Saat Leon dan Isabel kembali dari ruang meeting, Mimi masih memeluk kedua lengannya sambil menggigil dramatis.
Leon menatapnya datar.
Sangat datar dan tanpa ekspresi.
“Orang pilihan mu kenapa, bel?” tanyanya pada Isabel akhirnya, nada suara tetap rendah dan tegas.
Mimi mendesis lirih, “A-aku kedinginan, Nona… jangan-jangan kutub utara itu… sedingin ini!”
Isabel langsung memutar bola mata.
“Mimi… ini AC kantor, bukan kutub utara. Kalau kutub utara, kamu sudah jadi es lilin.”
Namun Mimi tetap menggigil sambil menggosok-gosokkan lengannya seolah mau melahirkan api.
Leon mengalihkan pandang, berusaha tidak menunjukkan ekspresi apa pun-padahal di dalam hatinya, dia sedang menahan tawa yang hampir pecah.
Benar-benar harus jaga imej.
Dia adalah Leon Arvallo, CEO muda awal 30-an yang dikenal:
dingin,
serius,
tidak pernah salah langkah,
dan tidak pernah tertawa lebih dari 0,5 detik.
Kalau dia sampai tertawa lepas sekarang, reputasinya runtuh dalam lima detik.
Leon berdiri tegap, menata ulang ekspresi wajahnya jadi super datar, bahkan kipas angin pun kalah kaku. Dia harus selalu menjaga wibawa, pesan sang ayah. Karena usianya yang masih terhitung muda untuk seorang CEO.
sebenarnya dia sejak kecil berteman dengan Isabel, dia sudah menganggap Isabel seperti adik sendiri. Dan yang dia tahu, Isabel memang suka mengucapkan kata-kata lucu yang cukup menghibur. sayangnya setelah dia menjalin kasih dengan Sherly, demi menyenangkan Sherly dia terpaksa menjauh dari Isabel. Mereka kini hanya bertemu dalam acara kerjasama .
“AC ruangan ini standar, Mimi,” ujarnya tenang. “Tidak ada hubungannya dengan kutub utara.”
“A-aku tetap kedinginan… Tuan…” Mimi mulai menggigil lagi, kali ini ala-ala pemeran drama yang hampir terkena hipotermia.
Isabel langsung menyikut Mimi.
“Tolong jangan akting Titanic di sini!”
Leon terdiam.
Lalu menghela napas pelan.
“Kau mau saya naikkan suhunya?”
Mimi mengangguk cepat seperti anak ayam.
Leon memalingkan wajah sejenak untuk menutupi bibirnya yang hampir terangkat.
Astaga… kenapa dia polos sekali sih…?
Cantik-cantik kok kampungan banget.
Tapi lucu juga kalau buat hiburan.
Namun begitu dia menoleh kembali, ekspresinya sudah kembali ke mode dasar:
CEO dingin.
CEO tidak suka bercanda.
CEO tidak pernah terganggu oleh gadis manapun dan pelit senyum.
“Kau tunggu di sofa,” perintah Leon tenang sambil melangkah ke kontrol AC.
“Saya naikkan suhunya.”
Mimi duduk patuh, masih menggigil padahal jelas-jelas lebay.
Isabel memegangi kepalanya.
“Hari pertama… sudah begini…”
Leon yang biasanya dingin seperti es, tiba-tiba berhenti menekan tombol AC, lalu melirik Mimi sekilas.
Sekilas saja.
Namun cukup untuk membuatnya berpikir:
Apa gadis ini… akan selalu seribet ini?
Dan anehnya…
Leon malah mengalah, Leon menekan tombol AC, menaikkan suhunya satu tingkat. Suara mesin mendengung lembut, menandakan perintahnya diterima. Ia menutup panel kontrol itu, lalu kembali berdiri tegak, seolah baru saja menyelesaikan urusan yang sangat penting dan strategis, padahal hanya mengubah suhu ruangan.
Mimi segera berhenti menggigil, tapi tetap memeluk dirinya seperti anak ayam yang baru diselamatkan dari hujan.
Isabel geleng-geleng.
“Mi, kamu itu lebay sekali, tahu?”
“Aku cuma… menyesuaikan suhu… udara kota,” kilah Mimi dengan penuh keseriusan yang tidak seharusnya.
Leon menatapnya beberapa detik.
Diam.
Dingin.
Tenang.
Dan kemudian… terjadi sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak duga.
Sudut bibirnya terangkat.
Sangat tipis.
Hampir tidak terlihat.
Senyum samar.
Namun Isabel yang penglihatannya lihai sempat memicingkan mata.
Cepat sekali, tapi ia yakin melihatnya.
Sementara Leon sendiri mendadak membetulkan kerah jasnya, seakan mencoba menghapus jejak kelembutan yang tadi muncul.
Namun dalam hati, ia merasakan hal yang janggal…
Untuk pertama kalinya, ia tidak keberatan dengan keribetan itu.
Bahkan… ia merasa ada sesuatu yang menyegarkan.
Setelah bertahun-tahun hanya berurusan dengan:
rapat,
angka,
tekanan,
akuisisi,
laporan keuangan,
dan karyawan yang terlalu takut untuk bercanda…
kehadiran seorang gadis polos yang bisa ribut karena AC terlalu dingin…
Entah bagaimana…
…terasa seru.
Tidak membosankan.
Tidak menjemukan.
Dan untuk seorang Leon Arvallo yang hidupnya lurus seperti penggaris… itu adalah sensasi yang sangat langka.
Isabel melihat ekspresi Leon yang sedikit melembut dan langsung mengerling dalam hati.
Bagus… sangat bagus. Mimi mulai berefek.
Sherly… awas kau. Permainan ini baru dimulai.
Mimi, tentu saja, tidak sadar apa pun.
Dengan polosnya ia menatap Leon dan bertanya:
“Kalau AC-nya nanti panas… boleh aku turunkan lagi, Tuan?”
Leon terdiam.
Isabel menutup wajahnya.
Dan Leon…
untuk kedua kalinya dalam hidupnya…
ingin tertawa.
******
Leon baru saja ingin duduk, ketika Mimimyang masih berusaha menyesuaikan diri dengan ruangan termewah yang pernah ia injak, melihat sebuah benda mengkilap di atas meja CEO itu yang membuat dia langsung merasa tertarik.
Sebuah paperweight kristal, bentuknya elegan, berukir logo Arvallo Corporation. Berat, mahal, dan biasanya hanya dipajang, bukan dipegang.
Tapi di mata Mimi…
“…Waaah… ini batu apa, ya? Bagus sekali. Mirip gula batu raksasa!”
Isabel langsung menegang.
“Mi+JANGAN SENTUH...”
Terlambat.
Mimi sudah mengangkat paperweight itu dengan kagum.
Leon mengangkat kepala perlahan, menatap pemandangan itu seperti menatap adegan slow motion.
“Mi… letakkan—”
Tiba-tiba krakk!
Paperweight licin itu bergeser dari genggaman Mimi karena tangannya berkeringat dan gugup setelah diteriaki Isabel.
Isabel menutup mata.
Leon refleks bergerak.
Dalam sepersekian detik, ia menangkap benda kristal seberat hampir satu kilo itu tepat sebelum menghantam lantai marmer dan pasti bisa retak.
Namun Mimi yang panik ikut meloncat maju…
Dan karena terlalu dekat,
BRUK!
Dahi Mimi menabrak d**a Leon.
Leon mematung.
Isabel membeku.
Mimi yang tertekan di d**a Leon mengerang pelan, “Aduh… keras sekali tubuh Tuan Leon…”
Leon terpaku bingung.
Isabel menutup mulutnya agar tidak menjerit frustasi.
Mimi buru-buru berdiri tegak, pipinya merah sepenuhnya.
“Maaf! Maaf, Tuan! Saya kira itu jatuh… saya cuma mau… menyelamatkan benda gula batu… eh… batu gula… eh… ya itu!”
Leon menghela napas panjang.
Ternyata reflekku hebat!
Aku juga sangat tangkas menangkap sesuatu!
ujar Leon dalam hati dengan bangga.
“Tidak apa,” katanya datar.
TAPI…
Sorot matanya sedikit berubah.
Ada sesuatu yang tidak seharusnya muncul:
kesenangan kecil.
Seakan ia baru menyadari…
Bahwa kekacauan yang ditimbulkan Mimi,
anehnya menghidupkan ruangan itu.
Isabel memperhatikan reaksi Leon dengan tajam.
Bagus… sangat bagus. Efek Mimi bekerja dua kali lebih cepat dari perkiraan.
Mimi masih menunduk malu, memegangi dahinya.
“Keras sekali, Tuan… d**a Tuan itu…”
Leon menahan diri untuk tidak tertawa.
Isabel pura-pura batuk.
“Mi! Diam!”
Mimi tidak pernah membayangkan, bahwa ada manusia laki-laki yang bisa terlihat seperti ini dari jarak dekat.
Tampan?
Itu mah kata yang terlalu sederhana.
“Kenapa da~da Tuan Leon sekeras ini? Ini d**a atau papan uji pukul?”
Baru nabrak sedikit saja Mimi merasa jidatnya kena tembok beton.
Dan wajahnya, Mimi sampai ingin bertanya:
“Apakah ini pangeran dari sinetron jam tujuh?”
Tatapan matanya tajam, dingin, dan dalam sekali.
Kalau lelaki kampung menatapnya lama, itu biasanya karena mereka mau pinjam ember.
Tapi tatapan Leon…
Sungguh berbeda...
Membuat hatinya berdebar-debar.
Bikin Mimi lupa bagaimana cara menelan ludah.
Bahkan cara Leon berdiri saja sudah membuat Mimi berpikir:
“Ya Tuhan… kalau ini calon suami, eh--calon pria yang harus kugoda… bagaimana aku tidak pingsan?”
Mimi sampai menelan ludah.
“Aku tidak yakin sanggup menjalankan misi dari Nona Isabel. Yang ada… bisa-bisa aku yang tergoda duluan.”
Mimi memandangi Leon,
Lelaki itu terlalu sempurna.
Terlalu tinggi.
Terlalu dewasa.
Terlalu… keras dadanya.
Setiap kali Leon menoleh sedikit saja ke arahnya, Mimi langsung membeku seperti es batu di freezer.
Bukan cuma takut… tapi juga deg-degan macam ayam kampung bertemu macan.
Bersambung........