BAB 16

2360 Kata
Mentari sore memantulkan cahaya keemasan di halaman keraton. Burung-burung beterbangan rendah, seolah hendak berpamitan dengan hari. Udara yang hangat berpadu dengan semilir angin dari taman istana yang beraroma melati. Di antara keindahan itu, tampak empat sosok perempuan berjalan anggun keluar dari sayap kanan keraton, Sekar dan ketiga adiknya. Sekar mengenakan kebaya putih berenda halus dengan motif bunga biru muda, dipadukan dengan rok batik sidoluhur yang menjuntai lembut. Sementara Ayu, Kirana, dan Nayla, kini dikenal dengan nama Nadindra, Amaratani, dan Saraswati masing-masing mengenakan kebaya putih bermotif bunga dengan warna berbeda: merah muda lembut, ungu muda, dan hijau pastel. Meski berbeda nuansa, keempatnya tampak serasi seperti bunga-bunga yang tumbuh dalam satu taman. Dayang-dayang mengikuti mereka sambil membawa selendang dan kipas kecil dari anyaman bambu. Suasana sore itu begitu menenangkan, namun tetap dipenuhi rasa semangat karena mereka akan berangkat menuju tempat festival yang sedang disiapkan. Ketika mereka tiba di halaman depan, kereta kencana berwarna emas muda dengan ukiran naga dan bunga teratai sudah menunggu. Dua ekor kuda putih berdiri gagah di depan, sementara Mahesa dengan pakaian pengawal utama berwarna hitam dan selendang biru tua berdiri di sisi kereta sambil menunduk hormat. “Ndoro Putri, kereta telah siap,” ucapnya dengan suara rendah namun tegas. Sekar mengangguk, lalu menoleh pada ketiga adiknya. “Ayo, adik-adikku… jangan sampai malam tiba sebelum kita berangkat.” Nada suaranya lembut namun mengandung wibawa alami, membuat ketiganya spontan tersenyum dan mengikuti arahan. Mahesa dengan sigap naik ke tangga kecil, lalu mengulurkan tangannya satu per satu membantu ketiga adik Sekar naik ke dalam kereta. Nadindra tertawa kecil sambil bergumam, “Wah, jadi kayak putri sungguhan begini…” Kirana menimpali, “Ya, memang kita putri, Din… tapi kali ini lebih terasa nyata, ya.” Saraswati menatap Sekar yang baru melangkah naik, “Mbak, kebaya Mbak paling cantik hari ini.” Sekar hanya tersenyum, pipinya bersemu lembut. “Kalian juga tidak kalah anggun. Sekali-sekali begini tidak apa-apa, kan?” Setelah keempatnya sudah duduk rapi di dalam kereta, Mahesa menutup pintu dan naik ke atas kudanya. Dengan isyarat tangannya, pasukan pengawal mulai bersiap. Kereta kencana bergerak perlahan keluar dari gerbang keraton, roda-roda kayu bergulir di atas jalan berbatu, menimbulkan suara lembut yang berpadu dengan nyanyian jangkrik sore. Namun belum jauh mereka berjalan, suara derap kuda dari arah kiri halaman terdengar semakin dekat. Sekar menoleh dan di antara sinar oranye mentari sore, tampak Aria menunggangi kuda putihnya. Sahabat sekaligus Adipati itu mengenakan baju adipati berwarna putih gading, dihiasi selendang perak yang berkibar di bahunya. Rambutnya diikat tinggi, memperlihatkan ekspresi yang… antara pasrah dan enggan. Mahesa yang melihatnya menahan tawa kecil, sementara Sekar langsung tersenyum geli. “Aku rasa, tidak pernah ada satu hari pun di mana kau tidak sibuk, Aria,” sindir Sekar manis dari jendela kereta. Aria menarik napas panjang sambil memutar bola mata. “Jangan mulai, Sekar. Aku sudah cukup berlari sejak pagi mengurus laporan pasukan untuk festival ini.” Ayu langsung menutup mulutnya, menahan tawa. “Wajah Mbak Aria kayak orang baru dikerjain panitia acara,” bisiknya pelan ke Kirana. Kirana terkikik kecil. “Lebih tepatnya kayak orang yang baru sadar kalau tugasnya dobel.” Nayla menimpali polos, “Tapi Mbak Aria tetap kelihatan gagah kok!” Aria menatap ke arah mereka dengan tatapan “awas kalian” yang khas, tapi justru membuat tiga gadis muda itu tertawa makin keras. Bahkan Mahesa pun kali ini tak bisa menahan senyum. “Sudah, sudah,” ujar Sekar menengahi sambil menepuk tangan kecil adik-adiknya. “Jangan goda Aria terus. Kasihan, dia pasti lelah.” Aria menatap Sekar sekilas, bibirnya melengkung membentuk senyum lelah namun tulus. “Aku tidak apa-apa. Lagipula, dengan melihat kalian begini… rasanya seperti kembali ke masa kecil.” “Dan sekarang kau tetap seperti dulu,” balas Sekar, nada suaranya hangat tapi menggoda. “Sibuk, tapi tetap keras kepala.” Mahesa, yang sejak tadi menuntun kudanya di depan, menoleh sedikit dan berucap sambil menahan tawa, “Sepertinya dari dulu Adipati Aria memang begitu, diajeng. Tidak berubah.” “Mahesa!” Aria memelototinya dari atas kuda. Suara tawa dari dalam kereta langsung pecah, bahkan Sekar pun tidak bisa menahan tawanya. Kereta kencana itu pun melaju pelan meninggalkan halaman keraton, diiringi oleh tawa ringan yang membuat sore itu terasa hidup. Di langit, mentari mulai condong, meninggalkan warna jingga keemasan yang terpantul di kebaya putih keempat putri itu seolah semesta sendiri tengah memberkati perjalanan mereka. Kereta kencana bergulir perlahan di jalan batu yang membelah hamparan sawah luas. Langit sore mulai beralih warna — dari jingga lembut menjadi keemasan, lalu perlahan memudar menuju ungu muda yang syahdu. Udara membawa aroma tanah dan padi yang mulai menguning, sementara kicau burung pulang ke sarang menambah damai perjalanan itu. Di dalam kereta, Sekar duduk di sisi jendela. Jemarinya yang lentik menyentuh tirai halus, menyingkap sedikit agar bisa melihat pemandangan luar. Ia menghela napas panjang. “Rasanya… aneh sekali, ya,” ucapnya pelan. Ayu yang duduk di sampingnya menoleh. “Aneh kenapa, Mbak?” “Dulu, di masa kita… semua ini sudah tidak ada. Pemandangan begini cuma bisa kita lihat di museum atau di foto lama. Tapi sekarang—” Sekar tersenyum kecil. “Kita malah hidup di dalamnya.” Kirana menatap keluar, matanya berbinar. “Aku malah senang, Mbak. Aku bisa lihat sawah yang asli, bukan dari jendela apartemen.” Saraswati menambahkan sambil memeluk lututnya, “Iya, di sini juga adem, nggak ada suara klakson.” Sekar tertawa lembut, lalu menatap mereka satu per satu. “Kalian cepat sekali beradaptasi, ya.” Ayu menjawab dengan nada bercanda, “Soalnya kalau nggak cepat, kita bisa stres, Mbak. Bayangin aja… dulu kita bisa pesen makanan lewat ponsel, sekarang mesti masak atau nunggu dapur kerajaan siapin.” Mereka tertawa bersama. Aria yang menunggang kuda di samping kereta ikut menoleh, senyumnya melengkung hangat mendengar obrolan itu. “Dari tadi kalian ketawa terus,” serunya. “Aku iri. Di luar sini cuma angin sama debu!” Sekar membuka tirai dan menyahut, “Kalau mau gantian duduk di dalam, ayo saja. Tapi nanti siapa yang jagain jalan?” Aria mengangkat alis. “Nah, itu dia. Kalau aku duduk di dalam, nanti Mahesa ngatur pasukan sendirian.” Mahesa yang mendengar langsung menoleh sebentar, suaranya datar tapi terdengar geli, “Saya tidak keberatan, Adipati Aria. Selama tidak perlu menenangkan tawa tiga adik Ndoro Putri.” Suara tawa kembali pecah. Bahkan prajurit yang menunggang kuda di belakang mereka pun saling pandang dan tersenyum — jarang-jarang mereka melihat putri kerajaan tertawa bebas seperti sore itu. Kereta terus melaju menembus jalan desa. Di kanan kiri, rakyat yang melihat segera menunduk hormat. Anak-anak kecil melambaikan tangan malu-malu, dan Sekar, tanpa ragu, membalas lambaian itu sambil tersenyum manis. “Aku masih belum terbiasa, setiap orang tunduk begini,” bisik Sekar lirih. Aria yang mendekat dengan kudanya berkata pelan, “Karena mereka menghormatimu, Sekar. Dulu… mungkin kau memang galak, tapi sekarang mereka tahu, kau sudah berubah.” Sekar terdiam sebentar. Angin sore menerbangkan ujung selendangnya, menyentuh pipinya yang lembut. “Aku tidak ingin mereka takut,” katanya perlahan. “Aku hanya ingin mereka merasa aman.” Mahesa yang berjalan di sisi depan menunduk sedikit, menyembunyikan senyum kecil di wajahnya. Ia tahu, perubahan yang terjadi pada Dyah Sekarjati bukan hal biasa. Ada sesuatu yang membuat putri itu lebih lembut, tapi juga lebih kuat dari sebelumnya. Perjalanan berlanjut melewati jembatan kayu yang melintang di atas sungai kecil. Airnya berkilau diterpa cahaya senja. Di kejauhan, terlihat desa tempat festival akan digelar. Bendera-bendera kecil dari kain warna-warni mulai dikibarkan, dan aroma dupa samar-samar terbawa angin. “Sebentar lagi sampai,” ujar Mahesa dengan nada datar namun penuh wibawa. Sekar menatap ke depan, matanya memancarkan semangat baru. “Aku ingin festival ini menjadi awal dari perubahan. Tidak hanya untuk kerajaan… tapi untuk rakyat.” Aria menoleh ke arah Sekar, lalu tersenyum. “Kau sudah seperti pemimpin sejati, Sekar.” Sekar terkekeh. “Jangan berlebihan, Aria. Aku hanya berusaha melakukan hal yang benar.” Kirana mencondongkan tubuhnya. “Tapi Mbak, jujur ya… Mbak keren banget.” “Betul!” sahut Nadindra cepat. Nayla mengangguk mantap, “Aku setuju. Mbak Sekar sekarang lebih lembut, tapi tetap kuat.” Sekar tertawa kecil. “Terima kasih, kalian manis sekali. Tapi kalian juga harus belajar jadi kuat. Dunia ini tidak selalu indah, bahkan di masa ini.” Saat mereka tiba di depan balai desa, suara musik gamelan terdengar samar dari kejauhan. Matahari hampir terbenam meninggalkan semburat jingga di langit, sementara obor-obor mulai dinyalakan satu per satu. Mahesa turun dari kudanya, lalu membuka pintu kereta kencana. Ia mengulurkan tangan dengan sopan. “Silakan, Ndoro Putri.” Sekar menatapnya sejenak sebelum menyambut uluran tangan itu. Jemarinya yang lembut menyentuh tangan Mahesa yang kuat, dan sesaat waktu terasa melambat. Sekar menurunkan kakinya dari kereta dengan anggun. Aria yang sudah lebih dulu turun menepuk bahunya pelan. “Ayo, pemimpin besar. Festival menunggu.” Sekar tersenyum, lalu melangkah maju. “Baiklah. Mari kita mulai perubahan ini… dari sebuah perayaan kecil.” Malam itu, langkah mereka menuju balai desa terasa seperti langkah menuju sejarah baru antara masa lalu yang indah dan masa depan yang sedang ditulis ulang. Langit malam bertabur bintang, seolah ikut merayakan kebahagiaan rakyat di tanah Bumi Kencana. Obor-obor berjajar menerangi halaman luas tempat festival diadakan. Di udara, aroma makanan rakyat, asap dupa, dan harum bunga kenanga berpadu menjadi satu. Suara gamelan mengalun lembut, diiringi tabuhan kendang dan nyanyian sukacita rakyat yang berdatangan dari berbagai desa. Sekar berdiri di balik panggung bambu yang dihias janur kuning dan untaian bunga melati. Kebaya biru emerald-nya memantulkan cahaya obor, membuatnya tampak berwibawa namun lembut. Di sisi panggung, Aria dan ketiga adiknya berdiri dengan senyum bangga. Mahesa berdiri tidak jauh di belakang panggung, mengenakan seragam ksatria kerajaan berwarna hitam dan emas, dengan tatapan yang tak lepas dari sang putri. Ketika gong besar dipukul tiga kali, seluruh rakyat yang hadir serentak menunduk. Kepala desa dari berbagai wilayah berdiri berbaris di depan panggung. Suara riuh pun perlahan reda. Sekar melangkah maju ke tengah panggung dengan langkah anggun namun pasti. Angin malam memainkan ujung selendangnya, membuatnya tampak seperti bayangan bidadari di bawah cahaya obor. Ia berhenti, mengangkat tangan sedikit, lalu mulai berbicara dengan suara yang tenang namun mengandung kekuatan. “Saudara-saudaraku…” Suara Sekar bergema lembut, membuat semua kepala terangkat untuk menatapnya. “Malam ini, kita berkumpul bukan sekadar untuk merayakan panen yang berlimpah. Kita berkumpul untuk merayakan hasil kerja keras, keringat, dan doa dari rakyat Bumi Kencana. Tidak ada yang lebih berharga dari tanah ini… tanah yang memberi makan, memberi kehidupan, dan memberi harapan.” Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap ke hati mereka. Beberapa rakyat menatapnya tak percaya — wajah lembut nan ramah itu begitu berbeda dari putri yang mereka kenal dulu, yang katanya keras dan mudah murka. Sekar melanjutkan, kini suaranya lebih dalam. “Aku tahu… banyak di antara kalian yang masih menanggung beratnya hidup. Aku tahu, ada yang kehilangan tanahnya karena utang, ada yang harus menjual hasil panen dengan harga murah, dan ada yang tak punya cukup beras untuk keluarga. Aku tahu… karena kalian adalah rakyatku, dan aku harus mendengarkan kalian.” Seketika suasana hening. Beberapa orang bahkan menunduk haru, tak percaya bahwa seorang putri bicara dengan kata-kata sejujur itu. Sekar tersenyum lembut. “Karena itu, aku dan para petinggi kerajaan telah merancang sesuatu. Sebuah tempat yang akan menjadi wadah dan pelindung bagi hasil kerja kalian. Kami akan menamainya Lumbung Bumi Kencana.” Gema bisik-bisik kecil terdengar dari antara rakyat. Sekar mengangkat tangannya sedikit untuk menenangkan mereka. “Lumbung ini akan menjadi tempat di mana hasil panen kalian disimpan dan dikelola oleh kerajaan. Tidak lagi kalian menjual kepada pihak asing dengan harga rendah. Mulai sekarang, hasil panen rakyat akan dijual dengan harga yang layak. Hasilnya akan dibagi: enam bagian untuk rakyat, empat bagian untuk kerajaan. Karena sesungguhnya kemakmuran negeri ini berasal dari tangan kalian, bukan hanya dari kursi istana.” Tepuk tangan perlahan terdengar, ragu di awal, lalu semakin keras, hingga bergema di seluruh halaman festival. Sekar menunduk sedikit, matanya berkilat oleh emosi yang ia tahan. Ia melanjutkan dengan suara yang sedikit bergetar namun tegas, “Tidak akan ada rakyat yang lapar selama aku masih bernafas. Tidak akan ada anak kecil yang menangis karena tak punya nasi, selama aku masih mampu berdiri di hadapan kalian. Aku berjanji… aku tidak akan menutup mata terhadap penderitaan rakyatku.” Suara gamelan yang tadinya lembut kini berhenti sepenuhnya. Hening. Semua orang menatap Sekar dengan mata berkaca-kaca. Sekar menatap mereka satu per satu, lalu menambahkan, “Kita bukan hanya kerajaan besar karena istana megah atau pasukan yang kuat. Kita akan menjadi kerajaan besar karena rakyatnya saling membantu, saling menghargai, dan hidup dalam keadilan.” Ia menurunkan tangan, lalu tersenyum. “Maka malam ini… mari kita bersuka cita. Mari kita rayakan kerja keras kita bersama. Karena mulai malam ini, masa depan Bumi Kencana akan kita tulis ulang bersama.” Sorak-sorai rakyat pecah. Teriakan bahagia menggema di udara. Anak-anak menari diiringi tabuhan kendang, para perempuan menabur bunga, dan para lelaki mengangkat obor tinggi-tinggi. Langit malam terasa lebih terang oleh api semangat rakyat dan kata-kata sang putri. Dari tempatnya berdiri, Mahesa memandang Sekar dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Cahaya obor yang menyorot wajah Sekar membuatnya tampak begitu memesona — bukan hanya karena kecantikannya, tapi karena pancaran hatinya. “Diajeng…” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. “Apakah hatiku baru saja goyah…?” Ia menunduk, mencoba menepis perasaan yang muncul tanpa diundang. Ia adalah seorang ksatria, pengawal pribadi sang putri. Perasaan semacam itu terlarang. Tapi semakin ia berusaha menepis, semakin kuat debar di dadanya. Sekar turun dari panggung setelah memberi hormat pada rakyat. Aria dan ketiga adiknya segera menghampiri dan memeluknya bergantian. “Mbak… pidato tadi luar biasa banget,” kata Ayu sambil terharu. Sekar tersenyum lembut. “Aku hanya bicara apa yang seharusnya dilakukan seorang pemimpin.” Mahesa menghampiri mereka, menunduk sopan. “Ndoro Putri… pidato yang sangat berwibawa. Rakyat akan mengingatnya lama.” Sekar menatapnya sambil tersenyum kecil. “Terima kasih, Mahesa. Tapi tanpa pengawalanmu, aku mungkin tak bisa berdiri sekuat ini di hadapan mereka.” Tatapan mereka bertemu, hanya beberapa detik, tapi cukup membuat d**a Mahesa terasa sesak. Ia buru-buru menunduk. “Senang bisa mengabdi kepada Diajeng,” jawabnya lirih. Sekar hanya tersenyum, tanpa menyadari bahwa malam itu, bukan hanya rakyat yang jatuh cinta pada kebijaksanaannya, tapi juga seorang ksatria yang berusaha menolak perasaannya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN