan kami di masa depan.” Mimi mengangguk keras seperti prajurit diteriaki komandan. “Baik, Nona! Nona sudah berusaha banyak, aku tidak boleh gagal!” “Itu baru semangat yang benar.” Isabel mengacungkan jempol penuh bangga. Mimi kembali menatap dirinya di cermin. Wajahnya dipoles lembut, rambutnya disanggul rapi, bibirnya mengilap alami, dan gaun elegan membuatnya terlihat seperti orang lain. Dengan mata berbinar, Mimi bergumam, “Wah… ternyata benar ya non, kata orang… kalau ada uang, semua perempuan bisa cantik…” Isabel menahan tawa. “Kamu itu salah satu yang beda, Mi. Cantikmu cantik alami. Cuma dipoles sedikit saja sudah kayak bidadari turun dari awan rendah.” Mimi tersipu, pipinya memerah seperti tomat direbus. “Aku… beneran secantik itu, Nona?” “Kalau tidak cantik, mana mungkin aku repot-repot bawa kamu ke perusahaan Leon? Harusnya kamu percaya diri. Lihat tuh!” Isabel menunjuk bayangan Mimi di cermin, “...itu Mimi yang baru. Mimi yang siap menaklukkan dunia, ehm… minimal menaklukkan satu CEO dulu.” Mimi langsung kaget. “CEO?! Nona… jangan bilang yang mau ditaklukkan itu… yang tinggi besar itu… yang tajam matanya itu… yang wajahnya bikin aku tidak bisa bernafas itu.” “Ya, Leon.” Isabel tersenyum licik. “Kamu harus siap.” Dan Mimi langsung… Deg. Tegang. Diam. Beku. “Nona… kalau aku tidak bisa kedip lagi, bagaimana?” bisik Mimi panik. Mimi punya kebiasaan tidak bisa berkedip setiap melihat yang dia sukai, seperti uang banyak, emas banyak dan pria ganteng. Isabel menahan kepalanya berdenyut. “Astaga Mimi… kita belum mulai sudah rusak mode-nya…” Mimi menelan ludah. “Tapi… aku akan coba, Nona. Aku akan lakukan yang terbaik.” Isabel menepuk pundaknya pelan. “Itu dia. Mimi versi upgrade. Siap bertarung.” ******* Mobil berhenti tepat di depan gedung kaca Arvallo Corporation, bangunan menjulang yang membuat Mimi mendongak hingga hampir jatuh ke belakang. “Ya Tuhan… ini rumah Tuhan apa kantor, Nona?” bisiknya gemetar. “Ini baru lantai depan, Mimi. Jangan norak,” sahut Isabel sambil menarik tangan Mimi masuk. Tapi begitu pintu lift terbuka di lantai eksekutif dan Mimi memasuki ruangan Leon… Seluruh sistem tubuh Mimi langsung shutdown. Di dalam, tampak seorang pria dengan jas abu-abu elegan, duduk di kursi kebesarannya dengan aura yang seakan mengisi seluruh ruangan. Wajah tegas. Rahang kuat. Sorot mata dingin tapi memikat. Rambut hitam rapi dengan sedikit poni jatuh natural. Leon Arvallo. Mimi langsung membeku. Tidak berkedip. Tidak gerak. Tidak bernapas-mungkin juga tidak berpikir. Isabel sampai harus menyenggolnya. “Mimi… Mimi?? Mimi!!! Kedip! Kedip dulu! Mau kuolesin minyak kayu putih?!” Tapi Mimi tetap kaku seperti patung yang dipajang di museum. Leon menatap Mimi. Tatapan itu dingin… namun memeriksa. Ketika matanya bertemu mata Mimi. Mimi resmi hilang dari dunia. “Ha… ha…” Hanya itu yang berhasil keluar. Leon mengecilkan mata, tertarik. “Halo,” suaranya dalam, tenang, dan tajam. “Ini siapa?” Isabel langsung pasang senyum bisnis paling angkuh. “Ini Mimi. Calon Ambassador untuk produk kerjasama kita.” Mimi mencoba memperbaiki diri. Tapi yang muncul hanya, “H-hai…” Isabel memijat pelipis. “Ya Tuhan… ini lebih parah dari latihan jalan catwalk…” Leon justru tersenyum tipis, sebuah senyum langka yang biasanya hanya muncul saat rapat besar selesai tanpa kerugian. Sebelum Mimi pulih, Leon bangkit dari kursi dan melangkah mendekat. Setiap langkah membuat Mimi seperti mundur selangkah dalam hati. Terlalu dekat. Terlalu tampan. Terlalu mengancam ketenangan jantung. Begitu jarak mereka tinggal beberapa jengkal… Leon justru menoleh pada Isabel. “Kau ikut aku. Ada yang harus kubicarakan. Berdua.” Nada suaranya tegas. Tidak meminta. Memerintah. “Baik,” ujar Isabel tanpa memprotes. Namun sebelum pergi, Isabel sempat menatap Mimi dan berbisik penuh frustasi: “Baru lihat wajahnya saja kamu sudah error?! Mimi… Mimi… mana jurus menggoda yang aku ajarin? Jurus nomor satu? Nomor dua? Nomor tiga?!” Mimi hanya membalas dengan suara tercekat: “Saya… saya lupa semua, Nona…” Isabel menghela napas panjang. “Ya Tuhan… semoga kau tidak pingsan saat diajak bicara nanti.” Leon sudah menunggu di pintu. Isabel menyusul, meninggalkan Mimi berdiri sendirian di ruangan megah itu, masih kaku, masih terpana, masih lupa cara bernapas. Dan di luar sana… Leon menutup pintu ruangannya. ****** Isabel mengikuti Leon masuk ke ruang meeting pribadi, ruangan kaca dengan tirai otomatis yang langsung menutup ketika pintu tertutup. Suasananya sunyi, hanya suara AC dan ketukan sepatu Leon yang terdengar tegas. Isabel menelan ludah. Ini… pasti tentang Mimi. Leon berdiri membelakangi Isabel, menatap kota dari balik kaca. Bahunya yang lebar tampak kaku. Nada suaranya tenang… terlalu tenang. “Isabel.” “Ya?” Isabel langsung siaga. Leon menoleh perlahan, menatapnya dengan tatapan analisis khas CEO. “Gadis itu… Mimi.” Isabel mengulas senyum penuh strategi. “Aku tahu, dia cantik. Kamu pasti...” Namun Leon memotong. “Dia… terlihat ketakutan setengah mati.” Isabel: “…..” Leon menatapnya tajam. “Kau bawa gadis polos dari kampung ke ruanganku begitu saja, tanpa persiapan mental? Kau serius?” Isabel ingin berteriak: AKU SUDAH LATIH DIA! TP DIA MANDUL KALO LIHAT PRIA GANTENG! Tapi dia tetap tersenyum manis, menjaga wibawa. “Ah itu… Mimi cuma kaget, kamu terlalu mempesona untuk standar orang kampung, Leon.” Leon menghela napas panjang, bukan karena bangga… tapi karena pasrah. “Isabel… apa kamu sedang merencanakan sesuatu?” Isabel: Gulp. Langsung deg-degan. Kok tahu saja? Hmm... mungkin mereka sejak kecil berteman, sehingga Leon mudah menebak isi hatinya. Namun sebelum Isabel sempat membuka mulut, “Aku baru ingin tanya satu hal lagi, Isabel.” Ia membuka tirai otomatis itu, menatap Mimi yang kini berdiri dan gemetar, lalu kembali pada Isabel. “Gadis ini… benar-benar calon ambassador-mu?” Isabel menepuk d**a bangga. “Tentu! Butuh waktu sedikit… tapi tung...” "Aku kok tidak yakin?" Bersambung........
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN