Selama dua puluh tiga tahun dia hidup di dunia, bukannya dia tidak pernah berhubungan khusus dengan gadis manapun. Dia bahkan tidak bisa mengingat siapa saja yang sudah keluar-masuk didalam hidupnya selama ini. Yang dia ingat adalah Zaza, Maisya, Inggit, Alin dan Kartika. Selebihnya, Harlan sama sekali tidak ingat lagi siapa nama mantan-mantan pacarnya. Playboy? Harlan sudah kebal dengan sebutan itu. Kenapa harus marah kalau apa yang mereka katakan tentangnya memang benar? Toh, dia memang benar-benar sering bergonta-ganti pacar sejak SMP. Keizo sendiri hanya tertawa ketika tahu kebiasaan Harlan bergonta-ganti pacar, sementara Anna sibuk menggelengkan kepalanya dan mengomelinya karena mirip dengan kelakuan Ayahnya dulu.
Lalu, apa yang bisa dia jelaskan tentang jeritan histeris jantungnya saat ini ketika Ine tanpa sengaja memeluknya hanya karena dua ekor kecoak yang bahkan merasa malas untuk mendekati gadis itu? Bahkan dulu, ketika dia memeluk para mantan kekasihnya, dia sama sekali tidak merasakan getaran aneh, napas tercekat bahkan dentuman yang kuat pada jantungnya. Dia merasa biasa saja. Dia memang tidak pernah mencium bibir para mantan kekasihnya itu karena menganggap ciuman pertama dan ciuman-ciuman selanjutnya hanya akan diberikannya pada bibir isterinya di kemudian hari. Lantas, apa yang membuat hal itu kini berbeda ketika dia merasakan pelukan Ine pada dirinya?
Sial! Ketika napas Ine terasa pada tengkuknya, Harlan merasa tidak bisa berpikir dengan jernih. Otaknya mendadak buntu. Tubuhnya menjadi kaku. Dia tidak membalas pelukan Ine namun dia membiarkan gadis itu semakin mengetatkan lingkaran kedua tangannya pada lehernya. Matanya masih menatap dua ekor kecoak yang kini sibuk mondar-mandir di depannya, seakan meledeknya karena sudah mati kutu didalam pelukan musuh bebuyutannya sendiri.
“Ne... Ine!” Harlan mencoba bersuara secara normal dan berusaha menjauhkan tubuh gadis itu dari tubuhnya. Namun, semakin dia mencoba, Ine justru semakin membenamkan kepala gadis itu dilehernya, membuat degupan jantungnya semakin tidak karuan dan semakin meliar. “Ine! Jauh-jauh dari gue, ish!”
“Kecoak, Harlaaaan! Kecoak!” jerit Ine ketakutan sambil menghentak-hentakkan kedua kakinya di atas lantai. Harlan merasa ad percikan api didalam tubuhnya, mengalirkan rasa panas disana. Menggetarkan seluruh syaraf-syaraf tubuhnya ketika dia merasakan sesuatu yang kenyal menyentuh kuat d**a bidangnya.
Mati gue!
“Ne! Badan lo bahkan jutaan kali lebih besar dari kecoak itu!” Harlan masih mencoba menjauhkan tubuh Ine yang seolah melekat kuat bagaikan diberi lem super kuat pada tubuhnya. Dia juga berusaha untuk bernapas dengan baik dan benar karena seingatnya, dia sama sekali tidak memiliki riwayat penyakit asma. Keluarganya jauh dari kata asma. Tapi nyatanya, Harlan sekarang sedang mengalami penyakit sialan itu. Penyakit yang diakibatkan oleh sang musuh!
“Gue geli sama kecoak, Harlaaaaan! Usir dulu kecoaknyaaaa!!!” jerit Ine lagi. Semakin kencang dan semakin menguatkan pelukannya pada Harlan.
“Ine Maharani Prasetyo, demi Tuhan dan demi muka bumi ini... kalau lo nggak ngelepasin gue, gue akan bikin lo lebih geli lagi dengan mulut gue!” ancam Harlan dengan suara yang dibuat sekesal mungkin.
Saat itulah, Ine berhenti menghentakkan kedua kakinya. Gadis itupun menguraikan lingkaran tangannya pada leher Harlan namun tidak benar-benar melepaskan pelukannya. Keduanya saling tatap dengan wajah yang begitu dekat. Harlan bisa melihat dengan jelas wajah Ine. Wajah yang manis dan cantik kalau dilihat dari jarak sedekat ini. Kedua matanya... hidungnya... kedua pipi gembil Ine yang kontras dengan tubuhnya yang mungil... juga... bibirnya. Bibir merah yang kecil. Bibir yang begitu s*****l dan menggoda. Membuat Harlan menelan ludah susah payah dan mulai terasa sesak. Sesak pada napasnya karena degupan jantung yang begitu kerasnya... juga sesak pada bagian bawah perutnya. If you know what i mean.
Sementara itu, Ine sendiri hanya diam. Diam karena tidak menyangka akan berdekatan dengan jarak seperti ini dengan anak dari sahabat kedua orangtuanya yang justru menjadi musuh bebuyutannya di kampus. Kadang, Ine sendiri heran dengan keadaan dirinya dan Harlan. Entah kenapa semenjak pertama kali bertemu dengan laki-laki itu, dia merasa hidupnya berubah drastis. Dia menjadi lebih berenergi dan bersemangat karena Harlan selalu mencari gara-gara dengannya. Dia akan selalu dengan senang hati membalas semua ucapan penuh ledekan yang dikeluarkan oleh Harlan. Lalu seperti biasa, keduanya akan menjadi Tom dan Jerry di depan teman-teman mereka. Umur mereka memang sudah dua puluh tiga tahun, tetapi, kelakuan mereka masih seperti anak umur lima tahun.
“Lan... jangan kaget ya... ada sesuatu yang mau gue omongin sama lo....”
Suara lembut dan terdengar serak-serak basah nan menggoda di telinga Harlan itu membuat Harlan terkejut. Laki-laki itu kemudian berusaha sekuat mungkin menormalkan detak jantungnya. Bisa-bisa, kalau seperti ini terus, Harlan akan terkena serangan jantung di usia muda. Kemudian, dia akan mengalami stroke dan akhirnya meninggal dunia tanpa sempat memetik kesuksesan dan menikah.
No way!
“In this position?” tantang Harlan dengan suara berat. Holy s**t! Kenapa bibir Ine bisa begitu menggoda seperti ini? Dia menyesal tidak melahap dengan rakus bibir merah menggoda itu tadi, saat dia tidak sengaja mencium Ine akibat jatuh di atas tubuh gadis itu. Sekarang, Harlan rasanya sangat lapar dan dia ingin menu utamanya detik ini juga! Ine!
“In this position!” tandas Ine sambil menyunggingkan seulas senyum. Senyum yang... entahlah... percampuran antara manis, cantik dan... berbahaya?
Now listen to me baby...
Before i love and leave you...
They call me heartbreaker...
I don’t wanna deceive you...
Dug... dug... dug... there he goes! Itu bunyi dentuman jantungnya. Harlan Alamsyah Alvinzo... lo sudah mati kutu di depan musuh bebuyutan lo sendiri! Syalalalala... apa yang akan lo lakuin, playboy kelas kakap? Apa yang akan lo lakuin seandainya Ine bilang kalau dia suka sama lo selama ini? Kalau dia cinta sama lo? Apa yang akan lo bilang sama dia? Apa lo akan terima?
Ngaku deh! Lo juga sebenarnya mulai ngerasain hal itu, kan? Lo mulai ngerasain perasaan suka sama Ine, kan? Ine si Jerry chubby. Iya, kan? Ngaku aja... ngaku... kalau lo nggak suka sama Ine, lo nggak akan gugup dan deg-degan kayak sekarang, Harlan! Lo nggak akan ngeliatin bibir Ine sampai segitunya, Harlan! Lo nggak akan ngeliatin bibir s*****l Ine seperti lo ngeliatin es kelapa muda di bulan puasa, Harlan!
Ugh! Bahkan kata hatinya sendiri mengkhianati dirinya.
If you fall for me...
I’m not easy to, please...
I might tear you apart...
Told you from the start... baby from the start...
“Gue... sebenarnya gue mau ngasih tau lo, kalau gue itu... suka... sama... lo, Harlan....”
DUAAAR!
Ada yang tahu bagaimana bunyi sebuah ledakan bom? Atau bazooka? Atau yang kecil saja lah, seperti misalkan ledakan tabung gas?
Harlan tahu bagaimana bunyinya, karena sekarang, jantungnya sedang mengeluarkan bunyi seperti itu. Bedanya, bunyi ledakan-ledakan yang disebutkan di atas tadi adalah ‘duar’ sementara bunyi ledakan di jantungnya adalah ‘deg-deg-deg’ dengan volume yang sangat keras. Seperti bunyi ledakan-ledakan tersebut.
“Ne... lo... lo serius...?” tanya Harlan dengan suara terbata. Demi apapun yang ada di bumi ini, baru kali ini dia merasa tidak karuan seperti ini. Baru kali ini dia merasa seperti terbang melayang ke angkasa bersama ribuan kupu-kupu. Kenapa...? KENAPA?! Tuhan, biarkan dia bersikap lebay sekali ini saja!
GILA! GUE SENANG BANGET INE BILANG DIA SUKA SAMA GUE!
Gimana, nih? Dia harus bagaimana? Berpura-pura menolak dulu supaya Ine sedih setelah itu baru dia akan menerimanya? Atau... atau langsung saja dia terima pernyataan suka Ine agar dia bisa langsung menyerang bibir yang menggairahkan itu?
Tiba-tiba, terdengarlah tawa nyaring dari mulut Ine. Gadis itu sampai menundukkan kepalanya namun kedua tangannya tetap melingkar di leher Harlan. Harlan yang tidak mengerti hanya bisa mengerutkan keningnya. Ditatapnya Ine dengan mata yang menyorot tidak mengerti.
Ada yang lucu?
“Ne?”
“Jangan bilang sama gue kalau lo percaya sama semua ucapan gue barusan?” tanya Ine disela tawanya. Gadis itu kini mengangkat kepalanya dan langsung berhenti tertawa ketika melihat tatapan tajam Harlan padanya. Laki-laki itu kemudian mengangkat sudut bibirnya, menyunggingkan seringai disana. Membuat Ine menelan ludah susah payah dan seketika langsung memilih langkah mundur dan melepaskan kedua tangannya dari leher Harlan.
“Lo lagi ngajak gue main, Ne?” tanya Harlan sambil menahan tubuh Ine yang mulai berniat kabur dari dirinya itu. Harlan melingkarkan kedua tangannya di pinggang Ine dan menarik tubuh gadis itu hingga kembali berdekatan dengannya. Menutup semua jarak yang ada diantara mereka berdua hingga Harlan dan Ine kini bisa merasakan helaan napas mereka masing-masing.
Seringai Harlan itu entah mengapa terlihat berbahaya di mata Ine. Gadis itu kini merutuki diri didalam hati karena sudah nekat mengerjai laki-laki itu dengan mengatakan bahwa dia suka padanya. Ugh! Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Harlan saat ini kepadanya sebagai hukuman.
Mama... Papa... maafin anakmu kalau ada salah, ya? Sepertinya, Ine Maharani Prasetyo akan pulang dalam keadaan tidak bernyawa. Huhuhuhu...
“Kalau mau main sama gue, bilang, Ne... gue akan dengan senang hati....” Harlan semakin menarik tubuh Ine pada tubuhnya, hingga dia bisa merasakan kekakuan tubuh gadis itu dan merasakan kedua tangan gadis itu yang kini bertumpu pada d**a bidangnya. Ine menggigit bibir bawahnya keras. “Melayani permainan lo...,” lanjut Harlan dengan bisikan s*****l di telinga Ine. Setelah itu, Harlan meniup pelan wajah Ine, hingga gadis itu tersentak dan langsung menginjak kuat kaki Harlan. Ine menjerit, sementara Harlan mengaduh. Lingkaran tangan Harlan seketika terlepas dari pinggang Ine dan Harlan terpaksa membiarkan Ine kabur dari cengkramannya.
Sepanjang Ine berlari di koridor kampus, gadis itu tidak henti-hentinya menjerit nyaring sambil sesekali menengok ke arah Harlan. Membuat para mahasiswa yang berada di sekitar area tersebut mengerutkan kening ke arah gadis itu. Namun, Ine sama sekali tidak memperdulikannya. Gadis itu terus berlari hingga berbelok ke tikungan koridor.
“Damn it! Why am i so stupid?! Bisa-bisanya gue berpikir kalau Ine beneran naksir sama gue?!” dengus Harlan sambil mengusap kakinya yang diinjak oleh Ine. Laki-laki itu kemudian menegakkan tubuh, menggelengkan kepala, berkacak pinggang dan tertawa pelan. Tawa yang geli. “Dia harus tanggung jawab kalau gue beneran jadi naksir sama dia!”
@@@
Malam ini, Cecillia tidak langsung pulang ke rumah. Gadis itu pergi dengan menggunakan taksi ke salah satu kafe yang berada di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Kedua orangtuanya memaksa untuk datang karena mereka akan mengadakan acara makan malam bersama Shabrina, Victor, Arsyad dan Suchi. Tadinya, dia ingin menolak. Sangat ingin menolak acara reuni kedua orangtuanya bersama keempat sahabatnya tersebut. Namun, dia tidak enak dengan mereka semua karena bagaimanapun, keempat sahabat Ayah dan Bundanya itu sudah sangat baik hati kepadanya.
Sebenarnya, Rizan sudah menunggunya di lobby kantor. Laki-laki itu anak dari Victor dan Shabrina, remember? Jadi, sudah pasti dia akan datang ke kafe tersebut. Bundanya sendiri juga sudah meneleponnya dan menyuruhnya untuk berangkat bersama Rizan. Cecillia memang mengiyakan, namun, dia tidak akan pernah sudi untuk berdekatan dengan laki-laki itu. Not even if her life is in danger and only him who could save her!
Jadilah malam itu, Cecillia memeriksa keadaan kantor dengan meminta bantuan Sonia dan Orlan. Kedua teman dekatnya itu hanya bisa menggelengkan kepala ketika melihat Cecillia keluar lewat pintu belakang kantor dan memanjat pagar kecil yang ada disana, lantas langsung memanggil taksi pertama yang lewat. Sambil tersenyum lebar dan melambaikan tangan, Cecillia berteriak mengucapkan terima kasih kepada kedua temannya itu.
Dan, disinilah dia sekarang. Tepat di depan kafe yang disebutkan oleh Bundanya di telepon. Cecillia menutup pintu pengemudi setelah membayar argo taksi dan mengucapkan terima kasih kepada sang supir. Gadis itu menatap bangunan mewah di depannya. Dia harus mengagumi kepintaran Bundanya dalam memilih tempat untuk bertemu. Kafe ini terbilang cukup romantis untuk ukuran pasangan yang sedang dimabuk cinta dan ingin menghabiskan waktu berdua saja.
“Poor me...,” desah Cecillia sambil memijat pelipisnya. Hari ini dia sudah cukup lelah. Dia mengerjakan pekerjaannya dua kali karena si manajer mengalihkan pekerjaan Loli yang sedang absen akibat sakit, kepadanya. Belum lagi ulah Tony yang membuatnya mencium Rizan di hadapan Sonia dan Orlan. Juga aksi kejar-kejarannya bersama Rizan karena dirinya yang menendang ‘junior’ laki-laki itu.
Ah... mengingat ciuman itu membuat Cecillia kembali kesal dan ingin berteriak sekeras-kerasnya. Dia ingin sekali mencakari wajah Rizan, menendang semua tubuh Rizan, menyayat tubuh Rizan dengan garpu, pokoknya semua pekerjaan kriminal yang akan membuat laki-laki itu kapok dan memohon ampun padanya. Juga berjanji tidak akan ikut campur dengan urusannya lagi. Tanpa sadar, senyum Cecillia mengembang ketika membayangkan hal tersebut.
Lingkaran posesif pada pinggangnya membuat Cecillia tersentak dan bersiap untuk menampar siapapun orang yang berani melakukan hal itu padanya. Begitu dia menoleh, dia terkejut bukan main saat mendapati wajah Rizan yang sedang menatapnya dalam sambil menyeringai. Senyumnya begitu aneh dan terkesan... berbahaya di kedua mata Cecillia. Gadis itu menelan ludah tanpa sadar dan berniat untuk meloloskan diri, namun rangkulan posesif Rizan pada pinggangnya semakin mengetat. Akhirnya, Cecillia menentang kedua mata tajam Rizan yang menguncinya.
“Ada yang nyuruh lo untuk kabur dari gue, honey?”
“Don’t you honey, me!” Cecillia masih mencoba untuk melepaskan diri namun Rizan justru semakin menarik tubuh gadis itu pada tubuhnya.
“It’s just about time, Cecillia....” Rizan berbisik di telinga gadis itu. “Masih ingat ucapan gue di kantor tadi, kan?”
Ucapan? Ucapan yang mana tepatnya? Cecillia berusaha untuk mengingat-ingat ucapan yang dimaksud Rizan barusan. Masalahnya, dia terlibat perdebatan yang cukup alot dengan laki-laki itu tentang ciuman di pelataran parkir kelab. Ugh! This is really suck!
“Seems like you don’t remember it, honey....” Rizan melempar senyum kepada beberapa gadis yang lewat hingga membuat para gadis itu berseru tertahan dan berkasak-kusuk membicarakan ketampanan laki-laki itu. “I’ll make you remember it, then... ingat kalau gue bilang gue akan ngehamilin lo? Hmm?”
Kedua mata Cecillia terbelalak hebat. Gadis itu langsung menyipitkan kedua matanya dan memberi Rizan tatapan yang begitu membunuh. Ini namanya bencana! Malapetaka! Come on... he’s not mean it, right?!
“Elo jangan berani macam-macam sama gue, Zan!” seru Cecillia. Rizan hanya tertawa dan mendekatkan wajahnya pada wajah gadis itu. Kepala Cecillia otomatis mundur, namun Rizan justru semakin menarik tubuh gadis itu mendekat ke arahnya.
“Gue cuma ada satu macam, Cil... bukan dua macam apalagi bermacam-macam. Tenang aja, gue nggak akan memaksa lo... gue akan bikin lo sukarela ngelakuin itu sama gue. Dan kita akan segera ngedapatin restu dari mereka.”
“Apa maksud lo?”
“Loh... lo belum dikasih tau sama nyokap-bokap lo?”
Kening Cecillia kontan berkerut. Pemberitahuan apa memangnya?
“Kalau gitu, kita masuk dulu aja kedalam. Mereka pasti udah nungguin. Harlan sama anaknya Oom Arsyad dan Tante Suchi, si Ine, juga bakalan datang.” Tanpa menunggu persetujuan Cecillia, Rizan langsung membawa gadis itu kedalam kafe dengan tangannya yang masih merangkul pinggang anak dari sahabat kedua orangtuanya itu.
@@@
Acara makan malam itu hanya diisi oleh obrolan Anna, Keizo dan keempat sahabatnya yang lain. Sementara anak-anak mereka sibuk mengunyah makanan tanpa ada yang membuka mulut sama sekali. Beberapa menit setelah Rizan dan Cecillia bergabung dengan kedua orangtua mereka, Ine dan Harlan tiba. Harlan memaksa Ine untuk berangkat bersama menggunakan motor Ninja laki-laki itu. Dan itupun masih dilalui dengan aksi kejar-kejaran dan teriak-teriakan segala. Teriakan-teriakan ini tentu saja datang dari mulut Ine. Semua teman mereka sampai menggelengkan kepala dan menahan tawa mereka.
“Lan... parah lo! Si Ine sampai mau lo perkosa gitu...,” komentar salah satu teman Harlan. Saat itu, Harlan berhenti mengejar Ine yang sudah berada di belakang meja dosen. Laki-laki itu sendiri tepat berada di depan Ine. Dia menoleh, menyeringai dan mengedipkan sebelah matanya pada temannya tersebut.
“Gue nggak akan merkosa dia, man... tenang aja... gue laki-laki yang gentle, kok.”
Setelah itu, tanpa bisa menghindar, Harlan langsung menangkap pergelangan tangan Ine dan menyeret gadis itu. Kebetulan, kuliah mereka hari ini sampai sore hari. Menjelang maghrib sebenarnya. Jadi, Harlan dan Ine bisa langsung pergi ke kafe ini.
Mikirin gue?
From: Kucing Garong
Cecillia yang memang sedang memeriksa memo pada ponselnya langsung mengerutkan kening ketika mendapat SMS dari Rizan. Karena mereka satu kantor, mau tidak mau, Cecillia harus menyimpan nomor ponsel laki-laki itu. Tadinya, sih, dia malas menyimpannya. Hanya saja, si kutu kupret satu itu adalah orang kepercayaan si Bos.
NOT EVEN IN MY WORST NIGHTMARE, JERK!
From: My Beautiful Enemy
Nyaris saja Rizan tersedak air jeruk yang sedang diminumnya saat dia membaca balasan SMS dari Cecillia. Dia melirik sekilas gadis itu yang langsung mengudarakan garpu yang dia pegang. Kemudian, gadis itu langsung memperagakan adegan memotong lehernya sendiri, setelah yakin bahwa kondisi aman. Para orangtua mereka sepertinya terlalu asyik mengobrol. Bernostalgia tentang masa kuliah mereka dulu. Juga membicarakan salah satu atau sepertinya dua nama. Yang berhasil ditangkap oleh telinga Cecillia adalah nama Reinhard. Entah siapa orang yang bernama Reinhard itu. (Baca: You and I)
Di sisi lain, Harlan juga sibuk dengan ponselnya. Dia senyam-senyum nggak jelas sambil mengetik sesuatu. Ine yang berada tepat di depannya hanya bisa mendengus dan menendang tulang kering laki-laki itu hingga dia mengaduh. Ine seakan buta dan tuli. Gadis itu hanya tetap menyantap makanannya sambil sesekali meringis manis ke arah Harlan yang jelas-jelas memelototinya.
Si Jerry chubby ngajakin gue berantem lagi nih! Lagi, dinner, juga!
Sent: Mitha My Bestie
Hahaha... both of you are dinner together right now? What a great progress
From: Mitha My Bestie
Progress? Hahaha... very funny! Wait until you hear about her pregnant!
Sent: Mitha My Bestie
Don’t do anything reckless, honey... or i swear to God that i kill you if i hear you put a baby into her body! :P
From: Mitha My Bestie
“Yeah, right... gue, sih, nggak akan nolak kalau dia juga mau,” gumam Harlan sambil tertawa renyah. Tawanya hilang saat dia menyadari semua mata kini mengarah padanya. Laki-laki itu berdeham pelan dan kembali melanjutkan makanannya. Sama sekali mencoba untuk tidak terpengaruh dengan suasana cangguung yang sudah dia ciptakan sendiri.
“Nah... berhubung kalian semua sudah disini, Oom akan memberitahu sesuatu.” Victor berusaha menarik perhatian semua orang yang ada bersamanya sambil merangkul pundak Shabrina dengan mesra. Dia menatap isteri juga keempat sahabatnya sambil tersenyum. “Kami semua sudah sepakat bahwa akan menjodohkan Rizan dengan Cecillia dan Harlan dengan Ine.”
Hening sesaat.
Keempatnya saling pandang dan langsung berdiri dengan gebrakan meja.
“WHAT?!”
@@@
Harlan merasa malas untuk datang ke kampus hari ini. Kepalanya masih terasa berat dan pusing akibat acara pertunangan b******k yang diadakan oleh kedua orangtuanya bersama kedua orangtua Ine juga kedua orangtua Rizan. Kalau Kakaknya yang bertunangan dengan Rizan, mungkin Harlan tidak akan masalah. Dia suka dengan Rizan karena laki-laki itu orangnya asyik dan Harlan sudah menganggap Rizan seperti Kakak kandungnya sendiri. Harlan sendiri tidak mengerti apa yang membuat Kakak cantiknya itu bermusuhan dengan Rizan.
Masih teringat dengan jelas ketika Victor mengumumkan niatan mereka di depannya juga di depan Kakaknya, Rizan dan Ine.
“Dijodohkan, Pah?” tanya Rizan dengan kening berkerut. Victor mengangguk. “Come on, Dad... this is 21st century! Dijodohin? Emangnya Rizan nggak bisa cari pasangan sendiri?”
“Rizan....” Shabrina memanggil nama anaknya itu dan menggoyangkan jari telunjuknya di depan wajah Rizan. Langsung saja, Rizan meringis aneh dan mengangguk.
“Mah? Pah? Udah nyiapin kuburan buat Ine, ya?”
“Maksud kamu?” tanya Arsyad heran. Dia melihat wajah puteri tunggalnya itu dengan kening berkerut. Wajah Ine tampak sangat horror di mata Arsyad saat gadis itu bertatapan dengan Harlan.
“Mama sama Papa mau Ine cepat mati dengan cara jodohin Ine sama Harlan, kan?”
“Hush!” Suchi langsung melotot ganas ke arah Ine, membuat gadis itu bersembunyi di belakang Rizan tanpa sadar. “Kamu kalau ngomong kok nggak disaring gitu, sih, Ne?”
“Tapi Ine nggak suka sama Harlan, Mah, Pah...,” rengek Ine sambil meremas lengan baju Rizan, membuat Harlan dan Cecillia menaikkan satu alis mereka sementara Rizan menatap ke belakang, ke arah Ine dengan kening berkerut. “Ine sukanya sama Rizan!”
SIIIIING
Ine hanya bisa memejamkan kedua matanya dan mengumpat dalam hati ketika menyadari ketololannya. Dia baru saja mengungkapkan isi hatinya kepada Rizan secara tidak disengaja!
“Pokoknya....” Suara Keizo terdengar membahana. Sarat akan ketegasan dan kewibawaan. “Nggak ada yang boleh menolak. Ine, kamu lupakan Rizan dan bertunangan dengan Harlan... dan kamu, Cecill... Ayah nggak peduli kamu sering berdebat dan bertengkar dengan Rizan. Kamu dan Rizan harus bertunangan!”
Dan akhirnya, mereka semua bertukar cincin malam tadi. Rupanya, cincin pertunangan sudah disiapkan oleh kedua orangtua masing-masing. Hanya tinggal dipasangkan dan... taraaaa! They were engaged!
“Ayolah, Lan... lo tau pasti kalau Ine itu gadis baik. Lo sama dia cuma kurang akur aja... ibarat kata, kalian itu lagi ngulangin sejarah. Perang dunia, gitu. Tapi, kali ini perang dunia ketiga. Ntar juga lama-lama perangnya pakai hati.” Mitha berjalan di samping Harlan sambil menghisap es krim yang dibelikan oleh laki-laki itu. Harlan sendiri hanya mendesah panjang dan melirik sahabatnya yang nyengir kuda sambil menyodorkan es krimnya.
“Pakai hati gimana, maksud lo?” tanya Harlan. Laki-laki itu mengambil es krim yang diberikan oleh Mitha dan ikut memakannya. “Maksud lo, gue bakalan suka sama dia, gitu?”
“Apalagi menurut lo?” Mitha mencibir dan menjitak kepala Harlan. “Lo semalam cerita ke gue kalau waktu Ine meluk lo di kelas, lo deg-degan. Terus, pas Ine ngerjain lo dengan bilang kalau dia suka sama lo, lo kayak kegirangan gitu didalam hati. Itu apa kalau bukan suka namanya?”
“Ya mana gue tau... gue lagi kesurupan setan penunggu kelas, kali, waktu itu.” Harlan mengembalikan es krim Mitha dan kembali mendesah panjang. Tiba-tiba, langkah Harlan terhenti. Otomatis, Mitha juga ikut berhenti. Dia mengerutkan kening dan menggoyangkan sebelah tangannya di depan wajah Harlan. Ekspresi wajah sahabatnya itu begitu datar dan terlihat sedikit emosi. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya.
“Heh! Harlan! Lo kesambet, ya?” tanya Mitha takut-takut. Kemudian, tanpa diduga oleh Mitha, Harlan pergi dengan langkah cepat dan lebar, diikuti olehnya di belakang dengan setengah berlari.
Ketika melihat Harlan berhenti, Mitha kontan tahu apa yang membuat wajah laki-laki itu berubah. Tepat di depan mereka saat ini, ada sosok Ine yang membelakangi mereka. Gadis itu tengah tertawa sambil memukul pelan lengan seorang laki-laki tinggi nan tampan di depannya. Laki-laki itu juga tertawa seperti Ine. Kemudian, Mitha melirik Harlan sekilas. Ada sorot kesal pada cara sepasang mata Harlan menatap, yang membuat Mitha menahan senyumnya. Katanya nggak bakalan suka, tapi kenapa sekarang mendadak cemburu?
Harlan tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya. Hanya saja, begitu tadi dia melihat Ine sedang mengobrol dan tertawa dengan sangat akrab dengan laki-laki di depannya, emosi Harlan tiba-tiba menyeruak keluar. Dan kini, di belakang Ine, Harlan menatap laki-laki yang sedang berbicara dengan gadis itu dengan tatapan tajam dan membunuh.
Sadar bahwa dia sedang ditatap, Ryu, sang objek yang membuat Harlan kesal, langsung mendongak. Dia dan Harlan saling tatap sejenak yang langsung diakhiri oleh Ryu. Ryu tidak ingin mencari masalah. Dia tipe orang yang cinta dengan kedamaian. Dia sadar akan arti tatapan Harlan padanya itu.
She’s mine, dude!
Seperti itulah kira-kira isyarat yang dilempar Harlan untuk Ryu.
Tanpa basa-basi, Ryu langsung pamit pada Ine, membuat gadis itu bingung setengah mati. Ine hanya bisa melambaikan tangannya dan mengangkat bahu tak acuh. Gadis itu memutar tubuhnya dan langsung menabrak sesuatu yang keras. Sesuatu yang membuat Ine mengusap kepalanya. Sesuatu yang baru Ine sadari adalah d**a bidang Harlan, ketika gadis itu mendongakkan kepalanya.
Dan Harlan menatapnya dengan tatapan tidak suka!
“Status lo tunangan gue sekarang, Ine Maharani Prasetyo,” desis Harlan. “Dan gue nggak suka kalau tunangan gue flirting sama cowok lain!”
Jantung Ine pun langsung berhenti berdetak ketika tiba-tiba saja, Harlan meraih pinggangnya, menutup jarak diantara keduanya dan langsung melumat bibirnya dengan penuh gairah!
@@@