TAWARAN BERBAU CINTA
"Jangan buang kesempatan, karena kesempatan tidak datang dua kali. Berani lah mengambil resiko demi doi."
-Anindita Maheswari-
***
Flashback
Dulu, seminggu sebelum Anin resmi menjadi siswi SMA Cemerlang. Tepatnya saat ia masih berstatus sebagai pelajar di SMA Gemilang. Hari dalam seminggu dilalui Anin dengan helaan napas berat, masalah demi masalah terus menghampirinya. Mulai dari kejadian mengerikan malam itu, dikeluarkan dari sekolah, bahkan dihina oleh ratusan anak-anak SMA Gemilang, seolah masalah tak berhenti menghempas kehidupannya. Meskipun begitu, Tuhan masih berbaik hati memberikan Anin kabar bahagia.
Sebelum dirinya kembali ke sekolah, Renata memberitahu rahasia yang selama ini ia jaga dari seluruh penghuni sekolah. Rahasia mengenai hubungan kakak-beradik yang banyak disalahartikan oleh orang, tak terkecuali Anin sendiri.
Selain kabar menggembirakan itu, Anin juga dapat merasakan yang namanya persahabatan sejati. Mereka—Renata, Wulan dan Meta—bersatu melawan Ranti, hingga gadis itu menghilang entah kemana. Ranata bilang, Ranti telah kehilangan sosok ibu yang melahirkannya, hingga ia memilih untuk pindah bersama papanya yang baru saja keluar dari penjara.
Di kontrakan, Anin berberes-beres rumah karena pulang terlambat. Ya, sebenarnya masih terlambat seperti biasa, hanya saja hari itu tidak dapat ditolerir karena job mengajar lesnya meningkat drastis. Tentu saja Anin girang, tak kalah heboh saat dirinya dapat pekerjaan di toko bunga untuk pertama kalinya. Sampai ia rela menelantarkan pekerjaan rumah yang seharusnya sudah selesai ia kerjakan, belum lagi tugas-tugas sekolah menumpuk, semakin menambah penderitaan Anin malam itu. Anin bersyukur tak kehilangan pekerjaan saat berita buruk mengenai malam mengerikan itu tersebar luas.
"Kak, gue pulang!"
Ah, penderitaan Anin lengkap ketika terdengar gedoran dari luar. Gadis itu menegakkan tubuh, memandang pintu kayu selama beberapa detik. Adik laki-lakinya itu benar-benar keterlaluan, jam segini baru pulang? Dunia Anin serasa mau kiamat.
"Sebentar!"
Anin menaruh sapu yang semula ia pegang ke sembarang tempat, lalu berlari kecil menuju pintu depan. Meraih knop pintu hingga seorang murid laki-laki berseragam putih biru muncul dari balik pintu, membuat Anin bersedekap di depan d**a.
"Dari mana aja? Kamu harusnya jagain rumah, jangan kelayapan begini tiap ha—"
"Berisik! Tamu terhormat lo dateng, tuh!"
Kepala Rega muncul di balik tubuh Farel, Anin sontak melebarkan pupil matanya seraya menganga lebar tak percaya, sementara Farel dengan tanpa bersalah menyelonong masuk sambil menekuk wajah. Seolah tamu yang datang mengusik dirinya.
"Lo? Ngapain ke sini?" tanya Anin, seolah mempertanyakan kehadiran Rega ribuan kali dalam hatinya. Tentu, biasanya laki-laki jangkung itu enggan dekat-dekat dengannya, lalu kenapa sekarang ia berdiri seperti satpam begini? Adakah hal yang penting?
Jangan-jangan Rega mau ngaku kalo dia juga suka sama gue? Anin membatin sambil tersenyum-senyum aneh di hadapan sang pujangga kala itu. Ketika mengingatnya, Anin tersenyum konyol.
"Gak usah mikir yang aneh-aneh! Gue cuma mau nyuruh lo dateng ke rumah, papa gue mau ketemu sama lo!" Berkat bentakan bernada judes itu, Anin tersadar dari khayalan tinggi yang hampir mengambang di langit. "Gue tunggu di sini, cepet, gak pake lama! Kalo lama perjanjian gue sama papa batal!"
"Oke, lima menit!"
Sesuai dengan ucapannya, setelah lima menit Anin kembali dengan busana yang berbeda, kali ini ditambah tas kecil yang ia gantung di bahu kiri. Menatap Rega yang masih setia berdiri di depan kontrakannya, berharap bahwa Rega akan memuji penampilannya.
Sadar jika seseorang ada di belakangnya, Rega berbalik. "Buruan!"
Seketika senyuman yang dibuat Anin sebagus rupa lenyap bersama langkah Rega. Terpaksa Anin menekuk wajah, kecewa karena Rega tak sedikit pun memperhatikannya. Kemudian Anin mengekori Rega yang sudah tiba di dekat motor ninja-nya.
Tetap tak ada suara dari Rega ketika cowok itu menyalakan motornya, Rega masih setia dengan diamnya ketika bersama Anin.
Rega memalingkan wajah karena Anin tak kunjung naik ke atas motornya, menunggu membuat Rega berdecak. "Mau kesamber petir lo berdiri di situ? Buruan naik!"
"Iya-iya. Habisnya lo diem aja, kalo selesai, tuh, ngomong. Percuma punya mulut kalo gak dipake!" Anin malah berbalik menceramahi Rega. Meski dirinya dibentak, disakiti, bahkan dikasari oleh Rega, Anin tetap mempertahankan harga dirinya sebagai perempuan. Tidak ada yang boleh menginjak-injak harga dirinya itu, termasuk Rega sekalipun.
"Pegang bahu gue biar gak jatoh! Sebenarnya gue alergi sama lo, tapi gue gak mau repot kalo sampe lo masuk rumah sakit gara-gara gak pegangan. Gue bawa motor kayak Mark Marquez."
"Iya, gue tau. Bahkan sebelum lo mulai balapan, lo udah finish duluan di hati gue, Ga."
"Bacot lo, Janin!"
***
Malam itu, sesampainya Anin di rumah Rega, kedatangannya disambut baik oleh Tama serta Tika. Mereka segera berkumpul di ruang tengah, tanpa kehadiran Wisnu dan Renata yang sedang pergi membeli madu untuk persediaan sebulan. Tama dan Tika memang sengaja menyembunyikan hal ini dari Renata serta Wisnu, sebab ada sebuah perjanjian yang telah disepakati Tama bersama Rega sebelumnya.
Di atas pahanya, sebuah tas persegi panjang diremas Anin kuat-kuat. Seakan berusaha menyalurkan ketakutan pada benda berwarna hitam tersebut, meskipun Anin tahu bahwa hal itu tak sedikit pun membuatnya tenang. Matanya tak sanggup menatap iris mata teduh milik Tama dan Tika, sebab itu sejak tadi Anin menekuk dalam wajahnya.
Rega yang duduk di sofa lain namun bersebelahan dengan Anin menarik punggung dari sandaran sofa, menatap Tama serius. "Ini yang namanya Anin, Pa. Dia yang udah dikeluarin dari sekolah," papar Rega seraya menunjuk Anin dengan kepalanya.
Lewat tatapan matanya, Anin bertanya ada apa pada Rega. Sayangnya, lelaki yang ditatap justru membuang muka hingga membuat Anin mengerucutkan bibir.
Setelah menatap Anin beberapa saat, Tama kemudian mengangguk beberapa kali. Membuat detak jantung Anin semakin tidak terkendali, kedua telapak tangannya pun telah basah karena takut.
"Anin, kamu gak usah takut. Om sama Tante akan membantu kamu keluar dari masalah yang sedang kamu hadapi." Tika melempar senyum saat dilihatnya raut ketidaknyamanan dari pancaran mata Anin.
Anin sedikit menarik sudut bibirnya, membalas seruan Tika. "Eh, iya, Tante. Anin cuma bingung aja, maksudnya gimana, ya, Tan?" kata Anin tersenyum memaksa.
"Begini, Anin." Tama mengambil alih perhatian, hendak menjelaskan apa yang telah terjadi. "Sebenarnya, Rega minta bantuan Om supaya kamu bisa balik lagi ke SMA Gemilang."
Anin tersenyum sumeringah pada Rega. Sementara lelaki itu malah berdesis tidak suka. "Jangan geer, gue ngelakuin ini cuma buat Renata!"
Perkatan menusuk dari bibir tebal Rega membuat Anin mencebik.
Baru juga mau terbang, udah dibanting lagi! Batin Anin menggerutu sebal dengan tatapan menajam.
"Jadi, persyaratannya apa, Pa?" tanya Rega—langsung mengenai inti pertemuan yang mereka adakan.
"Anin harus bersedia jadi asisten kamu, sampe kalian lulus kuliah terus kerja di perusahaan."
"MAU, OM!"
"ENGGAK!"
Keduanya menjawab serempak, namun malah berbeda pendapat mengenai jawaban dari pertanyaan yang sama. Sedetik kemudian mereka pun saling tatap dengan kening berlipat, saling melempar tanda tanya melalui sorotan mata.
Di raut wajah polos kemerahan itu, ada sedikit kekecewaan yang tergambar jelas. Meski segera ditepisnya dengan lengkungan di bibir yang senantiasa menetralisir reaksi kekecewaan, sebab si lelaki yang membuat jantungnya terus berdebar terlihat tidak senang. Rega memang tidak suka, seolah-olah ayahnya sedang berusaha mengalihkan dunianya pada gadis cerewet dan kekanakan tersebut.
Selama ini semua orang tahu, bahwa Rega masih setia pada gadis di masa lalunya. Gadis yang sudah dapat dipastikan tidak akan kembali walaupun kelak air mata Rega berubah menjadi air mata darah, meski langit runtuh sekalipun gadisnya tak akan kembali membuka mata dan kembali pada dekapannya. Entah mengapa, semua hal itu sengaja tak disadari oleh Rega, ia memilih pura-pura buta karena cinta padahal cintanya sudah lama terkubur bersama tanah bercampur kembang, yang tertancapkan sebuah nisan bertuliskan Tania Admajaya.
Hal itu pula lah yang membuat Rega berubah. Dari cerah menjadi kelam tanpa secercah cahaya, meskipun ada cahaya yang berusaha menembus masuk, Rega berusaha menghalaunya dengan alasan yang sama. Ia tetap menunggu gadisnya kembali, entah kapan pemuda ini akan tersadar dari kebodohannya.
"Ini terserah kalian berdua," ucap Tama ketika keduanya berselisih paham. Terlebih putranya yang tampak terusik dan tak menerima."Jika salah satu dari kalian gak setuju, dengan menyesal saya katakan bahwa segala perjanjian, terpaksa dibatalkan."
Akhir kalimat Tama terdengar seperti ancaman di telinga Rega, tentu maksudnya kesepakatan yang telah mereka susun akan segera dibatalkan tanpa berpikir dua kali. Rega yang hanya ingin membantu Renata malah terjebak dengan kondisi konyol yang ayahnya ciptakan untuk dirinya. Memang sejak lama Tama mencari cara agar Rega segera merubah sikap, tidak terus bersembunyi dibalik cangkang masa lalu yang selama ini menjadi penghalang. Bertemu dengan gadis seperti Anin membawa kelegaan bagi Tama, masih ada yang peduli pada anaknya itu selain Tania.
Tidak enak dengan perdebatan dingin yang terjadi antara anak dan ayah, Anin berusaha menengahi. "Om, maaf kalau saya lancang. Saya pikir, Rega itu emang perlu dikasih asisten biar gak galau terus pas lagi sendirian. Biar hidupnya lebih sedikit berwarna karena kehadiran saya yang absurd."
"Betul itu, Tante juga setuju kalau kamu jadi asisten Rega." Tika ikut menimpali, membuat Rega terpojok, semakin menambah rasa kesalnya terhadap Anin. "Di rumah, Rega gak ada kegiatan selain tidur, makan, main game, sama main hape. Pasti di sekolah juga begitu, malah kata temen-temennya Rega itu sering tidur di kelas, dia hanya sekedar mengambil absen saja. Mungkin kalau punya asisten dia bisa sedikit berubah."
Anin berbinar girang seorang diri, seolah menabur bensin di atas kobaran api yang dirasakan Rega. "Gimana, Om? Anin setuju-setuju aja, kok. Apalagi kalau kerja buat Rega, disuruh bikin catetan ratusan lembar buku juga Anin siap," ungkapnya sebagai bentuk persetujuan yang terselubung.
Melihat reaksi bahagia Anin yang memang tersalurkan dengan baik, senyum tipis terukir di bibir Tama. "Kalau kamu setuju, semua tanggungan Anin akan jadi tanggung jawab Papa. Semuanya, termasuk biaya sekolah, biaya hidup, kontrakan, Anin gak perlu kerja paruh waktu lagi," terang Tama yang sebenarnya digunakan untuk memancing persetujuan Rega.
Sementara Anin di tempatnya berdoa penuh harap, berharap agar Sang Kuasa mendengar doa yang ia panjatkan dalam hati. Ya Tuhan, Anin gak akan minta Rega balas perasaan Anin kalau emang dia gak bisa lepas dari masa lalunya. Tapi, biarkan Anin berusaha dulu, setelah itu baru Anin akan pergi kalau memang enggak dibutuhkan.
"Oke. Rega setuju, Pa."
Dunia Anin berubah hijau seketika. Kejadian mengerikan malam itu ternyata mendatangkan banyak keberuntungan, contohnya saja keputusan Rega yang mendadak menyetujui persyaratan Tama. Bisa dibilang hal tersebut menjadi kode bagi Anin seperti lampu hijau, maju ke depan tanpa menoleh ke belakang. Itu lah salah satu ingatan manis yang tersimpan di memori Anin, hal apa yang telah membuatnya menjadi asisten Rega, sampai tiga bulan waktu berjalan. Namun perasaan lelah juga menghantuinya, lelah mencintai pemuda itu sendirian.