BAB 3

1265 Kata
PERI PENAWAR RINDU "Hadirnya sang peri menjadi obat penawar dikala rinduku yang tak berkesudahan." -Rega Algatama- *** Sepulang sekolah, embusan angin kencang perlahan menyurutkan niat langit untuk menurunkan hujan rintik-rintik yang telah terbentuk bersama gumpalan hitam di bentangan langit. Namun tak menyusutkan langkah seorang pemuda bertubuh tinggi, untuk menghampiri salah satu dari banyaknya gundukan tanah yang berjejer rapi diselimuti rerumputan hijau. Sejenak memandangi tulisan di kepingan papan yang menancap pada tanah, akhirnya ia berjongkok mengulurkan tangan mengelus papan nisan itu, yang mana tulisan di bidang datar tersebut perlahan mulai menghilang, terkikis oleh terik serta rintik hujan bergantian. Terakhir kali Rega mengunjungi makam ini, disaat dirinya hendak merayakan ulang tahun Tania yang ke-17 tahun, sekaligus melepas rindu saat dirinya tak kuasa membendung keinginan untuk bertemu. Pemuda itu menundukkan wajah, setiap kali mendatangi tempat ini rasa bersalah selalu saja membayangi. Kata maaf selalu menghiasi, air mata pun menjadi saksi. "Aku ke sini mau ngerayain hubungan kita yang sudah berjalan hampir delapan belas bulan. Kamu harus ngerayain juga di sana, soalnya kue black forest kesukaanmu udah aku titipkan lewat panti asuhan yang dulu sering kita datangi bersama, Tan." Rega menaruh bucket bunga mawar kesukaan Tania, beriringan dengan tetes air mata yang tak disangka mengundang deraian hujan. Perlahan ia menengadah menatap bentangan langit, tetes demi tetes air hujan terus menghantam kulitnya, tak sedikit pun membuat Rega mengurungkan niat untuk memandang langit. "Kamu nggak usah nangis, aku di sini baik-baik aja. Cuma hatiku yang belum sempat melupakan rindu, karena nama kamu masih terpahat bersama setiap detak jantungku." Pada langit yang senantiasa menurunkan hujan pembasuh luka, Rega berteriak menyalurkan setiap percikan rindu yang hampir membunuhnya. "Aku minta maaf, tolong maafin aku, Tania. Maaf, karena aku menjadi laki-laki yang nggak baik dalam kisah cintamu," keluhnya seraya mengembalikan pandangan pada tanah yang tertimpa partikel-partikel hujan. "Karena kamu pergi, aku mendapat hukuman untuk selalu merindukanmu. Padahal aku tahu, kamu memang nggak akan pernah bisa kembali." Tangan Rega mengepal kuat tanah makam, mencoba menyalurkan setiap kekesalan, rasa bersalah serta kerinduannya terhadap gadis dalam pusaran tanah. Tak ada lagi senyuman yang menyapa, tak ada lagi kilauan mata yang penuh suka, tak ada lagi kata-kata indah yang menyapa dirinya, semuanya telah terkubur bersama tanah tersebut, berselimut rumput hijau yang semakin tumbuh subur. Saat kulitnya tak lagi merasakan setiap tetes hujan yang menghantam, Rega mendongak ke atas. Matanya mendapati sosok gadis berambut hitam yang setia memayunginya dengan payung berwarna pelangi. Tak berlama-lama, dirinya tahu siapa gadis itu, Rega menarik pandangannya kembali menatap pusaran tanah. Kali ini mengangkat tangan dengan mata terpejam, melantunkan doa untuk sang kekasih yang jauh di sana.  "Kenapa lo masih di sini?" Usai memanjatkan doa, Rega berdiri menghadap Anin yang masih setia berdiri memandangi makam. Ia dibuat kagum akan kesetiaan Rega pada sosok Tania, tetapi di lain sisi justru hati Anin semakin terkoyak. Seberapa banyak pun usahanya, seberapa sering pun Anin bersama Rega, tak sedetik pun lelaki itu melupakan nama Tania. "Gue ‘kan asisten lo, kemana pun lo pergi gue akan selalu ikut!" Dengan cuek Anin menjawab. Sebenarnya secara tidak langsung Rega telah mengusirnya tadi, di depan makam Rega menurunkannya, menyuruh Anin pulang menggunakan taksi. Tetapi karena keras kepala Anin, gadis berparas cantik itu memilih balik menemui Rega. Sebab dirinya tahu ke mana tujuan lelaki itu. Dugaan itu ternyata memang terbukti, terlebih lagi Anin khawatir akan ada hujan deras karena langit yang tadi mendung sudah mulai menggelap. "Tau dari mana gue di sini?" "Motor lo parkir di depan situ, tuh!" Dengan telunjuknya, Anin menunjuk tempat di mana motor Rega berpijak. Tanpa banyak bicara lagi, Rega berlalu meninggalkan Anin menuju motornya. Tanpa banyak bertanya pula, Anin segera mengikuti langkah pemuda jangkung di depannya, sedikit kerepotan dengan payung yang terus diterpa angin serta rembesan hujan. Setibanya di depan motor berwarna biru tersebut, Rega buru-buru naik kemudian menghidupkan mesinnya. "Gue nggak akan nawarin tebengan. Tadi ‘kan gue udah nyuruh lo pulang," ujar Rega cuek  tidak peduli, kemudian berlalu pergi bersama kepulan asap yang perlahan menghilang dihempas angin serta tetesan hujan. Mata bulat Anin memandangi punggung Rega yang semakin jauh, sampai akhirnya tak lagi terlihat. Sungguh, jika Tuhan bisa mendengarkan do'a-nya, Anin ingin sekali mengutuk Rega menjadi batu karena hatinya yang masih membeku karena Tania. "Dasar nggak punya hati!" sungut Anin kemudian, sepasang kakinya melangkah meninggalkan pijakan semula. "Untung gue sayang, coba aja kalo enggak? Udah gue cekokin sianida tu anak!" Dengan langkah hati-hati Anin tiba di pinggiran jalan di depan makam, ia terpaksa melangkah penuh was-was jika tidak mau jatuh terpeleset untuk kedua kalinya. Matanya memandang aspal jalanan yang digenangi air, angin yang berhembus kencang menusuk sampai ke tulang, beberapa sisi tubuh sudah basah karena sempat terpeleset saat mencoba mengejar kepergian Rega, kaki kirinya mengeluarkan darah karena tergores patahan ranting. Tangan pucat itu menggosok lengan, mencoba memberi kehangatan. Sejak tadi kendaraan yang muncul bukanlah kendaraan umum, melainkan kendaraan pribadi yang tidak mungkin Anin cegat seperti begal untuk mengantarnya pulang. "Lo itu, ya! Nggak ada takut-takutnya, ditinggal sendiri bukannya teriak minta tolong malah berdiri kayak patung selamat datang!" Ketika omelan dari pemilik suara yang amat dikenal sayup-sayup terdengar, sebuah jaket kulit hitam tiba-tiba menghangat saat bersentuhan dengan tubuh Anin, sontak membuat gadis itu menoleh ke belakang. Mata bulat itu melotot lebar, bibirnya yang membiru karena dingin tak sanggup berkata-kata. "b**o jangan dipelihara!" ketus Rega, mengambil alih tangkai payung di genggaman Anin. "Cinta boleh, asal jangan bikin otak lo dangkal!" Anin berdecak kemudian berlalu meninggalkan Rega, menuju arah di mana lelaki itu muncul walaupun Anin tak menemukan di mana motor Rega terletak. "Nggak usah sok nasehatin gue kalo lo sendiri punya otak dangkal!" Gadis itu berkata sesaat setelah Rega berjalan di sampingnya, memayungi Anin dengan setengah hati. Rega sendiri tersenyum tipis, Anin memang serupa dengan Tania. Meski tak sama, keduanya memiliki beberapa kesamaan yang mengingatkan Rega tiap kali Anin bersamanya. Mulai sekarang lo akan jadi peri penawar rindu buat gue, mungkin udah saatnya gue mencoba ngelupain Tania dengan bantuan lo. Tidak kuat lagi berjalan dengan kaki yang memerih, Anin akhirnya berucap tanya, "Motor lo parkir di mana? Kenapa nggak keliatan?" "Di bengkel depan sana." "Motor lo kenapa?" "Bannya bocor kena paku," jawab Rega seadanya, membuat Anin tak lagi bersuara. Dirinya hanya mengikuti langkah kaki Rega, menunduk menatap kakinya yang memberi tanda untuk segera diobati. Semesta alam ternyata bersekongkol dengan peri bermata gelap tersebut, hingga Rega tak dibiarkan pergi berlalu meninggalkannya. Terimakasih, ya, Tuhan, Engkau perlahan membuat es batu itu mencair. Anin si gadis imut nan keras kepala itu berusaha menyembunyikan senyuman yang terukir di bibirnya, tak kuasa menahan rasa bahagia yang menuntut untuk diperlihatkan. Bahagianya memang sangat sederhana, cukup dengan perhatian Rega maka bahagia sudah bisa ia genggam. Bahagia tak perlu mahal, cukup dengan melihat senyum lebar doi yang mengembang. "Pak, makasih tumpangannya." "Oh, iya, Nak. Makasih juga udah bantuin Bapak ngurusin tempat ini." Setibanya Rega di bengkel tersebut, suara bariton milik Rega menyapa sang pemilik bengkel—pria paruh baya yang sibuk dengan pekerjaannya, namun telah berdiri menyambut kedatangan Rega. Anin yang berdiri di belakang Rega segera memelototi pemuda itu, merasa ada sesuatu yang janggal dengan ucapannya. "Pak, motornya udah ditambal?" tanya Anin memastikan, Rega segera beranjak mengambil motornya. Sudah jelas dengan wajah tak berdosa setelah membohonginya. Bapak tersenyum ramah. "Motornya nggak apa-apa, Neng. Nak Rega tadi cuma numpang berteduh," kata si Bapak yang senyam-senyum tidak jelas. Hah? Gue dibohingin? batin Anin berteriak histeris. Melirik Rega dengan wajah kesal. "Buruan naik!" tegur Rega saat Anin masih mencerna kebohongan Rega yang tidak mendasar. "Bohong sekali nggak akan bikin gue jadi tukang tipu kali!" Masih bingung dengan jawaban Rega, Anin dengan tanda tanya besar di kepala segera bertanya. "Ya, tapi kenapa?" "Karena Peri Penawar Rindu gue ketinggalan di jalan!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN